Saksikanlah! Dia Termasuk Mukmin!

🍃🍃🍃🍃🍃🍃

Dari Abu Sa’id Al Khudri Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

إذا رأيتم الرجل يتعاهد المسجد فاشهدوا له بالإيمان فإن الله تعالى يقول ( إنما يعمر مساجد الله من آمن بالله واليوم الآخر وأقام الصلاة وآتى الزكاة ) الآية

Apabila kamu sekalian melihat seseorang yang biasa ke masjid maka saksikanlah bahwa ia benar-benar beriman.

Allah ‘azza wajalla berfirman : Sesungguhnya yang memakmurkan masjid-masjid Allah adalah orang yang beriman kepada Allah dan hari akhir menegakkan shalat dan menunaikan zakat.

(HR. At Tirmidzi No. 2617, Ibnu Majah No. 802, Ahmad No. 11725)

Hadits ini dihasankan oleh: Imam At Tirmidzi, Imam An Nawawi, Syaikh Muhammad Ibrahim, Syaikh Ibnu Jibrin, dan lainnya.

– Tapi SHAHIH, menurut Imam Al Hakim (Al Mustadrak No. 3280), juga Imam Adz Dzahabi Talkhishnya.

– Imam Ibnu Hibban, Imam Ibnu Khuzaimah juga memasukkanya dalam kitab Shahih mereka. (Ibnu Hibban No. 1721, Ibnu Khuzaimah No. 1502).

– Dishahihkan oleh Imam Al Munawi. (At Taysir, 1/198),

– juga Imam As Sakhawi (Maqashid Al Hasanah Hal. 87),

– Imam Al ‘Ajluni (Kasyful Khafa, 1/90), dan Syaikh Ahmad Mushthafa Al A’zhami dalam Tahqiq Ibni Khuzaimah. (Fatawa Asy Syabakah Al Islamiyah No. 54303)

– Tapi Syaikh Al Albani mendhaifkannya, tapi menurutnya secara makna tetap shahih. (Tahqiq Riyadhishshalihin, 1067)

Wa Shallallahu ‘Alaihi wa aalihi wa Shahbihi wa Salam

🌿🌷🌺🌻🌸🍃🌵🌴

✍ Farid Nu’man Hasan

Hikmah Al-Qur’an Diturunkan Bertahap

Allah swt menyempurnakan turunnya Al-Qur’an dalam proses yang gradual. Secara berangsur-angsur, Allah swt menurunkan perintah demi perintah kepada umat Islam, menghadirkan firman-Nya saat hati Rasulullah gundah, menjelaskan masalah saat ada pertanyaan dari sahabat atau peristiwa tertentu, hingga akhirnya semua ayat dalam Al-Qur’an turun sempurna.

Penting bagi umat muslim untuk mengerti hikmah diturunkannya Al-Qur’an secara bertahap, agar umat muslim bisa menghayati perjuangan Rasulullah saw. Idealnya, seorang muslim memiliki pengetahuan tentang asbabun nuzul (peristiwa-peristiwa yang melatarbelakangi turunnya suatu ayat). Pemahaman ini bisa menumbuhkan semangat juangnya dalam mengamalkan ajaran Islam.

Hikmah diturunkannya Al-Qur’an secara bertahap antara lain:

Meneguhkan Hati Rasulullah

Begitu banyak rintangan dalam dakwah Rasulullah saw. Peristiwa demi peristiwa dihadapinya, dan banyak di antaranya kejadian yang tidak mengenakkan. Menghadapi semua itu perlu mental yang kuat. Manusia biasa butuh nasihat, masukan, saran, dan kata-kata motivasi saat menghadapi masalah. Untuk Rasulullah, penguatan mental itu berupa turunnya Al-Qur’an di kala ia saw gundah hatinya. Itulah hikmah pertama, meneguhkan hati Rasulullah saw.

“Berkatalah orang-orang yang kafir: “Mengapa Al Qur’an itu tidak diturunkan kepadanya sekali turun saja?” Demikianlah supaya Kami perkuat hatimu dengannya dan Kami membacanya secara tartil (teratur dan benar). Tidaklah orang-orang kafir itu datang kepadamu (membawa) sesuatu yang ganjil, melainkan Kami datangkan kepadamu suatu yang benar dan yang paling baik penjelasannya.” (Al-Furqon: 32-33)

Ketika Rasulullah diejek sebagai orang gila, Allah menurunkan surat Al-Qolam yang menjelaskan bahwa beliau tidak gila, bahkan perangai beliau beradat yang luhur. Saat beliau mengalami pukulan yang hebat dalam perang Uhud, Allah swt meneguhkan ia dan pasukan muslim dengan turunnya Al-Qur’an.

Agar Qur’an Mudah Dihafal dan Dipahami

“Dan Al Qur’an itu telah Kami turunkan dengan berangsur-angsur agar kamu membacakannya perlahan-lahan kepada manusia dan Kami menurunkannya bagian demi bagian.” (Al-Isra 106)

Ini merupakan sunnahnya, bahwa sesuatu yang diajarkan secara gradual dan runut akan lebih mudah dipahami. Penghafal Al-Qur’an hingga zaman sekarang akan menghafalnya dari yang mudah. Di zaman Rasulullah, pada peristiwa demi peristiwa Al-Qur’an diturunkan; dan dibantu dengan metode berfikir asosiatif, ayat-ayat itu lebih mudah dihafal.

Mementahkan Argumentasi Orang Kafir

Orang-orang kafir akan mencari kelemahan dari ajaran Islam. Dan saat mereka mendatangkan keraguan di kalangan umat muslim, Allah menurunkan Al-Qur’an yang mementahkan keraguan itu. Begitu seterusnya hingga orang kafir frustasi terhadap Al-Qur’an.

“Tidaklah orang-orang kafir itu datang kepadamu (membawa) sesuatu yang ganjil, melainkan Kami datangkan kepadamu suatu yang benar dan yang paling baik penjelasannya.” (Al-Furqan: 33)

Penahapan Dalam Menurunkan Syariat-Nya

Contoh yang paling populer adalah penahapan pelarangan khamr (minuman keras). Karena khamr sudah menjadi gaya hidup yang sangat melekat di peradaban Arab kala itu, maka pelarangannya harus dilakukan secara bertahap.

Pertama kali Allah menerangkan bahwa khamr menyimpan potensi buruk yang besar.

“Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan judi. Katakanlah: “Pada keduanya terdapat dosa yang besar dan beberapa manfa’at bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfa’atnya” (Al-Baqoroh 219)

Setelah argumentasi ini tersebar di kalangan manusia dan mereka memahaminya, lalu turun perintah agar tidak dalam keadaan pengaruh khamr saat mendirikan sholat.

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan.” (An Nisa 43)

Hingga larangan itupun sempurna, Allah memerintahkan umat Islam meninggalkan khamr secara total.

“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah , adalah termasuk perbuatan setan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan. Sesungguhnya setan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kamu lantaran (meminum) khamar dan berjudi itu, dan menghalangi kamu dari mengingat Allah dan sembahyang; maka berhentilah kamu (dari mengerjakan pekerjaan itu). Dan ta’atlah kamu kepada Allah dan ta’atlah kamu kepada Rasul-(Nya) dan berhati-hatilah. Jika kamu berpaling, maka ketahuilah bahwa sesungguhnya kewajiban Rasul Kami, hanyalah menyampaikan (amanat Allah) dengan terang.” (Al-Maidah 90-92)

Merespon Peristiwa-Peristiwa yang Terjadi

Agar Al-Qur’an dapat dipahami oleh manusia seluruh zaman, maka Allah swt menyetting peristiwa-peristiwa penyebab turunnya Al-Qur’an. Dan juga melalui pertanyaan-pertanyaan para sahabat yang kemudian dijelaskan oleh Allah swt melalui Al-Qur’an.

Allah swt mendisain peristiwa pernikahan Rasulullah saw dengan Zainab rha. dengan tujuan menghapus anggapan anak hasil adopsi/anak angkat sebagai anak sendiri yang sudah berlaku di kalangan bangsa Arab. Atas peristiwa itu, Allah swt menurunkan Qur’an surat Al-Ahzab 37. Sebelumnya berlaku aturan tidak boleh menikahi wanita mantan istri anak angkat sendiri. Namun Allah swt menghapus aturan itu dengan peristiwa ini.

Atau atas pertanyaan para sahabat yang meminta fatwa kepada Rasulullah saw tentang haidh, Allah swt meresponnya dengan menurunkan surat Al-Baqarah ayat 222.

Juga saat memutuskan perkara soal fitnah dari kalangan munafik kepada Aisyah rha (peristiwa haditsul ifki), Allah menurunkan beberapa ayat dalam surat An-Nur.

Suami Rajin Ibadah, Tapi Malas Nafkah

💢💢💢💢💢💢💢💢

📨 PERTANYAAN:

Assalaamu’alaikum Ustadz Farid, semoga sehat dan berkah selalu menyertai Ustadz. Mau tanya apa hukumnya seorang suami yang rajin ibadah tapi agak malas mencari nafkah keluarga sehingga istri harus ikut mencari bahkan sekarang malah istri yang jadi tulang punggung keluarga. Atas jawabannya Jazakallaahu khoiran. Wassalam (AS)

📬 JAWABAN

🍃🍃🍃🍃🍃🍃🍃🍃

Wa’alaikumussalam wa Rahmatullah wa Barakatuh

Bismillahirrahmanirrahim..

Nafkah seorang suami kepada istrinya adalah wajib. Ini sama-sama telah diketahui umat Islam. Status suami sebagai pemimpin di rumah tangga, salah satu sebabnya adalah dia menafkahi istrinya.

Allah Ta’ala berfirman:

ٱلرِّجَالُ قَوَّٰمُونَ عَلَى ٱلنِّسَآءِ بِمَا فَضَّلَ ٱللَّهُ بَعۡضَهُمۡ عَلَىٰ بَعۡضٖ وَبِمَآ أَنفَقُواْ مِنۡ أَمۡوَٰلِهِمۡۚ

Laki-laki (suami) itu pelindung bagi perempuan (istri), karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (perempuan), dan karena mereka (laki-laki) telah memberikan nafkah dari hartanya. (QS. An-Nisa’, Ayat 34)

Ayat ini menunjukkan kepemimpinan laki-laki itu ada sebab, yaitu dia menafkahi istrinya. Menurut Imam Al Qurthubi, jika suami tidak mampu menafkahinya teranulirlah status kepemimpinannya, maka apalagi jika karena malas.

Imam Al Qurthubi Rahimahullah mengatakan:

أَنَّهُ مَتَى عَجَزَ عَنْ نَفَقَتِهَا لَمْ يَكُنْ قَوَّامًا عَلَيْهَا، وَإِذَا لَمْ يَكُنْ قَوَّامًا عَلَيْهَا كَانَ لَهَا فَسْخُ الْعَقْدِ، لِزَوَالِ الْمَقْصُودِ الَّذِي شُرِعَ لِأَجْلِهِ النِّكَاحُ. وَفِيهِ دَلَالَةٌ وَاضِحَةٌ مِنْ هَذَا الْوَجْهِ عَلَى ثُبُوتِ فَسْخِ النِّكَاحِ عِنْدَ الْإِعْسَارِ بِالنَّفَقَةِ وَالْكُسْوَةِ، وَهُوَ مَذْهَبُ مَالِكٍ وَالشَّافِعِيّ

Sesungguhnya, dikala dia tidak mampu menafkahi istrinya maka lenyaplah kepemimpinannya atas istrinya. Jika dia sudah tidak lagi sebagai pemimpin, maka istrinya boleh melakukan fasakh (pembatalan) atas nikahnya, karena maksud diadakannya pernikahan (yaitu tanggung jawab nafkah) telah hilang. Ini menjadi dalil yang jelas atas kuatnya kebolehan melakukan fasakh nikah dikala seorang suami kesulitan memberikan nafkah dan pakaian. Inilah pendapat Imam Malik dan Imam Asy Syafi’i. (Tafsir Al Qurthubi, jilid. 5, hal. 169)

Kewajiban nafkah telah ijma’ (konsensus), walau istri kaya dan berpenghasilan sendiri, seperti yang dikatakan Imam Ibnu Hazm Rahimahullah:

وَاتَّفَقُوا أَن الْحر الَّذِي يقدر على المَال الْبَالِغ الْعَاقِل غير الْمَحْجُور عَلَيْهِ فَعَلَيهِ نَفَقَة زَوجته الَّتِي تزَوجهَا زواجا صَحِيحا إذا دخل بهَا وَهِي مِمَّن تُوطأ وَهِي غير ناشز وَسَوَاء كَانَ لَهَا مَال أَو لم يكن

Para ulama sepakat bahwa laki-laki yang merdeka (bukan budak) yang memiliki harta, baligh, aqil, dalam kondisi tidak ada halangan, wajib memberikan nafkah untuk istrinya yang dinikahi dalam ikatan pernikahan yang sah, dia sudah menggaulinya, baik istrinya orang berharta atau tidak. (Maratibul Ijma’, hal. 79)

Maka, memiliki suami rajin ibadah tentu bagus dan patut disyukuri. Sebab, ada juga yang malas ibadah dan malas nafkah sekaligus. Tapi, jangan lupa, ibadah itu bukan hanya shalat, puasa, dan baca Al Quran, tapi juga menafkahi anak dan istri. Anak dan istri itu hakikatnya adalah amanah Allah Ta’ala, bukan dekorasi di rumah tangga. Bahkan menafkahi istri menjadi salah satu ciri orang bertaqwa, seperti yang Allah Ta’ala tegaskan di awal surah Al Baqarah:

وَمِمَّا رَزَقۡنَٰهُمۡ يُنفِقُونَ

dan menginfakkan sebagian rezeki yang Kami berikan kepada mereka. (QS. Al Baqarah: 3)

Abdullah bin Mas’ud Radhiallahu ‘Anhu menjelaskan makna ayat ini:

نفقة الرجل على أهله

Nafkah seorang laki-laki (suami) kepada keluarganya. (Al Mawardi, An Nukat wa Al’ Uyun, jilid. 1, hal. 70)

Di sisi lain, istri mesti mendorong, memotivasi suaminya, agar terus berusaha, bekerja, jaga wibawa diri, walau penghasilannya dianggap kecil. Yang penting suami usaha dulu, dan jangan tergesa-gesa minta cerai walau sudah punya alasan untuk itu. Tentunya bersabar dan mencari solusi bersama adalah lebih baik.

Demikian. Wallahu a’lam

🌿🌷🌺🌻🌸🍃🌵🌴

✍ Farid Nu’man Hasan

Serba-Serbi Anak Yatim

Siapakah Anak Yatim?

Imam Badruddin Al ‘Aini mengatakan, secara bahasa yatim artinya munfarid (sendirian). (‘Umdatul Qari, jilid. 14, hal. 62)

Imam Abu Nashir Al Jauhari mengatakan yatim jamaknya adalah aytaam dan yataamaa, bagi manusia yatim adalah yang tidak memiliki ayah, sedangkan bagi hewan ternak yatim adalah yang tidak memiliki ibu. (Ash Shihah Taaj Al Lughah, jilid. 5, hal. 2064)

Imam Najmuddin An Nasafi mengatakan bahwa Yatim dari kalangan Bani Adam (manusia) adalah yang wafat ayahnya, ada pun kalangan hewan adalah yang wafat ibunya. (Thalabatuth Thalabah, hal. 42)

Status yatim itu sama baik anak laki-laki atau perempuan. (Imam Abu Thayyib Syamsul ‘Azhim, ‘Aunul Ma’bud, jilid. 14, hal. 41)

Sementara dalam penelitian Syaikh Dr. Ahmad Mukhtar Umar, yatim itu istilah bagi anak yang kehilangan (faqada) ayahnya, ada pun yang kehilangan ibunya adalah ‘ajiiban atau munqathi’an, sedangkan yang ayahnya wafat disebut Lathiim. (Mu’jam Ash Shawab Al Lughawi, jilid. 1, hal. 807)

Dari keterangan Syaikh Ahmad Mukhtar, istilah Yatim itu bisa bermakna anak yang kehilangan ayahnya, tidak diketahui keberadaan dan rimbanya, walau belum tentu ayahnya sudah wafat. Sedangkan yang ayahnya wafat disebut Lathim. Namun demikian, ada benang merah antara keduanya, yaitu sama-sama anak yang tidak memiliki ayah yang menanggung kehidupannya baik karena wafat atau ‘hilang’.

Ini seperti yang dikatakan oleh Imam Ibnu Katsir Rahimahullah: “Mereka adalah orang-orang yang tidak memiliki kaasib (pencari nafkah dalam hidupnya) bagi mereka, dan ayah mereka wafat, mereka dalam keadaan lemah, masih kecil belum baligh dan tidak mampu mencari nafkah.” (Tafsir Ibnu Katsir, jilid. 1, hal. 487)

Kapan berakhir status Yatim?

Rasulullah ﷺ bersabda:

لا يُتمَ بعدَ احتلامٍ

Tidak ada yatim setelah mencapai mimpi basah (baligh).

(HR. Abu Daud no. 2873. Dinyatakan hadits hasan oleh Imam an Nawawi dalam Riyadhushshalihin. Syaikh Syuaib al Arnauth mengatakan: hasan lighairih )

Imam Najmuddin An Nasafi Rahimahullah mengomentari hadits ini: “Yaitu tidaklah lagi baginya dihukumi sebagai anak yatim setelah dia ihtilam (mimpi basah-baligh).”

( Thalabatuth Thalabah, hal. 42).

Imam Al Khathabi Rahimahullah mengatakan: “Perkataan ini menunjukkan bahwa berakhirnya hukum yatim adalah dengan adanya mimpi basah atau dia mengalami hukum-hukum orang yang sudah baligh.” ( Ma’alim As Sunan, jilid. 4, hal. 87).

Imam Al Munawi Rahimahullah mengatakan: “Yaitu tidak berlaku bagi orang yang baligh dan mimpi basah hukum sebagai anak yatim.” ( At Taisir bisyarh Al Jami’ ash Shaghir, 2, hal. 504)

Imam Ibnul Atsir Rahimahullah mendefinisikan tentang yatim:

من مات أبوه وهو دون البلوغ، وبالبلوغ ينقضي اليتم إلا أن يكون سفيهًا أو محجورًا عليه

Siapa yang wafat ayahnya dan dia belum baligh, dan tercapainya usia baligh membuat selesainya keyatiman kecuali jika dia safiih (lemah akal) atau mahjuur (terbuang/tidak ada yang peduli).

( Asy Syafi Syarh Musnad Asy Syafi’i, jilid. 5, hal. 396)

Jadi, jika anak itu lemah dan belum bisa mengurus diri sendiri, walau dia sudah baligh dan mimpi basah, atau haid bagi yang wanita, tidak berarti dia ditinggalkan begitu saja. Kelemahan dia dalam mengurus dirinya tetap sebagai alasan untuk memperhatikan kehidupannya, bukan karena status keyatimannya yang memang telah berakhir, tapi karena kelemahannya.

Keutamaan Menyantuni Anak Yatim

Anak yatim adalah salah satu golongan yang dianjurkan untuk disedekahkan oleh umat Islam. Allah Ta’ala telah merinci dalam firmanNya:

يَسْأَلُونَكَ مَاذَا يُنْفِقُونَ قُلْ مَا أَنْفَقْتُمْ مِنْ خَيْرٍ فَلِلْوَالِدَيْنِ وَالْأَقْرَبِينَ وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينِ وَابْنِ السَّبِيلِ وَمَا تَفْعَلُوا مِنْ خَيْرٍ فَإِنَّ اللَّهَ بِهِ عَلِيمٌ

Mereka bertanya tentang apa yang mereka nafkahkan. Jawablah: “Apa saja harta yang kamu nafkahkan hendaklah diberikan kepada ibu-bapak, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan.” Dan apa saja kebaikan yang kamu buat, maka sesungguhnya Allah Maha Mengetahuinya. (QS. Al Baqarah: 215)

Selain itu, Rasulullah ﷺ menjanjikan para penyantun anak yatim akan hidup berdampingan dengan dirinya di surga. Dari Sahl Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Nabi ﷺ bersabda:

وَأَنَا وَكَافِلُ اليَتِيمِ فِي الجَنَّةِ هَكَذَا» وَأَشَارَ بِالسَّبَّابَةِ وَالوُسْطَى، وَفَرَّجَ بَيْنَهُمَا شَيْئًا

Di surga nanti, aku bersama orang yang menyantuni anak yatim seperti ini. (Nabi ﷺ mengisyaratkan dengan jari telunjuk dan tengah, dan diberikan celah sedikit). (HR. Bukhari No. 5304)

Menyantuni anak yatim, juga sebagai sarana melembutkan hati bagi seorang mukmin. Sebagaimana dikatakan dalam hadits berikut:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، أَنَّ رَجُلًا شَكَا إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَسْوَةَ قَلْبِهِ , فَقَالَ: ” إِنْ أَرَدْتَ أَنْ يُلَيَّنَ قَلْبُكَ فَأَطْعِمِ الْمَسَاكِينَ وَامْسَحْ رَأْسَ الْيَتِيمِ “

Dari Abu Hurairah, bahwa ada seorang laki-laki mengeluhkan kepada Rasulullah ﷺ tentang hatinya yang keras. Beliau bersabda: “Jika kau ingin melembutkan hatimu, maka berikanlah makan ke orang-orang miskin, dan usaplah kepala anak yatim.”

(HR. Ahmad no. 7576, Al Baihaqi dalam as Sunan al Kubra no. 7094. Hadits ini dinyatakan DHAIF oleh Syaikh Syuaib al Arnauth (Ta’liq Musnad Ahmad, 13/22) dan Syaikh Ahmad Syakir (Musnad Ahmad no. 7566). Sementara Al Hafizh Ibnu Hajar mengatakan: HASAN. (Fathul Bari, 11/151), Syaikh al Albani juga menghasankan. (Shahihul Jami’ no. 1410)

Makna MENGUSAP KEPALA dalam hadits tsb ada yg memaknai secara hakiki benar-benar mengusap, ada juga yg mengartikan lemah lembut dan perhatian.

Imam ash Shan’ani Rahimahullah menjelaskan:

والمراد مسحه بالدهن أو معنى تلطفا وتأنيسا وقد يلين القلب و يرضى الرب

Maksud dari mengusap adalah mengusapnya dengan minyak, atau maknanya adalah bersikap lembut dan bersahabat, itu akan melembutkan hati dan mendatang keridhaan Allah. (At Tanwir Syarh al Jami’ ash Shaghir, 4/236)

Jika anak yatim tersebut ada hubungan darah dengan kita maka anjurannya lebih kuat lagi, dan memiliki nilai lebih dari sekadar sedekah, yaitu juga silaturrahim.

Siapa yang disebut sebagai penyantun anak yatim?

Penyantun anak yatim (Kaafilul Yatim), bukan hanya pihak yang menanggung nafkah harta, tapi siapa pun yang mendidik dan membina mereka, bahkan sampai merapikan dan meminyaki rambut mereka.

Imam An Nawawi Rahimahullah mengatakan:

كَافِلُ الْيَتِيمِ الْقَائِمُ بِأُمُورِهِ مِنْ نَفَقَةٍ وَكِسْوَةٍ وَتَأْدِيبٍ وَتَرْبِيَةٍ وَغَيْرِ ذَلِكَ وَهَذِهِ الْفَضِيلَةُ تَحْصُلُ لِمَنْ كَفَلَهُ مِنْ مَالِ نَفْسِهِ أَوْ مِنْ مَالِ الْيَتِيمِ بِوِلَايَةٍ شَرْعِيَّةٍ

Kaafilul Yatim adalah orang yang mengurus berbagai urusan anak yatim baik berupa nafkah, pakaian, pendidikan adab, pembinaan, dan lainnya. Keutamaan ini berlaku bagi yang menyantuninya lewat hartanya sendiri atau dari harta si anak yatim dengan kewenangan yang dibenarkan syariat. (Syarh Shahih Muslim, jilid. 18, hal. 113)

Syaikh Az Zurqani Rahimahullah dalam Syarh ‘ala al Muwaththa:

أَنَّ مِنْ جُمْلَةِ كَفَالَةِ الْيَتِيمِ إِصْلَاحَ شَعَرِهِ، وَتَسْرِيحَهُ، وَدَهْنَهُ

Sesungguhnya di antara cakupan makna “menyantuni anak yatim” adalah merapikan rambutnya, menyisirnya, dan meminyakinya. (Syarh ‘alal Muwaththa, jilid. 4, hal. 534)

Jadi, secara global, orang yang menyantuni anak yatim bisa melakukan semua bentuk santunan dalam hal-hal yang besar dan kecil yang dibutuhkan anak-anak yatim tersebut, tidak terbatas pada belanja materi tapi kebutuhan lainnya baik berupa pendidikan agama, tutur kata yang baik, mengajak mereka dalam kesenangan, dan menghiburnya dalam kebaikan.

Siapa yang lebih ditekankan menafkahi mereka?

Secara umum, dorongan menyantuni anak yatim adalah berlaku bagi seluruh umat Islam, baik yang ada hubungan darah atau tidak dengan si anak yatim tersebut.

Namun ada segolongan manusia yang mendapatkan penekanan khusus untuk menyantuni, merawat, dan mendidik mereka.

Imam An Nawawi Rahimahullah menjelaskan siapa saja mereka:

فَاَلَّذِي لَهُ أَنْ يَكُونَ قَرِيبًا لَهُ كَجَدِّهِ وَأُمِّهِ وَجَدَّتِهِ وَأَخِيهِ وَأُخْتِهِ وَعَمِّهِ وَخَالِهِ وَعَمَّتِهِ وَخَالَتِهِ وَغَيْرِهِمْ مِنْ أَقَارِبِهِ وَاَلَّذِي لِغَيْرِهِ أَنْ يَكُونَ أَجْنَبِيًّا

Maka, yang punya hubungan dekat dengan anak yatim tersebut seperti kakek, ibu, nenek, saudara yang laki-laki, saudara yang perempuan, paman dari pihak ayah, bibi dari pihak ayah, paman dari pihak ibu, bibi dari pihak ibu, dan kerabat lainnya, dan selainnya adalah ajnabi (orang asing/bukan kerabat). (Syarh Shahih Muslim, jilid. 18, hal. 113)

Bolehkah wali yatim memakai harta anak yatim untuk kepentingan dirinya sendiri?

Hal ini ada perincian sebagai berikut:

Pertama. Jika memanfaatkannya secara zalim, berlebihan, menelantarkan kepentingan anak yatim, dan menjadikannya sebagai harta pokok bagi si wali yatim. Maka, ini haram dan termasuk dosa besar.

Allah Ta’ala berfirman:

وَآتُوا الْيَتَامَى أَمْوَالَهُمْ وَلَا تَتَبَدَّلُوا الْخَبِيثَ بِالطَّيِّبِ وَلَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَهُمْ إِلَى أَمْوَالِكُمْ إِنَّهُ كَانَ حُوبًا كَبِيرًا

Dan berikanlah kepada anak-anak yatim (yang sudah balig) harta mereka, jangan kamu menukar yang baik dengan yang buruk dan jangan kamu makan harta mereka bersama hartamu. Sesungguhnya tindakan-tindakan (menukar dan memakan) itu, adalah dosa yang besar. (QS. An Nisa: 2)

Dalam ayat lain:

إِنَّ الَّذِينَ يَأْكُلُونَ أَمْوَالَ الْيَتَامَى ظُلْمًا إِنَّمَا يَأْكُلُونَ فِي بُطُونِهِمْ نَارًا وَسَيَصْلَوْنَ سَعِيرًا

Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim, sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka). (QS. An Nisa: 10)

Dalam hadits disebutkan:

«اجْتَنِبُوا السَّبْعَ المُوبِقَاتِ»، قَالُوا: يَا رَسُولَ اللَّهِ وَمَا هُنَّ؟ قَالَ: «الشِّرْكُ بِاللَّهِ، وَالسِّحْرُ، وَقَتْلُ النَّفْسِ الَّتِي حَرَّمَ اللَّهُ إِلَّا بِالحَقِّ، وَأَكْلُ الرِّبَا، وَأَكْلُ مَالِ اليَتِيمِ، وَالتَّوَلِّي يَوْمَ الزَّحْفِ، وَقَذْفُ المُحْصَنَاتِ المُؤْمِنَاتِ الغَافِلاَتِ

“Jauhilah tujuh perkara yang membinasakan”. Para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah itu? Beliau bersabda, “Syirik kepada Allah, sihir, membunuh jiwa yang diharamkan oleh Allah kecuali dengan haq, memakan riba, *makan harta anak yatim*, kabur dari medan peperangan dan menuduh seorang wanita mukmin yang suci berbuat zina”. (HR. Bukhari no. 2766)

Imam As Suddi Rahimahullah -pakar tafsir masa salaf- mengatakan:

يحشر آكل مال اليتيم ظلماً يوم القيامة ولهب النار يخرج من فيه ومن مسامعه وأنفه وعينه كل من رآه يعرفه أنه آكل مال اليتيم.

Para pemakan harta anak yatim secara zalim pada hari kiamat nanti akan dikumpulkan, dan api neraka akan keluar dari mulut, telinga, hidung, dan matanya. Semua manusia yang melihatnya akan mengenalinya bahwa dia dulunya pemakan harta anak yatim.

(Dikutip oleh Imam Adz Dzahabi, Al Kabaair, hal. 22)

Kedua. Memanfaatkannya hanya sedikit dan bukan sebagai harta pokok kehidupannya.

Wali yatim boleh memanfaatkan harta anak yatim yang dia asuh sedikit saja, tidak berlebihan, dan tidak boleh menjadikannya sebagai sumber pokok kebutuhan dirinya. Hal ini berdasarkan Al Quran dan As Sunnah.

Allah Ta’ala berfirman:

وَلَا تَأْكُلُوهَا إِسْرَافًا وَبِدَارًا أَنْ يَكْبَرُوا وَمَنْ كَانَ غَنِيًّا فَلْيَسْتَعْفِفْ وَمَنْ كَانَ فَقِيرًا فَلْيَأْكُلْ بِالْمَعْرُوفِ

Dan janganlah kamu makan harta anak yatim lebih dari batas kepatutan dan (janganlah kamu) tergesa-gesa (menyerahkannya) sebelum mereka dewasa. Barang siapa (di antara wali itu) mampu, maka hendaklah ia menahan diri (dari memakan harta anak yatim itu) dan barangsiapa yang miskin, maka bolehlah ia makan harta itu menurut yang patut. (QS. An Nisa: 6)

Dalam hadits sebagai berikut:

كُلْ مِنْ مَالِ يَتِيمِكَ غَيْرَ مُسْرِفٍ وَلَا مُبَادِرٍ وَلَا مُتَأَثِّلٍ

“Makanlah sebagian dari harta anak yatimmu, tetapi janganlah berlebihan, jangan tergesa-gesa (dalam menguasakan harta itu ke anak yatim), dan tidak mengambilnya sebagai harta pokok pencarian.”

(HR. Abu Daud no. 2872, An Nasa’i no. 3668. Syaikh Abdul Qadir Al Arnauth mengatakan dalam tahqiqnya terhadap kitab Jami’ Al Ushul (jilid. 11, hal. 641), berkata: sanadnya hasan)

Dari hadits ini ada beberapa pendapat ulama, segolongan ulama mengatakan bolehnya wali yatim memanfaatkan harta yatim walau wali yatim tersebut dalam keadaan tidak mendesak kebutuhannya. Segolongan lain mengatakan kebolehan ini hanya berlaku bagi wali yatim yang benar-benar perlu.

Ada pula yang mengatakan jika hartanya emas atau perak, maka tidak boleh, kecuali dinilai sebagai hutang yang mesti dikembalikan.

Imam Abu Bakr Syatha Ad Dimyathi Rahimahullah berkata:

ليس لولي أخذ شئ من مال موليه إن كان غنيا مطلقا، فإن كان فقيرا وانقطع بسببه عن كسبه: أخذ قدر نفقته، وإذا أيسر: لم يلزمه بدل ما أخذه

Wali yatim yang kaya, secara mutlak tidak boleh sedikit pun mengambil dari harta anak-anak asuhnya. Jika dia fakir dan kehilangan sebab-sebab mata pencahariannya: dia boleh mengambilnya sebatas kebutuhan belanja dia, dan jika dia sudah lapang maka tidak wajib baginya mengganti apa yang diambilnya itu. (I’anatuth Thalibin, jilid. 3, hal. 88)

Imam Asy Syaukani Rahimahullah menjelaskan secara rinci sebagai berikut:

وَقَدْ اخْتَلَفَ أَهْلُ الْعِلْمِ فِي هَذِهِ الْمَسْأَلَةِ فَرُوِيَ عَنْ عَائِشَةَ أَنَّهُ يَجُوزُ لِلْوَلِيِّ أَنْ يَأْخُذَ مِنْ مَالِ الْيَتِيمِ قَدْرَ عِمَالَتِهِ، وَبِهِ قَالَ عِكْرِمَةُ وَالْحَسَنُ وَغَيْرُهُمْ وَقِيلَ: لَا يَأْكُلُ مِنْهُ إلَّا عِنْدَ الْحَاجَةِ ثُمَّ اخْتَلَفُوا فَقَالَ عُبَيْدَةُ بْنُ عَمْرٍو وَسَعِيدُ بْنُ جُبَيْرٍ وَمُجَاهِدٌ: إذَا أَكَلَ ثُمَّ أَيْسَرَ قَضَى وَقِيلَ: لَا يَجِبُ الْقَضَاءُ وَقِيلَ: إنْ كَانَ ذَهَبًا أَوْ فِضَّةً لَمْ يَجُزْ لَهُ أَنْ يَأْخُذَ مِنْهُ شَيْئًا إلَّا عَلَى سَبِيلِ الْقَرْضِ، وَإِنْ كَانَ غَيْرَ ذَلِكَ جَازَ بِقَدْرِ الْحَاجَةِ، وَهَذَا أَصَحُّ الْأَقْوَالِ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ، وَبِهِ قَالَ الشَّعْبِيُّ وَأَبُو الْعَالِيَةِ وَغَيْرُهُمَا، أَخْرَجَ جَمِيعَ ذَلِكَ ابْنُ جَرِيرٍ فِي تَفْسِيرِهِ وَقَالَ: هُوَ بِوُجُوبِ الْقَضَاءِ مُطْلَقًا وَانْتَصَرَ لَهُ.وَقَالَ الشَّافِعِيُّ: يَأْخُذُ أَقَلَّ الْأَمْرَيْنِ مِنْ أُجْرَتِهِ وَنَفَقَتِهِ، وَلَا يَجِبُ الرَّدُّ عَلَى الصَّحِيحِ عِنْدَهُ وَالظَّاهِرُ مِنْ الْآيَةِ وَالْحَدِيثِ جَوَازُ الْأَكْلِ مَعَ الْفَقْرِ بِقَدْرِ الْحَاجَةِ مِنْ غَيْرِ إسْرَافٍ وَلَا تَبْذِيرٍ وَلَا تَأَثُّلٍ، وَالْإِذْنُ بِالْأَكْلِ يَدُلُّ إطْلَاقُهُ عَلَى عَدَمِ وُجُوبِ الرَّدِّ عِنْدَ التَّمَكُّنِ، وَمَنْ ادَّعَى الْوُجُوبَ فَعَلَيْهِ الدَّلِيلُ

Para ulama berbeda pendapat dalam masalah ini. Diriwayatkan dari Aisyah bahwa boleh bagi wali yatim mengambil harta anak yatim sebatas pekerjaannya. Inilah pendapat ‘Ikrimah, Al Hasan, dan lainnya.

Dikatakan bahwa tidak boleh memakannya kecuali saat ada kebutuhan saja. Lalu mereka berbeda pendapat, Ubaidah bin Amru, Said bin Jubeir, dan Mujahid berkata: “Jika dia memakan harta anak yatim lalu dia mendapatkan kemudahan, maka hendaknya dia ganti.” Dikatakan: “Tidak wajib ganti.”

Dikatakan pula: “Jika hartanya emas dan perak, maka tidak boleh baginya mengambil harta itu kecuali dengan cara berhutang. Jika tidak begitu, boleh memanfaatkannya sebatas kebutuhannya.” Inilah pendapat yang lebih shahih dari berbagai pendapat dari Ibnu Abbas, inilah pendapatnya Asy Sya’bi, Abul ‘Aliyah, dan selain keduanya. Semua ini diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dalam tafsirnya. Dia (Ibnu Jarir) berkata: “Dia wajib menggantinya secara mutlak dan memberikan bantuan baginya.”
Imam Asy Syafi’i berkata: “Boleh mengambil lebih sedikit dari upah dan nafkahnya,” dan tidak wajib mengembalikannya menurut pendapat yang shahih baginya (Asy Syafi’i).

Pendapat yang benar menurut zahir ayat dan hadits adalah bolehnya memakan harta anak yatim jika wali yatim fakir, sebatas hajatnya saja tanpa berlebihan, tidak mubadzir, dan tidak menjadikan itu sebagai harta pokok baginya. Adanya izin memakannya menunjukkan bahwa secara mutlak tidak wajibnya mengembalikan harta itu walau dia mampu, siapa yang mengklaim wajib mengembalikan maka dia harus menunjukkan dalil.

(Imam Asy Syaukani, Nailul Authar, jilid. 5, hal. 300)

Demikian. Wallahu a’lam

Wa Shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa’ ala Aalihi wa Shahbihi wa Sallam

✍ Farid Nu’man Hasan

scroll to top