Lemah Lembut; Prinsip Da’wah Yang Terlupakan

Mengajak manusia ke jalan Allah Ta’ala adalah amal yang sangat mulia dan agung, bahkan Allah Ta’ala menyebutnya sebagai ahsanu qaulan (Perkataan Terbaik). (QS. Al Fushilat: 33)
Namun mengajak manusia tentu tidak sekadar mengajak, mesti ada strategi yang efektif. Salah satunya adalah menyampaikan kebaikan dengan Ar Rifq (lemah lembut).
Secara khusus, Allah Ta’ala sendiri menegaskan kelembutan kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam agar manusia tidak lari dari dakwahnya:
فَبِمَا رَحْمَةٍ مِّنَ اللَّهِ لِنتَ لَهُمْ ۖ وَلَوْ كُنتَ فَظًّا غَلِيظَ الْقَلْبِ لَانفَضُّوا مِنْ حَوْلِكَ
“Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu.”  (QS. Ar-Ra’d: 159)
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam juga memotivasi agar kita berlaku lemah lembut di segala hal.
إن الله رفيق يحب الرفق في الأمر كله
Sesungguhnya Allah  yang Maha Lembut mencintai kelembutan di semua urusan. (HR. Bukhari no. 6927)
Syaikh Abdul Karim Zaidan Rahimahullah -seorang pakar fiqih dan da’i berkebangsaan Yaman yang tinggal di Iraq- mengatakan:
Lemah lembut adalah sikap yang selalu dicintai Allah maka sepatutnya seorang muslim mencintainya dan merealisasikannya di setiap urusannya. Sebab, apa yang dicintai Allah selayaknya juga dicintai seorang muslim dan dia dilaksanakan.
(Syaikh Abdul Karim Zaidan, As-Sunan Al-Ilahiyah fil Umam wal Jama’at wal Afrad fisy Syari’ah Al-Islamiyah, Hal. 283. Cet. 1, 1993. Muasasah Ar-Risalah)
Namun demikian lemah lembut tidak selamanya tepat, tergantung konteks dan situasinya.
Syaikh Abdul Karim Zaidan menjelaskan:
Lemah lembut yang dicintai Allah Ta’ala adalah yang bukan mengakibatkan melanggar hak-hak Allah Ta’ala, jika kelembutan dampaknya seperti itu maka itu tidak boleh dan bukan kelembutan yang disukai, justru itu mendapatkan kemurkaan.
Allah Ta’ala berbicara kepada orang-orang mukmin tentang pelaksanaan hukuman terhadap zina:
 وَّلَا تَأْخُذْكُمْ بِهِمَا رَأْفَةٌ فِيْ دِيْنِ اللّٰهِ 
dan janganlah rasa belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama (hukum) Allah (QS. An-Nur 24: Ayat 2)
(Syaikh Abdul Karim Zaidan, As-Sunan Al-Ilahiyah fil Umam wal Jama’at wal Afrad fisy Syari’ah Al-Islamiyah, Hal. 284)
Semoga Allah Ta’ala menganugerahkan kepada kita sifat lemah lembut kepada sesama muslim, dan menempatkan kelembutan dan tegas secara tepat proporsional.
Wallahul Muwaffiq Ilaa Aqwamith Thariq
✍ Farid Nu’man Hasan

Shalat; Terminal Ruhani Bagi Jiwa Orang-Orang Mukmin

Al-‘Allamah Syaikh Yusuf Al-Qaradhawi Rahimahullah berkata:

الصلاة هي العبادة اليومية التي تجعل المسلم دائما على موعد مع الله، كلما غرق لجج الحياة جاءت الصلاة فانتشلته، وكلما أنسته مشاغل الدنيا ربه جاءت الصلاة فذكرته، وكلما غشيه دنس الذنوب، أو غبر قلبه تراب الغفلة جاءت الصلاة فطهرته، فهي الحمام الروحي الذي تغتسل فيه الأرواح وتتطهر فيه القلوب كل يوم خمس مرات، فلا يبقى من درنها شيء

Shalat adalah ibadah harian yang membuat seorang muslim selalu berjumpa dengan Allah Ta’ala, tiap kali dirinya tenggelam dalam gejolak kehidupan maka datanglah shalat untuk mengangkatnya.

Tiap kali kesibukan dunia melupakan dirinya dari Tuhannya, maka shalat datang mengingatkan dirinya

Tiap kali dirinya tertutup oleh kotoran dosa, atau hatinya dipenuhi debu kelalaian, shalat pun datang mensucikannya

Shalat adalah tempat pemandian bagi jiwa, yang di dalamnya memandikan jiwa-jiwa dan mensucikan hati-hati manusia, setiap hari sebanyak lima kali, sehingga tidak ada sedikitpun kotoran yang tersisa padanya.

Syaikh Yusuf al-Qaradhawi, Fiqhush Shalah, hal. 6. Ad Dar Asy Syamiyah, Turki

✍ Farid Nu’man Hasan

Istihalah dan Istihlak

◼◽◼◽◼◽

✉️❔PERTANYAAN:

Bismillah. Ustadz Farid Hafidzahullah. Apa itu katalisator, istihalah & istihlak dll. Syukran jazakallah..

❕JAWABAN

Bismillahirrahmanirrahim

Dalam fiqih, proses berubahnya zat dikenal dengan ISTIHALAH dan ISTIHLAK

1. Istihalah, adalah perubahan suatu zat menjadi zat baru yg sama sekali berbeda.

Seperti khamr menjadi cuka. Dalam madzhab Hanafi ini dibenarkan dan menjadi halal. Baik perubahan itu secara alami, atau dibantu oleh alat atau zat lain (buatan). Imam Abu Ja’far Ath Thahawi mengatakan jika seekor bangkai jatuh di atas garam yg dijemur, lalu lama kelamaan bangkai itu lenyap dan menyatu dgn garam maka tetap halal sebab bangkai itu berubah menjadi wujud baru yg sudah tidak lagi najis dan haram.

Adapun dalam madzhab Syafi’i, Istihalah hanya boleh jika secara alami.

2. Istihlak, yaitu perubahan wujud dengan cara mencampurkan zat haram dan najis, dengan zat halal dan suci dalam jumlah yang sangat banyak. Sehingga keberadaan yang haram dan najis itu pun lenyap atau sangat sedikit sehingga bisa diabaikan, karena sudah tidak ada warna, rasa, dan baunya. Ini pun halal.

Inilah yang mendasari sebagian ulama Kontemporer membolehkan obat cair yang mengandung alkohol sgt sedikit, 0,5-1% misalnya, sebab kadar seperti itu tidak berpengaruh apa-apa dan bisa diabaikan.

Nah, untuk yg antum tanyakan.. Bisa dinilai sendiri jenis yang mana. Jika masih ada baunya, maka belum dikatakan suci dan mensucikan.

Wallahu A’lam

Farid Nu’man Hasan

Membaca Al Fatihah Sebelum Berdoa

 ❔ Pertanyaan

Mau tanya, saya lihat video ada seorg Syekh dari Saudi ceramah pake bhs Inggris yang membid’ahkan membaca Al Fatihah sebelum doa, atau untuk mayit,.. Apakah benar bid’ah? (IH)


️❕ Jawaban

Bismillahirrahmanirrahim…

Alangkah baiknya seorang ‘alim, syaikh, da’i, muballigh, dalam berdakwah memperhatikan kondisi fiqih yang dianut di mana dia berada atau berdakwah. Jika seorang da’i dari Indonesia berkunjung ke Arab Saudi, maka pahamilah fiqih di sana dan hargailah itu. Jika seorang da’i dari Arab Saudi ke Indonesia, juga hendaknya demikian, pahami fiqih yang umum terjadi di Indonesia dan hargai itu.

Imam Al Qarafi memberikan nasihat:

إذا جاءك رجل من غير أهل إقليمك يستفتيك لا تجره على عرف بلدك واسأله عن عرف بلده وأجره عليه وأفته به دون عرف بلدك ودون المقرر في كتبك فهذا هو الحق الواضح  والجمود على المنقولات أبدا ضلال في الدين وجهل بمقاصد علماء المسلمين والسلف الماضين “

Jika datang kepadamu seorang dari luar daerahmu untuk meminta fatwa kepadamu, janganlah kamu memberikan hukum kepadanya berdasarkan adat kebiasaan yang berlaku di daerahmu, tanyailah dia tentang adat kebiasaan yang terjadi di daerahnya dan hargailah itu serta berfatwalah menurut itu, bukan berdasarkan adat kebiasaan di daerahmu dan yang tertulis dalam kitabmu. Itulah sikap yang benar dan jelas. Sedangkan sikap selalu statis pada teks adalah suatu kesesatan dalam agama dan kebodohan terhadap tujuan para ulama Islam dan generasi salaf pendahulu.
(Al Furuq, 1/176-177)

Begitu elok Syaikh As Sudais, ketika Beliau menjadi imam di Istiqlal, Beliau mengeraskan bacaan basmalah di surat Al Fatihah, sebagaimana kebiasaan umumnya di Indonesia. Padahal biasanya Beliau melirihkan suara basmallahnya. Inilah yang seharusnya dipahami oleh Syaikh yang ditanyakan saudara penanya.

Tentang membaca Al Fatihah sebelum berdoa, itu memang menjadi kebiasaan di Indonesia bahkan juga banyak di negeri lain. Secara fiqih pun diakui oleh para ahli ilmu. Sebab, salah satu adab berdoa adalah memulai dengan puji-pujian kepada Allah Ta’ala, dan pujian paling sempurna adalah yang ada pada surat Al Fatihah.

Syaikh Abdullah Al Faqih, penanggungjawab Fatawa Asy Syabakah Al Islamiyah dan juga murid Syaikh Utsaimin, menjelaskan begini:

وأما الابتداء في دعائك بالفاتحة، فلا حرج عليك فيه؛ لأن الفاتحة تشتمل على الثناء على الله تعالى، وتمجيده، كما في صحيح مسلم وتقديم الثناء في الدعاء محمود في الدعاء، ولكنه لا ينبغي التزامك بما لم يثبت في السنة الالتزام به؛ لئلا يوقعك في البدعة الإضافية

Ada pun permulaan doamu dengan membaca surat Al Fatihah, maka itu TIDAK APA-APA, karena Al Fatihah mencakup pujian kepada Allah Ta’ala, dan  memuliakanNya, sebagaimana tertera dalam Shahih Muslim. Memulai pujian dalam berdoa adalah hal yang terpuji dalam doa, tetapi hendaknya hal itu tidak dijadikan kebiasaan karena tidak ada dalam sunnah, agar terhindar dari bid’ah idhafiyah. (fatwa No. 256792)

Dalam fatwa Lajnah al Ifta, Jordania, tertulis sbb:

قراءة الفاتحة – بعد الدعاء أو قبله – بقصد التوسل لقبول الدعاء أمر مشروع ولا حرج فيه، وذلك لسببين اثنين:
الأول: أن التوسل بالقرآن الكريم هو توسل بصفة من صفات الله تعالى، والتوسل بصفات الله عز وجل مشروع باتفاق العلماء.
الثاني: أن التوسل بتلاوة الفاتحة توسل بعمل صالح، وهو أيضا مشروع باتفاق العلماء، واختيار سورة الفاتحة خاصة له وجه مقبول شرعا؛ وذلك لأنها أم الكتاب، وتجتمع فيها جميع معاني القرآن العظيم. والله أعلم.

Membaca Al Fatihah sebelum doa atau setelah nya dgn maksud ber tawassul agar doa dikabulkan adalah perkara yg disyariatkan, tidak apa-apa. Hal ini ada dua alasan:

1. Tawassul dengan Al Quran termasuk tawassul dengan sifat sifat Allah, dan itu hal yg masyru’ (disyariatkan) sesuai kesepakatan ulama.

2. Tawassul dengan membaca Al Fatihah termasuk tawassul dengan amal shalih, dan ini juga disepakati sebagai hal yg disyariatkan.

Dipilihnya surat Al Fatihah secara khusus juga sisi yg diterima secara syar’i, karena Al Fatihah adalah Ummul Kitab, di dalamnya terkumpul semua makna Al Quran yang agung. Wallahu a’lam. (Selesai)

Ada pun tentang membaca Al Fatihah -atau surat lainnya-  dihadiahkan buat orang yang sudah wafat, itu diperselisihkan para ulama namun pendapat mayoritas salaf adalah boleh dan sampai.

Ini pendapat MAYORITAS salaf dan Imam Ahmad. (Syaikh Abdullah Al Bassam, jilid. 2, hal. 19. Dar Ibnul Jauzi, Kairo. 2011)

Dari imam yang empat, tiga imam mengatakan sampai, hanya satu yang mengatakan tidak yaitu Imam Asy Syafi’i. (Misbahuzh Zhalam Syarh Bulugh Al Maram, jilid. 2, hal. 27-28, Darul Hadits, 2014 M)

Namun, para ulama Syafi’iyyah sendiri memilih hal itu sampai dan bermanfaat. Dalam Fathul Mu’in tertulis:

أما القراءة فقد قال النووي في شرح مسلم :  المشهور من مذهب الشافعي أنه لا يصل ثوابها إلى الميت وقال بعض أصحابنا يصل ثوابها للميت بمجرد قصده بها ولو بعدها وعليه الأئمة الثلاثة واختاره كثيرون من أئمتنا واعتمده السبكي وغيره

Ada pun membaca Al Quran (buat mayit), berkata An Nawawi dalam Syarh Muslim: “Yang MASYHUR dari mazhab Syafi’i adalah tidak sampai pahalanya.”  Sebagian sahabat kami (Syafi’iyyah) berkata: sampai pahalanya kepada mayit jika semata-mata dimaksudkan kepadanya walau dilakukan setelah wafatnya. Inilah yang dianut oleh tiga imam, dan DIPILIH (MUKHTAR) oleh mayoritas imam-imam kami, dan dipegang oleh As Subki dan lainnya. (Imam Zainuddin Al Malibari, Fathul Mu’in, jilid. 1, hal. 432)

Imam Ibnu Rusyd: umumnya ulama timur dan barat mengatakan sampai, dan ini sudah berlangsung sejak masa salaf. (Hasyiyah Ad Dusuqi, jilid. 1, hal. 434)

Imam Ibnu Taimiyah berkata:

وَتَنَازَعُوا فِي وُصُولِ الْأَعْمَالِ الْبَدَنِيَّةِ: كَالصَّوْمِ وَالصَّلَاةِ وَالْقِرَاءَةِ. وَالصَّوَابُ أَنَّ الْجَمِيعَ يَصِلُ إلَيْهِ

Mereka (para ulama) berselisih pendapat ttg sampainya amal badaniyah (utk orang wafat) seperti puasa, shalat, dan baca Al Quran. Yang BENAR semua ini SAMPAI kepadanya.  (Majmu’ Al Fatawa, jilid. 24, hal. 366. Majma’ Al Malik Fahd, Madinah. 1995 M)

Semoga hal ini dapat memberikan penjelasan dan manfaat bagi yang menginginkan kebaikan.

Demikian. Wallahu A’lam

✍ Farid Nu’man Hasan

scroll to top