Dilema Sholat Dhuha Bagi Karyawan Kantoran

Sholat Dhuha punya banyak fadhilah, sehingga wajar bila muslim – termasuk yang bekerja di kantoran – memburu keutamaannya. Seorang muslim yang melakukan sholat Dhuha, dijamin tercukupi kebutuhannya pada hari itu.

“Allah ‘Azza wa Jalla berfirman, “Wahai anak Adam, janganlah engkau luput dari empat rakaat di awal harimu, niscaya Aku cukupkan untukmu di sepanjang hari itu.” (HR. Ahmad)

Sholat Dhuha juga merupakan bentuk penunaian sedekah yang idealnya rutin dilakukan setiap hari. Rasulullah saw bersabda, “Di dalam tubuh manusia terdapat tiga ratus enam puluh sendi, yang seluruhnya harus dikeluarkan sedekahnya.” Mereka (para sahabat) bertanya, “Siapakah yang mampu melakukan itu wahai Nabiyullah?” Beliau menjawab, “Engkau membersihkan dahak yang ada di dalam masjid adalah sedekah, engkau menyingkirkan sesuatu yang mengganggu dari jalan adalah sedekah. Maka jika engkau tidak menemukannya (sedekah sebanyak itu), maka dua raka’at Dhuha sudah mencukupimu.” (HR. Abu Dawud)

Namun timbul pro kontra atas pelaksanaan Sholat Dhuha di kantor. Karena ada yang beranggapan bahwa kurang amanah bila melaksanakan Sholat Dhuha memanfaatkan waktu yang seharusnya digunakan untuk bekerja. Bahkan sampai dianggap sebagai korupsi waktu. Bagaimana ini?

Mungkin beberapa hal berikut bisa mendudukkan persoalan tersebut.

1. Karyawan Punya Hak Melakukan Aktivitas Pribadi yang Diperlukan Saat Jam Kerja

Pihak perusahaan memaklumi kebutuhan pribadi karyawan saat bekerja. Seperti beranjak ke toilet untuk buang air kecil atau besar. Tidak pernah ada perusahaan yang melarang aktivitas yang memakan waktu yang dilakukan di jam kerja ini.

Aktivitas pribadi lain yang lebih memakan waktu misalnya keluar untuk membeli gorengan, melakukan transaksi di mesin ATM, hingga ada karyawan yang punya kebiasaan merokok di luar, dimaklumi juga oleh perusahaan selama tidak ada pekerjaan terbengkalai dan sudah izin atasan. Memang ada jenis pekerjaan yang menuntut karyawan stand by di tempat, seperti customer service, penjaga loket, dll.

Nah, bila perusahaan memberi kebebasan untuk melakukan aktivitas di atas, seharusnya karyawan juga punya kebebasan melaksanakan aktivitas sholat Dhuha.

2. Pahami Prioritas

Sholat Dhuha hukumnya sunnah, bukan wajib. Berbeda dengan Sholat Zhuhur atau Sholat Ashar. Untuk Sholat Zhuhur, kita bisa kerjakan saat jam istirahat. Sementara Sholat Ashar, biasanya perusahaan memperbolehkan karyawan melakukannya di tengah jam kerja.

Tentu saja lebih prioritas menuntaskan pekerjaan daripada sholat sunnah. Karena dalam pekerjaan, kita terikat perjanjian yang menjadi beban amanah yang harus ditunaikan.

Ciri-ciri orang mukmin Allah sebutkan dalam surat Al-Mukminun. Salah satunya adalah: “Dan orang-orang yang memelihara amanat-amanat (yang dipikulnya) dan janjinya.” (QS Al Mu’minun ayat 8)

Rasulullah saw juga pernah bersabda, “Perjanjian dapat dilakukan di antara kaum muslimin, kecuali perjanjian yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram; dan kaum muslimin terikat dengan syarat-syarat mereka kecuali syarat yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram.” (HR Tirmidzi dari Amr bin Auf)

Ada jenis pekerjaan yang tidak bisa ditinggal lama seperti penjaga loket, customer service, dll. Atau bila ada meeting, tentu tidak elok meninggalkannya untuk menunaikan Sholat Dhuha. Dan bila ada tugas yang harus segera diselesaikan, prioritaskan itu daripada Sholat Dhuha.

3. Lebih Elok Dilakukan Sebelum Jam Kerja

Jam kerja tiap perusahaan bervariasi. Biasanya berkisar 9 jam. Ada yang perusahaan yang menetapkan jam kerja dari pukul 08.00 hingga 17.00. Ada yang 08.30 – 17.30, 09.00-18.00, ada juga yang jam 07.00 pagi sudah harus masuk.

Mendirikan Sholat Dhuha sebelum jam masuk kerja tentu lebih baik. Kita bisa datang lebih pagi, lalu tegakkan dua hingga delapan rokaat dengan khusyuk di musholla kantor. Kemudian kembali ke tempat kerja dan mulai menyelesaikan tugas dengan ruh yang lebih segar.

Serba Serbi Puasa Nabi Daud ‘Alaihissalam

💢💢💢💢💢💢💢💢💢

1️⃣ Apakah Ini Termasuk Sunnah?

Ya, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam memerintahkannya, sebagaimana dalam hadits:

صُمْ أَفْضَلَ الصَّوْمِ صَوْمَ دَاوُدَ

Berpuasalah! Dan sebaik-baiknya puasa adalah puasa Daud. (HR. Bukhari no. 5052)

2️⃣ Bukankah ini syariat Nabi Daud ‘Alaihissalam? Apakah berlaku bagi kita juga?

Ya, syariat nabi atau umat terdahulu (syar’u man qablana), ada yang sudah dihapus oleh syariat Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, ada juga yang tidak dan tetap dihidupkan di syariat Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Salah satu yang tetap ada dan tidak dihapus adalah puasa Nabi Daud ‘Alaihissalam.

Imam Abu Sulaiman Walid Al Baji, seorang tokoh madzhab Maliki, berkata:

ذَهَبَتْ طَائِفَةٌ مِنْ أَصْحَابنَا وَأَصْحَابِ أَبي حَنِيفَةَ وَأَصْحَابِ الشَّافِعِيِّ إِلَى أَنَّ شَرِيعَةَ مَنْ قَبْلَنَا لاَزِمَةٌ لَنَا إِلاَّ مَا دَلَّ الدَّلِيلُ عَلَى نَسْخِهِ

Segolongan sahabat kami (Malikiyah), dan para sahabat Abu Hanifah (Hanafiyah), serta para sahabat Asy Syafi’i (Syafi’iyah), mengatakan bahwa syariat kaum sebelum kita tetaplah menjadi syariat kita, kecuali ada dalil yang menunjukkan sudah dihapus. (Al Inarah Syarh Kitab Al Isyarah, hal. 272)

3️⃣ Bagaimana caranya?

Caranya seperti yang dijelaskan dalam hadits:

صِيَامَ يَوْمٍ وَإِفْطَارَ يَوْمٍ

Sehari puasa, sehari tidak. (HR. Bukhari no. 5052)

4️⃣ Bagaimana kedudukannya?

Ini adalah puasa terbaik setelah puasa Ramadhan. Al Hafizh Ibnu Hajar mengatakan:

يُؤْخَذُ مِنْهُ أَنَّ الْأَفْضَلَ لِمَنْ أَرَادَ أَنْ يَصُومَ صَوْمَ دَاوُدَ أَنْ يَصُومَ يَوْمًا وَيُفْطِرَ يوما دائما

Dari hadits ini bisa diambil pelajaran, bahwa yang paling utama bagi yang ingin berpuasa adalah puasa Daud, yaitu sehari puasa, sehari tidak, secara konstan. (Fathul Bari, jilid. 9, hal. 96)

Wajar jika dianggap puasa terbaik, karena ini puasa yang sangat berat. Imam At Tirmidzi berkata:

قَالَ بَعْضُ أَهْلِ العِلْمِ: أَفْضَلُ الصِّيَامِ أَنْ تَصُومَ يَوْمًا وَتُفْطِرَ يَوْمًا، وَيُقَالُ: هَذَا هُوَ أَشَدُّ الصِّيَامِ

Sebagian ulama mengatakan: sebaik-baiknya puasa adalah puasa Daud, yaitu sehari puasa, sehari tidak. Dikatakan: “Ini adalah puasa yang paling berat.” (Sunan At Tirmidzi no. 770)

5️⃣ Apakah harus seumur hidup?

Tidak ada petunjuk yang menyebut puasa Daud itu mesti muabbad (seumur hidup tanpa berhenti). Siapa yang mampu melakukannya setahun atau beberapa tahun, silahkan. Siapa yang mampu dan kuat sepanjang hidupnya, juga silahkan.

6️⃣ Apakah Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam melakukan puasa Daud juga?

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tidak melakukannya. Para ulama menyebutkan beberapa kemungkinan atau alasan kenapa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam meninggalkan amal-amal utama:

– Dalam rangka meringankan umatnya, walau amal itu memiliki keutamaan besar, dan Beliau mampu melakukannya.

– Agar tidak dianggap kewajiban, sebagaimana saat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam meninggalkan shalat Tarawih di malam ke-4 Ramadhan.

– Disibukkan oleh hal-hal yang lebih utama, atau yang benar-benar wajib. (Al Islam Su’aal wa Jawaab no. 224307)

7️⃣ Ketika puasa Daud, apakah tidak boleh puasa sunnah lainnya?

Para ulama menegaskan, tidak dianjurkan berpuasa sunnah lainnya, bagi yang sudah konstan puasa Nabi Daud, walau dia kuat melakukan lebih. (Tidak dianjurkan bukan berarti tidak boleh, bagi yang benar-benar mampu)

Hal ini berdasarkan nasihat Nabi kepada Abdullah bin Amr bin al ‘Ash yang sangat semangat puasa sunnah, dan meminta “lebih” dari puasa Daud:

صُمْ صَوْمَ نَبِيِّ اللهِ دَاوُدَ، وَلَا تَزِدْ عَلَيْهِ

Berpuasalah dengan puasa Nabi Daud, dan jangan kamu tambahkan lagi.

(HR. Ahmad no. 6867. Syaikh Ahmad Syakir dan Syaikh Syuaib al Arnauth mengatakan: Shahih)

Knp tidak dianjurkan dan tidak usah ditambah lagi, walau seseorang kuat melakukannya ? Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menjawab:

لا أفضل من ذلك

Tidak ada yang lebih utama dari itu. (HR. Bukhari no. 1976)

Di masa tuanya, Abdullah bin Amr bin al Ash berkata:

يَا لَيْتَنِي قَبِلْتُ رُخْصَةَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ.

Duh andaikata dulu saya mau menerima keringanan dari Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam. (HR. Bukhari no. 1975)

Syaikh Muhammad Shalih Al Munajjid Hafizhahullah menjelaskan:

وهذا صريح في أن الزيادة عليه غير مستحبة، وأن الاكتفاء بهذا النوع من الصوم يغني صاحبه عن تكلف الزيادة، ويجعل الزيادة مفضولة غير مستحبة

Ini menjelaskan bahwa puasa tambahan baginya tidaklah mustahab (sunnah), sesungguhnya mencukupkan diri dengan puasa ini (puasa Daud) bagi pelakunya sudah mencukupi baginya dibanding dia membebani diri dengan menambah shaum sunnah lainnya, shgga membuat shaum sunnah tersebut tidak dianjurkan baginya. (Al Islam Su’aal wa Jawaab no. 297278)

Demikian. Wallahul Muwaffiq Ilaa aqwamith Thariq

🌿🌷🌺🌻🌸🍃🌵🌴

✍ Farid Nu’man Hasan

Menunda Qadha Puasa Bertahun-tahun, Apakah Jumlah Qadhanya Bertambah?

💢💢💢💢💢💢

Wa’alaikumussalam wa Rahmatullah wa Barakatuh

Bismillahirrahmanirrahim..

Semoga Allah Ta’ala memberikan rahmat kepada Anda dan keluarga.

Dalam masalah qadha puasa, memang ada beberapa perincian. Dalam Al Fiqh Al Muyassar, disebutkan:

– Jika meninggalkan puasa Ramadhan tanpa alasan, maka dia wajib bertobat dan memohon ampun, sebab itu dosa dan kemungkaran besar. Serta wajib baginya qadha secara faur (segera), menurut pendapat yang shahih dari berbagai pendapat ulama.

– Jika tidak puasa Ramadhan ada alasan syar’i seperti haid, nifas, sakit, safar, dan lainnya, maka wajib baginya qadha tapi tidak wajib segera. Dia punya waktu lapang sampai Ramadhan selanjutnya, namun hal yang disunnahkan baginya untuk segera mengqadha, sebagai tindakan yang lebih hati-hati. (Lihat Al Fiqh Al Muyassar fi Dhau’il Quran was Sunnah, hal. 162)

Lalu, apakah jika menunda qadha mesti ditambah dengan fidyah? Ini pun juga dirinci, sebagai berikut:

– Jika menunda-nundanya TANPA alasan, misal hanya karena kesibukan dan malas, maka wajib baginya juga fidyah, yaitu satu harinya sebesar satu mud. Inilah pendapat mayoritas ulama, seperti Ibnu Abbas, Ibnu Umar, Abu Hurairah, Mujahid, Sa’id bin Jubeir, Malik, Al Awza’i, Ats Tsauri, Asy Syafi’i, Ahmad, Ishaq, Atha’ bin Abi Rabah, Al Qasim bin Muhammad, Az Zuhri. Hanya saja Ats Tsauri mengatakan 2 mud untuk masing-masing hari yg ditinggalkan.

Ada pun Al Hasan Al Bashri, Ibrahim an Nakha’i, Abu Hanifah, Al Muzani, Daud Azh Zhahiri, mengatakan qadha saja, tanpa fidyah.

– Jika menunda qadhanya ada udzur syar’i, misalnya sakit yang menahun, atau hamil, dan lainnya, maka qadha saja tanpa fidyah.

(Lihat Al Mausu’ah Masaail Al Jumhur, jilid. 1, hal. 321. Lihat juga Al Fiqhul Islami wa Adillatuhu, jilid. 3, hal. 108)

Jika tertundanya sampai melewati Ramadhan selanjutnya apalagi beberapa tahun dan itu tanpa alasan, maka itu penundaan yang terlarang. Aisyah Radhiallahu ‘Anha juga menunda tapi tidak sampai melewati Ramadhan selanjutnya.

Aisyah Radhiallahu ‘Anha berkata:

ما كنت أقضي ما يكون علي من رمضان إلا في شعبان حتى توفي رسول الله صلى الله عليه و سلم

Aku tidak pernah mengqadha apa-apa yang menjadi kewajiban atasku dari Ramadhan, kecuali di bulan sya’ban, sampai wafatnya Rasulullah ﷺ. (HR. At Tirmidzi No. 783, katanya: hasan shahih)

Namun demikian, hal tersebut tidak lantas pelakunya kena denda dengan jumlah qadha puasa yang “berbunga”. Seperti yang dijelaskan Imam Ibnu Qudamah. (Al Mughni, jilid. 3, hal. 154)

Misal, tahun 2018 tidak puasa 10 hari, baru sempat qadha 2020, maka tetap dia qadha 10 hari saja utk puasa yang tahun 2018 itu. Jika menunda qadhanya tanpa alasan maka tambah dengan fidyah menurut mayoritas ulama, sebagaimana penjelasan sebelumnya.

Kalau tahun 2019 dia juga ada puasa yang ditinggal, itu juga wajib qadha, dan disikapi sama sebagaimana yang tahun 2018. Terus seperti itu.

Demikian. Wallahu a’lam

🌿🌷🌺🌻🌸🍃🌵🌴

✍ Farid Nu’man Hasan

Basmalah Dikeraskan atau Dipelankan?

💢💢💢💢💢💢💢💢

📨 PERTANYAAN:

Pak Ustadz, di mushalla kami ada imam kalau baca alfatihah langsung alhamdulillahirabbil ‘alamin.. Sy mikirnya mungkin dia baca tapi dipelankan, tp biasanya di mushalla kami tidak begitu akhirnya saya yg bingung 😊.. Sebenernya mana yg shohih?

📬 JAWABAN

🍃🍃🍃🍃🍃🍃🍃🍃

Bismillahirrahmanirrahim..

Masalah basmalah dikeraskan atau dipelankan dalam shalat jahriyah bukanlah hal yang pokok dalam agama, bahkan dalam shalat sendiri, itu bukan bagian dari rukun shalat.

Imam Ibnu Katsir Rahimahullah mengatakan:

فهذه مآخذ الأئمة رحمهم الله في هذه المسألة وهي قريبة؛ لأنهم أجمعوا على صحة صلاة من جهر بالبسملة ومن أسر

Inilah refrensi para imam dalam masalah ini, dan ini pendapat yang berdekatan, karena mereka telah ijma’ bahwa shalat tetap sah baik yang basmalahnya dikeraskan atau dipelankan. (Tafsir Ibnu Katsir, 1/118)

Semoga tidak menjadi sebab rusaknya ukhuwah Islamiyah.

Dalam hal ini, secara umum ada tiga pendapat ulama.

1️⃣ Sunnahnya basmalah itu dipelankan

Ini pendapat umumnya ulama sejak masa sahabat, empat khalifah, dan generasi setelahnya.

Imam at Tirmidzi Rahimahullah mengatakan:

وَالعَمَلُ عَلَيْهِ عِنْدَ أَكْثَرِ أَهْلِ العِلْمِ مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْهُمْ: أَبُو بَكْرٍ، وَعُمَرُ، وَعُثْمَانُ، وَعَلِيٌّ، وَغَيْرُهُمْ، وَمَنْ بَعْدَهُمْ مِنَ التَّابِعِينَ.
وَبِهِ يَقُولُ سُفْيَانُ الثَّوْرِيُّ، وَابْنُ الْمُبَارَكِ، وَأَحْمَدُ، وَإِسْحَاقُ: لاَ يَرَوْنَ أَنْ يَجْهَرَ بِ {بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ}، قَالُوا: وَيَقُولُهَا فِي نَفْسِهِ

Inilah yang diamalkan mayoritas ulama dari kalangan sahabat nabi, di antaranya: Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Ali, dan lainnya, dan generasi setelah mereka dari tabi’in. Ini juga pendapat Sufyan Ats Tsauri, Ibnul Mubarak, Ahmad, dan Ishaq, bagi mereka membaca “Bismillahirrahmanirrahim” tidaklah dikeraskan, membacanya di hati saja.

(Sunan at Tirmidzi, Hal. 327)

Dalil-dalilnya adalah:

1. Hadits dari Abdullah bin Mughaffal Radhiyallahu ‘Anhu

عَنِ ابْنِ عَبْدِ اللهِ بْنِ مُغَفَّلٍ، قَالَ: سَمِعَنِي أَبِي وَأَنَا فِي الصَّلاَةِ، أَقُولُ: بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ، فَقَالَ لِي: أَيْ بُنَيَّ مُحْدَثٌ إِيَّاكَ وَالحَدَثَ، قَالَ: وَلَمْ أَرَ أَحَدًا مِنْ أَصْحَابِ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ أَبْغَضَ إِلَيْهِ الحَدَثُ فِي الإِسْلاَمِ، يَعْنِي مِنْهُ، قَالَ: وَقَدْ صَلَّيْتُ مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَمَعَ أَبِي بَكْرٍ، وَمَعَ عُمَرَ، وَمَعَ عُثْمَانَ، فَلَمْ أَسْمَعْ أَحَدًا مِنْهُمْ يَقُولُهَا، فَلاَ تَقُلْهَا، إِذَا أَنْتَ صَلَّيْتَ فَقُلْ: {الحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ العَالَمِينَ}

Dari Ibnu Abdullah bin Mughaffal ia berkata; Ayahku (Abdullah bin Mughaffal) mendengarku ketika aku dalam shalat, ketika itu aku membaca, “BISMILLAAHIIR RAHMAANIR RAHIIM (Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Pemurah), lalu ayahku berkata; “Wahai anakku, engkau telah melakukan hal yang baru (bid’ah), jauhilah perkara baru!” Ia (ayahku) berkata; “Aku tidak pernah melihat seorang pun dari sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam membenci sesuatu selain perkara yang baru (diada-adakan) di dalam Islam.” Ia berkata lagi, “Aku pernah shalat bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, Abu Bakar, Umar dan Utsman, namun aku belum pernah melihat mereka mengucapkannya, maka janganlah engkau ucapkan itu. Jika engkau melaksanakan shalat maka bacalah, “ALHAMDULILLAAHI RABBIL ‘AALAMIIN (Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam).”

(HR. At Tirmidzi no. 244. Imam at Tirmidzi mengatakan: hasan. Sementara Syaikh Kamal Ibnus Sayyid Salim dalam Shahih Fiqh Sunnah, 1/542, mengatakan DHA’IF)

2. Hadits Anad bin Malik Radhiyallahu ‘Anhu

Anas bin Malik Radhiyallahu ‘Anhu berkata:

أن النبي صلى الله عليه وسلم وأبا بكر وعمر رضي الله عنهما كانوا يفتتحون الصلاة بالحمد لله رب العالمين

Bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, Abu Bakar, dan Umar, mereka memulai shalat dengan membaca ALHAMDULILAHIRABBIL ‘ALAMIN. (HR. Bukhari no. 743 dan Muslim no. 399)

Dalam Shahih Muslim pula, dari Anas bin Malik pula:

صليت مع رسول الله صلى الله عليه وسلم وأبي بكر وعمر وعثمان فلم أسمع أحدًا منهم يقرأ بسم الله الرحمن الرحيم

Aku Shalat bersama Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, Abu Bakar, Umar, dan Utsman, tidak pernah mendengar satu pun dari mereka yang membaca BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM.

3. Hadits Aisyah Radhiallahu ‘Anha

Aisyah Radhiallahu ‘Anha berkata:

كان رسول الله صلى الله عليه وسلم يستفتح الصلاة بالتكبير، والقراءة بـ {الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ}

Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam memulai shalat dengan bertakbir, dan membaca ALHAMDULILAHIRABBIL’ ALAMIN. (HR. Muslim no. 498)

Syaikh Kamal bin as Sayyid Salim mengatakan:

قالوا: وهو ظاهر في عدم الجهر بالبسملة، ومؤيد لحديث أنس

Mereka (para ulama) mengatakan: ini secara zahir menunjukkan tidak dikeraskannya membaca basmalah, menguatkan apa yang ada pada hadits Anas. (Shahih Fiqh as Sunnah, 1/542)

2️⃣ Sunnahnya basmalah dikeraskan

Ini pendapat Imam asy Syafi’i dan pengikutnya, juga pendapat sebagaian sahabat nabi, dan pembesar tabi’in.

Imam Ibnu Katsir Rahimahullah mengatakan:

فَذَهَبَ الشَّافِعِيُّ رَحِمَهُ اللَّهُ إِلَى أَنَّهُ يَجْهَرُ بِهَا مَعَ الْفَاتِحَةِ وَالسُّورَةِ، وَهُوَ مَذْهَبُ طَوَائِفٍ مِنَ الصَّحَابَةِ وَالتَّابِعِينَ وَأَئِمَّةِ الْمُسْلِمِينَ سَلَفًا وَخَلَفًا، فَجَهَرَ بِهَا مِنَ الصَّحَابَةِ أَبُو هُرَيْرَةَ وَابْنُ عُمَرَ وَابْنُ عَبَّاسٍ وَمُعَاوِيَةُ وَحَكَاهُ ابْنُ عَبْدِ الْبَرِّ وَالْبَيْهَقِيُّ عَنْ عُمَرَ وَعَلِيٍّ وَنَقَلَهُ الْخَطِيبُ عَنِ الْخُلَفَاءِ الْأَرْبَعَةِ وَهُمْ أَبُو بَكْرٍ وَعُمَرُ وَعُثْمَانُ وَعَلِيٌّ وَهُوَ غَرِيبٌ، وَمِنَ التَّابِعِينَ عَنْ سَعِيدِ بْنِ جُبَيْرٍ وَعِكْرِمَةَ وَأَبِي قِلَابَةَ وَالزُّهْرِيِّ وَعَلِيِّ بْنِ الْحُسَيْنِ وَابْنِهِ مُحَمَّدٍ وَسَعِيدِ بْنِ الْمُسَيَّبِ وَعَطَاءٍ وَطَاوُسٍ وَمُجَاهِدٍ وَسَالِمٍ وَمُحَمَّدِ بْنِ كَعْبٍ الْقُرَظِيِّ وَأَبِي بَكْرِ بْنِ مُحَمَّدِ بْنِ عَمْرِو بْنِ حَزْمٍ وَأَبِي وَائِلٍ وَابْنِ سِيرِينَ وَمُحَمَّدِ بْنِ الْمُنْكَدِرِ وَعَلِيِّ بْنِ عَبْدِ الله ابن عَبَّاسٍ وَابْنِهِ مُحَمَّدٍ وَنَافِعٍ مَوْلَى ابْنِ عُمَرَ وَزَيْدِ بْنِ أَسْلَمَ وَعُمَرَ بْنِ عَبَدِ الْعَزِيزِ وَالْأَزْرَقِ بْنِ قَيْسٍ وَحَبِيبِ بْنِ أَبِي ثَابِتٍ وَأَبِي الشَّعْثَاءِ وَمَكْحُولٍ وَعَبْدِ اللَّهِ بْنِ مَعْقِلِ بْنِ مُقَرِّنٍ زَادَ الْبَيْهَقِيُّ وَعَبْدُ اللَّهِ بْنُ صفوان ومحمد بن الْحَنَفِيَّةِ. زَادَ ابْنُ عَبْدِ الْبَرِّ: وَعَمْرُو بْنُ دِينَارٍ

Imam asy Syafi’i berpendapat membaca basmalah pada al fatihah dan surah itu dikeraskan, ini juga pendapat berbagai golongan seperti para sahabat, tabi’in, dan para imam kaum muslimin baik salaf dan khalaf.

Di kalangan sahabat di antaranya adalah Abu Hurairah, Ibnu Umar, Ibnu Abbas, Muawiyah. Ibnu Abdil Bar dan al Baihaqi menceritakan ini juga pendapat Umar dan Ali. Al Khathib menukil ini juga pendapat empat Khalifah yaitu Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Ali, tapi ini riwayat yang gharib (menyendiri/asing).

Dari kalangan tabi’in, yaitu Said bin Jubeir, Ikrimah, Abu Qilabah, Az Zuhri, Ali bin al Husein dan anaknya yaitu Muhammad, Said bin al Musayyab, Atha, Thawus, Mujahid, Salim, Muhammad bin Ka’ab, Abu Bakr bin Muhammad bin Amr bin Hazm, Abu Wail, Ibnu Sirin, Muhammad bin Munkadir, Ali bin Abdillah bin Abbas dan anaknya yaitu Muhammad, Naafi’ pelayan Ibnu Umar, Zaid bin Aslam, Umar bin Abdil Aziz, al Arzaq bin Qais, Habib bin Abi Tsabit, Abu Asy Sya’tsa, Makhul, Abdullah bin Ma’qil bin Muqarrin. Al Baihaqi menambahkan: Abdullah bin Shafwan dan Muhammad bin al Hanafiyah. Ibnu Abdil Bar mengatakan: Amru bin Dinar.

(Tafsir Ibnu Katsir, 1/177)

Dalil-dalil kelompok ini:

1. Hadits Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّهُ صَلَّى فَجَهَرَ فِي قِرَاءَتِهِ بِالْبَسْمَلَةِ، وَقَالَ بَعْدَ أَنْ فَرَغَ: إِنِّي لَأَشْبَهُكُمْ صَلَاةً بِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم

Dari Abu Hurairah bahwa dia shalat MENGERASKAN dalam membaca basmalah. Dia pun berkata setelah selesai shalat: “Saya tunjukkan kepada kalian shalat yang serupa dengan shalatnya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.”

(HR. Ibnu Hibban no. 450, Ibnu Khuzaimah no. 499. Imam Ibnu Katsir mengatakan: “Dishahihkan oleh Ad Daruquthni, Al Khathib, Al Baihaqi, dan selain mereka.” Tafsir Ibnu Katsir, 1/117)

2. Hadits Anad bin Malik Radhiyallahu’ Anhu

كانَتْ قِرَاءَتُهُ مَدًّا، ثُمَّ قَرَأَ بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ، يَمُدُّ بِسْمِ اللَّهِ، وَيَمُدُّ الرَّحْمَنِ، وَيَمُدُّ الرَّحِيمِ

Bacaan Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam itu panjang, lalu Beliau membaca Bismillahirrahmanirrahim, memanjangkan bismillah, memanjangkan ar rahmaan, dan memanjangkan ar rahiim.

(HR. Bukhari no. 5046)

Anas bin Malik juga berkata:

أَنَّ مُعَاوِيَةَ صَلَّى بِالْمَدِينَةِ، فَتَرَكَ الْبَسْمَلَةَ، فَأَنْكَرَ عَلَيْهِ مَنْ حَضَرَهُ مِنَ الْمُهَاجِرِينَ ذَلِكَ، فَلَمَّا صَلَّى الْمَرَّةَ الثَّانِيَةَ بَسْمَلَ

Bahwa Muawiyah shalat di Madinah, dia tidak membaca basmalah, lalu hal itu diingkari oleh para jamaah yang hadir dari kalangan Muhajirin, saat dia shalat lagi yang kedua, dia membaca basmalah.

(HR. Asy Syafi’i dalam Musnadnya, Al Hakim dalam al Mustadrak, 1/233)

3. Hadits Ummu Salamah Radhiyallahu ‘Anha

انَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وسلم يقطع قراءته: بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ. الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ. الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ. مَالِكِ يَوْمِ الدِّينِ. وَقَالَ الدَّارَقُطْنِيُّ: إِسْنَادُهُ صَحِيحٌ

Bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam membaca secara terputus: Bismillahirrahmanirrahim. Alhamdulillahirabbil’ alamin. Arrahmanirrahim. Malikiyaumiddin.

(HR. Ahmad, 6/302, Abu Daud no. 1466, Al Hakim 2/131. Di shahihkan oleh Ibnu Khuzaimah. Ad Daruquthni berkata: Shahih. Tafsir Ibnu Katsir, 1/118)

Imam Ibnu Katsir sendiri mendukung pendapat ini, Beliau berkata:

وَفِي هَذِهِ الْأَحَادِيثِ، وَالْآثَارِ الَّتِي أَوْرَدْنَاهَا كِفَايَةٌ وَمَقْنَعٌ فِي الِاحْتِجَاجِ

Berbagai hadits dan atsar yang telah kami sampaikan begitu mencukupi dan memuaskan sebagai hujjah. (Tafsir Ibnu Katsir, 1/118)

3️⃣ Tidak membaca bismillah baik secara keras atau pelan

Ini pendapat Imam Malik, alasannya karena menurutnya Bismillahirrahmanirrahim bukanlah bagian dari Alfatihah.

Imam Ibnu Katsir mengatakan:

وَعِنْدَ الْإِمَامِ مَالِكٍ: أَنَّهُ لَا يَقْرَأُ الْبَسْمَلَةَ بِالْكُلِّيَّةِ، لَا جَهْرًا وَلَا سِرًّا

Menurut Imam Malik bahwa secara keseluruhan basmalah itu tidak dibaca baik secara keras atau pelan. (Ibid)

Alasan-alasan kelompok ini sama dengan kelompok pertama. Bagi mereka hadits-hadits yang dijadikan hujjah oleh kelompok pertama, baik dari Anas, Aisyah, dan Abdullah bin Mughaffal, maknanya adalah tidak membaca basmalah, bukan sekedar melirihkan/memelankan suara saat membacanya. Inilah ta’wil golongan ini.

Syaikh Abdul Aziz ar Rajihi mengatakan:

عدم قراءتها بالكلية لا جهراً ولا سراً، وهذا هو قول مالك، وهو أضعف الأقوال

Tidak membaca basmalah sama sekali disemua shalat baik secara keras atau lirih, adalah pendapat Imam Malik, dan ini adalah pendapat paling lemah. (Syarh Tafsir Ibnu Katsir, 7/6)

Demikianlah peta perbedaan pendapat ulama dalam masalah ini dan masing-masing dalil-dalil mereka.

Jadi, jika ada seseorang atau imam shalat yang mengeraskan bacaan basmalahnya, maka dia telah menjalankan sunnah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, sunnah para sahabat, para tabi’in, dan sebagian imam madzhab.

Begitu pun jika ada yang membacanya secara pelan maka dia pun telah menjalankan sunnah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, sunnah para sahabat, tabi’in, dan para imam madzhab.

Ada penjelasan bagus dari Imam Ibnul Qayyim Rahimahullah:

والإِنصاف الذي يرتضيه العالم المنصف، أنه صلى الله عليه وسلم جهر، وأسر، وقنت، وترك، وكان إسرارُه أكثَر من جهره، وتركه القنوتَ أكثر من فعله

Pendapat yang bijak yang diridhai oleh para ulama yang objektif adalah bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam pernah membaca baamalah secara keras, pernah pelan, pernah berqunut, dan pernah meninggalkannya. Hanya saja memelankannya lebih sering dibanding mengeraskannya, dan meninggalkan qunut lebih sering dibanding melakukannya.”

(Imam Ibnul Qayyim, Zaadul Ma’ad, 1/272)

Syaikh Muhammad Shalih Al Munajjid memberikan nasihat:

فيجوز لك الجهر بالبسملة لأولئك القوم إما دائما ، أو أحياناً ؛ لتحقيق مصلحة كبرى وهي ائتلافهم واجتماعهم ووحدة كلمتهم

Maka boleh bagi anda mengeraskan basmalah untuk kaum yang melakukannya, baik secara rutin atau kadang-kadang, untuk merealisasikan maslahat besar yaitu menjaga ikatan hati, perkumpulan, dan persatuan, di antara mereka.

(Al Islam Su’aal wa Jawaab no. 175551)

Demikian. Wallahu a’lam

🌷🍀🌿🌸🌻🍃🌳🍁

✍ Farid Nu’man Hasan

scroll to top