◼◽◼◽◼◽◼◽◼◽
✉️❔PERTANYAAN:
Assalamu’alaikum ustadz, saya skeptis dengan cara beragama sebab banyaknya pendapat para ulama mengenai fiqh, aqidah dll. Dan saya banyak memiliki teman kerja yang berbeda2 madzhab ada yg mengerti dan ada yg gagal paham.
Dari 0-18 tahun kenal NU, Lalu 19-21 tahun kenal Muhammadiyah, lalu 22-28 tahun kenal jamaah tablig dan 29 hingga sekarang kenal manhaj salaf. Lantas saya selalu bingung dg banyaknya pendapat2 itu. Bagaimana seharusnya saya?
✒️❕JAWABAN
◼◽◼◽◼◽◼◽◼◽
Wa’alaikumussalam wa Rahmatullah wa Barakatuh
Kerangka berpikir kita harus kuat, bahwa perbedaan yang dialami manusia termasuk internal umat Islam adalah hal yang sunatullah dalam kehidupan.
Renungkan ayat berikut:
{ وَلَوۡ شَآءَ رَبُّكَ لَجَعَلَ ٱلنَّاسَ أُمَّةٗ وَٰحِدَةٗۖ وَلَا يَزَالُونَ مُخۡتَلِفِينَ }
Dan jika Tuhanmu menghendaki, tentu Dia jadikan manusia umat yang satu, tetapi mereka senantiasa berselisih (pendapat). [Surat Hud: 118]
Jadi, perbedaan atau perselisihan itu bagian dari masyiatullah (kehendak Allah). Oleh karenanya, para pakar tafsir generasi salaf seperti Al Hasan, Muqatil, dan ‘Atha menjelaskan:
أي وللاختلاف خلقهم
Yaitu Allah menciptakan mereka (manusia) untuk berbeda. (Al Jami’ Li Ahkam al Quran (Kairo: Dar Ibn al Jauzi, 2011), juz. 5, hal. 428)
Namun, perbedaan tidak identik perpecahan. Para sahabat nabi, mereka berbeda suku, kabilah, dan pemahaman dalam beberapa hal fiqih, tapi mereka tetap bersatu dalam barisan umat Islam. Perpecahan di antara mereka muncul karena api fitnah kaum munafik dan Yahudi yang menyusup di dalamnya.
Bahkan perbedaan juga dialami Malaikat, para nabi, para sahabat, dan para imam ahli ilmu. Sebagaimana yang tertera dalam Al Qur’an, Sunnah, sirah nabawiyah, serta sirah para tokoh.
Sikap kita adalah jika perbedaannya bukan hal prinsip dalam aqidah, masih sekedar perbedaan seputar fiqih, metode dakwah, menyikapi realita politik, maka toleran saja. Seperti perbedaan antara NU, Muhammadiyah, Persis, Jamaah Tabligh, Ikhwanul Muslimin, Salafi, dan semisal ini.
Imam Sufyan Ats Tsauri Rahimahullah mengatakan:
إذا رأيت الرجل يعمل العمل الذي قد اختلف فيه وأنت ترى غيره فلا تنهه
“Jika engkau melihat seorang melakukan perbuatan yang masih diperselisihkan, padahal engkau punya pendapat lain, maka janganlah kau mencegahnya.” (Imam Abu Nu’aim Al Asbahany, Hilaytul Auliya, 3/133)
Imam Ahmad bin Hambal Rahimahullah، Beliau mengomentari orang yang shalat dua rakaat setelah Ashar:
لا نفعله ولا نعيب فاعله
“Kami tidak melakukannya tapi kami tidak juga menilai aib orang yang melakukannya.”
(Al Mughni, 2/87, Syarhul Kabir, 1/802)
Tapi jika perbedaannya sudah ranah aqidah yang pokok seperti dengan Ahmadiyah, syiah, inkar sunnah, dan aliran sesat lainnya, maka sikap kita tegas menolak mereka.
Wallahu A’lam
✍ Farid Nu’man Hasan