“Dendam” Para Penghuni Surga

PERTANYAAN:

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Mau tanya sehubungan dengan ” DENDAM PARA PENGHUNI SYURGA “.
Ayat-ayat Al-Qur’an yang berkaitan dengan hal ini : Al a’raf ( 42-43 ) , Al Hijr ( 45-50 ).

Pertanyaannya :

Apakah berarti orang yg hingga meninggal dunia tetap BOLEH, HALAL untuk menyimpan dendam di hatinya ( atas perbuatan dzolim orang jahat atas dirinya namun ia tak kuasa untuk membalasnya sewaktu hidup di dunia ) dan ia tetap berkesempatan untuk terdaftar sebagai golongan ahli syurga ?

Karena seringkali para da’i mubaligh yang MENGANJURKAN supaya ikhlas hati, tak boleh menyimpan dendam meskipun ia tersakiti, terdzolimi sewaktu hidupnya di dunia… ( ?? ).

Contoh kasusnya misalnya :
Pembunuhan, warga sipil, anak anak, wanita, orang tua dll yg tewas terbunuh dalam perang.
Penindasan oleh penguasa yang dzolim.

Harta miliknya yang dirampas oleh penjahat, penjajah, maling, koruptor, penipu, dsb..

Ditinggalkan oleh pasangan hidupnya begitu saja menghilang entah dimana rimbanya

Orang yang berhutang sengaja kabur tak membayar.

DLL…

Terimakasih.


JAWABAN

Wa’alaikumussalam wa Rahmatullah wa Barakatuh

Ayat-ayat tersebut menceritakan sifat penghuni surga yang memang berbeda dengan manusia saat di dunia, yaitu tidak memiliki rasa dendam. Berbeda dengan penghuni dunia banyak sifat-sifat manusiawi masih terinstall seperti dendam, cemburu, iri, dll.

Ayat-ayat Itu sama sekali tidak membicarakan tentang bolehnya dendam sepanjang hayat di dunia. Ayat-ayat itu membicarakan Allah Ta’ala mencabut sifat pendendam yang biasa ada dalam diri manusia di dunia.

اي اذهبنا في الجنة ما كان غي قلوبهم من الغل في الدنيا

Yaitu kami hilangkan di surga rasa “ghil” di hati mereka saat dahulu di dunia. (Al Qurthubi, 7/208)

Cemburu pun sudah tidak ada, ketika seorang laki-laki disediakan bidadari di surga, apakah lantas istrinya di dunia cemburu? Tidak. Karena cemburu, bukan sifat wanita surga. Kata-kata yang keluar dari mereka adalah ridha dan kedamaian.

Ada pun membalas kejahatan para penjajah, seperti zionis, atau pembegal itu bukan karena dendam, tapi karena Allah Ta’ala mengizinkan membela diri, sebab Islam selain agama damai juga agama wibawa dan kehormatan sekaligus.

Allah Ta’ala mengizinkan melakukan perlawanan bagi orang-orang yang teraniaya:

أُذِنَ لِلَّذِينَ يُقَٰتَلُونَ بِأَنَّهُمۡ ظُلِمُواْۚ وَإِنَّ ٱللَّهَ عَلَىٰ نَصۡرِهِمۡ لَقَدِيرٌ

Diizinkan (berperang) kepada orang-orang yang diperangi, karena sesungguhnya mereka dizhalimi. Dan sungguh, Allah Mahakuasa menolong mereka itu, -Surat Al-Hajj, Ayat 39

Dalam ayat lain، Allah Ta’ala membolehkan membalas kejahatan dengan hal yang setimpal, namun memaafkan dan berdamai lebih baik:

وَجَزَٰٓؤُاْ سَيِّئَةٖ سَيِّئَةٞ مِّثۡلُهَاۖ فَمَنۡ عَفَا وَأَصۡلَحَ فَأَجۡرُهُۥ عَلَى ٱللَّهِۚ إِنَّهُۥ لَا يُحِبُّ ٱلظَّٰلِمِينَ

Dan balasan suatu kejahatan adalah kejahatan yang setimpal, tetapi barangsiapa memaafkan dan berbuat baik (kepada orang yang berbuat jahat) maka pahalanya dari Allah. Sungguh, Dia tidak menyukai orang-orang zhalim. -Surat Asy-Syura, Ayat 40

Allah Ta’ala juga mengizinkan bagi korban kezaliman untuk berkata-kata keras kepada pelaku kezaliman tersebut:

۞لَّا يُحِبُّ ٱللَّهُ ٱلۡجَهۡرَ بِٱلسُّوٓءِ مِنَ ٱلۡقَوۡلِ إِلَّا مَن ظُلِمَۚ وَكَانَ ٱللَّهُ سَمِيعًا عَلِيمًا

Allah tidak menyukai perkataan buruk, (yang diucapkan) secara terus terang kecuali oleh orang yang dizhalimi. Dan Allah Maha Mendengar, Maha Mengetahui. -Surat An-Nisa’, Ayat 148

Namun demikian Islam juga mengajarkan tidak berlebihan, sebab berlebihan tanda adanya dendam..

وَقَٰتِلُواْ فِي سَبِيلِ ٱللَّهِ ٱلَّذِينَ يُقَٰتِلُونَكُمۡ وَلَا تَعۡتَدُوٓاْۚ إِنَّ ٱللَّهَ لَا يُحِبُّ ٱلۡمُعۡتَدِينَ

Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu, tetapi jangan melampaui batas. Sungguh, Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas. -Surat Al-Baqarah, Ayat 190

Demikian. Wallahu A’lam

Farid Nu’man Hasan

Memahami Atsar Tentang Waktu Sahur

Pertanyaan

Assalamualaikum..semoga ustadz sehat selalu.aamin

izin bertanya ustadz terkait beberpa atsar sahabat dibawa ini yg kemudian dijadikan sebagai dalil boleh sahur meskipun sudah azan subuh /terbit fajar shodiq..merka menjadikan atsar sahabt ini sebagai penguat bahwa yg dimaksud dlm hadits bukhari itu adalah azan kedua bukan azan pertama…mohon penjelasannya ustadz .jazakallahu khairan sebelumnya .

Imam al-Daruquthni meriwayatkan di dalam Sunannya (no: 2186) dengan sanad yang shahih dari Salim bin Ubaid radhiyallahu ‘anhu beliau mengatakan:

كُنْتُ فِي حِجْرِ أَبِي بَكْرٍ الصِّدِّيقِ فَصَلَّى ذَاتَ لَيْلَةٍ مَا شَاءَ اللَّهُ , ثُمَّ قَالَ: اخْرُجْ فَانْظُرْ هَلْ طَلَعَ الْفَجْرُ؟،  قَالَ: فَخَرَجْتُ ثُمَّ رَجَعْتُ، فَقُلْتُ: قَدِ ارْتَفَعَ فِي السَّمَاءِ أَبْيَضُ، فَصَلَّى مَا شَاءَ اللَّهُ، ثُمَّ قَالَ: اخْرُجْ فَانْظُرْ هَلْ طَلَعَ الْفَجْرُ؟، فَخَرَجْتُ ثُمَّ رَجَعْتُ فَقُلْتُ: لَقَدِ اعْتَرَضَ فِي السَّمَاءِ أَحْمَرُ، فَقَالَ: هَيْتَ الْآنَ فَأَبْلِغْنِي سَحُورِي

Artinya:

Suatu ketika di satu malam, aku berada di dalam bilik Abu Bakar al-Shiddiq, beliau shalat di dalam itu dengan jumlah raka’at yang Allah kehendaki dapat beliau lakukan. Kemudian beliau mengatakan: “keluar dan lihatlah, apakah sudah terbit fajar?”. Akupun keluar kemudian aku kembali, aku katakan: “telah naik tinggi berwarna putih”. Beliaupun melanjutkan shalatnya sebanyak jumlah raka’at yang Allah kehendaki mampu beliau lakukan. Kemudian beliau mengatakan lagi: “keluar dan lihatlah apakah fajar telah terbit?”. Aku pun keluar kemudian aku kembali dan aku katakan: “telah menyebar di langit berwarna merah”. Kemudian (Abu Bakar al-Shiddiq) mengatakan: sekarang waktunya, hidangkan kepadaku makan sahurku!

Ibnu Abi Syaibah di dalam Mushannafnya (no: 8930) dan al-Bukhari secara mukhtashar di dalam Tarikh Kabirnya (no: 301)  meriwayatkan dengan sanad yang hasan dari Abu ‘Aqil Hibban bin Haris, ia mengatakan:

تَسَحَّرْتُ مَعَ عَلِيٍّ ثُمَّ أَمَرَ الْمُؤَذِّنَ، أَنْ يُقِيمَ

Artinya:

Aku bersantap sahur bersama Ali (bin Abi Thalib) kemudian beliau memerintahkan mu’adzin untuk mengumandangkan iqamah.

demikian ustadz.


Jawaban

Wa’alaikumussalam wa Rahmatullah wa Barakatuh

Atsarnya shahih, tapi pemahamannya yg perlu dikritisi..

Dalam atsar Abu Bakar tersebut disebutkan langit itu Ahmar (memerah), padahal subuh itu jika langit itu ASFARA (menguning/terang)..

ثم جاءَهُ لِلصُّبْحِ حِينَ أَسْفَرَ جِدًّا فصل فصلى العشاءفَصَلَّى الصُّبْحَ “

Kemudian dia (Jibril) mendatanginya untuk Shalat Shubuh ketika langit terang/asfara, lalu dia berkata, ‘Bangunlah dan shalatlah!’ maka beliau (Rasulullah) melaksanakan Shalat Shubuh.”  (HR. An Nasa’i No. 526, Ahmad No. 14011, shahih)

Artinya, apa yang dilakukan oleh Abu Bakar Radhiyallahu ‘Anhu adalah sebelum fajar shadiq, inilah pemahaman 4 madzhab.

Atsar-atsar ini perlu penjelasan ulama, bukan penjelasan diri sendiri. Tidak mungkin pula 4 madzhab sepakat dalam kesalahan dalam memahaminya.

Termasuk Atsar dari Abi Aqil bin Haris di atas. Imam Ibnu Abi Syaibah memasukkan dalam Bab Man Kana Yastahibbu ta’khir As Sahuur (Siapa yang menyukai mengakhirkan makan sahur). Bukan bab tentang bolehnya makan sahur saat azan subuh.

Bab tersebut banyak sekali riwayat tentang ta’khir sahur, dan tidak satu pun menyebutkan setelah berkumandang azan. Jika 1 saja yg nampak “beda” maka mesti ditawfiq (kompromi) dgn yg lain., sehingga riwayat tersebut tidak bertentangan.

Imam An Nawawi Rahimahullah menjelaskan:

ذكرنا أن من طلع الفجر وفي فيه (فمه) طعام فليلفظه ويتم صومه , فإن ابتلعه بعد علمه بالفجر بطل صومه , وهذا لا خلاف فيه

Kami telah menyebutkan bahwa siapa yang mengalami terbitnya fajar (subuh), dan di mulutnya ada makanan hendaknya dia membuangnya dan dia lanjutkan puasanya. Jika dia telan setelah dia tahu sudah fajar, maka batal puasanya. Dan ini TIDAK ADA PERBEDAAN PENDAPAT ULAMA. (Al Majmu’ Syarh Al Muhadzdzab, jilid. 6, hal. 333)

Imam Ibnul Qayyim Rahimahullah menjelaskan:

وذهب الجمهور إلى امتناع السحور بطلوع الفجر, وهو قول الأئمة الأربعة, وعامة فقهاء الأمصار, وروي معناه عن عمر وابن عباس رضي الله عنهم

Mayoritas ulama menyatakan larangan sahur disaat terbitnya fajar, inilah pendapat imam yang empat dan seluruh ulama di penjuru negeri. Telah diriwayatkan makna seperti itu dari Ibnu Umar dan Ibnu Abbas Radhiallahu ‘Anhuma. (Imam Ibnul Qayyim, Syarh Sunan Abi Daud, jilid. 6, hal. 341)

Syaikh Al Kasymiri Rahimahullah menjelaskan:

وهو الذي قبل الفجر وقال بعضُ العلماء: إن الأذان قبل الفجر في عهد صلى الله عليه وسلّم كان لتعليمهم وقت السُّحُور، ثم لمَّا عَرَفُوه تُرِكَ

Adzan tersebut adalah sebelum fajar (subuh). Sebagian ulama mengatakan bahwa adzan sebelum subuh di zaman Rasulullah ﷺ dilakukan untuk memberitahu mereka datangnya waktu sahur, lalu ketika mereka sudah mengetahui hal itu mereka pun meninggalkannya. (Syaikh Muhammad Anwarsyah Al Kasymiri, Faidhul Bari, jilid. 2, hal. 222)

Hal serupa juga dikatakan Imam an Nawawi Rahimahullah sebagai berikut:

وهذا إن صح محمول عند عوام أهل العلم على أنه صلى الله عليه وسلم علم أنه ينادي قبل طلوع الفجر بحيث يقع شربه قبيل طلوع الفجر

Hadits ini jika shahih, maknanya menurut umumnya ulama adalah bahwa Rasulullah ﷺ tahu azan tersebut dikumandangkan sebelum terbitnya fajar dan minumnya pun menjelang fajar.

(Al Majmu’ Syarh al Muhadzdzab, jilid. 6, hal. 333)

Beliau juga mengatakan:

ويكون قول النبي صلى الله عليه وسلم : ( إِذَا سَمِعَ أَحَدُكُمْ النِّدَاءَ وَالإِنَاءُ عَلَى يَدِهِ ) خبراً عن النداء الأول

Sabda Nabi ﷺ: “Apabila salah seorang diantara kalian mendengar azan, sedangkan bejana (makanan) masih ada di tangannya” menunjukkan berita bahwa itu azan pertama. (Ibid)

Demikian. Wallahu a’lam

Farid Nu’man Hasan

Hukum Membatalkan Salat Ketika Ada yang Terlupa

▪▫▪▫▪▫

PERTANYAAN:

Assalamualakum ustad….mohan maaf sebelumnya sudih kiranya untuk membagi ilmu…apakah hukumnya membatalkan sholat di karenakan lupa padahal ada tuntunanya untuk melakukan sujud sahwi….lebih baik mana mengulang kembali atau melakukan sujud sahwi. Dalam sholat tadi munfarid/sendiri…terimakasih atas pencerahan ilmunya. Wassalamualaikum

JAWABAN

Wa’alaikumussalam wa Rahmatullah

Jika ada yang lupa dan ragu-ragu misal lupa atau ragu jumlah rakaat, maka yang mesti dilakukan adalah pilih rakaat yang paling kecil, lalu tuntaskan shalat dan akhiri dengan sujud sahwi 2 kali.

Dari Abu Said Al Khudri Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

إِذَا شَكَّ أَحَدُكُمْ فِي الْوَاحِدَةِ وَالثِّنْتَيْنِ فَلْيَجْعَلْهُمَا وَاحِدَةً وَإِذَا شَكَّ فِي الثِّنْتَيْنِ وَالثَّلَاثِ فَلْيَجْعَلْهُمَا ثِنْتَيْنِ وَيَسْجُدْ فِي ذَلِكَ سَجْدَتَيْنِ قَبْلَ أَنْ يُسَلِّمَ

“Jika  di antara kalian ragu, apakah rakaat pertama dan kedua, maka jadikanlah itu sebagai rakaat pertama saja. Jika kalian ragu pada rakaat kedua dan ketiga, maka jadikanlah itu sebagai rakaat kedua. Oleh karena itu, sujudlah dua kali sebelum salam.” (HR. At Tirmidzi No. 396)

Dari hadits ini –dan hadits lain yang serupa- Jumhur ulama mengatakan bila seseorang ragu-ragu terhadap jumlah rakaat shalat, maka hendaknya dia meyakinikan rakaat yang lebih sedikit, kemudian dia melakukan sahwi.

Tetapi ada juga ulama yang mengatakan bahwa ragu-ragu dalam shalat,  seseorang yang tidak tahu sudah berapa rakaat shalatnya,  bukan diselesaikan dengan sahwi, tetapi harus diulang shalatnya. Hal ini diinformasikan oleh Imam At Tirmidzi berikut ini:

و قال بعض أهل العلم إذا شك في صلاته فلم يدر كم صلى فليعد

“Berkata sebagian ulama: jika seseorang ragu di dalam shalatnya, dia tidak tahu sudah berapa rakaat shalatnya, maka hendaknya dia mengulangi shalatnya.” (Sunan At Tirmidzi No. 396)

Dan, pendapat jumhur ulama yang menyatakan sujud sahwi nampaknya pendapat yang lebih kuat dan telah diterangkan dalam berbagai hadits shahih.
Wallahu A’lam

Farid Nu’man Hasan

Hukum Salat Tahajud di Malam Jum’at

Pertanyaan

Assalamualaikum wr wb, afwan sdh malam, makruh salat tahajud malam jumat, maksudnya apa ustaz? Syukran jazakumullahu khoiron

Jawaban

Wa’alaikumussalam Wa Rahmatullah wa Barakatuh

Pada prinsipnya, shalat tahajud adalah Sunnah dilakukan di malam apa pun secara mutlak, termasuk di malam Jumat. Karena, secara global hari dan malam Jumat memiliki keagungan dan keutamaan yg sdh sama-sama dipahami umat Islam. Bahkan dalam hadits shahih, dianjurkan membaca Al Kahfi.

Sebagaimana hadits:

من قرأ سورة الكهف ليلة الجمعة أضاء له من النور فيما بينه وبين البيت العتيق

Barang siapa yg membaca surat Al Kahfi pada malam Jumat dia akan diterangi oleh cahaya dr tempat dirinya berada sampai baitul ‘atiq (ka’bah).

(HR. Ad Darimi no. 3407, SHAHIH. Lihat Shahihul Jaami’ no. 6471)

Hadits lain:

من قرأ سورة الكهف في يوم الجمعة أضاء له من النور ما بين الجمعتين

Barang siapa yang membaca surat Al Kahfi di hari Jumat, maka dia akan diterangi cahaya selama di antara dua Jumat.

(HR. Al Hakim, 2/399, Al Baihaqi, 3/249. SHAHIH. Lihat Shahihul Jaami’ no. 6470)

Imam Asy Syafi’i Rahimahullah mengatakan:

بلَغَنَا أَنَّ من قَرَأَ سُورَةَ الْكَهْفِ وُقِيَ فِتْنَةُ الدَّجَّالِ، وَأُحِبُّ كَثْرَةَ الصَّلَاةِ على النبي (صلى اللَّهُ عليه وسلم) في كل حَالٍ وأنا في يَوْمِ الْجُمُعَةِ وَلَيْلَتِهَا أَشَدُّ اسْتِحْبَابًا، وَأُحِبُّ قِرَاءَةَ الْكَهْفِ لَيْلَةَ الْجُمُعَةِ وَيَوْمَهَا لِمَا جاء فيها

“Telah sampai dalil kepadaku bahwa orang yang membaca surat Al Kahfi akan terjaga dari fitnah Dajjal. Dan aku menyukai seseorang itu memperbanyak shalawat kepada Nabi ﷺ di setiap waktu dan di hari Jum’at serta malam Jum’at lebih ditekankan lagi anjurannya. Dan aku juga menyukai seseorang itu membaca surat AL KAHFI pada MALAM JUMAT dan pada HARI JUMAT Jum’at karena terdapat dalil mengenai hal ini.”

(Al-Umm, jilid.. 1, hal. 208 )

Ada pun larangan mengkhusus shalat tahajud di malam Jumat, ada dlm hadits:

لَا تَخُصُّوا لَيْلَةَ الْجُمُعَةِ بِقِيَامٍ مِنْ بَيْنَ اللَّيَالِي

Janganlah kalian khususkan malam Jumat untuk shalat di antara malam-malam lainnya.

(HR. Muslim no. 1144)

Maksudnya adalah makruh, jika seseorang mengistimewakan shalat tahajud hanya di malam jumat dan melupakan malam-malam lainnya. Ada pun jika menyertakan malam lainnya tidak apa-apa, baik sebelum atau setelahnya sebagaimana perkara shaum di hari Jumat.

Dalam Al Mausu’ah:

نَصَّ الشَّافِعِيَّةُ عَلَى كَرَاهَةِ تَخْصِيصِ لَيْلَةِ الْجُمُعَةِ بِقِيَامٍ بِصَلاَةٍ، لِمَا رَوَاهُ مُسْلِمٌ فِي صَحِيحِهِ مِنْ قَوْل رَسُول اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: لاَ تَخُصُّوا لَيْلَةَ الْجُمُعَةِ بِقِيَامٍ مِنْ بَيْنِ اللَّيَالِي
أَمَّا إِحْيَاؤُهَا بِغَيْرِ صَلاَةٍ فَلاَ يُكْرَهُ، لاَ سِيَّمَا الصَّلاَةَ عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَإِنَّ ذَلِكَ مَطْلُوبٌ فِيهَا.
وَلاَ يُكْرَهُ إِحْيَاؤُهَا مَضْمُومَةً إِلَى مَا قَبْلَهَا، أَوْ إِلَى مَا بَعْدَهَا، أَوْ إِلَيْهِمَا، قِيَاسًا عَلَى مَا ذَكَرُوهُ فِي الصَّوْمِ

Para ulama Syafi’iyah mengatakan makruhnya mengkhususkan malam Jumat utk shalat (tahajud), berdasarkan hadits shahih riwayat Imam Muslim: Janganlah kalian khususkan malam Jumat untuk shalat di antara malam-malam lainnya.

Ada pun menghidupkan malam Jumat dgn SELAIN SHALAT tidaklah makruh, apalagi bershalawat kepada Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam, sebab hal itu diperintahkan.

Tidak makruh menghidupkan malam jumat dgn shalat jika memcakup satu malam sebelumnya atau setelahnya atau kedua-duanya diqiyaskan dengan puasa seperti yang mereka (Syafi’iyah) sebutkan.

(Al Mausu’ah Al Fiqhiyyah Al Kuwaitiyah, 2/234)

Demikian. Wallahu A’lam

Farid Nu’man

scroll to top