◼◽◼◽◼◽◼◽◼◽
✉️❔PERTANYAAN:
Ustadz apakah boleh tidak mandi setelah jima tidak keluar mani? Berdasar hadits berikut: Ubay bin Ka’b r.a. bertanya, “Wahai Rasulullah, bagaimana jika seseorang berhubungan dengan istrinya, namun tidak keluar (mani)?” Beliau menjawab, “Hendaklah ia mencuci apa yang menyentuh istrinya (kemaluan), lalu wudhu dan shalat.” (HR Bukhari)
✒️❕JAWABAN
◼◽◼◽◼◽◼◽◼◽
Ini hadits telah mansukh (dihapus), dan berlaku dimasa awal Islam saja.
Hadits yang menghapusnya adalah:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: «إِذَا جَلَسَ بَيْنَ شُعَبِهَا الأَرْبَعِ، ثُمَّ جَهَدَهَا فَقَدْ وَجَبَ الغَسْلُ»
Dari Abu Huraiah, dari Nabi ﷺ bersabda:
“Jika empat cabang anggota tubuh telah duduk, lalu anggota tubuh itu sungguh-sungguh (maksudnya jima’), maka wajib mandi.” (HR. Bukhari no. 291)
Jadi walau tidak keluar air mani, tetap wajib mandi.
Imam Al Khathabi berkata:
وفيه دليل على أن الختانين إذا التقيا وجب الغسل وإن لم يكن إنزال. وأن قوله: (الماء من الماء) منسوخ، وكان ذلك متقدما في صدر الإسلام
Dalam hadits ini terdapat dalil bahwa jika bertemu dua khitan (maksudnya jima’) maka wajib mandi walau tidak sampai inzal (keluar mani).
Ada pun sabdanya: “Air (mandi) hanyakah jika ada air (mani)” telah mansukh, itu sudah berlalu di masa awal Islam.
(Imam Al Khathabi, A’lamul Hadits Syarh Shahih Bukhari, 1/310)
Demikian. Wallahu A’lam
✍ Farid Numan Hasan