Imam Lupa Duduk Tasyahud Awal

💢💢💢💢💢💢💢💢

📨 PERTANYAAN:

Assalamualaikum ustadz, dalam sholat berjamaah pada raka’at kedua imam lupa duduk tasyahud awal dan imam berdiri tegak untuk raka’at ke tiga sedangkan makmumnya duduk tasyahud awal dan menegur imam. Apakah imam yang harus mengikuti makmumnya duduk tasyahud awal atau makmumnya ikut imam walaupun makmumnya benar.? Mohon pencerahannya dan Jazakallah Khairan katsiro. Hamdani, Lombok Barat

📬 JAWABAN

🍃🍃🍃🍃🍃🍃🍃🍃🍃

Wa’alaikumussalam wa Rahmatullah wa Barakatuh

Bismillahirrahmanirrahim..

Apa yang dilakukan imam, yaitu terlanjur tegak sempurna saat seharusnya duduk tasyahud, lalu dia melanjutkan maka itu sudah benar saat menyikapi kesalahan itu. Namun, sebelum salam hendaknya sujud sahwi dua kali. Itulah yang dilakukan Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam.

Kecuali, jika dirinya imam belum tegak sempurna, lalu dia teringat itu kesalahan krn seharusnya duduk tasyahud awal, maka hendaknya dia duduk.

Inilah yang ditegaskan oleh ‘Alqamah, Qatadah, Abdurrahman bin Abi Laila, Al Auza’i, Ibnul Qasim dalam Al Mudawanah, dan Imam Asy Syafi’i. (Imam Ibnu Baththal, Syarh Shahih Al Bukhari, jilid. 3, hal. 212)

Dalilnya adalah, dari Ibnu Buhainah Radhiallahu ‘Anhu, katanya:

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَّى فَقَامَ فِي الرَّكْعَتَيْنِ فَسَبَّحُوا فَمَضَى فَلَمَّا فَرَغَ مِنْ صَلَاتِهِ سَجَدَ سَجْدَتَيْنِ ثُمَّ سَلَّمَ

“Bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam shalat, beliau bangun pada rakaat kedua, maka jamaah mengucapkan ‘subhanallah’ maka beliau tetap melanjutkannya, lalu ketika selesai shalat, Belia sujud dua kali lalu salam.” (HR. An Nasa’i No. 1177, 1178, Ibnu Majah No. 1206, 1207. Shahih. Lihat Shahih wa Dhaif Sunan An Nasa’i No. 1177, 1178)

Menurut hadits ini jika sudah terlanjur tegak berdiri, maka imam tidak usah duduk lagi, dia lanjutkan saja tetapi setelah selesai shalat dia sujud dua kali (sahwi) lalu salam. Tetapi, jika berdirinya belum sempurna tegaknya, maka boleh baginya untuk duduk lagi untuk tasyahhud awal, dan akhirnya tanpa melakukan sujud sahwi.

Hal ini ditegaskan dalam riwayat dari Mughirah bin Syu’bah Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

إِذَا قَامَ أَحَدُكُمْ مِنْ الرَّكْعَتَيْنِ فَلَمْ يَسْتَتِمَّ قَائِمًا فَلْيَجْلِسْ فَإِذَا اسْتَتَمَّ قَائِمًا فَلَا يَجْلِسْ وَيَسْجُدْ سَجْدَتَيْ السَّهْوِ

“Jika salah seorang kalian berdiri ketika rakaat kedua tetapi belum sempurna, maka hendaknya duduk, jika sudah sempurna maka janganlah duduk. Lalu sujudlah dua kali sebagai sahwi.” (HR. Abu Daud No. 949, 950, Ibnu Majah No. 1208. Hadits ini shahih. Lihat Al Misykah Al Mashabih No. 1020)

Riwayat ini menunjukkan bahwa sujud sahwi juga bisa dilakukan sebelum salam, yakni ketika kesalahan tersebut diketahui dan diingat masih di dalam shalat.

Demikian. Wallahu a’lam

🌿🌻🍃🍀🌷🌸🌳

✍ Farid Nu’man Hasan

Perkara Halal Dalam Islam

💢💢💢💢💢💢💢💢

Halal itu jelas – innal halaala bayyin, kata Rasulullah ﷺ dalam hadits Muttafaq ‘Alaih. Dalam menentukan kehalalan, maka ada beberapa jalan yang bisa kita ketahui dan biasa ditempuh para ulama.

I. Lugas dan jelas disebutkan HALAL dalam Al Quran

Berikut ini beberapa contohnya:

1. Kehalalan hasil buruan laut

Allah Ta’ala berfirman:

أُحِلَّ لَكُمْ صَيْدُ الْبَحْرِ وَطَعَامُهُ مَتَاعًا لَكُمْ

Dihalalkan bagimu binatang buruan laut dan makanan (yang berasal) dari laut sebagai makanan yang lezat bagimu. (QS. Al Maidah: 96)

Jika kita lihat secara zahiriyah ayat ini, maka semua yang hidup atau berasal dari laut adalah halal. Termasuk dalam kategori ayat ini adalah semua hewan yang hidupnya di air seperti di sungai, danau, dan lainnya.

Dalam hal ini, bahkan ada ulama yang sangat longgar, sampai-sampai membolehkan memakan buaya karena termasuk hewan air.

Halalnya makan Buaya merupakan pendapat resmi Malikiyah. (Ibnu Abdil Bar, Al Istidzkar, 5/284. Hasyiyah Ad Dasuqi, 1/49, Hasyiyah Ash Shawi, 2/182).

Juga salah satu pendapat Syafi’iyah (Zakariya al Anshari, Asnal Mathalib, 1/566, An Nawawi, al Majmu’ Syarh al Muhadzdzab, 9/32)

Juga salah satu pendapat dari Hanabilah (Ibnu Muflih, al Furu’, 10/377, Al Mardawi, al Inshaf, 10/275)

Serta sebagian ulama salaf seperti al Auza’i. (al Istidzkar, 5/284), Sa’id bin al Musayyab (an Nawadir waz Ziyadat, 4/358).

Ini juga pendapat Ibnu ‘Utsaimin (Syarh al Mumti’, 15/35), Amin Asy Syanqiti (Adhwa’ul Bayan, 1/51), dan ulama di Al Lajnah ad Daimah (22/319).

Tapi, mayoritas ulama mengatakan Buaya itu haram walau dia hidup di air, sebab dia termasuk hewan buas, bertaring, dan pemakan manusia. Itulah pendapat resmi dari Hanafiyah (Ibnu Nujaim, Bahr ar Raiq, 3/29, Hasyiyah Ibnu ‘Abidin, 2/561), Syafi’iyah (An Nawawi, al Majmu’, 9/32, Ibn Hajar al Haitami, Tuhfatul Muhtaj, 9/378), dan Hambaliyah (Al Buhuti, Kasysyaf al Qina’, 6/193, Ibnu Muflih, al Fuqu’, 10/377).

Perbedaan ini juga terjadi terhadap Hiu (al Qarsyu), dimana sebagian ulama mengharamkan tapi umumnya membolehkan. (Lihat Fatawa Asy Syabakah al Islamiyah no. 5215).

Begitu pula pada kepiting (As Surthan), di mana Malikiyah (Lihat Tadzibul Mudawanah, 1/63) dan Hambaliyah (Lihat Al Inshaf, 10/289) mengatakan HALAL. Sementara Hanafiyah (Lihat al Bahr ar Raiq, 8/196, al Hidayah Syarh al Bidayah, 4/69), dan Syafi’iyah (lihat al Majmu, 9/32) mengatakan HARAM.

Tapi, ternyata ayat di atas ada yang memaknai secara terbatas. Kalangan yang paling sempit adalah Hanafiyah. Bagi mereka ayat: “Dihalalkan bagimu binatang buruan laut”, hanyalah ikan, bukan lainnya. (Al Kasani, Bada’i ash Shana’i, 5/35-36).

Sehingga selain ikan seperti cumi, kepiting, udang, pinguin, anjing laut, dll, adalah haram menurut mereka. Sebab, bagi Hanafiyah semua itu tetaplah bangkai sebagaimana ayat lain bahwa bangkai itu haram. Ikan dibolehkan, berdasarkan dalil lain yaitu adanya dua bangkai yang dikecualikan yaitu ikan dan belalang, sebagaimana riwayat mauquf dari Ibnu Umar Radhiyallahu ‘Anhuma.

Jika kita lihat, lerbedaan pendapat ini, karena masing-masing ulama berbeda dalam memahami ayat tersebut, dan juga kaitannya dengan dalil lainnya.

💢💢💢💢💢💢💢💢

2. Kehalalan Bergaul Dengan Istri di Malam Ramadhan

Allah Ta’ala berfirman:

أُحِلَّ لَكُمۡ لَيۡلَةَ ٱلصِّيَامِ ٱلرَّفَثُ إِلَىٰ نِسَآئِكُمۡۚ هُنَّ لِبَاسٞ لَّكُمۡ وَأَنتُمۡ لِبَاسٞ لَّهُنَّۗ

Dihalalkan bagimu pada malam hari puasa bercampur dengan istrimu. Mereka adalah pakaian bagimu, dan kamu adalah pakaian bagi mereka.

(QS. Al-Baqarah, Ayat 187)

Ayat ini juga lugas dan jelas Allah katakan halal tentang kebolehan menggauli istri setelah terbenam matahari sampai terbitnya fajar, di bulan Ramadhan.

Ibnu Abbas Radhiallahu ‘Anhuma mengatakan, dulu kaum muslimin jika selesai shalat Isya di malam hari Ramadhan, mereka mengharamkan makan dan bergaul dengan istri-istri mereka. Lalu ada sebagian yang makan dan menggauli istrinya setelah Isya, mereka mengadu kepada Rasulullah ﷺ, di antaranya Umar bin al Khathab, lalu turunlah ayat di atas.

(Lihat Ibnu Jarir dalam Tafsirnya, 2/96, lalu Al Wahidi dalam Asbab an Nuzul, Hal. 39)

3. Kehalalan Sembelihan Ahli Kitab

Kebolehan memakan sembelihan mereka ditegaskan dalam Al Quran:

طَعَامُ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ حِلٌّ لَكُمْ وَطَعَامُكُمْ حِلٌّ لَهُمْ

Makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Al Kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal (pula) bagi mereka. (QS. Al Maidah: 5)

Makna “tha’am/makanan” dalan ayat di atas adalah SEMBELIHAN. Sebagaimana dijelaskan Ibnu Abbas, Abu Umamah, Mujahid, Said bin Jubeir, ‘Ikrimah, ‘Atha, Al Hasan, Mak-hul, Ibrahim An Nakha’i, As Suddi, dan Muqatil bin Hayyan.

(Tafsir Ibnu Katsir, 3/40)

Kebolehan ini telah menjadi konsensus (ijma’) ulama dan kaum muslimin.

Imam Ibnu Katsir Rahimahullah mengatakan:

أمر مجمع عليه بين العلماء أن ذبائحهم حلال للمسلمين

“Ini adalah perkara yang telah menjadi ijma’ (kesepakatan) di antara ulama: bahwa sembelihan mereka adalah halal bagi kaum muslimin.” (Ibid)

Imam Ibnu Katsir menyebutkan keterangan dari Mak-hul, bahwa Al Maidah ayat 5 ini, telah menasakh (menghapus) hukum pada surat Al An’am: 121 yang melarang makan makanan yang tidak disebut nama Allah Ta’ala. (Ibid)

Imam Ibnu Qudamah Rahimahullah mengatakan:

وأجمع أهل العلم على إباحة ذبائح أهل الكتاب؛ لقول الله تعالى: {وطعام الذين أوتوا الكتاب حل لكم} [المائدة: 5] . يعني ذبائحهم

“Ulama telah ijma’ bolehnya hewan sembelihan Ahli kitab, karena firmanNya Ta’ala: (Makanan orang-orang yang diberi Al Kitab itu halal bagimu) yakni sembelihan-sembelihan mereka.”

(Al Mughni, 9/390)

Dan masih sangat banyak ayat-ayat Al Quran yang lugas dalam menyatakan halal, seperti halalnya hewan ternak. (QS. Al Maidah: 1), halalnya berburu dengan anjing dan melepasnya dengan Bismillah. (QS. Al Maidah: 4), halalnya apa pun yang baik-baik (QS. Al Maidah: 5), halalnya laki-laki muslim menikahi wanita ahli kitab (QS. Al Maidah: 5) namun sebagian sahabat nabi berpendapat tidak boleh seperti Umar dan Ibnu Umar Radhiyallahu ‘Anhuma, halalnya jual beli (QS. Al Baqarah: 275), halalnya membunuh dalam keadaan peperangan (QS. At Taubah: 111), halalnya berkata kotor bagi yang sedang dianiaya kepada pelaku penganiayaan. (QS. An Nisa: 148), bolehnya wanita menampakkan aurat ringannya kepada ayahnya sendiri, anak kandung, anak kecil yg belum paham aurat, sesama muslimah, orang yg sudah tidak ada syahwat terhadap perempuan (QS. An Nuur: 31), dan masih banyak lainnya.

Wallahu A’lam

🌴🌵🌿🌷🌸🍃🌺🌳🌻

✍ Farid Nu’man Hasan

Bersyukurlah Pagi Ini Masih Sebagai Muslim

▫️▪️▪️▪️▪️▪️▪️▫️

Dalam salah satu wirid sunnah yang di baca pagi hari, Rasulullah ﷺ mengajarkan:

أصبحنا على فطرة الإسلام، وعلى كلمة الإخلاص، وعلى دين نبينا محمد صلى الله عليه وسلم، وعلى ملة أبينا إبراهيم حنيفا مسلما، وما كان من المشركين 

“Kita berpagi hari ini di atas fitrah Islam, di atas kalimat ikhlas (tauhid), di atas agama nabi kami Muhammad ﷺ, dan di atas ajaran ayah kami Nabi Ibrahim yang Hanif dan Muslim, dan dia bukan termasuk golongan musyrikin.”

(HR. Ahmad no. 15360)

Syaikh Syu’aib al Arnauth mengatakan: Sanadnya shahih. Lalu Beliau mengutip penjelasan Imam Abul Hasan As Sindi Rahimahullah:

– Ashbahna artinya kita memasuki pagi hari

– Fithrah artinya jalan yang telah Allah tetapkan buat kita yaitu Islam. Kata Islam pada kalimat “Fithratul Islam” adalah idhafah bayaniyah (tambahan penjelasan).

– Kalimatul Ikhlash artinya kalimat tauhid

– ‘ala millati abina, artinya di atas agamanya.

– Hanifa artinya menjauh dari kebatilan

(Lihat Ta’liq Musnad Ahmad, 24/77)

Agama ayah kami yaitu agama nabi Ibrahim, karena Nabi Ibrahim ‘Alaihissalam adalah abul anbiya (bapaknya para nabi).

Cara mensyukuri keislaman kita adalah dengan merawatnya agar istiqamah, mempelajarinya, dan memperjuangkannya, minimal janganlah mati kecuali tetap sebagai muslim.

Allah Ta’ala berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ

“Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah sebenar-benar takwa kepada-Nya dan janganlah kamu mati kecuali dalam keadaan Muslim.”

(QS. Ali ‘Imran, Ayat 102)

Wallahu a’lam

📙📘📕📒📔📓📗

✍ Farid Nu’man Hasan

Shalat Sunnah Tasbih

💢💢💢💢💢💢💢💢

📌 Shalat sunnah tasbih, diperselisihkan status haditsnya dan fiqihnya.

📌 Bagi yang mengatakan haditsnya dhaif bahkan palsu, maka tidak ada shalat tasbih.

📌 Bagi yang mengatakan haditsnya shahih, minimal hasan, maka shalat tasbih itu ada dan sunnah.

📌 Sederetan imam yg mendhaifkan seperti Imam Ahmad, Imam Al ‘Uqaili, Imam Al Mizzi, Imam Ibnu Khuzaimah, Imam Ibnul ‘Arabi, Imam Ibnul Jauzi, Imam An Nawawi, Imam Ibnu Taimiyah, Imam Ibnu Hajar, dan lainnya.

📌 Namun, dalam kitabnya yang lain Imam An Nawawi menghasankannya (Tahzibul Asma wal Lughat, 3/457) Begitu pula Imam Ibnu Hajar, ada dua pendapat darinya.

📌Menurut Syaikh Abdul Muhsin al ‘Abbad al Badr, bahwa Al Hafizh Ibnu Hajar  dalam sebagian kitabnya telah membincangkan hadits ini, dan sebagian kitabnya yang lain beliau menshahihkannya. Telah ada pula dari segolongan ulama  yang menshahihkan hadits ini, juga dari sebagian tabi’in, dan yang mengikuti mereka, juga para pengikut imam madzhab, mereka melakukannya. Tetapi, seperti yang telah diketahui, shalat ini aneh.  (Syarh Sunan Abi Daud, 7/297-298)

📌 Imam Ibnul Jauzi menyebutkan dalam Al Maudhu’at-nya berbagai jalur periwayatan hadits ini, dan beliau mengatakan: “Semua jalur ini tak ada yang kuat.” (Al Maudhu’at, 2/145), Al ‘Uqaili mengatakan tak satu pun hadits yang shahih tentang shalat tasbih. (Ibid, 2/146)

📌 Sederetan ulama lain menshahihkan atau menghasankan hadits ini, seperti Imam Ibnu Mandah, Imam Al Hakim, Imam Al Ajurri, Imam Al Khathib, Imam As Sam’ani, Imam Abu Musa Al Madini, Imam Ibnush Shalah, Imam Mundziri, Imam As Subki, Imam An Nawawi, Imam Abul Hasan bin Al Mufadhdhal,  Imam Al ‘Ala-i, Imam Az Zarkasyi, dan lainnya.

📌 Imam Ibnul Mulaqin mengatakan bahwa isnad hadits ini  jayyid. Beliau telah mengkritik Imam Ibnul Jauzi dan Imam Al ‘Uqaili yang telah mendhaifkan bahkan menganggap palsu hadits ini. Menurutnya itu adalah berlebihan, dan terlalu bermudah-mudah dalam menuduh palsu, dan klaim itu telah diingkari oleh banyak ulama. Justru hadits- hadits tentang shalat tasbih adalah   hasan, bahkan ada yang shahih. Al Muhib Ath Thabari mengatakan: “Hadits ini tidaklah benar digolongkan sebagai hadits palsu, sebab telah diriwayatkan oleh para huffazh.” Yakni seperti Abu Daud, Ibnu Majah, Ibnu Khuzaimah,  Al Hakim, dan banyak lagi yang seperti mereka.

📌 Imam Al Hakim menyatakan keshahihan hadits ini, dan sama sekali tidak ada ghibar (debu/cacat), dan yang menunjukkan keshahihan hadits ini adalah bahwa para imam sejak masa tabi’in hingga saat ini telah mengamalkan hadits ini, menganjurkannya, dan mengajarkan kepada manusia, di antaranya adalah Imam Abdullah bin Al Mubarak.

📌 Imam Ad Daruquthni mengatakan bahwa yang paling shahih tentang keutamaan surat adalah qul huwallahu ahad, dan yang paling shahih tentang keutamaan shalat sunah adalah keutamaan shalat tasbih.

📌 Juga sederetan ulama telah menilai sunah-nya shalat tasbih, seperti Imam Al Baghawi, Al Qadhi Husein, Al Mutawalli dan Ar Ruyani. (Lengkapnya lihat Al Badrul Munir, 4/236-242)

📌 Imam As Suyuthi Rahimahullah membela validitas hadits ini, di mana beliau menyebutkan penghasanan yang dilakukan oleh Imam Ibnu Hajar dalam kitab Al Khishal Al Mukaffirah, beliau mengatakan: “Para perawinya tidak ada masalah (laa ba’sa bihim).” Dan juga penghasanan Imam Ali bin Al Madini, lantaran hadits ini memiliki syawahid (sejumlah penguat) yang membuatnya menjadi kuat. Beliau juga telah mengoreksi pendapat Imam Ibnul Jauzi yang telah memasukkan hadits ini dalam deretan hadits-hadits palsu. (Lihat Al La-aali Al Mashnu’ah, 2/33. Darul Kutub Al ‘Ilmiyah)

📌 Syaikh Abul Hasan Ar Rahmani Al Mubarkafuri Rahimahullah mengatakan bhwa hadits ini hasan atau shahih li ghairihi. (Lihat Mir’ah Al Mafatih, 3/53)

📌 Imam Az Zarkasi mengatakan:  shahih, bukan dhaif. Sedangkan Imam Ibnu Shalah mengatakan:  hasan.  (Al Mausu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah, 27/150-151)

📌 Ada pun Syaikh Al Albani telah menshahihkan hadits shalat tasbih dalam berbagai kitabnya.  (Lihat Al Jami’ Ash Shaghir wa Ziyadatuhu No. 13897, Shahihul Jami’ No. 7937, Tahqiq Misykah Al Mashabih No.1328, Shahih wa Dhaif Ibnu Majah No. 1387, dan lainnya)

📌 Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah telah menyebutkan shalat tasbih dalam deretan shalat-shalat tathawwu’ (sunah). (Fiqhus Sunnah, 1/212. Darul Kitab Al ‘Arabi)

📌 Dalam fiqih madzhab, shalat sunnah tasbih diakui dalam madzhab Syafi’i dan sebagian Hambali, walau Imam Ahmad mendhaifkan haditsnya.

📌 Seorang tokoh Hambali, yaitu Imam Ibnu Qudamah Rahimahullah  berkata:

وَلَمْ يُثْبِتْ أَحْمَدُ الْحَدِيثَ الْمَرْوِيَّ فِيهَا ، وَلَمْ يَرَهَا مُسْتَحَبَّةً ، وَإِنْ فَعَلَهَا إنْسَانٌ فَلَا بَأْسَ ؛ فَإِنَّ النَّوَافِلَ وَالْفَضَائِلَ لَا يُشْتَرَطُ صِحَّةُ الْحَدِيثِ فِيهَا

Tidaklah shahih hadits tentang itu yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, dan dia pun tidak memandangnya sunah, namun jika manusia melakukannya tidak apa-apa, sesungguhnya shalat sunah dan keutamaan tidaklah mensyaratkan keshahihan haditsnya.

(Al Mughni, 3/324)

📌 Ada pun fuqaha Hanafiyah dan Malikiyah tidak ada pembahasan tentang shalat tasbih. Tertulis dalam Al Mausu’ah:

وَلَمْ نَجِدْ لِهَذِهِ الصَّلاَةِ ذِكْرًا فِيمَا اطَّلَعْنَا عَلَيْهِ مِنْ كُتُبِ الْحَنَفِيَّةِ وَالْمَالِكِيَّةِ

Kami belum mendapatkan pembahasan shalat ini sejauh penelaahan kami terhadap kitab-kitab Hanafiyah dan Malikiyah. (Al Mausu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah, 27/151)

📌 Namun ada seorang tokoh Maliki, yaitu Imam Abu Bakar bin Al ‘Arabi yang mengatakan bahwa hadits tentang shalat tasbih tidak ada yang shahih dan hasan.  (Lihat Imam An Nawawi, Khulashah Al Ahkam, 1/583)

Demikianlah pro kontra masalah shalat sunnah tasbih. Jika Anda melakukannya, maka Anda punya teladan dari sebagian salaf dan para imam. Jika Anda tidak melakukannya maka Anda juga punya teladan dari sebagian salaf dan para imam.

Wallahul Muwafiq Ila Aqwamith Thariq

🌿🌺🌷🌻🌸🍃🌵🌴

✍ Farid Nu’man Hasan

scroll to top