Membaca Surat yang Sama di Rakaat Pertama dan Kedua

Pertanyaan

Assalamu alaikum warohmatullahi wabarokatuh ustadz, semoga selalu sehat dan dalam lindungan Allah Azza Wa Jalla. Jika kita membaca surah yg di rakaat pertama dan kedua sama di shalat wajib apakah kita harus sujud sahwi?Jazakallah khoir ustadz

Jawaban

Wa’alaikumussalam wa Rahmatullah wa Barakatuh

Maksudnya rakaat pertama dan rakaat kedua, surah yang dibaca sama? Misal rakaat 1 Al Ikhlas, rakaat 2 Al Ikhlas lagi?..

Tidak apa-apa.. Itu pernah dilalukan Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, juga dilakukan sahabatnya dan Beliau membolehkannya..

أَنَّ رَجُلًا مِنْ جُهَيْنَةَ أَخْبَرَهُ
أَنَّهُ سَمِعَ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقْرَأُ فِي الصُّبْحِ إِذَا زُلْزِلَتْ الْأَرْضُ فِي الرَّكْعَتَيْنِ كِلْتَيْهِمَا فَلَا أَدْرِي أَنَسِيَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَمْ قَرَأَ ذَلِكَ عَمْدًا

Bahwa seseorang laki-laki dari Juhainah memberitahukan kepadanya bahwa dirinya telah mendengar Nabi ﷺ membaca dalam shalat Subuh “IDZA ZULZILATIL-ARDHU ZILZALAHA” di kedua rakaatnya, aku tidak tahu apakah Rasulullah ﷺ lupa ataukah beliau memang sengaja.”

(HR. Abu Daud no. 816, hadits hasan)

Dalam Al Mausu’ah disebutkan:

” ذَهَبَ الْجُمْهُورُ مِنْ الْحَنَفِيَّةِ وَالشَّافِعِيَّةِ وَالْحَنَابِلَةِ إلَى أَنَّهُ : لَا بَأْسَ لِلْمُصَلِّي أَنْ يُكَرِّرَ السُّورَةَ مِنْ الْقُرْآنِ الَّتِي قَرَأَهَا فِي الرَّكْعَةِ الْأُولَى ” انتهى

Mayoritas ulama dari Hanafiyah, Syafi’iyah, Hanabilah, mereka mengatakan bolehnya mengulang surat yang sama yg ditelah dibaca di rakaat pertama. (Al Mausu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah, 25/290)

Wallahu A’lam

Farid Nu’man Hasan

Salat Tidak di Awal Waktu Apakah Disebut Orang yang Lalai?

PERTANYAAN

Bila kita sholat tdk diawal waktu , lalu di jam brp sdh di vonis sbg orang2 yg lalai atau bermaksiat krn mengulur2 waktu??

JAWABAN

Bismillahirrahmanirrahim..

Idealnya adalah shalat di awal waktunya. Sebagaimana pertanyaan Abdullah bin Mas’ud Radhiallahu ‘Anhu tentang amal yang paling disukai Allah Ta’ala, maka Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam menjawab:

الصَّلَاةُ عَلَى وَقْتِهَا

Shalat tepat pada waktunya. (HR. Bukhari no. 527)

Dalam hadits lain Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam juga memberikan nasihat:

صَلِّ الصَّلَاةَ لِوَقْتِهَا

Shalatlah tepat pada waktunya.(HR. Muslim no. 648)

Namun, demikian jika tidak diawal waktu, baik karena uzur atau tidak, shalatnya tetap sah dan tidak mengapa. Yang haram adalah jika dia shalat SETELAH HABIS waktunya tanpa uzur.

Itulah yg dikecam dalam firmanNya:

فَوَيْلٌ لِلْمُصَلِّينَ الَّذِينَ هُمْ عَنْ صَلَاتِهِمْ سَاهُونَ

Maka celakalah orang yang shalat, (yaitu) orang-orang yang saahuun (lalai) terhadap shalatnya. (QS. Al-Ma’un, Ayat 4-5)

Imam Ibnu Jarir Rahimahullah mengatakan:

عني بذلك أنهم يؤخرونها عن وقتها، فلا يصلونها إلا بعد خروج وقتها

Maknanya, bahwa mereka mengakhirkan shalat dari waktunya, mereka tidaklah shalat kecuali setelah keluar dari waktunya. (Tafsir Ath Thabariy, 10/8786)

Dalam Al Mausu’ah:

اتفق الفقهاء على تحريم تأخير الصلاة حتى يخرج وقتها بلا عذر شرعي

Para fuqaha sepakat haramnya menunda shalat sampai habis waktunya tanpa uzur syar’iy. (Al Mausu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah, 10/8)

Sedangkan jika shalatnya masih di rentang waktu shalat, walau tidak di awal waktu, itu tidak apa-apa. Tidak dikatakan saahuun (lalai dari shalatnya), walau dia tidak dapat keutamaan di awal waktu.

Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala:

إِنَّ الصَّلَاةَ كَانَتْ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ كِتَابًا مَوْقُوتًا

Sungguh, shalat itu adalah kewajiban yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman.

(QS. An-Nisa’, Ayat 103)

Sehingga selama shalat dilakukan di interval waktu shalat tersebut, belum masuk waktu shalat berikutnya, maka sah dan boleh.

Dalam hadits:

إن للصلاة أولا وآخرا، وإن أول وقت الظهر حين تزول الشمس، وإن آخر وقتها حين يدخل وقت العصر..

Shalat itu ada awal waktunya dan akhirnya, awal waktu zhuhur adalah saat tergelincir matahari, waktu akhirnya adalah saat masuk waktu ashar .. *(HR. Ahmad no. 7172, dishahihkan oleh Syaikh Syu’aib Al Arnauth. Ta’liq Musnad Ahmad, no. 7172)*

Imam An Nawawi Rahimahullah menjelaskan:

يجوز تأخير الصلاة إلى آخر وقتها بلا خلاف، فقد دل الكتاب، والسنة، وأقوال أهل العلم على جواز تأخير الصلاة إلى آخر وقتها، ولا أعلم أحداً قال بتحريم ذلك

Dibolehkan menunda shalat sampai akhir waktunya tanpa adanya perselisihan, hal itu berdasarkan Al Qur’an dan As Sunnah. Perkataan para ulama juga membolehkan menunda sampai akhir waktunya, tidak ada seorang ulama yang mengatakan haram hal itu. (Al Majmu’ Syarh Al Muhadzdzab, 3/58)

Muhammad bin Shalih Al Utsaimin Rahimahullah mengatakan:

وقد بين النبي صلى الله عليه وسلم مواقيتها من كذا إلى كذا فمن أداها فيما بين أول الوقت وآخره فقد صلاها في الزمن الموقوت لها

Nabi Shalallahu’Alaihi wa Sallam telah menjelaskan bahwa waktu shalat itu sejak waktu ini ke ini, maka barang siapa yang menjalankan di antara awal waktu dan akhirnya, maka dia telah menunaikan di waktu yang telah ditentukan.

(Majmu’ Al Fatawa wa Rasail, Jilid. 12, Bab Shalat)

Demikian. Wallahu a’lam

Farid Nu’man Hasan

Hijab Pada Pesta Pernikahan

Pertanyaan

Assalammu’alaykum ust , Afwan minkum sblmnya, mhn minta wkt nya lagi ya ust untk bantu jawab pertanyaan ini…

Iya ust, apa hukum nya acara resepsi dgn dibuat hijab / pembatas antara tamu undangan laki2 dan perempuan??

Pihak penyelenggara baik dr pihak perempuan dan laki2 adalah mayoritas aktivis dakwah yg dgn kata lain resepsi sebenarnya sangat mungkin bisa dibuat hijab tp krn pemahaman mereka itu tdk perlu ya itu dianggap biasa atau tdk penting…

Mhn penjelasannya ust

Jazakallah khoiran katsiron ya ust


Jawaban

Wa’alaikumussalam wa Rahmatullah wa Barakatuh

Penggunaan hijab untuk memisahkan tamu laki-laki dan perempuan dalam walimah, adalah bagian dari saddudz dzara’i, yaitu tindakan preventif untuk menghindari hal-hal yang diharamkan. Seperti ikhtilat, berdesakan antara laki dan perempuan yang bukan mahram. Apalagi kondisi tamu yang beragam, tidak semua paham Islam, tidak semua busananya pantas, sehingga mesti diatur.

Hal ini bisa menjadi model dan contoh baik, dan bernilai dakwah, apalagi jika yang nikah dan panitianya adalah aktivis dakwah, tentu mereka seharusnya lebih bisa memberikan contoh.

Beberapa kasus di zaman nabi menunjukkan bahwa saat itu tamu disambut oleh pengantinnya, seperti pernikahan Rubayyi’ binti Muawwidz Radhiallahu ‘Anha, beliau sebagai pengantin perempuan dan beliau menyambut kedatangan Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam dan para sahabat. Lalu memanggil para jariyah untuk menghibur tamu. Hadits ini shahih dalam Sunan An Nasa’i.

Kisah ini menunjukkan tidak adanya hijab saat itu, namun tentu tidaklah sama antara manusia zaman itu dengan orang-orang sekarang. Baik dari sisi kualitas, kesopanan pakaian, kemampuan menahan pandangan dan hati. Maka, hendaknya menutup pintu fitnah serapat mungkin.

KECUALI, jika kondisinya tidak mungkin dipisah, karena adanya penolakan keras dari pihak ortua, atau keluarga besar, sementara posisi pengantin lemah, maka tidak apa-apa diambil jalan tengah yaitu hijabnya dengan pot pepohonan atau taman. Sehingga nampak indah namun fungsi pemisahan tetap berlangsung.

Wallahu A’lam

Farid Nu’man

Menghilangkan Najis di Lantai Atau Karpet

Pertanyaan

Assalamu’alaikum ustadz. Semoga ustadz selalu dalam lindungan Allah. Ustadz, saya ingin bertanya tentang mencuci/menyucikan najis. Misalnya ada kencing di lantai atau karpet, apakah harus disiram/dialirkan air, atau boleh dilap saja dengan kain/pel basah sampai bau/warnanya hilang? Soalnya kalau dialirkan air, airnya menyebar kemana2 ustadz.

Jawaban

Wa’alaikumussalam wa Rahmatullah wa Barakatuh

Bismillahirrahmanirrahim..

Proses menghilangkan najis adalah dengan air. Jika diawali dengan kain, atau tisue, lalu setelah itu dicuci dengan air, tidak apa-apa dan sudah cukup.

Hal ini berdasarkan keumuman firman Allah Ta’ala tentang fungsi air:

وَيُنَزِّلُ عَلَيۡكُم مِّنَ ٱلسَّمَآءِ مَآءٗ لِّيُطَهِّرَكُم بِهِۦ وَيُذۡهِبَ عَنكُمۡ رِجۡزَ ٱلشَّيۡطَٰنِ وَلِيَرۡبِطَ عَلَىٰ قُلُوبِكُمۡ وَيُثَبِّتَ بِهِ ٱلۡأَقۡدَامَ

“… dan Allah menurunkan air (hujan) dari langit kepadamu untuk menyucikan kamu dengan (hujan) itu dan menghilangkan gangguan-gangguan setan dari dirimu dan untuk menguatkan hatimu serta memperteguh telapak kakimu (teguh pendirian).”

(QS. Al-Anfal, Ayat 11)

Juga hadits:

عن أسماءَ رَضِيَ اللهُ عنها، قالت: ((جاءتِ امرأةٌ النبيَّ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم، فقالت: أرأيتَ إحدانا تحيضُ في الثَّوبِ، كيف تصنَعُ؟ قال: تَحُتُّه، ثم تَقرُصُه بالماءِ ، وتَنضَحُه، وتصلِّي فيه

Asma Radhiyallahu ‘Anha bercerita: datang seorang wanita kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, dia bertanya: “Wahai Rasulullah, salah seorang di antara kami pakaiannya ada yang kena darah haid, apa yang mesti kami lakukan?” Beliau menjawab: “Keriklah, lalu cuci pakai air, lalu siram, dan silahkan dipakai buat shalat.”

(HR. Muttafaq ‘Alaih)

Oleh karena mayoritas ulama, mengatakan menggunakan air adalah syarat sahnya izalah najasah (menghilangkan najis), kecuali istinja atas apa yang keluar dari dua jalan (kemaluan dan dubur).

Ini adalah pendapat Malikiyah (Al Hathab, Mawahib al Jalil, 1/234), Syafi’iyah (Asy Syarbini, Mughni Muhtaj, 1/85), Hambaliyah (Al Buhuti, Kasysyaf al Qina’, 1/181), juga pendapat Zufar dan Muhammad bin Hasan dari kalangan Hanafiyah. (Bada’i Shana’i, 1/83)

Sementara kelompok lain mengatakan air bukanlah syarat sahnya menghilangkan najis, bagi mereka najis bisa dihilangkan dengan benda apa pun yang juga suci. Inilah pendapat resmi Hanafiyah (Ibnu Nujaim, Bahr ar Raiq, 1/233), salah satu riwayat dari Imam Ahmad (Ibnu Qudamah, Al Mughni, 1/9), Daud Azh Zhahiri (Al Mardawi, Al Inshaf, 1/223), Ibnu Taimiyah (Majmu’ al Fatawa, 21/475).

Untuk kasus yang ditanyakan, jika najis tersebut sudah dihilangkan dengan lap atau tisue, lalu dengan air, maka itu sudah cukup. Inilah yang aman dan pendapat umumnya ulama.

Jika seandainya langsung dengan air, tanpa dihilangkan dulu dengan lap, tapi air itu banyak, dan bisa menghilangkan jejak najisnya baik bau, rasa, dan warna, maka itu juga sudah cukup.

Demikian. Wallahu a’lam

Farid Nu’man

scroll to top