Mengangkat Tangan Saat Doa Setelah Shalat Fardhu

Pertanyaan

Assalamualaikum ust.
Ini terkait doa dan mengangkat tanggan setelah sholat Fardhu? Apa memang diperbolehkan doa dan menganggkat tangan setelah sholat fardhu?

Jawaban

Wa’alaikumussalam Wa Rahmatullah Wa Barakatuh

Secara umum, berdoa dgn mengangkat tangan adalah sunnah, berdasarkan hadits berikut:

َ عَنْ سَلْمَانَ قَالَ
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ رَبَّكُمْ تَبَارَكَ وَتَعَالَى حَيِيٌّ كَرِيمٌ يَسْتَحْيِي مِنْ عَبْدِهِ إِذَا رَفَعَ يَدَيْهِ إِلَيْهِ أَنْ يَرُدَّهُمَا صِفْرًا

Dari Salman, ia berkata, Rasulullah ﷺ bersabda, “Sesungguhnya Tuhan kalian Yang Mahasuci dan Mahatinggi adalah Mahahidup dan Mulia, Dia merasa malu dari hambanya apabila ia mengangkat kedua tangannya kepada-Nya* dan mengembalikannya dalam keadaan kosong.”

(HR. Abu Daud no. 1488, shahih)

Imam Ash Shan’ani mengatakan:

وَفِي الْحَدِيثِ دَلَالَةٌ عَلَى اسْتِحْبَابِ رَفْعِ الْيَدَيْنِ فِي الدُّعَاءِ وَالْأَحَادِيثُ فِيهِ كَثِيرَةٌ

Hadits ini menunjukkan disunahkan mengangkat kedua tangan saat doa, dan hadits-hadits ttg ini begitu banyak. (Subulussalam, 2/708)

Ada pun hadits yang menyebut bahwa Rasulullah ﷺ tidak pernah mengangkat tangan dalam doa kecuali saat doa istisqa, maksudnya adalah tidak pernah mengangkat secara mubalaghah (berlebihan-meninggi) dalam mengangkat tangan kecuali di istisqa. (Subulussalam, ibid)

Ada pun secara khusus mengangkat tangan berdoa setelah shalat wajib, juga banyak dalilnya, Ada yang shahih, dan Ada yang dhaif.

Ada pun yang shahih, sbb:

Dari Muhammad bin Yahya Al Aslami, dia berkata: Aku melihat Abdullah bin Zubeir (sahabat nabi) dan dia melihat seorang laki-laki berdoa mengangkat tangan SEBELUM shalat selesai, setelah laki-laki itu selesai shalat Abdullah bin Zubeir berkata:

إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَمْ يَكُنْ يَرْفَعُ يَدَيْهِ حَتَّى يَفْرُغَ مِنْ صَلَاتِهِ

Sesungguhnya Rasulullah tidak pernah mengangkat tangan saat berdoa SAMPAI DIA SELESAI DARI SHALATNYA.

Imam As Suyuthi berkata: “rijaaluhu tsiqaat – para perawinya terpercaya.”

(Tuhfah Al Ahwadzi, 2/171)

Syaikh Abul Hasan Al Mubarakfuri menjelaskan setelah menyampai kan 5 hadits tentang doa setelah shalat wajib:

وَاسْتَدَلُّوا أَيْضًا بِعُمُومِ أَحَادِيثِ رَفْعِ الْيَدَيْنِ فِي الدُّعَاءِ قَالُوا إِنَّ الدُّعَاءَ بَعْدَ الصَّلَاةِ الْمَكْتُوبَةِ مُسْتَحَبٌّ مُرَغَّبٌ فِيهِ وَإِنَّهُ قَدْ ثَبَتَ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الدُّعَاءُ بَعْدَ الصَّلَاةِ الْمَكْتُوبَةِ وَأَنَّ رَفْعَ الْيَدَيْنِ مِنْ آدَابِ الدُّعَاءِ وَأَنَّهُ قَدْ ثَبَتَ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَفْعُ الْيَدَيْنِ فِي كَثِيرٍ مِنَ الدُّعَاءِ
وَأَنَّهُ لَمْ يَثْبُتِ الْمَنْعُ عَنْ رَفْعِ الْيَدَيْنِ فِي الدُّعَاءِ بَعْدَ الصَّلَاةِ الْمَكْتُوبَةِ بَلْ جَاءَ فِي ثُبُوتِهِ الْأَحَادِيثُ الضِّعَافُ قَالُوا فَبَعْدَ ثُبُوتِ هَذِهِ الْأُمُورِ الْأَرْبَعَةِ وَعَدَمِ ثُبُوتِ الْمَنْعِ لَا يَكُونُ رَفْعُ الْيَدَيْنِ فِي الدُّعَاءِ بَعْدَ الصَّلَاةِ الْمَكْتُوبَةِ بِدْعَةً سَيِّئَةً بَلْ هُوَ جَائِزٌ لَا بَأْسَ عَلَى مَنْ يَفْعَلُهُ

Para ulama juga berdalil dengan keumuman hadits mengangkat kedua tangan saat doa. Mereka mengatakan sesungguhnya doa setelah shalat wajib adalah SUNNAH dan dianjurkan. Sesungguhnya telah shahih bahwa Rasulullah berdoa setelah shalat wajib, sedangkan mengangkat kedua tangan termasuk adab berdoa, dan telah shahih dari Rasulullah tentang mengangkat tangan di berbagai kesempatan doa.

Tidak ada yang shahih tentang larangan mengangkat tangan saat berdoa setelah shalat wajib, justru yang ada adalah hadits-hadits dhaif (tentang larangan mengangkat tangan). Mereka mengatakan bahwa setelah shahihnya empat perkara ini dan tidak adanya dalil larangan mengangkat tangan berdoa setelah shalat wajib, maka itu BUKANLAH BID’AH yang buruk, tetapi itu boleh, tidak apa-apa bagi yang melakukannya.

(Tuhfah Al Ahwadzi, 2/172)

Berkata Syaikh Abdurrahman Al Mubarkafuri Rahimahullah tentang hadits doa istisqa:

قَالُوا هَذَا الرَّفْعُ هَكَذَا وَإِنْ كَانَ فِي دُعَاءِ الِاسْتِسْقَاءِ ، لَكِنَّهُ لَيْسَ مُخْتَصًّا بِهِ ، وَلِذَلِكَ اِسْتَدَلَّ الْبُخَارِيُّ فِي كِتَابِ الدَّعَوَاتِ بِهَذَا الْحَدِيثِ عَلَى جَوَازِ رَفْعِ الْيَدَيْنِ فِي مُطْلَقِ الدُّعَاءِ

“Mereka mengatakan bahwa mengangkat tangan yang seperti ini jika terjadi pada doa istisqa, tetapi hadits ini tidaklah mengkhususkan pada istisqa saja. Oleh karenanya, Imam Bukhari berdalil dengan hadits ini dalam kitab Ad Da’awat atas kebolehan mengangkat kedua tangan secara mutlak (umum) ketika berbagai kesempatan doa.”

(Tuhfah Al Ahwadzi, 2/201-202)

Beliau berkata juga:

قلت: القول الراجح عندي أن رفع اليدين في الدعاء بعد الصلاة جائز لو فعله أحد لا بأس عليه إن شاء الله تعالى والله تعالى أعلم

“Aku berkata: “Pendapat yang rajih (kuat) menurutku adalah bahwa mengangkat kedua tangan setelah shalat wajib adalah boleh, seandainya seseorang melakukannya, maka itu tidak mengapa. Insya Allah. Wallahu A’lam.” (Idem, 2/202)

Demikian. Wallahu A’lam

✍️ Farid Nu’man Hasan

Shalat Raghaib

Pertanyaan

Assalamu’alaikum ustadz. Ijin bertanya ttg lailatul raghaib, apa & bagaimana hukumnya. Jazakallahu khayr ustadz (+62 877-6567-xxxx)

Jawaban

Wa’alaikumussalam Wa Rahmatullah Wa Barakatuh

Penamaan Shalat Raghaib ada beberapa versi:

1. 12 rakaat di malam pertama bulan rajab

Imam Nawawi menyebut sebagai bid’ah yang munkar, walau shalat tersebut ada disebutkan dalam kitab Ihya-nya Imam Al Ghazali dan Qutul Qulub-nya Abu Thalib Al-Makki.

Beliau berkata:

الصلاة المعروفة بصلاة الرغائب وهي ثنتى عشرة ركعة تصلي بين المغرب والعشاء ليلة أول جمعة في رجب وصلاة ليلة نصف شعبان مائة ركعة وهاتان الصلاتان بدعتان ومنكران قبيحتان ولا يغتر بذكرهما في كتاب قوت القلوب واحياء علوم الدين ولا بالحديث المذكور فيهما فان كل ذلك باطل

“Shalat yang sudah dikenal dengan sebutan shalat Ragha’ib yaitu shalat 12 rakaat yang dilakukan antara Maghrib dan Isya’, yakni malam awal hari Jumat pada bulan Rajab, dan shalat malam pada nishfu sya’ban seratus rakaat, maka dua shalat ini adalah bid’ah munkar yang buruk, janganlah terkecoh karena keduanya disebutkan dalam kitab Qutul Qulub dan Ihya Ulumuddin , dan tidak ada satu pun hadits yang menyebutkan dua shalat ini, maka semuanya adalah batil.” (Imam An Nawawi, Al Majmu’ Syarh Al Muhadzdzab, 4/56)

Hal senada dikatakan ulama lainnya seperti Abdul Muhsin Al ‘Abbad, Abdul Karim Khudhair, Abdullah Al Bassam, dll.

2. Dua rakaat sebelum subuh

Kita sering menyebutnya sunnah fajar, atau qabliyah subuh. Ini sunnah yang begitu kuat.

Sebagaimana hadits dari jalur Anas:

عليكم بركعتي الفجر، فإن فيهما الرغائب

Hendaknya kalian melakukan dua rakaat sunnah fajar, karena di dalamnya terdapat RAGHAIB.

RAGHAIB, jamak dari _raghibah_, yang artinya harapan-harapan atau kehendak-kehendak.

Imam Shan’ani berkata:

وهي ما يرغب فيه من الأموال والذخائر أراد أن فيهما الأجر الجزيل والثواب الكثير

Itu adalah apa-apa yang diharapkan dari berbagai amal dan gudang simpanan, yang dari keduanya menginginkan pahala yang banyak besar dan banyak. *(At Tanwir Syarh Al Jami’ Ash Shaghir, 7/315)*

Juga jalur Ibnu Umar:

لا تدعوا الركعتين اللتين قبل صلاة الفجر فإن فيهما الرغائب

_Jangan kalian tinggalkan Dua rakaat sebelum fajar (subuh) karena pada keduanya terdapat RAGHAIB._

Imam Al Munawi berkata:

أي ما يرغب فيه فإنه من عظيم الثواب وبه سميت صلاة الرغائب

Yaitu apa yang diinginkan padanya, sesungguhnya shalat ini terdapat pahala yang agung, dan dengannya dinamakan shalat RAGHAIB. *(Faithful Qadir, 6/393)*

Namun Riwayat ini dinilai dhaif, menurut Al Haitsami di dalam sanadnya terdapat Abdurrahim bin Yahya, dia dhaif. (Ibid)

3. Dua Rakaat Shalat Dhuha

Hal ini juga berdasarkan Riwayat dari jalur Anas:

عليكم بركعتي الضحى، فإن فيهما الرغائب

Hendaknya kalian melalukan Dua rakaat shalat dhuha, karena di dalamnya terdapat RAGHAIB.

Imam Shan’ani berkata:

ما يرغب فيه من الأجر العظيم وبه سميت صلاة الرغائب

Apa-apa yg diinginkan padanya berupa pahala yang besar, dan dengannyalah dinamakan dengan shalat raghaib. (At Tanwir Syarh Al Jami’ Ash Shaghir, 7/315)

Hanya saja Riwayat ini juga dinilai dhaif, krn sanadnya terdapat Ibrahim bin Sulaiman az Ziyat. Yang dinilai dhaif para ulama seperti Ibnu ‘Adi dalam Al Kamil fidh Dhu’afa.

Demikian. Wallahu A’lam

✍ Farid Nu’man Hasan

Bolehkah Shalat Sunnah Qobliyah Subuh sebelum Adzan?

Pertanyaan

السلام عليكم ورحمة الله وبركاته

Ustadz saya mau bertanya, tentang shalat kobliah subuh yang dikerjakan pada 5 menit sebelum adzan subuh, apakah diperbolehkan?

Jawaban

‌وعليكم السلام و رحمة الله و بركاته

Qabliyah subuh itu dilakukan di antara Azan dan Iqamah subuh, itu termasuk shalat rawatib. Tertulis dalam Al mausu’ah:

وهي السنن التابعة للفرائض ، ووقتها وقت المكتوبات التي تتبعها

“Ini adalah shalat sunah yang mengiringi/mengikuti shalat-shalat wajib, dan waktunya adalah sama dengan shalat wajib yang diiringinya. (Al Mausu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah, 22/44)

Imam Ibnu Qudamah mengatakan:

كل سنة قبل الصلاة , فوقتها من دخول وقتها إلى فعل الصلاة , وكل سنة بعدها , فوقتها من فعل الصلاة إلى خروج وقتها

Semua shalat sunnah qabliyah, waktunya adalah SETELAH masuk waktu utk melakukan shalat (wajib). Semua sunnah ba’diyah waktunya adalah sejak dilakukan shalat (wajib) sampai keluar (habis) waktu shalatnya.

(Al Mughni, 2/544)

Jadi kalau belum waktunya atau sebelum azan, bukan shalat rawatib qabliyah namanya. Jika dilakukan sebelum adzan subuh walau 5 menit, maka itu masih kategori shalat malam. Baik tahajud atau witir.

Demikian. Wallahu A’lam

✍ Farid Nu’man Hasan

Membaca Al Fatihah Bagi Makmum, Bgmn Caranya?

Pertanyaan

السلام عليكم ورحمة الله وبركاته

Ustadz saya mau bertanya, membaca surat al-Fatihah bagi makmum itu cukup dengan menggerakkan bibir saja atau sampai terdengar suara?

Jawaban

‌و عليكم السلام و رحمة الله و بركاته

– Dalam konteks mazhab Syafi’i, makmum tetap wajib baca Al-Fatihah

– Dalam mazhab Hanafi, tidak perlu baca Al-Fatihah baik dishalat sirr atau jahr

– Dalam mazhab Hambali dan Maliki, Al-Fatihah tetap dibaca jika shalatnya sirr, dan tidak dibaca jika shalatnya Jahr

– Bacanya bukan hati, sebab itu bukan membaca tapi merenung.

– Bacanya tetap mesti dilisankan, lisan digerakan, batasan minimal adalah hak-hak sifat hurufnya terpenuhi dengan mulut yang komat kamit, baik suara lirih untuk diri sendiri atau tidak bersuara..

Al Kharrasyi menjelaskan:

وَاعْلَمْ أَنَّ أَدْنَى السِّرِّ أَنْ يُحَرِّكَ لِسَانَهُ بِالْقِرَاءَةِ، فَإِنْ لَمْ يُحَرِّكْ لِسَانَهُ لَمْ يَجْزِهِ، لِأَنَّهُ لَا يُعَدُّ قِرَاءَةً بِدَلِيلِ جَوَازِهَا لِلْجُنُبِ، وَأَعْلَاهُ أَنْ يُسْمِعَ نَفْسَهُ فَقَطْ. انتهى

Ketahuilah, sirr yang paling minimal adalah menggerakkan lisan saat membaca, jika tidak bergerak maka itu tidak boleh sebab itu tidak dinamakan “qiro’ah” (membaca), dalilnya orang junub masih boleh baca dihati. Ada pun sirr yang paling maksimal adalah terdengar oleh diri sendiri saja. (Syarh Al Kharrasyi ‘ala Mukhtashar Al Khalil, 1/275)

Wallahu a’lam.

✍ Farid Nu’man Hasan

scroll to top