Pilih Jama’ Taqdim Atau Jama’ Ta’khir?

Pertanyaan

Assalâmu’alaikum ustâdzuna, ahsanallâhu ilaikum,

Izin bertanya, ketika safar, setelah terpenuhi syarat boleh menjama’ shalat, adakah syarat tertentu/khusus untuk kita memilih jama’ takhir dari jama’ taqdim? Intinya, apakah jama’ taqdim atau ta’khir boleh dipilih saja semau kita ustâdz?

Syukron katsîran ustâdz

Jawaban

Wa’alaikumussalam wa Rahmatullah wa Barakatuh

Jika merujuk pada perilaku Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, jika Beliau berangkat SEBELUM WAKTU shalat zuhur, maka Beliau jamak ta’khir dengan ashar.

Hal ini berdasarkan hadits:

عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا ارْتَحَلَ قَبْلَ أَنْ تَزِيغَ الشَّمْسُ أَخَّرَ الظُّهْرَ إِلَى وَقْتِ الْعَصْرِ ثُمَّ نَزَلَ فَجَمَعَ بَيْنَهُمَا

Dari Anas bin Malik, dia berkata: “Adalah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam jika dia mengadakan perjalanan sebelum matahari tergelincir (meninggi), maka dia akan akhirkan shalat zhuhur pada waktu Ashar, lalu dia turun dan menjamak keduanya.” (HR. Al Bukhari No. 1112)

Dari sini, maka jika berangkatnya sebelum maghrib maka niatkan saja ta’khir di waktu isya.

Tapi, hal itu tidak baku. Jika sempat menjamak takdim juga tidak apa-apa.

Berkata Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah:

الجمع بين الصلاتين في السفر في وقت إحداهما جائز في قول أكثر أهل العلم لا فرق بين كونه نازلا أو سائرا.

“Menjamak dua shalat dalam perjalanan, pada waktu salah satu dari dua shalat itu, adalah boleh menurut mayoritas para ulama, sama saja baik ketika dalam perjalanannya atau ketika turun (berhenti).” (Fiqhus Sunnah, 1/289)

Wallahu A’lam

Farid Nu’man Hasan

Ikhtilath

Pertanyaan

Assalammu’alaykum ust, Afwan sdh ganggu ust lagi… iya ust ada pertanyaan yg cukup ditanyakan ke ana yaitu :

Apa arti ikhtilat dan khalwat menurut ulama?? Apa benar bhw ikhtilat dan khalwat bisa mendatangkan murka Allah??

Ada yg mengatakan muslimah naik gojek dgn laki adalah khalwat hukumnya haram dan sebaliknya…

Ada yg mengatakan muslimah naik kendaraan umum disitu ada laki2 nya adalah ikhtilat dan hukumnya Haram..

Mhn pencerahannya ust…

Ana ucapkan Jazakallah khoiran katsiro..
Semoga Allah selalu menjaga ust…


Jawaban

Wa’alaikumussalam wa Rahmatullah wa Barakatuh

Ikhtilath, secara bahasa artinya campur baur.

Syaikh Isham Talimah menyebut Ikhtilath ada dua macam:

1. Ikhtilath masyru’, yaitu ikhtilath yg boleh terjadi karena adanya hajat untuk itu asalkan tetap memenuhi syaratnya.

Dalilnya adalah:

– Aisyah Radhiallahu ‘Anha pernah berkunjung ke Bilal yg sedang sakit, dan mereka ngobrol. Saat itu Abu Bakar Radhiyallahu’ Anhu juga sakit. Ini Shahih Bukhari.

– Ummud Darda, pernah berkunjung ke seorang laki-laki Anshar, yg sakit. Ini juga Shahih Bukhari.

Namun, pembolehan ini terikat oleh syarat bahwa tetap menutup aurat secara sempurna dan aman dari fitnah. (Al Hafizh Ibnu Hajar, Fathul Bari, 10/118).

– Dahulu datang seorang wanita ke Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam dan para sahabat yang sedang berkumpul di masjid, dan wanita itu menawarkan dirinya untuk dinikahi Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam. Ini juga Shahih Bukhari.

Syarat-syaratnya, selain aman dari fitnah dan menutup aurat, adalah percampuran itu memang tidak bisa dihindari, seperti di pasar, kampus, rumah sakit, swalayan, alat transportasi yang memang belum ada pemisahan laki-laki perempuan.

2. Ikhtilath mamnu’, yaitu Ikhtilath yang terlarang, jika tidak ada hajat dan tidak mengindahkan adab-adabnya.

Seperti bercampurnya laki-laki dan perempuan di bioskop, diskotik, kolam renang yang campur, pantai..

Ada pun khalwat, dari kata Al Khala, yang artinya sepi, kosong, dan jauh dari pandangan. Shingga larangan khalwat maksudnya adalah larangan berdua-duaan laki-laki dan perempuan bukan mahram, di tempat sepi dan jauh dari pandangan mata orang lain. Misal, di kamar, hotel, gudang, ruang tamu berdua-duaan. Ini terlarang, walau di temani anak kecil, maka keberadaan anak itu tidak dianggap ada karena blm paham apa-apa.. Haramnya khalwat dan hukum muslimah naik ojek pernah saya bahas di buku Fiqih Perempuan Kontemporer.

Wallahu A’lam

Farid Nu’man

Hukum Bersedekah Untuk Minta Didoakan

Pertanyaan

afwan bertanya ustadz:
seorang bapak pimpinan perusahaan sedang dirongrong/diteror usahanya oleh pihak2 yg “iri” dg keberhasilan bisnisnya (disebarkan berita hoax ttg pribadi dan perusahaannya), sehingga merasa terganggu.
dg latar belakang di atas, bapak tsb bermaksud bersedekah kpd anak-anak yatim/lembaga pengurus anak yatim dlm bentuk mengadakan pengajian dan bantuan dana, namun dg permintaan agar mereka mendoakan agar bisnis bapak tsb lancar kembali dan gangguannya hilang.
apakah ini termasuk “tawassul” yg diperkenankan?

Jawaban

Bismillahirrahmanirrahim
Minta didoakan orang shalih, atau sesama muslim tentu boleh. Begitu pula tawassul dengan amal shalih yang pernah/sudah dilakukan juga boleh, dan tidak ada beda pendapat dalam hal ini
Ada pun melakukan sedekah lalu kemudian setelah itu minta didoakan, maka ini sesuatu yang lain. Sebaiknya sedekah saja dan tanpa embel-embel.
Allah Ta’ala berfirman:
إِنَّمَا نُطۡعِمُكُمۡ لِوَجۡهِ ٱللَّهِ لَا نُرِيدُ مِنكُمۡ جَزَآءٗ وَلَا شُكُورًا
(sambil berkata), “Sesungguhnya kami memberi makanan kepadamu hanyalah karena mengharapkan keridhaan Allah, kami tidak mengharap balasan dan terima kasih dari kamu. -Surat Al-Insan, Ayat 9
Sebab, secara alamiah mereka yang dibantu juga akan mendoakan orang-orang yang membantunya.
Jika ingin tawassul datang saja ke orang yang kita anggap shalih, lalu minta doanya sebagaimana Umar bin Khathab Radhiallahu ‘Anhu mendatangi Abbas bin Abdul Muthalib Radhiallahu’ Anhu untuk didoakan turun hujan. Atau tawassul dengan amal shalih kita yang sudah lalu.
Wallahu A’lam
Farid Nu’man

Sikap Keras Terhadap Perbedaan Hari Raya

Bismillahirrahmanirrahim..
Sebagian manusia, ada yang bersikap keras dalam menyikapi pilihan fiqih saudaranya, termasuk dalam penentuan hari Idul Adha. Yang satu mencela yang ini, yang ini mencela yang itu.
Jika pakai standar yg idnya besok (KAMIS), maka yang idnya hari ini salah, menurut mereka hari ini masih 9 Zulhijjah, dan tidak ada hari id tanggal 9 Zulhijjah..
Jika pakai standar yang idnya hari ini (Rabu), maka yang idnya besok yang salah.. Karena besok 11 Zulhijjah menurut mereka..
Tapi jika kedua pihak konsisten dengan dirinya sendiri dan tidak menilai yang lain dengan standar dirinya, maka keduanya benar.. Kalau pun ada yang salah, maka dia tidak berdosa sebab salah dalam ijtihad tidaklah berdosa..
Imam an Nawawi Rahimahullah menasihati kita:
وَمِمَّا يَتَعَلَّق بِالِاجْتِهَادِ لَمْ يَكُنْ لِلْعَوَامِّ مَدْخَل فِيهِ ، وَلَا لَهُمْ إِنْكَاره ، بَلْ ذَلِكَ لِلْعُلَمَاءِ . ثُمَّ الْعُلَمَاء إِنَّمَا يُنْكِرُونَ مَا أُجْمِعَ عَلَيْهِ أَمَّا الْمُخْتَلَف فِيهِ فَلَا إِنْكَار فِيهِ لِأَنَّ عَلَى أَحَد الْمَذْهَبَيْنِ كُلّ مُجْتَهِدٍ مُصِيبٌ . وَهَذَا هُوَ الْمُخْتَار عِنْد كَثِيرِينَ مِنْ الْمُحَقِّقِينَ أَوْ أَكْثَرهمْ . وَعَلَى الْمَذْهَب الْآخَر الْمُصِيب وَاحِد وَالْمُخْطِئ غَيْر مُتَعَيَّن لَنَا ، وَالْإِثْم مَرْفُوع عَنْهُ
Adapun yang terkait masalah ijtihad, tidak mungkin orang awam menceburkan diri ke dalamnya, mereka tidak boleh mengingkarinya, tetapi itu tugas ulama.
Kemudian, para ulama hanya mengingkari dalam perkara yang disepakati para imam. Adapun dalam perkara yang masih diperselisihkan, maka tidak boleh ada pengingkaran di sana.
Karena berdasarkan dua sudut pandang setiap mujtahid adalah benar. Ini adalah sikap yang dipilih olah mayoritas para ulama peneliti (muhaqqiq).
Sedangkan pandangan lain mengatakan bahwa yang benar hanya satu, dan mana yang salah kita tidak tahu secara pasti, dan dia telah terangkat dosanya.
(Al Minhaj Syarh Shahih Muslim,  1/131. Mawqi’ Ruh Al Islam)
Imam Ibnu Daqiq al ‘Id juga menjelaskan dengan nasihat yang mirip:
والعلماء إنما ينكرون ما أجمع عليه أما المختلف فيه فلا إنكار فيه لأن على أحد المذهبين: أن كل مجتهد مصيب وهو المختار عند كثير من المحققين. وعلى المذهب الآخر: أن المصيب واحد والمخطئ غير متعين لنا والإثم موضوع عنه لكن على جهة النصيحة للخروج من الخلاف فهو حسن مندوب إلى فعله برفق
Para ulama hanyalah mengingkari apa-apa yang telah ijma’ (kemungkarannya), sedangkan perkara yang masih diperselisihkan tidak boleh ada pengingkaran dalam hal itu. Sebab, seseorang ada di dua madzhab yang berlaku:
1. Seluruh pihak yang berijtihad itu benar. Inilah yang dipilih oleh banyak muhaqqiq (peneliti).
2. Yang benar hanya satu yang lainnya salah, namun yang salah itu tidak tentu yang mana, dan dosa tidak berlaku (bagi yang salah).
Namun dia dinasihati agar keluar dari perselisihan. Ini adalah hal yang bagus dan diajurkan melakukannya dengan lembut.
(Imam Ibnu Daqiq al ‘Id, Syarah al Arbain an Nawawiyah, Hal.  113)
Maka, sikap-sikap keras dalam menyikapi perselisihan fiqih tidaklah diperlukan. Sikapilah sesama muslim ahlus Sunnah yang berbeda fiqihnya dengan pandangan ilmu, terhormat, dan kasih sayang.
Wallahul Muwafiq ‘ilaa Aqwamith Thariq.
✍️ Farid Nu’man Hasan
scroll to top