Ikhtilath

Pertanyaan

Assalammu’alaykum ust, Afwan sdh ganggu ust lagi… iya ust ada pertanyaan yg cukup ditanyakan ke ana yaitu :

Apa arti ikhtilat dan khalwat menurut ulama?? Apa benar bhw ikhtilat dan khalwat bisa mendatangkan murka Allah??

Ada yg mengatakan muslimah naik gojek dgn laki adalah khalwat hukumnya haram dan sebaliknya…

Ada yg mengatakan muslimah naik kendaraan umum disitu ada laki2 nya adalah ikhtilat dan hukumnya Haram..

Mhn pencerahannya ust…

Ana ucapkan Jazakallah khoiran katsiro..
Semoga Allah selalu menjaga ust…


Jawaban

Wa’alaikumussalam wa Rahmatullah wa Barakatuh

Ikhtilath, secara bahasa artinya campur baur.

Syaikh Isham Talimah menyebut Ikhtilath ada dua macam:

1. Ikhtilath masyru’, yaitu ikhtilath yg boleh terjadi karena adanya hajat untuk itu asalkan tetap memenuhi syaratnya.

Dalilnya adalah:

– Aisyah Radhiallahu ‘Anha pernah berkunjung ke Bilal yg sedang sakit, dan mereka ngobrol. Saat itu Abu Bakar Radhiyallahu’ Anhu juga sakit. Ini Shahih Bukhari.

– Ummud Darda, pernah berkunjung ke seorang laki-laki Anshar, yg sakit. Ini juga Shahih Bukhari.

Namun, pembolehan ini terikat oleh syarat bahwa tetap menutup aurat secara sempurna dan aman dari fitnah. (Al Hafizh Ibnu Hajar, Fathul Bari, 10/118).

– Dahulu datang seorang wanita ke Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam dan para sahabat yang sedang berkumpul di masjid, dan wanita itu menawarkan dirinya untuk dinikahi Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam. Ini juga Shahih Bukhari.

Syarat-syaratnya, selain aman dari fitnah dan menutup aurat, adalah percampuran itu memang tidak bisa dihindari, seperti di pasar, kampus, rumah sakit, swalayan, alat transportasi yang memang belum ada pemisahan laki-laki perempuan.

2. Ikhtilath mamnu’, yaitu Ikhtilath yang terlarang, jika tidak ada hajat dan tidak mengindahkan adab-adabnya.

Seperti bercampurnya laki-laki dan perempuan di bioskop, diskotik, kolam renang yang campur, pantai..

Ada pun khalwat, dari kata Al Khala, yang artinya sepi, kosong, dan jauh dari pandangan. Shingga larangan khalwat maksudnya adalah larangan berdua-duaan laki-laki dan perempuan bukan mahram, di tempat sepi dan jauh dari pandangan mata orang lain. Misal, di kamar, hotel, gudang, ruang tamu berdua-duaan. Ini terlarang, walau di temani anak kecil, maka keberadaan anak itu tidak dianggap ada karena blm paham apa-apa.. Haramnya khalwat dan hukum muslimah naik ojek pernah saya bahas di buku Fiqih Perempuan Kontemporer.

Wallahu A’lam

Farid Nu’man

Hukum Bersedekah Untuk Minta Didoakan

Pertanyaan

afwan bertanya ustadz:
seorang bapak pimpinan perusahaan sedang dirongrong/diteror usahanya oleh pihak2 yg “iri” dg keberhasilan bisnisnya (disebarkan berita hoax ttg pribadi dan perusahaannya), sehingga merasa terganggu.
dg latar belakang di atas, bapak tsb bermaksud bersedekah kpd anak-anak yatim/lembaga pengurus anak yatim dlm bentuk mengadakan pengajian dan bantuan dana, namun dg permintaan agar mereka mendoakan agar bisnis bapak tsb lancar kembali dan gangguannya hilang.
apakah ini termasuk “tawassul” yg diperkenankan?

Jawaban

Bismillahirrahmanirrahim
Minta didoakan orang shalih, atau sesama muslim tentu boleh. Begitu pula tawassul dengan amal shalih yang pernah/sudah dilakukan juga boleh, dan tidak ada beda pendapat dalam hal ini
Ada pun melakukan sedekah lalu kemudian setelah itu minta didoakan, maka ini sesuatu yang lain. Sebaiknya sedekah saja dan tanpa embel-embel.
Allah Ta’ala berfirman:
إِنَّمَا نُطۡعِمُكُمۡ لِوَجۡهِ ٱللَّهِ لَا نُرِيدُ مِنكُمۡ جَزَآءٗ وَلَا شُكُورًا
(sambil berkata), “Sesungguhnya kami memberi makanan kepadamu hanyalah karena mengharapkan keridhaan Allah, kami tidak mengharap balasan dan terima kasih dari kamu. -Surat Al-Insan, Ayat 9
Sebab, secara alamiah mereka yang dibantu juga akan mendoakan orang-orang yang membantunya.
Jika ingin tawassul datang saja ke orang yang kita anggap shalih, lalu minta doanya sebagaimana Umar bin Khathab Radhiallahu ‘Anhu mendatangi Abbas bin Abdul Muthalib Radhiallahu’ Anhu untuk didoakan turun hujan. Atau tawassul dengan amal shalih kita yang sudah lalu.
Wallahu A’lam
Farid Nu’man

Sikap Keras Terhadap Perbedaan Hari Raya

Bismillahirrahmanirrahim..
Sebagian manusia, ada yang bersikap keras dalam menyikapi pilihan fiqih saudaranya, termasuk dalam penentuan hari Idul Adha. Yang satu mencela yang ini, yang ini mencela yang itu.
Jika pakai standar yg idnya besok (KAMIS), maka yang idnya hari ini salah, menurut mereka hari ini masih 9 Zulhijjah, dan tidak ada hari id tanggal 9 Zulhijjah..
Jika pakai standar yang idnya hari ini (Rabu), maka yang idnya besok yang salah.. Karena besok 11 Zulhijjah menurut mereka..
Tapi jika kedua pihak konsisten dengan dirinya sendiri dan tidak menilai yang lain dengan standar dirinya, maka keduanya benar.. Kalau pun ada yang salah, maka dia tidak berdosa sebab salah dalam ijtihad tidaklah berdosa..
Imam an Nawawi Rahimahullah menasihati kita:
وَمِمَّا يَتَعَلَّق بِالِاجْتِهَادِ لَمْ يَكُنْ لِلْعَوَامِّ مَدْخَل فِيهِ ، وَلَا لَهُمْ إِنْكَاره ، بَلْ ذَلِكَ لِلْعُلَمَاءِ . ثُمَّ الْعُلَمَاء إِنَّمَا يُنْكِرُونَ مَا أُجْمِعَ عَلَيْهِ أَمَّا الْمُخْتَلَف فِيهِ فَلَا إِنْكَار فِيهِ لِأَنَّ عَلَى أَحَد الْمَذْهَبَيْنِ كُلّ مُجْتَهِدٍ مُصِيبٌ . وَهَذَا هُوَ الْمُخْتَار عِنْد كَثِيرِينَ مِنْ الْمُحَقِّقِينَ أَوْ أَكْثَرهمْ . وَعَلَى الْمَذْهَب الْآخَر الْمُصِيب وَاحِد وَالْمُخْطِئ غَيْر مُتَعَيَّن لَنَا ، وَالْإِثْم مَرْفُوع عَنْهُ
Adapun yang terkait masalah ijtihad, tidak mungkin orang awam menceburkan diri ke dalamnya, mereka tidak boleh mengingkarinya, tetapi itu tugas ulama.
Kemudian, para ulama hanya mengingkari dalam perkara yang disepakati para imam. Adapun dalam perkara yang masih diperselisihkan, maka tidak boleh ada pengingkaran di sana.
Karena berdasarkan dua sudut pandang setiap mujtahid adalah benar. Ini adalah sikap yang dipilih olah mayoritas para ulama peneliti (muhaqqiq).
Sedangkan pandangan lain mengatakan bahwa yang benar hanya satu, dan mana yang salah kita tidak tahu secara pasti, dan dia telah terangkat dosanya.
(Al Minhaj Syarh Shahih Muslim,  1/131. Mawqi’ Ruh Al Islam)
Imam Ibnu Daqiq al ‘Id juga menjelaskan dengan nasihat yang mirip:
والعلماء إنما ينكرون ما أجمع عليه أما المختلف فيه فلا إنكار فيه لأن على أحد المذهبين: أن كل مجتهد مصيب وهو المختار عند كثير من المحققين. وعلى المذهب الآخر: أن المصيب واحد والمخطئ غير متعين لنا والإثم موضوع عنه لكن على جهة النصيحة للخروج من الخلاف فهو حسن مندوب إلى فعله برفق
Para ulama hanyalah mengingkari apa-apa yang telah ijma’ (kemungkarannya), sedangkan perkara yang masih diperselisihkan tidak boleh ada pengingkaran dalam hal itu. Sebab, seseorang ada di dua madzhab yang berlaku:
1. Seluruh pihak yang berijtihad itu benar. Inilah yang dipilih oleh banyak muhaqqiq (peneliti).
2. Yang benar hanya satu yang lainnya salah, namun yang salah itu tidak tentu yang mana, dan dosa tidak berlaku (bagi yang salah).
Namun dia dinasihati agar keluar dari perselisihan. Ini adalah hal yang bagus dan diajurkan melakukannya dengan lembut.
(Imam Ibnu Daqiq al ‘Id, Syarah al Arbain an Nawawiyah, Hal.  113)
Maka, sikap-sikap keras dalam menyikapi perselisihan fiqih tidaklah diperlukan. Sikapilah sesama muslim ahlus Sunnah yang berbeda fiqihnya dengan pandangan ilmu, terhormat, dan kasih sayang.
Wallahul Muwafiq ‘ilaa Aqwamith Thariq.
✍️ Farid Nu’man Hasan

Jadi, Karena Tanggal 9 Dzulhijjahnya di Negeri Anda, atau Wuquf di Saudi?

Bismillahirrahmanirrahim..

– Pemerintah dengan berbagai Ormas (kecuali Muhammadiyah) telah memutuskan bahwa 1 Dzulhijjah adalah selasa lalu, sehingga 10 Dzulhijjah (Idul Adha) adalah KAMIS. Sehingga ketetapan ini berefek pada waktu shaum Arafahnya.

– Para ulama mengatakan, yang lebih kuat puasa Arafah adalah karena hari ke-9 Dzulhijjahnya, bukan karena wuqufnya. Karena wuquf hanya di satu tempat, sementara di semua negeri ada tanggal 9 Dzulhijjah, dan tidak semua negeri muslim tanggalnya sama dengan Saudi.

– Wuquf di masa Islam baru ada di haji wada’ (10 H), sedangkan puasa Arafah sudah ada sejak 2 H, tentunya di saat mereka puasa Arafah di tahun 2, 3, dst.. Bukan karena wuqufnya.. Tapi karena 9 Zulhijjahnya.

– Di masa Arab Jahiliyah, mereka juga ada wuquf tapi memindahkan waktunya di masa-masa panen, bukan 9 Dzulhijjah

– Dalam sejarah, haji pernah tidak terlaksana sebanyak 40x karena bencana, wabah, dll.. Tentu jika haji tidak terlaksana maka wuquf juga tidak ada di Arafah. Sementara puasa Arafah di negeri-negeri muslim lain tetap ada, karena tanggal 9 Dzulhijjah pasti melewati semua negeri, sehingga mereka tetap puasa bukan karena wuquf tapi karena 9 Dzulhijjahnya

– 2020 lalu hampir-hampir haji tidak ada karena pandemi. Seandainya benar-benar tidak ada, wuquf pun tidak ada, apakah di negeri-negeri muslim lainnya jadi tidak ada puasa Arafah? Tentu kan tetap ada, karena tanggal 9 Dzulhijjah selalu ada, baik ada wuquf atau tidak..

– Dalam Fatawa Asy Syabakah Al Islamiyah:

وصيام يوم عرفة منفصل عن وقوفه في عرفة، فالصيام يشرع لمن لم يكن حاجاً، وبالتالي فهو مربوط بالزمن وليس بالمكان

“Puasa Arafah adalah hal yang terpisah dari Wuquf di Arafah. Puasa tersebut disyariatkan kepada selain jama’ah haji, karenanya dia berkaitan dengan waktu bukan tempat.” (fatwa no. 1407)

– Imam Al Kharasyi Al Maliki mengatakan bahwa puasa Arafah itu ditentukan oleh waktu tanggal 9 Dzulhijjahnya, bukan karena wuqufnya:

(قَوْلُهُ: وَعَرَفَةَ وَعَاشُورَاءَ) هَذِهِ الْمَوَاسِمُ الْمُشَارُ بِقَوْلِهِ وَغَيْرِهِ مِنْ الْمَوَاسِمِ، وَعَاشُورَاءُ وَنِصْفُ شَعْبَانَ مَوْسِمٌ مِنْ حَيْثُ الصَّوْمُ وَغَيْرُهُ مِمَّا يُطْلَبُ فِيهِ، وَالْمَوَاسِمُ جَمْعُ مَوْسِمٍ الزَّمَنُ الْمُتَعَلِّقُ بِهِ الْحُكْمُ الشَّرْعِيُّ وَلَمْ يُرِدْ بِعَرَفَةَ مَوْضِعَ الْوُقُوفِ بَلْ أَرَادَ بِهِ زَمَنَهُ وَهُوَ الْيَوْمُ التَّاسِعُ مِنْ ذِي الْحِجَّةِ

“Hari Arafah dan Asyura -sebagaimana yang disebutkan- adalah salah satu dari musim-musim ibadah. Jika ditinjau dari sisi puasa maka Hari Asyura’ dan Nisfu Sya’ban dan yang lainnya adalah musim ibadah yang dituntut untuk berpuasa pada musim tersebut. Musim adalah waktu yang terkait dengan suatu hukum syariat. Bukanlah yang dimaksud dengan lafal “Arafah” adalah tempat wukuf,  akan tetapi yang dimaksud adalah waktunya, yaitu waktu wukufnya, 9 Dzulhijjah.” (Syarh Mukhtashar  Al-Khalil, 2/234)

– Imam Ibnu ‘Abidin juga mengatakan puasa Arafah terkait tanggal 9 Dzulhijjahnya, bukan tempatnya, Beliau menjelaskan jika disebut ‘arafah maka itu nama hari, jika disebut ‘arafaat maka itu nama tempat. (Hasyiyah Ibnu ‘Abidin, 2/177)

– Syaikh Abdurahman bin Nashir Al-Barrak menjelaskan:

فيومُ عرفة مِن حيث استحباب صيامه لا يرتبط بيوم الوقوف بعرفة ، بل هو اليوم التاسع مطلقًا في كلّ بلد بحسبه ، وكذلك عشر ذي الحجة تكون بحسب رؤية الهلال في كلّ بلد ، كما يصنع المسلمون في سائر البلدان في الصّيام والإفطار في دخول رمضان وشوال

“Puasa Arafah dari sisi anjuran berpuasanya tidak berkaitan dengan hari Wuquf di Arafah. Akan tetapi dia adalah puasa hari kesembilan (bulan Dzul Hijjah) secara mutlak di setiap negeri. Demikian pula 10 Dzul Hijjah (Idul Adha) seseuai dengan ru’yah hilal pada masing-masing negara, sebagaimana yang telah dilakukan oleh umat Islam di seluruh negeri dalam hal berpuasa dan berbuka, masuknya Ramadhan dan Syawwal. (Artikel: Hal Shiyamu Arafah Murtabith bi Al-Wuquf bi Arafah)

– Namun, bagi yang tinggal di daerah MAYORITAS yang meyakini Indonesia tanggal 9-nya berbarengan dengan yang terjadi di Saudi, maka tidak mengapa dia mengikuti apa yang terjadi di daerah mayoritas tersebut untuk menghindari fitnah dengan keluarga dan masyarakatnya.

– Masalah ini adalah ranah yang masih didiskusikan ulama, maka hendaknya tidak saling memaksakan dan menyerang.

Imam Sufyan Ats Tsauri Rahimahullah memberikan nasihat:

إذا رأيت الرجل يعمل العمل الذي قد اختلف فيه وأنت ترى غيره فلا تنهه.

“Jika engkau melihat seorang melakukan perbuatan yang masih diperselisihkan, padahal engkau punya pendapat lain, maka janganlah kau mencegahnya.”

(Imam Abu Nu’aim Al Asbahany, Hilaytul Auliya, 3/133)

Demikian. Wallahu A’lam

✍️ Farid Nu’man Hasan

scroll to top