Kalimat Shalawat Selain Dari Sunnah Nabi

Shalawat yang paling utama, tentu yang ma’tsur yaitu yang Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam ajarkan. Ini tidak ada perselisihan pendapat, semua ulama sepakat. Tetapi bukan itu pembahasan kita.

Namun apakah shalawat dengan susunan kalimat buatan sendiri selain dari Sunnah, lantas terlarang dan bid’ah?

Shalawat dengan susunan BUKAN DARI SUNNAH NABI (Ghairu Ma’tsur), sudah dikenal di masa sahabat, tabi’in, dan tabi’ut tabi’in. Tidak seorang pun mengingkari hal itu. Bahkan kalimat shalawat yang sangat terkenal di lisan semua umat Islam dan tertera dalam kitab-kitab ulama seperti:

– Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam
– Shallallahu ‘Alaihi Wa ‘ala Aalihi Wa Sallam
– ‘Alahi Shalatu wa Sallam
– Shalawatullah wa Salamuhu ‘Alaih, dll, … semua redaksi kalimat ini adalah susunan  yang tidak ada dalam sunnah.

Dalam kumpulan fatwa Lajnah Daimah (Kerajaan Arab Saudi), selalu dalam fatwa-fatwa mereka di akhir dengan kalimat:

وبالله التوفيق. وصلى الله على نبينا محمد وآله وصحبه وسلم

Wa Billahit Taufiq, wa Shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa Aalihi wa Shahbihi wa Sallam

Susunan Shalawat dengan kalimat seperti ini juga tidak ada dalam sunnah, para ulama yang menyusun fatwa-fatwa tersebut (Syaikh Bin Baaz dan murid-muridnya) tidak mempermasalahkannya.

Para salaf pun menyusun kalimat shalawat sendiri. Berikut ini beberapa contoh:

1. Shalawat Susunan Ibnu Abbas Radhiallahu ‘Anhuma

وعن ابن عباس – رضي الله عنهما – أنه كان إذا صلى على النبي – صلى الله عليه وسلم – قال اللهم تقبل شفاعة محمد الكبري وأرفع درجته العليا وأعطه سؤله في الآخرة والأولى كما أتيت إبراهيم وموسى رواه عبد بن حميد في مسنده وعبد الزاق وإسماعيل القاضي وإسناده جيد ، قوي صحيح

Dari Ibnu Abas Radhiallahu ‘anhuma apabila dia membaca shalawat kepada Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam beliau berkata, ”Allahumma taqabbal syafa’atu Muhammad alKubra warfa’ darajatahu al ‘ulya wa a’thihhi su’lahu fil akhirah wal ula kama aatita Ibrahim wa Musa.” Ya Allah kabulkanlah syafaat Muhammad yang agung, tinggikanlah derajatnya yang luhur, dan berilah permohonanya di dunia dan akhirat sebagaimana Engkau kabulkan permohonan Ibrahim dan Musa”

Diriwayatkan oleh Abdu bin Humaid dalam Musnadnya dan Abdurazzaq dan Ismail Al Qadhi, dengan sanad jayyid, qawwiy shahih.

(Al Hafizh As Sakhawi, Al Qaul Al Badi’, hal. 55)

2. Shalawat susunan Imam Hasan Al Bashri

Al Hafizh As Sakhawi –dia murid Imam Ibnu Hajar- berkata:

وعن الحسن ، هو البصري أنه كان إذا صلى على النبي – صلى الله عليه وسلم – يقول اللهم أجعل صلواتك وبركاتك على آل محمد كما جعلتها على آل إبراهيم إنك حميد مجيد

Dari Al hasan (yaitu Hasan al Bashri), jika dia SHALAWAT kepada Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, dia membaca: “Allahumaj’al shalawatika wa barakatika ‘ala aali Muhammad kama ja’Altaha ‘ala aali Ibrahim innaka Hamidun Majid.”

Imam Hasan Al Bashri berkata:

من أراد أن يشرب بالكأس الأوفى من حوض المصطفى فليقل اللهم صل على محمد وعلى آله وأصحابه وأولاده وأزواجه وذريته وأهل بيته واصهاره وأنصاره وأشياعه ومحبيه وأمته وعلينا معهم أجمعين يا أرحم الراحمين

Siapa yang ingin minum dengan gelas yang sempurna di telaganya Al Mushthafa (Rasulullah), maka bacalah: “Allahumma Shalli ‘ala Muhammad  wa ‘Ala Aalihi wa Ashhabihi wa Awladihi wa Azwajihi wa Dzurriyatihi wa Ahli Baitihi wa Ashharihi wa Ansharihi wa Asysya’ihi wa Muhibbihi wa Ummatihi wa ‘Alaina Ma’ahum ajma’in ya yaa arhamar raahimiin.”   (Al Hafizh Al Imam As Sakhawi, Al Qaul Al Badi’, Hal. 55)

3. Shalawat susunan Imam Asy Syafi’i

Imam Ibnul Qayyim berkata:

وَقَالَ عبد الله بن عبد الحكم رَأَيْت الشَّافِعِي رَحمَه الله فِي النّوم فَقلت مَا فعل الله بك قَالَ رحمني وَغفر لي وزفني إِلَى الْجنَّة كَمَا يزف بالعروس ونثر عَليّ كَمَا ينثر على الْعَرُوس فَقلت بِمَ بلغت هَذِه الْحَال فَقَالَ لي قَائِل يَقُول لَك بِمَا فِي كتاب الرسَالَة من الصَّلَاة على النَّبِي صلى الله عَلَيْهِ وَسلم قلت فَكيف ذَلِك قَالَ وَصلى الله على مُحَمَّد عدد مَا ذكره الذاكرون وَعدد مَا غفل عَن ذكره الغافلون قَالَ فَلَمَّا اصبحت نظرت إِلَى الرسَالَة فَوجدت الْأَمر كَمَا رَأَيْت النَّبِي صلى الله عَلَيْهِ وَسلم

Abdullah bin Al Hakam berkata: Aku bermimpi melihat Asy Syafi’i rahimahullah, aku berkata: “Apa yang Allah perbuat kepadamu?” Beliau menjawab: “Dia merahmatiku, mengampuniku, dan menyiapkanku ke surga seperti pengantin dalam pesta pernikahan, aku bertanya karena apa aku sampai derajat ini?” Ada yang menjawab: “Karena shalawatmu kepada nabi dalam kitab Ar Risalah.” Aku bertanya: “Bagaimana itu?” Dia menjawab: “Shallallahu ‘ala Muhammad ‘Adada Maa dzakarahu adz dzakirun wa ‘adada maa ghafala ‘an dzikrihi al ghafilun.” Abdullah bin al Hakam berkata: “Paginya aku lihat kitab risalah dan aku temukan seperti yang aku lihat dari Rasulullah Shallalahu ‘Alaihi wa Sallam.” (Jalaa’ul Afham, hal. 412)

Dan masih banyak lagi contoh dari kalangan salaf.

Ini menunjukkan tidak masalah dan bukan bid’ah shalawat susunan sendiri selama: tidak ada kalimat yang melanggar syariat dan tidak dianggap sebagai sunnah nabi. Maka, shalawat susunan ulama baik shalawat Asyghil, Munjiyat, Nariyah, Thibul Qulub, adalah tidak masalah, dengan syarat jika kalimatnya aman dari hal yang melanggar dan tidak menganggapnya sebagai sunnah nabi disaat membacanya.

Demikian. Wallahu A’lam

✍️ Farid Nu’man Hasan

Wanita Menjadi Khathib Id

Bismillahirrahmanirrahim..

Beredar video yang menayangkan wanita menjadi Khathib id, sedangkan imam shalatnya laki-laki.

Khutbah ‘Id adalah bagian dari ibadah, dan hukumnya Sunnah menurut kesepakatan ulama. Karena dia bagian dari ibadah, maka ketentuannya pun sama dengan syarat keimaman shalat yaitu mesti laki-laki, tidak boleh wanita.

Dalam Majelis fatwa para ulama Siria dijelaskan:

إن خطبة العيد عبادة، والعبادات لا تتغير أحكامُها بتغير الأحوال والأزمان. وهي جزء من شعيرة صلاة العيد، فلا يخرج حكمُ الخطبة عن حكم الإمامة. والإمامة في الصلاة لا تجوز إلا للرجال بإجماع، وحتى لو جاز (نقول “لو”، وهي حرف امتناع لامتناع كما يقول النحاة) لو جاز أن تخطب بالرجال امرأةٌ فلا يجوز أن تصنع ذلك مَن تنكر شيئاً من شرائع الدين المعلومة بالضرورة والمجمَع عليها بين فقهاء الأمة في كل العصور.

Khutbah Idul Fitri adalah ibadah, dan hukum ibadah tidak berubah dengan perubahan keadaan dan waktu. Itu bagian dari prosesi shalat Ied, oleh karenanya aturan pada khutbah tidaklah keluar dari aturan keimaman shalat. Dan imam dalam shalat tidak diperbolehkan kecuali untuk laki-laki saja berdasarkan ijma’. Jika itu (wanita khutbah) diperbolehkan (kami mengatakan “jika”, yang merupakan kata depan untuk menolak seperti yang dikatakan oleh para ahli tata bahasa) jika seorang wanita diperbolehkan untuk berkhutbah kepada laki-laki, maka tidak boleh baginya melakukan itu (sebab) itu mengingkari hukum agama yang sudah pasti diketahui dan disepakati di kalangan para fuqaha umat ini sepanjang masa. (selesai)

Demikian. Wallahu A’lam

Farid Nu’man Hasan

Membaca Dzikir-Dzikir Petang Tapi Sudah Malam

Pertanyaan

Bismillah, Ustad Farid Nukman yg di rahmati Allah taala, mau tanya apa dzikir pagi petang boleh di amalkan setelah magrib jika tidak waktu (gak sempat) Trmksh (Ali A)

Jawaban

Bismillahirrahmanirrahim..

Sunnahnya dan idealnya dzikir petang adalah antara ashar dan maghrib. Seperti yang dikatakan Imam As Safarini dalam Ghidza’ul Albab, saat menjelaskan waktu berdzikir pagi petang:

ما بين الصبح وطلوع الشمس، وما بين العصر والغروب

Antara subuh dan terbit matahari, dan antara ashar dan tenggelam matahari. (Jilid 2, hal. 368)

Allah Ta’ala berfirman:

وَّ سَبِّحُوْهُ بُكْرَةً وَّاَصِيْلًا

dan bertasbihlah kepada-Nya pada waktu pagi dan petang.
(QS. Al-Ahzab:  42)

Makna Al Ashiil (petang), kata As Safarini:

وَالْأَصِيلُ هُوَ الْوَقْتُ بَعْدَ الْعَصْرِ إلَى الْمَغْرِبِ

Al Ashiil adalah waktu setelah ashar sampai maghrib. (Ibid)

Namun, jika kita begitu sibuk, atau lupa, tidak mengapa kita melakukan di waktu setelahnya baik setelah matahari terbit atau setelah maghrib.

Imam Ar Ruhaibani menjelaskan:

(وَ) سُنَّ (أَنْ يَقُولَ عِنْدَ صَبَاحٍ وَمَسَاءٍ) مَا وَرَدَ، قَالَ الْمُوَفَّقُ الْبَغْدَادِيُّ فِي ذَيْلِ فَصِيحِ ثَعْلَبٍ: الصَّبَاحُ عِنْدَ الْعَرَبِ: مِنْ نِصْفِ اللَّيْلِ الْأَخِيرِ إلَى الزَّوَالِ، ثُمَّ الْمَسَاءُ: إلَى آخِرِ نِصْفِ اللَّيْلِ

Disunnahkan mengucapkan dzikir di pagi dan petang dengan kalimat yang warid (ma’tsur). Al Muwaffaq Al Baghdadi berkata dalam Dzail Fashih Tsa’lab : “Pagi bagi orang Arab adalah dari TENGAH MALAM sampai AKHIR MATAHARI TERGELINCIR (menjelang zuhur), sedangkan sore (al masa’)  adalah (dari setelah zuhur) sampai AKHIR TENGAH MALAM.

(Mathalib Ulin Nuha, jilid. 1, hal. 570)

Syaikh Abdullah Al Faqih mengatakan:

ولو أن شخصاً انشغل عن الإتيان بالأذكار في هذا الوقت وأتى بها بعد المغرب أو بعد طلوع الشمس فلا حرج في ذلك، لأن وقت الصباح والمساء يتناول ذلك لغة

Seandainya seseorang begitu sibuk shingga dia tdk berdzikir di waktu tsb, maka dia bisa melakukannya SETELAH MAGHRIB atau SETELAH TERBIT MATAHARI, itu tidak apa-apa. Karena waktu pagi dan petang secara bahasa juga mencakup itu. (Fatawa Asy Syabakah Al Islamiyah no. 133293)

Demikian. Wallahu A’lam

Farid Nu’man Hasan

Di Surga Pakai Bahasa Apa?

Pertanyaan

+61 406 42xxxx:
Assalamu alaikum Ustadz Farid
Baru saja melihat video dari seorang Syaikh yang menyebutkan bahwa bahasa Arab sebagai bahasa penduduk surga hadits-nya adalah lemah.
Mohon pencerahannya Ustadz
Jazakallah khoiron katsir

Jawaban

Wa’alaikumussalam Wa Rahmatullah Wa Barakatuh

Bismillahirrahmanirrahim..

Para ulama berbeda pendapat tentang bahasa apa yang digunakan penduduk surga; Arab atau selainnya?

Pertama. Bahasa penduduk surga adalah Bahasa Arab

Sangat banyak para ahli tafsir baik salaf dan khalaf yang mengatakan Bahasa Arab adalah bahasa penduduk surga, seperti Muqatil, Az Zuhri, Al Qurthubi, Ibnu Katsir, As Suyuthi, Al Alusi, dan lainnya.

Kedua. Tidak diketahui bahasa apa, serahkan ilmunya kepada Allah Ta’ala

Kelompok ini mengatakan tidak ada dalil yang kuat baik dari Al Quran dan As Sunnah yang menunjukkan Bahasa Arab adalah bahasa penduduk surga. Semua hadits tentang itu adalah lemah bahkan palsu.

Misalnya, dalam hadits Imam Ath Thabarani dalam Al Awsath, Imam Al Hakim, dari jalur Ibnu Abbas bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

أحبوا العرب لثلاث لأني عربي ، والقرآن عربي ، وكلام أهل الجنة عربي

Cintailah Arab oleh kalian karena tiga hal: karena aku orang Arab, Al Quran berbahasa Arab, dan percakapannya penduduk surga dengan Bahasa Arab.

Hadits ini dinyatakan sebagai hadits PALSU oleh para imam hadits, seperti Imam Ibnul Jauzi dan Imam Adz Dzahabi (Al Fawaid Al Majmu’ah, hal. 413), sedangkan Ats Tsa’labi mengatakan Tidak Ada Dasarnya. Al ‘Uqaili berkata: munkar, tidak ada dasarnya. Abu Hatim berkata: dusta. (Raudhul Bassam, jilid. 4, hal. 373)

Ada juga hadits serupa dari jalur Abu Hurairah:

أنا عربي ، والقرآن عربي ، ولسان أهل الجنة عربي

Aku orang Arab, Al Quran orang Arab, lisan penduduk surga adalah Bahasa Arab.

Dalam sanadnya terdapat orang-orang yang lemah, Imam Al Haitsami berkata: “Dalam sanadnya terdapat Abdul Aziz bin ‘Imran, seorang yang matruk (haditsnya ditinggalkan/tidak dipakai).” (Majma’ Az Zawaid, jlid. 10, hal. 53).

Juga terdapat Syibil bin al ‘Ala, oleh Imam Ibnu ‘Adi dikatakan: “hadits-haditsnya munkar.” (Al La’ali Al mashnu’ah, jilid. 2, hal. 405)

Salah satu pendukung pendapat ini adalah Imam Ibnu Taimiyah, Beliau berkata:

لا يُعلم بأي لغة يتكلم الناس يومئذ ، ولا بأي لغة يسمعون خطاب الرب جل وعلا ؛ لأن الله تعالى لم يخبرنا بشيء من ذلك ولا رسوله عليه الصلاة والسلام ، ولم يصح أن الفارسية لغة الجهنميين ، ولا أن العربية لغة أهل النعيم الأبدي ، ولا نعلم نزاعا في ذلك بين الصحابة رضي الله عنهم ، بل كلهم يكفون عن ذلك لأن الكلام في مثل هذا من فضول القول … ولكن حدث في ذلك خلاف بين المتأخرين

Tidak diketahui Bahasa apa yang dipakai manusia saat itu, dan bahasa apa ketika mereka mendengar Allah Ta’ala berbicara kepada mereka, karena Allah Ta’ala tidak pernah mengabarkan sedikit pun tentang itu, demikian juga Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Tidak shahih bahwa bahasa penduduk neraka jahanam adalah Bahasa Persia, tidak shahih pula Bahasa Arab adalah Bahasa penduduk surga. Kami tidak ketahui adanya sengketa dalam hal ini di antara para sahabat nabi, mereka semua menahan diri membicarakan ini secara berlebihan …. Namun terjadinya perbedaan pendapat itu di masa muta’akhirin (ulama belakangan) ….(Majmu’ al Fatawa, jilid. 4, hal. 299)

Demikian. Wallahu A’lam

✍️ Farid Nu’man Hasan

scroll to top