Mengapa Ajaran Islam Butuh Ijma’?

✉️❔ Pertanyaan

Mohon pencerahannya :
1. Apa artinya Al Qur’an dan Hadist tidak sempurna sehingga masih butuh Ijma manusia (ulama) ?
2. Bgmn mensikapi hasil ijma ulama bahkan ijtihad ulama yg ditolak oleh kelompok yang mengajak “kembali ke Qur’an dan Hadits ?”

❕ Jawaban

Bismillahirrahmanirrahim..

Ijma’, sebagai hujjah karena Allah Ta’ala memerintahkannya dalam firmanNya:

وَمَن يُشَاقِقِ ٱلرَّسُولَ مِنۢ بَعۡدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ ٱلۡهُدَىٰ وَيَتَّبِعۡ غَيۡرَ سَبِيلِ ٱلۡمُؤۡمِنِينَ نُوَلِّهِۦ مَا تَوَلَّىٰ وَنُصۡلِهِۦ جَهَنَّمَۖ وَسَآءَتۡ مَصِيرًا

Dan barangsiapa menentang Rasul (Muhammad) setelah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan dia dalam kesesatan yang telah dilakukannya itu dan akan Kami masukkan dia ke dalam neraka Jahanam, dan itu seburuk-buruk tempat kembali.

(QS. An-Nisa’, Ayat 115)

Allah Ta’ala memerintahkan jalannya orang-orang beriman, khususnya lagi ahli ilmu:

فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ

Maka bertanyalah kepada ahludz dzikri (orang yang mempunyai pengetahuan) jika kamu tidak mengetahui. (Qs. An Nahl: 43)

Berkata Imam Al-Qurthubi Rahimahullah dalam kitab tafsirnya:

وقال ابن عباس: أهل الذكر أهل القرآن وقيل: أهل العلم، والمعنى متقارب

Berkata Ibnu ‘Abbas: “Ahludz Dzikri adalah Ahlul Quran (Ahlinya Al Quran), dan dikatakan: Ahli Ilmu (ulama), makna keduanya berdekatan.”

(Imam Al Qurthubi, Al Jami’ Li Ahkamil Quran, Juz. 10, Hal. 108)

Berhujjah dengan ijma’ para ulama, adalah perintah Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam:

إن الله تعالى لا يجمع أمتي على ضلالة وَيَدُ اللَّهِ مَعَ الْجَمَاعَة

“Sesungguhnya Allah Ta’ala tidaklah meng-ijma’kan umatku dalam kesesatan, dan tangan Allah bersama jamaah.” (HR. At Tirmidzi No. 2255, Shahih, Shahihul Jami’ No 1848)

Dan, orang-orang yang mengingkari ijma’ adalah penghancur dasar-dasar agama, sebagaimana kata Imam As Sarkhasi dalam kitab Ushul-nya:

“Orang-orang yang mengingkari keberadaan ijma sebagai hujjah , maka mereka telah membatalkan ushuluddin (dasar-dasar agama), padalah lingkup dasar-dasar agama dan referensi umat Islam adalah ijma’nya mereka, maka para munkirul ijma (pengingkar ijma’) merupakan orang-orang yang merobohkan dasar-dasar agama.” (Ushul As Sarkhasi, 1/296. Darul Kutub Al ‘Ilmiyah)

Demikian. Wallahu a’lam

✏ Farid Nu’man Hasan

Biografi Hujjatul Islam, Imam Al Ghazali rahimahullah

1 Nama dan Kelahirannya

Imam Adz-Dzahabi mengatakan, Beliau adalah Abu Hamid, Muhammad bin Muhammad bin Muhammad bin Ahmad Ath-Thusi Asy-Syafi’i Al-Ghazali.
(Siyar A’lam an Nubala’, jilid. 14, hal. 267)
Lahir di daerah Thus, tahun 450 H. (Ibnu Qadhi Syuhbah, Thabaqat Asy Syafi’iyah, jilid. 1, hal. 293)
Az-Zirikli mengatakan lahir dan wafat di Thabiran (sektor kota Thus, di Khurasan), lahir 450 H, wafat 505H. (Az-Zirikli, Al-A’lam, jilid. 7, hal. 22)

2 Julukan dan Gelar untuknya

Beliau memiliki banyak gelar karena keilmuan dan keshalihannya. Disemua biografinya selalu menyebut dengan HUJJATUL ISLAM, yang artinya hujjahnya Islam, maksudnya pandangan-pandangan Beliau sangat dihormati dan dijadikan pegangan oleh umat Islam baik ulama dan orang awamnya.
Sementara Adz-Dzahabi menyebutnya dengan:
– Al Imam Al Bahr, Imam yang ilmunya luas bagaikan lautan
– Hujjatul Islam
– U’jubatuz zaman (keajaiban di zamannya)
– Zainuddin (perhiasan agama)
– Adz-Dzaka’ Al-Mufrith (kecerdasannya di atas rata-rata)
(Siyar A’lam an Nubala’, jilid. 14, hal. 267)
Az-Zirikli menyebutnya failusuf (ahli filsafat) dan mutashawwif (ahli tasawuf). (Al-A’lam, jilid. 7, hal. 22)

3 Keilmuannya dan Kedudukannya

Imam Adz-Dzahabi menceritakan, bahwa Imam Al-Ghazali belajar fiqih pertama kali di negerinya sendiri, lalu ke Naisabur, di sana membersamai sekelompok para penuntut ilmu lalu mondok secara intensif kepada Imam Al Haramain (yaitu Abu Al-Ma’ali Al-Juwaini), Beliau mampu menguasai ilmu fiqih dalam waktu yang singkat, mahir dalam ilmu kalam dan perdebatan, bahkan menjadi yang paling menonjol di antara para debator. Beliau mempercayakan kepada murid-muridnya  (untuk menghadap mereka) dan banyak menyusun buku. Gurunya (Abu Al Ma’ali) begitu kagum kepadanya, dan sangat membanggakannya.
Lalu Abu Hamid pergi ke tenda Sultan, dia disambut oleh mentri Nizham Al Mulk, dia sangat senang atas kehadirannya, di sana Al Ghazali terlibat perdebatan dengan ulama besar, dan mentri terkesan dengannya, dan hal ini tersebar ke mana-mana. An Nizham memberikan tanggung jawab kepada Al Ghazali utk mengajar di pondok An Nizhamiyah di Baghdad. Dia datang setelah tahun 480H, umurnya sekitar 30 tahun. Beliau menyusun banyak karya tulis baik dalam Ushul, Fiqih, Kalam, dan berbagai hikmah. (Siyar A’lam an Nubala’, jilid. 14, hal. 267)
Imam Ibnu Katsir menceritakan bahwa saat Imam Al-Ghazali pada posisi puncak karena keilmuannya, dan namanya terkenal seantero dunia Islam, justru dia mengundurkan diri dari semua itu. Dia meninggalkan tugas-tugasnya, meninggalkan aktivitas mengajar, dan dia lebih serius untuk ibadah, zuhud, membersihkan hati, dan keluar menuju Hijaz tahun 488H, dia haji lalu kembali ke Damaskus, dan tinggal di sana 10 tahun, di sana berkumpul dengan seorang ahli fiqih Nashr Al Maqdisi di Zawiyah (mushalla kecil)-nya yang dikenal hari ini dengan Al Ghazaliyah. Di sana dia tekun ibadah dan menyusun karya. Dikatakan bahwa kitab Ihya ‘Ulumuddin dan sejumlah kitab yang lainnya disusun di Damaskus, lalu dia pindah ke Al Quds, lalu ke Mesir dan Iskandariyah, dia punya keinginan kuat mengunjungi raja Maghrib (Maroko) yaitu Yusuf bin Tasyifin di Marokisy, namun sampai kepadanya berita kematian raja tersebut maka dia kembali ke kampung halamannya, Thus, dengan akhlak yang luhur, jiwa yang ridha, tenang, dan dianugerahi lautan ilmu baik ushul, furu’, syar’iyah, dan lain-lainnya yang termasuk ilmu orang-orang awal. Beliau mengumpulkan semua ilmu dan menulis karya tentangnya kecuali Nahwu karena dia tidak spesialis di situ, begitu juga hadits. Al Ghazali berkata: Aku mengkombinasikan berbagai materi dalam ilmu hadits. Dia mukim di negerinya dalam waktu yg panjang untuk fokus menulis, ibadah, tilawah, dan tidak berkumpul dengan manusia.
(Imam Ibnu Katsir, Thabaqat Asy Syafi’iyyin, jilid. 1, hal. 534-535)
Menurut Az-Zirikli, karya tulisanya mencapai 200 buah. Di antaranya:
– Ihya ‘Ulumuddin
– Tahafut Al Falasifah
– Al Iqtishad fil I’tiqad
– Mihakun Nazhar
– Ma’arij Al Quds fi Ahwalin Nafs
– Al Farq Bainash Shalih Wa Ghairush Shalih
– Maqashid Al Falasifah
– Al Madhnun biji ‘ala ghairi ahli
– Al Waqf wal Ibtida’ (tafsir)
– Al Basith (fiqih)
– Al Ma’arif Al ‘Aaliyah
– Al Munqidz minadh Dhalal
– Bidayah Al Hidayah
– Jawahirul Quran
– Fadhaaih Al Bathiniyah
– At Tabaruk Al Masbuk fi nashihati Al Muluk
– Al Mustashfa (Ushul Fiqh)
– Al Mankhul min ‘Ilmi Ushul
– Al Wajiz
– Yaqut At Ta’wil
– Asrarul Hajj
– Faishalut Tafriqah bainal Iman waz Zindiqah
– Dan masih banyak lainnya
(Al A’lam, jilid. 7, hal. 22)

4 Aqidahnya

Imam Al-Ghazali adalah seorang ulama sunni, yang mengikuti paradigma Imam Abu al-Hasan al-Asy’ari, dengan kata lain Beliau salah satu ulama Asya’irah.
Al Hafizh Ibnu ‘Asakir telah menyusun biografi para ulama Asya’irah, sejak generasi awal sampai di masanya, dan Imam Al-Ghazali termasuk di dalamnya yaitu Thabaqat al-Khamis (generasi-angkatan kelima). (Ibnu ‘Asakir, Tabyin Kadzib Muftari, hal. 542. Darut Taqwa, Damskus)
Salah satu bukti otentik Imam Al-Ghazali seorang Asy’ari adalah kitab aqidah yang Beliau susun, yaitu Qawa’id al-‘Aqaid. Dalam pasal At-Tanzih, Beliau menjelaskan -sebagaimana dikutip Ibnu ‘Asakir:
ولَيْسَ كمثله شَيْء ولاهو مثل شَيْء وَأَنه لَا يحده الْمِقْدَار وَلَا تحويه الأقطار وَلَا تحيط بِهِ الْجِهَات وَلَا تكتنفه الأرضون وَالسَّمَوَات
Tidaklah ada suatu apa pun yang menyerupai-Nya, Dia pun tidak serupa dengan suatu apa pun. Dia tidak dibatasi oleh ukuran, tidak pula dibatasi oleh semua penjuru wilayah, tidak diliputi oleh semua penjuru arah, dan tidak pula diliputi oleh semua sisi bumi dan langit.
وَأَنه اسْتَوَى على الْعَرْش على الْوَجْه الَّذِي قَالَه وبالمعنى الَّذِي أَرَادَهُ اسْتِوَاء منزها عَن المماسة والاستقرار والتمكن والحلول والانتقال .. 
Dia ber-istiwa di atas ‘arsy dengan cara yang Dia katakan, dengan makna yang Dia kehendaki, suci dari makna bersentuhan (dengan ‘arsy) dan menetap (di ‘arsy), bertempat tinggal, menyatu, dan berpindah
(Lihat Tabyin Kadzib al-Muftari, hal. 552)
Tentang fasal Kalam (berbicara):
وأنه تعالى متكلم آمر ناه، واعد متوعد بكلام أزلي قديم قائم بذاته، لا يشبه كلام الخلق، فليس بصوت يحدث من انسلال هواء أو اصطكاك أجرام، ولا بحرف ينقطع بإطباق شفة أو تحريك لسان
ِAllah Ta’ala berbicara, memerintah, melarang, menjanjikan, mengancam, dengan pembicaraan yang azali (sudah ada sejak belum adanya makhluk), qadim (terdahulu), Dia berdiri sendiri dengan zat-Nya, tidak serupa dengan pembicaraan makhluk, bukanlah dengan suara yang muncul dari masuknya udara atau benturan benda, tidak pula dengan huruf yang terputus dengan tertutupnya bibir atau gerakan lidah.
(Lihat Tabyin Kadzib al-Muftari, hal. 554)
Apa yang tertulis di atas, menunjukkan bahwa Imam Al-Ghazali seorang Asy’ari di sisi ta’wil kepada sifat. Sebagian peneliti -seperti Asy-Syaukani- mengatakan bahwa pada akhirnya Imam Al-Ghazali berubah dan mengikuti jalan salaf, yaitu tidak mentakwil, tapi tafwidh.  Imam Asy-Syaukani mengatakan:
“Mereka bertiga, yaitu Al-Juwaini, Al-Ghazali, dan Ar-Razi adalah orang-orang yang meluaskan dan memanjangkan cakupan takwil. Sebagaimana diketahui, akhirnya mereka kembali kepada mazhab salaf. Segala puji bagi Allah” (Irsyadul Fuhul, Jilid. 2, hal. 49)
Syaikh Al Qaradhawi dalam kitab Fushul fil ‘Aqidah bainas Salaf wal Khalaf juga mengatakan bahwa Imam Al Ghazali kembali ke mazhab Salaf dalam karyanya yang lain, Iljamul ‘Awwam ‘an ‘Ilmil Kalam.
Salaf yang dimaksud mereka adalah tafwidh (mengembalikan hakikat makna sifat kepada Allah), yang juga merupakan salah satu metode ulama Asya’irah sebagaimana yg dikatakan Imam Al-Bajuri (boleh juga Al-Baijuri) mengutip dari Al-Laqqani:
وكُلُّ نَصٍ أَوْهَمَ التَشْبِيْها أَوِّلْهُ أَوْ فَوِّضْ وَرُمْ تَنْزِيْهَا
“Setiap naṣ yang membawa kesan tasybih (penyerupaan dengan makhluk) ta’wīl-lah atau tafwīḍ-lah dan tetapkanlah kemahasucian Allah.” (Al-Bajuri, Tuhfatul Murid, hal. 156)
Artinya, Beliau tetap pada koridor Asya’irah.

5 Fiqihnya

Fiqihnya adalah Syafi’i. Para ulama penyusun kitab Thabaqat Syafi’iyyah (seperti Abu Syuhbah, Ibnu Katsir, dan As Subki) selalu memasukan Al Ghazali dalam deretan ulama mazhab Syafi’i, bahkan termasuk pembesarnya.
Namun demikian, Beliau tetap kritis walau terhadap mazhabnya sendiri. Dalam masalah air pada Bab Thaharah di Ihya ‘Ulumuddin, Beliau mengikuti mazhab Maliki dengan mengatakan, “Dalam masalah ini saya lebih tertarik pada pendapat mazhab Maliki”,  lalu Beliau mengemukakan tujuh dalil atas hal itu. Tentunya hal ini bisa dilakukan oleh ulama yang sudah taraf mampu ijtihad.
✍ Farid Nu’man Hasan

Penjelasan Hadits Tentang Tidak Ada Penyakit Menular

Pertanyaan

Assalamualaikum wr wb .

Ustadz mohon ijin bertanya, mohon penjelasan terkait kalimat “tidak ada penyakit menular” dalam hadits berikut:

Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu’alaihi wa sallam bersabda:

“Tidak ada penyakit menular, tidak ada dampak dari thiyarah, tidak ada kesialan karena burung hammah, tidak ada kesialan para bulan Shafar. Dan larilah dari penyakit kusta sebagaimana engkau lari dari singa” (HR. Bukhari no.5707)

Jazakallah khairan

Jawaban

Wa’alaikumussalam wa Rahmatullah wa Barakatuh
Hadits ini esensinya sdg membicarakan aqidah, bahwa segala keburukan tidaklah terjadi tanpa izin dan kehendak Allah Ta’ala.
Jika digabungkan dgn hadits-hadits lain, maka penyakit menular itu ada, misalnya:
Rasulullah ﷺ  bersabda:
 لَا يُورِدَنَّ مُمْرِضٌ عَلَى مُصِحٍّ
Jangan campur antara Unta yang sakit dengan Unta yang sehat. (HR. Bukhari no. 5771)
Hadits ini disampaikan oleh Abu Hurairah, lalu kata Abu Salamah:
و انكر أبو هريرة حديث الأول
Abu Hurairah mengingkari hadits yang awal (maksudnya hadits: “tidak ada penyakit menular”). (Shahih Bukhari, no. 5771)
Dalam Shahih Muslim, disebutkan oleh Abu Salamah: “Aku tidak tahu apakah Abu Hurairah lupa, ataukah hadits yang satu menasakh hadits yang lainnya?” (Shahih Muslim no. 2221)
Maka, kompromi yang bagus adalah bahwa penyakit menular itu ada tapi tidaklah itu terjadi kecuali atas izin Allah Ta’ala.
Namun demikian, bukan berarti seorang muslim melupakan upaya2 nyata untuk menghindari penyakit.
Wallahu A’lam
Farid Nu’man Hasan

 

Berperang Semata-mata Ingin Mendapatkan Bayaran

Pertanyaan

assalamualaikum wrb.
Pak, saya mau nanya. kita sebagai muslim bisa gk ikut berperang karena di bayar. tapi bukan karena membela negara, keluarga dan agama. ya lebih tepatnya karena uang atau mencari nafkah. apakah kalau kita sebagai muslim ikut berperang tersebut dan mati. apakah kita masih syahid? karena tujuan kita itu mati karena Mencari uang dalam berperang tetapi bukan membela dari pihak negara tersebut. karena kan sekarang lagi konflik antara russia dan ukraina. jadi ada pihak dari russia yang punya organisasi yang namanya wagner pmc yang membayar orang yang bergabung di situ dengan bayaran yang besar setiap bulanannya. dan saya tergiur dengan itu apakah sah ya pak? dalam agama kita dengan pertanyaan di atas tadi? (Medan)

Jawaban

Wa’alaikumussalam wa Rahmatullah wa Barakatuh

Bismillahirrahmanirrahim..

Salah satu syarat diterimanya amal shalih adalah hendaknya amal itu ikhlas, tulus, bukan karena tujuan dunia.

Allah Ta’ala berfirman:

الَّذِي خَلَقَ الْمَوْتَ وَالْحَيَاةَ لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلًا

“(Dialah) yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya…” (QS. Al Mulk (67): 2)

Siapakah yang paling baik amalnya?

Imam Ibnu Taimiyah Rahimahullah (w. 728H) mengutip dari Imam Al Fudhail bin ‘Iyadh (w. 187H) sebagai berikut:

قَالَ : أَخْلَصُهُ وَأَصْوَبُهُ فَقِيلَ : يَا أَبَا عَلِيٍّ مَا أَخْلَصُهُ وَأَصْوَبُهُ ؟ فَقَالَ : إنَّ الْعَمَلَ إذَا كَانَ صَوَابًا وَلَمْ يَكُنْ خَالِصًا لَمْ يُقْبَلْ . وَإِذَا كَانَ خَالِصًا وَلَمْ يَكُنْ صَوَابًا لَمْ يُقْبَلْ حَتَّى يَكُونَ خَالِصًا صَوَابًا . وَالْخَالِصُ : أَنْ يَكُونَ لِلَّهِ وَالصَّوَابُ أَنْ يَكُونَ عَلَى السُّنَّةِ . وَقَدْ رَوَى ابْنُ شَاهِينَ واللالكائي عَنْ سَعِيدِ بْنِ جُبَيْرٍ قَالَ : لَا يُقْبَلُ قَوْلٌ وَعَمَلٌ إلَّا بِنِيَّةِ وَلَا يُقْبَلُ قَوْلٌ وَعَمَلٌ وَنِيَّةٌ إلَّا بِمُوَافَقَةِ السُّنَّة

(Yaitu) “yang paling ikhlas dan paling benar.” Ada orang bertanya: “Wahai Abu Ali, apakah yang paling ikhlas dan paling benar itu?” Dia menjawab:

“Sesungguhnya amal itu, jika benar tetapi tidak ikhlas, tidak akan diterima. Dan jika ikhlas tetapi tidak benar, juga tidak diterima. Sampai amal itu ikhlas dan benar. Ikhlas adalah menjadikan ibadah hanya untuk Allah, dan benar adalah sesuai dengan sunah. Ibnu Syahin dan Al Lalika’i meriwayatkan dari Said bin Jubeir, dia berkata: “Tidak akan diterima ucapan dan amal perbuatan, kecuali dengan niat, dan tidak akan diterima ucapan, perbuatan dan niat, kecuali bersesuaian dengan sunah.” (Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, Majmu’ Fatawa, 6/345)

Dalam hadits, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam juga memberikan peringatan, dari Ubai bin Ka’ab Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

فَمَنْ عَمِلَ مِنْهُمْ عَمَلَ الْآخِرَةِ لِلدُّنْيَا لَمْ يَكُنْ لَهُ فِي الْآخِرَةِ نَصِيبٌ

“Barangsiapa diantara mereka beramal amalan akhirat dengan tujuan dunia, maka dia tidak mendapatkan bagian apa-apa di akhirat.”

(HR. Ahmad No. 20275. Imam Al Haitsami mengatakan: diriwayatkan oleh Ahmad dan anaknya dari berbagai jalur dan perawi dari Ahmad adalah shahih, Majma’ Az Zawaid 10/220. Darul Kutub Al ‘Ilmiyah)

Maka dari itu jika seseorang berperang hanya karena bertujuan bayaran atau harta rampasan perang, maka dia tidak mendapatkan apa-apa di akhirat, sia-sia, bahkan kebalikannya dia berdosa dan mendapatkan siksa.

Allah Ta’ala berfirman:

مَنْ كَانَ يُرِيدُ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا وَزِينَتَهَا نُوَفِّ إِلَيْهِمْ أَعْمَالَهُمْ فِيهَا وَهُمْ فِيهَا لا يُبْخَسُونَ (15) أُولَئِكَ الَّذِينَ لَيْسَ لَهُمْ فِي الآخِرَةِ إِلا النَّارُ وَحَبِطَ مَا صَنَعُوا فِيهَا وَبَاطِلٌ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ (16)

“Barangsiapa yang menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, niscaya Kami berikan kepada mereka Balasan pekerjaan mereka di dunia dengan sempurna dan mereka di dunia itu tidak akan dirugikan.

Itulah orang-orang yang tidak memperoleh di akhirat, kecuali neraka dan lenyaplah di akhirat itu apa yang telah mereka usahakan di dunia dan sia-sialah apa yang telah mereka kerjakan.” (QS. Hud (11): 15-16)

Bahkan dalam hadis dari Abu Hurairah yang diriwayatkan Imam Muslim, An-Nasa’i, Imam Ahmad dan Baihaqi dijelaskan, orang pertama yang dipanggil menghadap Allah. Ia seorang pria yang mati syahid. Saat di Yaumul hisab, Allah Ta’ala bertanya, “Apa yang telah kau lakukan dengan berbagai nikmat itu?” Mujahid itu menjawab, “Saya telah berperang karena-Mu sehingga saya mati syahid.”

Allah Ta’ala pun menyangkalnya, “Kau berdusta. Kau berperang agar namamu disebut manusia sebagai orang pemberani. Dan ternyata kamu telah disebut-sebut demikian.” Mujahid itu pun diseret wajahnya dan dilempar ke jahanam.

Oleh karenanya, jika seseorang ingin berjihad maka lakukanlah untuk meninggikan kalimat Allah Ta’ala, meninggikan Islam, atau yang diperintahkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaih Wa Sallam untuk dibela dan menjadi mati syahid jika mati membelanya seperti mati melindungi keluarga, agama, kehormatan, dan hartanya.

Ada pun tentara reguler yang ada di sebuah negeri muslim, mereka mencintai tanah airnya, dan mereka digaji bulanan, lalu mereka berjihad membela negerinya yang merupakan salah satu bumi Allah Ta’ala, maka “gaji” bulanan tersebut tidaklah sama dengan orang yang berperang semata-mata mengincar bayaran seperti tentara bayaran. Sebab gaji itu adalah hak mereka sebagaimana pegawai negara, dan hak yg mereka terima tidak dimaknai menganulir ketulusan mereka dalam membela agama, atau negerinya.

Demikian. Wallahu A’lam

✍ Farid Nu’man Hasan

scroll to top