Menyikapi Harta Haram

Ada beberapa arahan Islam dalam menyikapi harta haram, sebagai berikut:

1. Jika harta tersebut adalah harta curian, korupsi, merampas, dan sejenisnya.

Untuk jenis ini, tidak ada cara lain menyikapinya kecuali dikembalikan kepada shahibul maal (pemilik hartanya). Baik itu milik pribadi, organisasi, lembaga, bahkan negara. Maka, kembalikan kepada mereka atau ahli warisnya. Tidak boleh seorang pun diluar pemiliknya memanfaatkannya tanpa izin dan ridhanya. Tidak pula disedekahkan tanpa seizin pemiliknya, disedekahkan adalah jalan terakhir ketika tidak berhasil menemukan pemiliknya.

Imam An Nawawi membahas dalam Riyadhush Shalihin tentang bagaimana cara bertobat dari maksiat yg terkait hak-hak manusia, di antaranya terkait harta orang lain yang ada pada kita, Beliau berkata:

فإن كانت مالاً أو نحوه رده إليه

Jika maksiatnya terkait harta atau sejenisnya maka kembalikan harta itu kepadanya (pemiliknya).

(Riyadhush Shalihin, Hal. 33. Maktabatul Iman)

Imam Ibnul Qayyim mengatakan:

من قبض مالا ليس له قبضه شرعاً، ثم أراد التخلص منه، فإن تعذر رده عليه، قضى به ديناً عليه، فإن تعذر ذلك رده إلى ورثته، فإن تعذر ذلك تصدق به عنه

Siapa yang mengumpulkan harta dengan cara yang tidak syar’i, lalu dia ingin membersihkannya, dan terhalang mengembalikannya, maka dia menetapkannya sebagai hutang yang mesti dia bayar, jika tidak bisa maka kembalikan ke ahli warisnya, jika tidak bisa maka disedekahkan. (Zaadul Ma’ad, jilid 5, hal. 690)

2. Harta haram hasil usaha sendiri, seperti jual beli khamr, jual beli babi, menang judi (lotre), riba, upah pelacuran, dan sejenisnya.

Untuk jenis ini ada beberapa sikap atau pendapat para ulama:

A. Membuangnya. Haram baginya dan Haram bagi orang lain.

Ini pendapat sebagian kalangan sufi, sebagaimana yang dikatakan Imam Ibnul Jauzi, dalam Talbis Iblis.

Dahulu para sahabat nabi membuang khamr ketika turun ayat pelarangannya sampai digambarkan Madinah banjir khamr. Sebagaimana hadits Shahih Ibnu Hibban, dari jalan Anas bin Malik Radhiallahu ‘Anhu.

B. Tidak membuangnya tapi memanfaatkannya untuk kepentingan umum (orang banyak), bukan pribadi. Harta ini haram bagi pemilik atau si pencarinya tapi tidak bagi kepentingan umum.

Khususnya uang hasil penjualan atau upah dari aktivitas yang haram-haram. Sedangkan yang haram secara zat atau materinya seperti babi, khamr, darah, ini tetap haram bagi pemilik dan orang lain. Sedangkan uang hasil penjualannya masih bisa dimanfaatkan untuk kepentingan umum seperti jalanan, jembatan, trotoar, taman, wc umum, anak yatim, dan semisalnya. Alasannya, uang-uang haram seperti itu hakikatnya harta tidak bertuan, maka haram bagi orang mencarinya tapi boleh bagi org lain menerimanya dgn cara yg mubah.

Syaikh Abbas Ahmad Muhammad Al Baaz menjelaskan:

صرف المال الحرام الذي لا يعرف صاحبه إلى الفقراء والمساكين وأصحاب الحاجة ومصالح المسلمين العامة.

Memanfaatkan harta haram yang tidak diketahui pemiliknya adalah dengan memberikannya kepada kaum fakir, miskin, orang-orang yang membutuhkan, dan kemaslahatan umum kaum muslimin.

من المصالح التي ينفق فيها المال الحرام بناء المدارس، شق الطرق، بناء مشفى أو عيادة طبية، الدفع إلى طلبة العلم

Yang termasuk maslahat (umum) yang di dalamnya dapat dibelanjakan melalui harta haram, seperti membangun sekolah, membangun jalan, rumah sakit atau klinik, dan biaya untuk penuntut ilmu.

(Ahkamul Maal al Haram Wa Dhawabit Al Intifa’ wat Tasharruf bihi fi Fiqhil Islami, Jilid.3, hal. 339)

Imam Ibnu Taimiyah mengatakan:

إذا كانت الأموال قد أخذت بغير حق وقد تعذر ردها إلى أصحابها ككثير من الأموال السلطانية (أي التي غصبها السلطان) ; فالإعانة على صرف هذه الأموال في مصالح المسلمين كسداد الثغور ونفقة المقاتلة ونحو ذلك : من الإعانة على البر والتقوى..

Jika harta diperoleh dengan cara yang tidak benar, dan harta tersebut sulit dikembalikan kepada yang berhak, seperti harta yang ada pada penguasa (yaitu yang dirampas penguasa dari rakyatnya), maka bantuan untuk manfaatkan harta ini adalah dengan memanfaatkannya bagi maslahat kaum muslimin seperti penjaga perbatasan, biaya perang, dan semisalnya; sebab ini termasuk pemanfaatan dalam kebaikan dan taqwa. (As Siyaasah Asy Syar’iyah, Hal. 35)

Dzar bin Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu ‘Anhuma bercerita:

جاء إليه رجل فقال : إن لي جارا يأكل الربا ، وإنه لا يزال يدعوني ،
فقال : مهنأه لك ، وإثمه عليه

Ada seseorang yang mendatangi Ibnu Mas’ud lalu dia berkata:

“Aku punya tetangga yang suka makan riba, dan dia sering mengundangku untuk makan.”

Ibnu Mas’ud menjawab; Untukmu bagian enaknya, dan dosanya buat dia.

(Imam Abdurrazzaq, Al Mushannaf, no. 14675)

Salman Al Farisi Radhiyallahu ‘Anhu berkata:

إذا كان لك صديق
عامل، أو جار عامل أو ذو قرابة عامل، فأهدى لك هدية، أو دعاك إلى طعام، فاقبله، فإن مهنأه لك، وإثمه عليه

“Jika sahabatmu, tetanggamu, atau kerabatmu yang pekerjaannya haram, lalu dia memberi hadiah kepadamu atau mengajakmu makan, terimalah! Sesungguhnya, kamu dapat enaknya, dan dia dapat dosanya.” (Ibid, No. 14677)

Demikian. Wallahu A’lam

✍️ Farid Nu’man Hasan

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

scroll to top