Berikan Jeda Antara Shalat Wajib dan Sunnah Rawatib

💢💢💢💢💢💢💢💢

📨 PERTANYAAN:

Apakah untuk melaksanakan shalat sunah setelah shalat wajib, harus ada jeda (dari salam mengakhiri shalat wajib tidak langsung lanjut takbiratul ikram shalat sunnah) dan harus pindah posisi meskipun sedikit?

📬 JAWABAN

🍃🍃🍃🍃🍃🍃🍃

Bismillahirrahmanirrahim..

Ya, menyambung dari salam shalat wajib langsung ke shalat ba’diyah itu makruh, hendaknya ada jeda baik dzikir, pembicaraan, atau pindah tempat.

Saib Radhiallahu ‘Anhu
berkata:

صَلَّيْتُ مَعَهُ الْجُمُعَةَ فِي الْمَقْصُورَةِ فَلَمَّا سَلَّمَ الْإِمَامُ قُمْتُ فِي مَقَامِي فَصَلَّيْتُ فَلَمَّا دَخَلَ أَرْسَلَ إِلَيَّ فَقَالَ لَا تَعُدْ لِمَا فَعَلْتَ إِذَا صَلَّيْتَ الْجُمُعَةَ فَلَا تَصِلْهَا بِصَلَاةٍ حَتَّى تَكَلَّمَ أَوْ تَخْرُجَ فَإِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَمَرَنَا بِذَلِكَ أَنْ لَا تُوصَلَ صَلَاةٌ بِصَلَاةٍ حَتَّى نَتَكَلَّمَ أَوْ نَخْرُجَ

Aku pernah shalat Jumat bersama Mu’awiyah di dalam Maqshurah (suatu ruangan yang dibangun di dalam masjid). Setelah imam salam aku berdiri di tempatku kemudian aku menunaikan shalat sunnah. Ketika Mu’awiyah masuk, ia mengutus seseorang kepadaku dan utusan itu mengatakan, ‘Jangan kamu ulangi perbuatanmu tadi. Jika kamu telah selesai mengerjakan shalat Jumat, janganlah kamu sambung dengan shalat sunnah sebelum kamu berbincang-bincang atau sebelum kamu keluar dari masjid. Karena Rasulullah ﷺ memerintahkan hal itu kepada kita yaitu ‘Janganlah suatu shalat disambung dengan shalat lain, kecuali setelah kita mengucapkan kata-kata atau keluar dari Masjid.'” (HR. Muslim no. 883)

Hadits ini menunjukkan larangan menyambungkan shalat wajib dan sunnah tanpa jeda. Namun larangan ini tidak bermakna haram, melainkan makruh krn meninggalkan anjuran melakukan jeda.

Imam An Nawawi Rahimahullah menjelaskan:

فيه دليل لما قاله أصحابنا أن النافلة الراتبة وغيرها يستحب أن يتحول لها عن موضع الفريضة إلى موضع آخر، وأفضله التحول إلى البيت، وإلا فموضع آخر من المسجد أو غيره ليكثر مواضع سجوده، ولتنفصل صورة النافلة عن صورة الفريضة. وقوله “حتى نتكلم” دليل على أن الفصل بينهما يحصل بالكلام أيضاً ولكن بالانتقال أفضل لما ذكرناه. والله أعلم

Ini adalah dalil apa yang dikatakan para sahabat kami (Syafi’iyyah) bahwa shalat sunah rawatib dan lainnya disunnahkan untuk berpindah tempat dari tempat shalat wajib ke tempat lain, paling afdhal adalah pindah ke rumah, paling tidak pindah ke tempat lain di masjid tersebut atau lainnya untuk meperbanyak tempat sujudnya, dan untuk memisahkan antara gambaran aktivitas shalat sunnah dari aktivitas shalat wajib. “Sampai kami berbicara” adalah dalil bahwa memisahkan antara keduanya dengan berbicara juga, tetapi berpindah itu lebih utama seperti yang telah kami sebutkan. Wallahu A’lam. (Syarh Shahih Muslim, 6/170)

Imam Ibnu Taimiyah Rahimahullah mengatakan:

والسنة أن يفصل بين الفرض والنفل في الجمعة وغيرها، كما ثبت عنه في الصحيح أنه صلى الله عليه وسلم نهى أن توصل صلاة بصلاة حتى يفصل بينهما بقيام أو كلام، فلا يفعل ما يفعله كثير من الناس يصل السلام بركعتي السنة، فإن هذا ركوب لنهي النبي صلى الله عليه وسلم، وفي هذا من الحكمة التمييز بين الفرض وغير الفرض، كما يميز بين العبادة وغير العبادة

Sunnahnya adalah memisahkan antara shalat fardhu dan sunnah pada shalat Jumat dan selainnya, sebagaimana telah shahih bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam telah melarang menyambung shalat yang satu ke shalat lagi sampai dia memisahkannya dengan berdiri atau bicara, maka janganlah melakukan seperti kebanyakan orang menyambung setelah salam dengan dua rakaat sunnah, sebab itu telah menjalankan larangan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Hikmah dari hal ini adalah untuk membedakan antara ibadah wajib dan selain wajib, sebagaimana membedakan antara ibadah dan bukan ibadah. (Fatawa Al Kubra, 2/359)

Demikian. Wallahu a’lam

🌿🌷🌺🌻🌸🍃🌵🌴

✍ Farid Nu’man Hasan

Larangan Shalat Ghaib/Jenazah Setelah Shalat Ashar?

💢💢💢💢💢💢💢💢

📨 PERTANYAAN:

Ustadz, mohon ijin bertanya ya tadz… Apakah shalat ghaib itu tidak boleh dilaksanakan setelah shalat ashar dan shalat subuh? Misalnya habis shalat subuh berjamaah di masjid langsung dilanjutkan dengan shalat ghaib?

📬 JAWABAN

🍃🍃🍃🍃🍃🍃🍃🍃

Bismillahirrahmanirrahim..

Tentang shalat terhadap jenazah setelah ashar, baik secara ghaib atau tidak, ada perbedaan para ulama.

1. Pihak yang memakruhkan

Dalilnya adalah keumuman hadits:

لاَ صَلاَةَ بَعْدَ الصُّبْحِ حَتَّى تَرْتَفِعَ الشَّمْسُ، وَلاَ صَلاَةَ بَعْدَ العَصْرِ حَتَّى تَغِيبَ الشَّمْسُ

_Janganlah shalat setetah subuh sampai terbitnya matahari, dan janganlah shalat setelah ashar sampai terbenamnya matahari._ (HR. Al Bukhari No. 586)

Juga hadits dari ‘Uqbah bin’ Aamir al Juhani Radhiallahu ‘Anhu, katanya:

ثَلَاثُ سَاعَاتٍ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَنْهَانَا أَنْ نُصَلِّيَ فِيهِنَّ أَوْ أَنْ نَقْبُرَ فِيهِنَّ مَوْتَانَا حِينَ تَطْلُعُ الشَّمْسُ بَازِغَةً حَتَّى تَرْتَفِعَ وَحِينَ يَقُومُ قَائِمُ الظَّهِيرَةِ حَتَّى تَمِيلَ الشَّمْسُ وَحِينَ تَضَيَّفُ الشَّمْسُ لِلْغُرُوبِ حَتَّى تَغْرُبَ

“Ada tiga waktu, yang mana Rasulullah ﷺ telah melarang kita untuk shalat atau menguburkan jenazah pada waktu-waktu tersebut. (Pertama), saat matahari terbit hingga ia agak meninggi. (Kedua), saat matahari tepat berada di pertengahan langit (tengah hari tepat) hingga ia telah condong ke barat, (Ketiga), saat matahari hampir terbenam, hingga ia terbenam sama sekali.”

(HR. Muslim no. 831)

Sebagian para sahabat nabi, Ibnul Mubarak, Ahmad, dan Ishaq, memakruhkan shalat jenazah setelah Ashar.

Imam At Tirmidzi Rahimahullah mengatakan:

وَالْعَمَلُ عَلَى هَذَا عِنْدَ بَعْضِ أَهْلِ الْعِلْمِ مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَغَيْرِهِمْ يَكْرَهُونَ الصَّلَاةَ عَلَى الْجَنَازَةِ فِي هَذِهِ السَّاعَاتِ و قَالَ ابْنُ الْمُبَارَكِ مَعْنَى هَذَا الْحَدِيثِ أَنْ نَقْبُرَ فِيهِنَّ مَوْتَانَا يَعْنِي الصَّلَاةَ عَلَى الْجَنَازَةِ وَكَرِهَ الصَّلَاةَ عَلَى الْجَنَازَةِ عِنْدَ طُلُوعِ الشَّمْسِ وَعِنْدَ غُرُوبِهَا وَإِذَا انْتَصَفَ النَّهَارُ حَتَّى تَزُولَ الشَّمْسُ وَهُوَ قَوْلُ أَحْمَدَ وَإِسْحَقَ قَالَ الشَّافِعِيُّ لَا بَأْسَ فِي الصَّلَاةِ عَلَى الْجَنَازَةِ فِي السَّاعَاتِ الَّتِي تُكْرَهُ فِيهِنَّ الصَّلَاةُ

Hadits ini diamalkan oleh sebagian ulama dari kalangan sahabat Nabi ﷺ dan yang lainnya. Mereka membenci shalat jenazah pada waktu tersebut. Ibnu Mubarak berkata; ‘Makna kalimat hadits ini “mengubur orang yang meninggal di antara kita” maksudnya adalah shalat jenazah.’ Dia membenci (makruh) shalat jenazah ketika matahari terbit, ketika tenggelam dan ketika pertengahan siang sehingga matahari condong. Ini juga merupakan pendapat Ahmad dan Ishaq. Asy Syafi’i berkata; ‘Tidak mengapa shalat jenazah pada waktu yang dibenci untuk melakukan shalat di dalamnya’.”

(Sunan At Tirmidzi no. 1030)

2. Pihak yang membolehkan.

Ini adalah pendapat mayoritas sahabat nabi baik Anshar dan Muhajirin, berserta Imam Asy Syafi’i dan pengikutnya.

Mereka mengatakan larangan tersebut bukanlah larangan shalat jenazah, tapi larangan mengubur jenazah sebagaimana bunyi haditsnya. Ada pun larangan shalat maksudnya adalah shalat sunnah muthlaq, sedangkan shalat yang ada sebab khusus, tidaklah termasuk larangan.

Imam Al Bukhari Rahimahullah meriwayatkan bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam pernah shalat setelah Ashar disebabkan oleh tidak sempatnya Beliau melakukan rawatib zuhur berikut:

وَقَالَ كُرَيْبٌ عَنْ أُمِّ سَلَمَةَ صَلَّى النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَعْدَ الْعَصْرِ رَكْعَتَيْنِ وَقَالَ شَغَلَنِي نَاسٌ مِنْ عَبْدِ الْقَيْسِ عَنْ الرَّكْعَتَيْنِ بَعْدَ الظُّهْرِ

Kuraib berkata, dari Ummu Salamah: “Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam shalat setelah ashar sebanyak dua rakaat.” Beliau bersabda: “Orang-orang dari Abdul Qais telah menyibukkanku dari shalat dua rakaat setelah zhuhur.”

(Shahih Bukhari, diriwayatkan secara mu’allaq dalam Bab Maa Yushalla Ba’dal ‘Ashri wa Minal Fawaa-it wa Nahwiha)

Imam Badruddin Al ‘Aini Rahmahullah berkata:

قال الكرماني وهذا دليل الشافعي في جواز صلاة لها سبب بعد العصر بلا كراهة

Berkata Al Kirmani: “Ini adalah dalil bagi Asy Syafi’i tentang kebolehan shalat  setelah ‘Ashar jika memiliki sebab, sama sekali tidak makruh.” (‘Umdatul Qari, 8/19)

Menurut Imam Al Aini sendiri – dia Hanafi- itu kekhususan bagi Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam saja. Namun, Syafi’iyah mengoreksinya bahwa tidak ada dasar klaim kebolehan itu khusus Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam saja. Apa yang dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam adalah berlaku umum sampai adanya dalil yang menunjukkan itu khusus baginya saja.

Imam An Nawawi Rahimahullah menjelaskan makna hadits ‘Uqbah bin’ Amir al Juhani sebelumnya:

أَنَّ النَّهْي إِنَّمَا هُوَ عَمَّا لَا سَبَب لَهُ ؛ لِأَنَّ النَّبِيّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَّى بَعْد الْعَصْر رَكْعَتَيْنِ قَضَاء سُنَّة الظُّهْر ، فَخَصَّ وَقْت النَّهْي وَصَلَّى بِهِ ذَات السَّبَب ، وَلَمْ يَتْرُك التَّحِيَّة فِي حَال مِنْ الْأَحْوَال ، بَلْ أَمَرَ الَّذِي دَخَلَ الْمَسْجِد يَوْم الْجُمُعَة وَهُوَ يَخْطُب فَجَلَسَ أَنْ يَقُوم فَيَرْكَع رَكْعَتَيْنِ ، مَعَ أَنَّ الصَّلَاة فِي حَال الْخُطْبَة مَمْنُوع مِنْهَا إِلَّا التَّحِيَّة

“Sesungguhnya larangan tersebut adalah bersifat umum, jika dilakukan TANPA SEBAB. Justru Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam pernah shalat setelah ashar sebagai qadha shalat sunah zhuhur. Maka larangan ini tidak berlaku jika shalat tersebut memiliki sebab, dan shalat tersebut tidaklah ditinggalkan dalam keadaan apapun. Bahkan Rasulullah pernah memerintahkan ketika beliau sedang khutbah Jumat kepada orang yang masuk ke masjid dan duduk, untuk melaksanakan shalat dua rakaat. Padahal, shalat ketika khutbah adalah terlarang, kecuali tahiyatul masjid (ada sebab).”

(Syarh Shahih Muslim, 5/226)

Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah berkata:

وتختلف عن سائر الصلوات المفروضة، في أنه لا يشترط فيها الوقت، بل تؤدى في جميع الاوقات متى حضرت، ولو في أوقات النهي

“Shalat jenazah itu berbeda dengan semua shalat wajib lainnya, yakni dia tidak disyaratkan dilakukan pada waktu tertentu, bahkan dia boleh dilaksanakan di semua waktu sepanjang jenazah itu ada, walau di waktu dilarangnya shalat.” (Fiqhus Sunnah, 1/522)

Imam An Nawawi juga menegaskan kebolehan shalat jenazah setelah Ashar adalah ijma’. (Al Majmu’ Syarh Al Muhadzdzab, 4/174)

Imam Abul Hasan al Mawardi menjelaskan bahwa tidak ada larangan berdasarkan ijma’, sebab para sahabat nabi pernah shalat jenazah setelah Ashar dan tidak yang mengingkari baik Anshar dan Muhajirin saat itu:

قَالَ الشَّافِعِيُّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ : ” وَيُصَلَّى عَلَى الْجَنَائِزِ فِي كُلِّ وَقْتٍ ” .
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ : وَهَذَا صَحِيحٌ ، الصَّلَاةُ عَلَى الْمَيِّتِ لَا يَخْتَصُّ بِهَا وَقْتٌ دُونَ وَقْتٍ ، وَلَا تُكْرَهُ فِي وَقْتٍ دُونَ وَقْتٍ ، وَيَجُوزُ فِعْلُهَا فِي الْأَوْقَاتِ الْمَنْهِيِّ عَنِ الصَّلَاةِ فِيهَا ، وَكَرِهَ أَبُو حَنِيفَةَ فِعْلَهَا فِي الْأَوْقَاتِ الْمَنْهِيِّ عَنِ الصَّلَاةِ فِيهَا ؛ بِنَاءً عَلَى أَصْلِهِ فِي الصَّلَوَاتِ الَّتِي لَهَا أَسْبَابٌ ، وَاسْتِدْلَالًا بِرِوَايَةِ عُقْبَةَ بْنِ عَامِرٍ قَالَ : نَهَانَا رَسُولُ اللَّهِ {صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ} أَنْ نُصَلِّيَ ثَلَاثَ سَاعَاتٍ ، وَأَنْ نَقْبُرَ فِيهَا مَوْتَانَا : حِينَ تَطْلُعُ الشَّمْسُ بَازِغَةً حَتَى تَرْتَفِعَ ، وَحِينَ تَقُومُ الظَّهِيرَةُ حَتَّى تَمِيلَ الشَّمْسُ ، وَحِينَ تَصْفَرُّ لِلْغُرُوبِ حَتَّى تَغْرُبُ ” . قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ : وَالدَّلَالَةُ عَلَيْهِ مَا قَدَّمْنَاهُ مَعَهُ مِنَ الْكَلَامِ فِي أَصْلِ هَذِهِ الْمَسْأَلَةِ ، ثُمَّ مِنَ الدَّلِيلِ عَلَى عَيْنِ هَذِهِ الْمَسْأَلَةِ : مَا رُوِيَ أَنَّ عَقِيلَ بْنَ أَبِي طَالِبٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ مَاتَ فَصَلَّى عَلَيْهِ الْمُهَاجِرُونَ وَالْأَنْصَارُ عِنْدَ اصْفِرَارِ الشَّمْسِ ، فَلَمْ يُعْلَمْ أَحَدٌ أَنْكَرَ ذَلِكَ فَكَانَ إِجْمَاعًا ، وَلِأَنَّهَا صَلَاةٌ لَهَا سَبَبٌ ، فَجَازَ فِعْلُهَا فِي جَمِيعِ الْأَوْقَاتِ كَالْمَفْرُوضَاتِ ، فَأَمَّا حَدِيثُ عُقْبَةَ فَلَا حُجَّةَ فِيهِ ، لِأَنَّهُ نَهَى عَنْ قَبْرِ الْمَوْتَى فِي هَذِهِ الْأَوْقَاتِ ، وَذَلِكَ غَيْرُ مَمْنُوعٍ مِنْهُ إِجْمَاعًا

“Berkata Asy Syafi’i Radhiallahu ‘Anhu: “Shalat terhadap jenazah dilakukan pada setiap waktu.”

Berkata Al Mawardi: “Ini benar, shalat terhadap mayit tidaklah khusus pada waktu tertentu saja tanpa waktu lainnya, dan tidak dimakruhkan melakukannya di waktu tertentu tanpa waktu lainnya, dan dibolehkan pula melaksanakannya pada waktu-waktu terlarang. Tetapi Abu Hanifah memakruhkannya jika dilakukan pada waktu-waktu terlarang shalat, termasuk shalat-shalat yang pada dasarnya memiliki sebab untuk dilaksanakan, dalilnya adalah riwayat dari ‘Uqbah bin Amir, dia berkata:
“ Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam melarang kami shalat pada tiga waktu dan juga melarang menguburkan mayit pada waktu-waktu tersebut, yakni: ketika matahari benar-benar terbit hingga meninggi, ketika matahari tegak di atas hingga bergeser, dan ketika matahari bergerak terbenam hingga dia benar-benar terbenam.”

Berkata Al Mawardi: “Inilah dalil hukum asal masalah ini seperti yang telah kami sampaikan sebelumnya. Kemudian dalil khusus untuk masalah ini adalah telah diriwayatkan bahwa ‘Aqil bin Abi Thalib Radhiallahu ‘Anhu wafat, lalu dia dishalatkan oleh kaum muhajirin dan anshar ketika matahari menguning (bergerak terbenam, pen), dan tidak diketahui adanya seorang pun yang mengingkarinya, maka ini telah menjadi ijma’ (kesepakatan), dan shalat tersebut menjadi sebab (dalil) dibolehkannya. Maka dibolehkan melakukan (shalat jenazah) di semua waktu seperti shalat-shalat wajib, dan hadits dari ‘Uqbah bin Amir bukanlah alasan untuk melarangnya, karena itu merupakan larangan menguburkan ayat pada waktu-waktu tersebut. Dan hal ini (shalat jenazah) tidaklah dilarang berdasarkan ijma’. “

(Al Hawi Al Kabir, 3/95)

Pendapat yang MEMBOLEHKAN ini lebih kuat, karena kebolehan shalat di waktu terlarang JIKA ADA SEBABNYA terjadi berkali-kali di masa Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, sahabat, dan tabi’in.

Dari Aisyah Radhiallahun ‘Anha:

رَكْعَتَانِ لَمْ يَكُنْ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَدَعُهُمَا سِرًّا وَلاَ عَلاَنِيَةً: رَكْعَتَانِ قَبْلَ صَلاَةِ الصُّبْحِ، وَرَكْعَتَانِ بَعْدَ العَصْرِ

Dua rakaat yang Nabi ﷺ tidak pernah meninggalkannya, baik secara diam-diam dan terang-terangan; yaitu dua rakaat sebelum shalat subuh, dan dua rakaat setelah shalat Ashar. (HR. Bukhari No. 592)

‘Atha bercerita:

أَنَّ عَائِشَةَ، وَأُمَّ سَلَمَةَ كَانَتَا تَرْكَعَانِ بَعْدَ الْعَصْرِ

Bahwa Aisyah dan Ummu Salamah shalat dua rakaat setelah ashar. (Abdurrazzaq, Al Mushannaf No. 3969)

Dari Ashim bin Abi Dhamrah bahwa Ali Radhiallahu ‘Anhu shalat dua rakaat setelah ashar di tendanya. (Ibnu Abi Syaibah, Al Mushannaf No. 7352)

Hisyam bin Urwah bercerita:

كُنَّا نُصَلِّي مَعَ ابْنِ الزُّبَيْرِ الْعَصْرَ فِي الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ، فَكَانَ يُصَلِّي بَعْدَ الْعَصْرِ رَكْعَتَيْنِ، وَكُنَّا نُصَلِّيهِمَا مَعَهُ نَقُومُ صَفًّا خَلْفَهُ

Kami shalat Ashar di masjidil haram bersama Abdullah bin Az Zubair, saat itu dia shalat dua rakaat setelah ashar. Kami shalat juga bersamanya dengan membuat shaf  dibelakangnya . (Abdurrazzaq, Al Mushannaf No.  3979)

Ibnu Aun bercerita, “Aku melihat Abu Burdah bin Abi Musa shalat dua rakaat setelah ashar.” (Ibnu Abi Syaibah, Al Mushannaf No. 7347)

Selain Aisyah, Ali, Abdullah bin Az Zubeir Radhiallahu ‘Anhum, masih banyak lagi generasi tabi’in yang shalat dua rakaat setelah Ashar, seperti Abu Sya’tsa, Al Aswad bin Yazid, Amru bin Husein, Abu Wail, Masruq, Syuraih,  dan lainnya. (Lihat dalam Al Mushannaf Ibni Ab Syaibah No. 7347, 7348, 7350)

Demikian. Wallahu a’lam

🌿🌷🌺🌻🌸🍃🌵🌴

✍ Farid Nu’man Hasan

Rangkaian Doa di Kala Hujan dan Cuaca Buruk

Islam membuat umatnya memiliki interaksi yang intens dengan Sang Pencipta. Melalui sunnah Rasulullah dan doa-doa. Dari masuk ke kamar mandi, berhubungan intim, hingga mengurus negara, ada sunnah dan doa yang diajarkan oleh Islam.

Termasuk di kala menghadapi hujan dan cuaca yang buruk. Kebanyakan dari kita hanya mengenal doa “Allahumm shoyyiban nafi’an”. Doa itu memang populer. Tapi ada variasi doa lain yang bisa kita hafal dan amalkan.

1. Di kala awan hitam gelap menutupi langit

Ketika cuaca berubah dan langit gelap yang menandakan hujan deras akan turun, doa berikut telah diajarkan oleh Rasulullah saw.

اَللَّهُمَّ إِنِّيْ أَعُوْذُ بِكَ مِنْ شَرّ مَا فِيْه

Allohumma innii a’uudzu bika min syarri maa fiihi

“Ya Allah! Sesungguhnya aku berlindung kepadaMu dari keburukan yang terkandung di dalam awan ini.”
(HR. Bukhari)

Semoga bukan hal buruk yang dibawa oleh awan gelap tersebut, namun rezeki yang melimpah.

2. Ketika angin bertiup kencang

Bersama awan gelap, biasanya ada angin kencang yang bertiup. Tak jarang angin kencang menyebabkan reklame jatuh dan menimpa korban di bawahnya, atau menyebabkan pohon tumbang, dll. Bila bertemu angin seperti itu, mari berdoa agar tak jatuh korban.

اَللَّهُمَّ إِنِّيْ أَسْأَلُكَ خَيْرَهَا وَخَيْرَ مَا فِيْهَا وَخَيْرَ مَا أرسلت بِهِ، وَأَعُوْذُ بِكَ مِنْ شَرِّهَا وَشَرِّ مَا فِيْهَا وَشَرِّ مَا أرسلت بِهِ

Allohumma innii as aluka khoirohaa wa khoiro maa fiihaa wa khoiro maa ursilat bihi, wa a’uudzu bika min syarrihaa wa syarri maa fiihaa wa syarri maa ursilat bihi.

“Ya Allah! Sesungguhnya aku mohon kepadaMu kebaikan angin (ribut ini), dan kebaikan apa yang ada di dalamnya dan kebaikan dari tujuan angin itu dihembuskan. Dan Aku berlindung kepadaMu dari kejahatan angin ini, dan kejahatan apa yang ada di dalamnya dan kejahatan dari tujuan angin itu dihembuskan.” (HR. Bukhari dan Muslim)

3. Saat petir bersahutan

Tak hanya angin, petir pun muncul seketika membawa suara yang menggelegar. Sebenarnya itu adalah tanda kebesaran Allah swt. Dan saat melihat itu, ada doa yang bisa kita baca.

سُبْحَانَ الَّذِيْ يُسَبِّحُ الرَّعْدُ بِحَمِدِهِ وَالْمَلاَئِكَةُ مِنْ خِيْفَتِه

Subhaanalladzi yusabbihur ro’du bihamdihii wal malaaikatu min khiifatihi

“Maha Suci Allah yang halilintar/petir bertasbih dengan memujiNya, begitu juga para malaikat, karena takut kepada-Nya.”

4. Ketika hujan mulai turun

اللَّهُمَّ صَيِّباً نَافِعاً

Allohumma shoyyiban nafi’an

“Ya Allah turunkanlah pada kami hujan yang bermanfaat.”
(HR. Bukhari)

Begitulah bunyi doa yang sudah kita fahami. Bacaan ini dirapalkan ketika air mulai memerciki bumi.

5. Saat hujan turun dengan lebatnya dan berpotensi menimbulkan banjir atau menyusahkan umat manusia.

اللَّهُمّ حَوَالَيْنَا وَلَا عَلَيْنَا,اللَّهُمَّ عَلَى الْآكَامِ وَالْجِبَالِ وَالظِّرَابِ وَبُطُونِ الْأَوْدِيَةِ وَمَنَابِتِ الشَّجَرِ

Allohumma hawaalainaa wa laa ’alainaa. Allohumma ’alal aakaami wal jibaali, wazh zhiroobi, wa buthuunil audiyati, wa manaabitisy syajari.

“Ya Allah, turunkanlah hujan di sekitar kami, namun jangan untuk menghancurkan dan merusak kami. Ya Allah, turukanlah hujan ke dataran tinggi, gunung-gunung, bukit-bukit, perut lembah dan tempat tumbuhnya pepohonan.”
( HR. Bukhari)

Kita membaca doa tersebut agar hujan yang begitu derasnya tak membawa bencana.

6. Ketika Hujan Berhenti

مُطِرْنَا بِفَضْلِ اللهِ وَرَحْمَتِهِ

Muthirnaa bi fadhlillaahi wa rohmatihi.

“Kita diberi hujan karena karunia dan rahmat Allah.” (Muttafaq ‘alaih).

Dan hujan pun berangsur reda. Ada baiknya kita memuji Allah swt dan membaca doa di atas.

Mencukur Jenggot Menurut Empat Madzhab

💢💢💢💢💢💢💢💢

📨 PERTANYAAN:

Assalamualaikum, afwan ganggu.. Sy abis lihat ceramah di youtube, katanya nyukur jenggot itu haram menurut 4 madzhab. Apa benar? Bs gak diuraikan masing2 madzhab? Nuhun tadz..

📬 JAWABAN

🍃🍃🍃🍃🍃🍃🍃🍃

Wa’alaikumussalam wa Rahmatullah wa Barakatuh

Bismillahirrahmanirrahim..

Mayoritas ulama dari empat madzhab menyatakan haram, namun ada segolongan dari Malikiyah, Syafi’iyyah, dan Hambaliyah mengatakan makruh, bukan haram. Jadi, tidak ada kesepakatan dalam hal ini tentang haramnya mencukur jenggot.

Tertulis dalam Al Mausu’ah:

ذَهَبَ جُمْهُورُ الْفُقَهَاءِ: الْحَنَفِيَّةُ وَالْمَالِكِيَّةُ وَالْحَنَابِلَةُ، وَهُوَ قَوْلٌ عِنْدَ الشَّافِعِيَّةِ، إِلَى أَنَّهُ يَحْرُمُ حَلْقُ اللِّحْيَةِ لأَِنَّهُ مُنَاقِضٌ لِلأمْرِ النَّبَوِيِّ بِإِعْفَائِهَا وَتَوْفِيرِهَا

Mayoritas ahli fiqih: Hanafiyah, Malikiyah, Hanabilah, dan satu pendapat dari Syafi’iyyah, menegaskan bahwa haramnya mencukur jenggot, sebab itu menabrak perintah kenabian yang menyatakan untuk membiarkan dan memperbanyaknya. (Al Mausu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah, jilid. 35, hal. 226)

Berikut ini rinciannya:

1. Madzhab Hanafi

Mazhab ini mengharamkan mencukur habis, tapi membolehkan memotong bagian ujungnya saja.

Syaikh Abdurrahman Al Juzairi Rahimahullah mengatakan:

الحنفية – قالوا: يحرم حلق لحية الرجل، ويسن ألا تزيد في طولها على القبضة، فما زاد على القبضة يقص، ولا بأس بأخذ أطراف اللحية

Hanafiyah, mereka mengatakan: “Diharamkan mencukur jenggot, dan disunnahkan tidak memanjangkan melebihi genggaman tangan, bagian yang melebihi genggaman hendaknya dipotong, dan tidak apa-apa memotong bagian ujung jenggot.” (Al Fiqh ‘alal Madzahib Al Arba’ah, jilid. 2, hal. 44)

2. Madzhab Maliki

المالكية – قالوا: يحرم حلق اللحية. ويسن قص الشارب؛ وليس المراد قصه جميعه، بل السنة أن يقص منه طرف الشعر المستدير النازل على الشفة العليا، فيؤخذ منه حتى يظهر طرف الشفة، وما عدا ذلك فهومكروه

Malikiyah, mereka mengatakan: “Diharamkan mencukur jenggot, dan disunnahkan memotong kumis, maksudnya bukan memotong semua bagian kumis, justru adalah sunnah memotong bagian ujung rambut kumis yang menutupi bibir bagian atas, bagian itu dipotong sampai bibir atas menjadi nampak, ada pun mencukur kumis selain bagian itu adalah makruh.” (Ibid)

Imam Malik termasuk yang membid’ahkan mencukur kumis sampai habis, dan pelakunya mesti diberi sanksi. Berbeda dengan Imam Abu Hanifah dan Imam Ahmad justru mencukur kumis itu sampai habis, dan itu lebih utama dibanding memendekkan. (Selengkapnya Zaadul Ma’ad, jilid. 1, hal. 173)

Salah seorang ulama Maliki, yakni Al Qadhi ‘Iyyadh Rahimahullah mengatakan makruh, seperti yang dikutip Imam Ibnu Hajar Rahimahullah berikut:

قَالَ الْقَاضِي عِيَاضٌ: يُكْرَهُ حَلْقُ اللِّحْيَةِ وَقَصِّهَا وَتَحْرِيفِهَا

Berkata Al Qadhi ‘Iyadh: “Dimakruhkan mencukur jenggot, memotongnya, dan mengubahnya.” (Fathul Bari, jilid. 10, hal. 350)

Kemakruhan juga berlaku bagi yang memanjangkannya supaya tenar, berkata Imam Al Qurthubi Al Maliki Rahimahullah:

فأما أخذ ما تطاير منها وما يشوه ويدعو إلى الشهرة طولا وعرضا فحسن عند مالك وغيره من السلف

Ada pun memotong (merapikan) jenggot yang melebar dan awut-awutan yang membuat dirinya terkenal karenanya, maka itu hal yang baik menurut Imam Malik dan selainnya dari ulama salaf. (Al Mufhim, jilid. 1, hal. 512)

3. Madzhab Syafi’i

Pendapat yang ashah (lebih shahih) dalam madzhab Syafi’i, mencukur jenggot adalah makruh. (Al Mausu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah, jilid. 35, hal. 226)

Imam Al Bujairimi Rahimahullah berkata:

)وَيُكْرَهُ نَتْفُ اللِّحْيَةِ أَوَّلَ طُلُوعِهَا( لَيْسَ قَيْدًا وَكَذَا الْكَبِيرُ أَيْضًا أَيْ إنَّ حَلْقَ اللِّحْيَةِ مَكْرُوهٌ حَتَّى مِنْ الرَّجُلِ وَلَيْسَ حَرَامًا

(Dimakruhkan mencabut jenggot pada awal tumbuhnya), hal ini (baru tumbuh) bukanlah hal yang mengikat sebab makruhnya juga berlaku untuk orang dewasa, yaitu sesungguhnya mencukur jenggot adalah makruh termasuk jika dilakukan oleh laki-laki dewasa, dan bukan hal yang haram. (Hasyiyah Al Bujairimi ‘alal Khathib, jilid. 4, hal. 436)

Imam Al Khatabi Asy Syafi’i mengatakan:

وأما إعفاء اللحية فهو إرسالها وتوفيرها كره لنا أن نقصها كفعل بعض الأعاجم وكان من زي آل كسرى قص اللحى وتوفير الشوارب فندب صلى الله عليه وسلم أمته إلى مخالفتهم في الزي والهيئة

Ada pun memanjangkan jenggot artinya membentangkan dan melebatkannya, bagi kami (Syafi’iyyah) mencukurnya adalah makruh, seperti perbuatan orang ‘ajam (non Arab) dan itu merupakan penampilan keluarga Kisra (raja Persia) yaitu mereka memotong jenggot dan memperbanyak kumis, lalu Rasulullah menganjurkan (nadb/sunnah) umatnya berbeda dengan mereka dalam pakaian dan penampilan. (Ma’alim As Sunan, jilid. 1, hal. 31)

Sebagian Syafi’iyah mengharamkan seperti Ibnu Ar Rif’ah, di mana Beliau menganggap sebagai pendapat Imam asy Syafi’i sendiri dalam Al Umm. Ini juga pendapat Syafi’iyah lainnya seperti Al Halimi dan Al Qaffal. Al Adzra’i mengatakan yg benar adalah haram mencukurnya secara keseluruhan. (Tuhfatul Muhtaj, jilid. 9, hal. 376)

4. Madzhab Hambali

الحنابلة – قالوا: يحرم حلق اللحية. ولا بأس بأخذ ما زاد على القبضة، فلا يكره قصه كما لا يكره تركه

Hanabilah, mereka mengatakan: “Haram mencukur jenggot, namun tidak apa-apa memotong yang melebihi genggaman, tidak makruh memotong bagian yang lebih itu dan tidak makruh pula membiarkannya.” (Al Fiqh ‘alal Madzahib Al Arba’ah, jilid. 2, hal. 45)

Salah satu tokoh Hambali, yaitu Imam Ibnu Muflih Rahimahullah memiliki keterangan yang berbeda. Beliau memaknai perintah memanjangkan jenggot adalah sunnah bukan wajib, bahkan Beliau mengatakan itulah pendapat para ulama madzhab Hambali. Berikut ini perkataannya:

وأطلق أصحابنا وغيرهم الاستحباب

Secara mutlak para sahabat kami (Hambaliyah) dan lainnya mengatakan memanjangkan jenggot adalah hal yang disukai (sunnah). (Al Furu’, jilid. 1, hal. 92) Artinya, jika memanjangkan jenggot adalah sunnah maka mencukurnya bukanlah hal yang haram.

5. Madzhab Zhahiri

Ada pun madzhab zhahiri, berkata Imam Ibnu Hazm Rahimahullah:

وَاتَّفَقُوا أَن حلق جَمِيع اللِّحْيَة مثلَة لَا تجوز وَكَذَلِكَ الْخَلِيفَة والفاضل والعالم

Mereka sepakat bahwa mencukur semua bagian jenggot adalah tidak boleh, demikian juga bagi khalifah, orang mulia, dan ulama. (Maratibul Ijma’, hal. 157)

Imam Ibnu Hazm mengatakan terlarang, tapi tidak spesifik apakah larangan yg berimplikasi haram atau makruh.

Nasihat Ulama Zaman Ini

Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah:

إعفاء اللحية وتركها حتى تكثر، بحيث تكون مظهرا من مظاهر الوقار، فلا تقصر تقصيرا يكون قريبا من الحلق ولا تترك حتى تفحش، بل يحسن التوسط فإنه في كل شئ حسن، ثم إنها من تمام الرجولة، وكمال الفحولة

Memanjangkan jenggot, membiarkannya sampai banyak, dengan itu nampak kewibawaannya, maka janganlah memendekkannya sampai mendekati al halq (mencukur habis), dan jangan pula membiarkannya awut-awutan tapi sebaiknya adalah pertengahan, karena pertengahan itu adalah hal yang baik dalam segala hal. Kemudian memanjangkan jenggot termasuk kesempurnaan kejantanan dan laki-laki. (Fiqhus Sunnah, jilid. 1, hal. 38)

Syaikh Yusuf Al Qaradhawi Hafizhahullah:

وليس المراد بإعفائها ألا يأخذ منها شيئا أصلا ، فذلك قد يلدي إلى طولها طولا فاحشًا ، يتأذى به صاحبها ، بل يأخذ من طولها وعرضها ، كما روي ذلك في حديث عند الترمذي وكما كان يفعل بعض السلف……. أقول : بل أصبح الجمهور الأعظم من المسلمين يحلقون لحاهم ، تقليدا لأعداء دينهم ومستعمري بلادهم من النصارى واليهود ، كما يولع المغلوب دائما بتقليد الغالب ، غافلين عن أمر الرسول بمخالفة الكفار ونهيه عن التشبه بهم ، فإن من تشبه بقوم فهو منهم

Maksud dari memanjangkan bukan berarti tidak boleh memotongnya sama sekali sampai akhirnya begitu panjang dan nampak jelek dan tidak terurus serta mengganggu pemiliknya, tetapi hendaknya diambil bagian yang panjang dan liar sebagaimana hadits At Tirmidzi dan perilaku sebagian salaf…. Aku katakan: saat ini mayoritas umat Islam mencukur jenggotnya, mereka meniru perilaku musuh-musuh agama mereka sendiri yang menguasai negeri-negeri mereka baik dari kalangan Yahudi dan Nasrani. Sebagimana biasanya, orang-orang kalah senantiasa meniru orang-orang yang menang, mereka melakukan itu telah jelas melupakan perintah Rasulullah agar berbeda dengan orang-orang kafir. Mereka telah lupa pula terhadap larangan Nabi tentang menyerupai orang kafir, sebagaimana hadits: “Barang siapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia itu termasuk golongan mereka.” (Al Halal wal Haram fil Islam, Hal. 112-113)

Demikianlah paparan lima madzhab fiqih dalam Ahlus Sunnah wal Jamaah, tentang hukum mencukur jenggot.

Wallahul Muwaffiq Ilaa aqwamith Thariq

🌿🌷🌺🌻🌸🍃🌵🌴

✍ Farid Nu’man Hasan

scroll to top