Di Surga Pakai Bahasa Apa?

Pertanyaan

+61 406 42xxxx:
Assalamu alaikum Ustadz Farid
Baru saja melihat video dari seorang Syaikh yang menyebutkan bahwa bahasa Arab sebagai bahasa penduduk surga hadits-nya adalah lemah.
Mohon pencerahannya Ustadz
Jazakallah khoiron katsir

Jawaban

Wa’alaikumussalam Wa Rahmatullah Wa Barakatuh

Bismillahirrahmanirrahim..

Para ulama berbeda pendapat tentang bahasa apa yang digunakan penduduk surga; Arab atau selainnya?

Pertama. Bahasa penduduk surga adalah Bahasa Arab

Sangat banyak para ahli tafsir baik salaf dan khalaf yang mengatakan Bahasa Arab adalah bahasa penduduk surga, seperti Muqatil, Az Zuhri, Al Qurthubi, Ibnu Katsir, As Suyuthi, Al Alusi, dan lainnya.

Kedua. Tidak diketahui bahasa apa, serahkan ilmunya kepada Allah Ta’ala

Kelompok ini mengatakan tidak ada dalil yang kuat baik dari Al Quran dan As Sunnah yang menunjukkan Bahasa Arab adalah bahasa penduduk surga. Semua hadits tentang itu adalah lemah bahkan palsu.

Misalnya, dalam hadits Imam Ath Thabarani dalam Al Awsath, Imam Al Hakim, dari jalur Ibnu Abbas bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

أحبوا العرب لثلاث لأني عربي ، والقرآن عربي ، وكلام أهل الجنة عربي

Cintailah Arab oleh kalian karena tiga hal: karena aku orang Arab, Al Quran berbahasa Arab, dan percakapannya penduduk surga dengan Bahasa Arab.

Hadits ini dinyatakan sebagai hadits PALSU oleh para imam hadits, seperti Imam Ibnul Jauzi dan Imam Adz Dzahabi (Al Fawaid Al Majmu’ah, hal. 413), sedangkan Ats Tsa’labi mengatakan Tidak Ada Dasarnya. Al ‘Uqaili berkata: munkar, tidak ada dasarnya. Abu Hatim berkata: dusta. (Raudhul Bassam, jilid. 4, hal. 373)

Ada juga hadits serupa dari jalur Abu Hurairah:

أنا عربي ، والقرآن عربي ، ولسان أهل الجنة عربي

Aku orang Arab, Al Quran orang Arab, lisan penduduk surga adalah Bahasa Arab.

Dalam sanadnya terdapat orang-orang yang lemah, Imam Al Haitsami berkata: “Dalam sanadnya terdapat Abdul Aziz bin ‘Imran, seorang yang matruk (haditsnya ditinggalkan/tidak dipakai).” (Majma’ Az Zawaid, jlid. 10, hal. 53).

Juga terdapat Syibil bin al ‘Ala, oleh Imam Ibnu ‘Adi dikatakan: “hadits-haditsnya munkar.” (Al La’ali Al mashnu’ah, jilid. 2, hal. 405)

Salah satu pendukung pendapat ini adalah Imam Ibnu Taimiyah, Beliau berkata:

لا يُعلم بأي لغة يتكلم الناس يومئذ ، ولا بأي لغة يسمعون خطاب الرب جل وعلا ؛ لأن الله تعالى لم يخبرنا بشيء من ذلك ولا رسوله عليه الصلاة والسلام ، ولم يصح أن الفارسية لغة الجهنميين ، ولا أن العربية لغة أهل النعيم الأبدي ، ولا نعلم نزاعا في ذلك بين الصحابة رضي الله عنهم ، بل كلهم يكفون عن ذلك لأن الكلام في مثل هذا من فضول القول … ولكن حدث في ذلك خلاف بين المتأخرين

Tidak diketahui Bahasa apa yang dipakai manusia saat itu, dan bahasa apa ketika mereka mendengar Allah Ta’ala berbicara kepada mereka, karena Allah Ta’ala tidak pernah mengabarkan sedikit pun tentang itu, demikian juga Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Tidak shahih bahwa bahasa penduduk neraka jahanam adalah Bahasa Persia, tidak shahih pula Bahasa Arab adalah Bahasa penduduk surga. Kami tidak ketahui adanya sengketa dalam hal ini di antara para sahabat nabi, mereka semua menahan diri membicarakan ini secara berlebihan …. Namun terjadinya perbedaan pendapat itu di masa muta’akhirin (ulama belakangan) ….(Majmu’ al Fatawa, jilid. 4, hal. 299)

Demikian. Wallahu A’lam

✍️ Farid Nu’man Hasan

Menyikapi Harta Haram

Ada beberapa arahan Islam dalam menyikapi harta haram, sebagai berikut:

1. Jika harta tersebut adalah harta curian, korupsi, merampas, dan sejenisnya.

Untuk jenis ini, tidak ada cara lain menyikapinya kecuali dikembalikan kepada shahibul maal (pemilik hartanya). Baik itu milik pribadi, organisasi, lembaga, bahkan negara. Maka, kembalikan kepada mereka atau ahli warisnya. Tidak boleh seorang pun diluar pemiliknya memanfaatkannya tanpa izin dan ridhanya. Tidak pula disedekahkan tanpa seizin pemiliknya, disedekahkan adalah jalan terakhir ketika tidak berhasil menemukan pemiliknya.

Imam An Nawawi membahas dalam Riyadhush Shalihin tentang bagaimana cara bertobat dari maksiat yg terkait hak-hak manusia, di antaranya terkait harta orang lain yang ada pada kita, Beliau berkata:

فإن كانت مالاً أو نحوه رده إليه

Jika maksiatnya terkait harta atau sejenisnya maka kembalikan harta itu kepadanya (pemiliknya).

(Riyadhush Shalihin, Hal. 33. Maktabatul Iman)

Imam Ibnul Qayyim mengatakan:

من قبض مالا ليس له قبضه شرعاً، ثم أراد التخلص منه، فإن تعذر رده عليه، قضى به ديناً عليه، فإن تعذر ذلك رده إلى ورثته، فإن تعذر ذلك تصدق به عنه

Siapa yang mengumpulkan harta dengan cara yang tidak syar’i, lalu dia ingin membersihkannya, dan terhalang mengembalikannya, maka dia menetapkannya sebagai hutang yang mesti dia bayar, jika tidak bisa maka kembalikan ke ahli warisnya, jika tidak bisa maka disedekahkan. (Zaadul Ma’ad, jilid 5, hal. 690)

2. Harta haram hasil usaha sendiri, seperti jual beli khamr, jual beli babi, menang judi (lotre), riba, upah pelacuran, dan sejenisnya.

Untuk jenis ini ada beberapa sikap atau pendapat para ulama:

A. Membuangnya. Haram baginya dan Haram bagi orang lain.

Ini pendapat sebagian kalangan sufi, sebagaimana yang dikatakan Imam Ibnul Jauzi, dalam Talbis Iblis.

Dahulu para sahabat nabi membuang khamr ketika turun ayat pelarangannya sampai digambarkan Madinah banjir khamr. Sebagaimana hadits Shahih Ibnu Hibban, dari jalan Anas bin Malik Radhiallahu ‘Anhu.

B. Tidak membuangnya tapi memanfaatkannya untuk kepentingan umum (orang banyak), bukan pribadi. Harta ini haram bagi pemilik atau si pencarinya tapi tidak bagi kepentingan umum.

Khususnya uang hasil penjualan atau upah dari aktivitas yang haram-haram. Sedangkan yang haram secara zat atau materinya seperti babi, khamr, darah, ini tetap haram bagi pemilik dan orang lain. Sedangkan uang hasil penjualannya masih bisa dimanfaatkan untuk kepentingan umum seperti jalanan, jembatan, trotoar, taman, wc umum, anak yatim, dan semisalnya. Alasannya, uang-uang haram seperti itu hakikatnya harta tidak bertuan, maka haram bagi orang mencarinya tapi boleh bagi org lain menerimanya dgn cara yg mubah.

Syaikh Abbas Ahmad Muhammad Al Baaz menjelaskan:

صرف المال الحرام الذي لا يعرف صاحبه إلى الفقراء والمساكين وأصحاب الحاجة ومصالح المسلمين العامة.

Memanfaatkan harta haram yang tidak diketahui pemiliknya adalah dengan memberikannya kepada kaum fakir, miskin, orang-orang yang membutuhkan, dan kemaslahatan umum kaum muslimin.

من المصالح التي ينفق فيها المال الحرام بناء المدارس، شق الطرق، بناء مشفى أو عيادة طبية، الدفع إلى طلبة العلم

Yang termasuk maslahat (umum) yang di dalamnya dapat dibelanjakan melalui harta haram, seperti membangun sekolah, membangun jalan, rumah sakit atau klinik, dan biaya untuk penuntut ilmu.

(Ahkamul Maal al Haram Wa Dhawabit Al Intifa’ wat Tasharruf bihi fi Fiqhil Islami, Jilid.3, hal. 339)

Imam Ibnu Taimiyah mengatakan:

إذا كانت الأموال قد أخذت بغير حق وقد تعذر ردها إلى أصحابها ككثير من الأموال السلطانية (أي التي غصبها السلطان) ; فالإعانة على صرف هذه الأموال في مصالح المسلمين كسداد الثغور ونفقة المقاتلة ونحو ذلك : من الإعانة على البر والتقوى..

Jika harta diperoleh dengan cara yang tidak benar, dan harta tersebut sulit dikembalikan kepada yang berhak, seperti harta yang ada pada penguasa (yaitu yang dirampas penguasa dari rakyatnya), maka bantuan untuk manfaatkan harta ini adalah dengan memanfaatkannya bagi maslahat kaum muslimin seperti penjaga perbatasan, biaya perang, dan semisalnya; sebab ini termasuk pemanfaatan dalam kebaikan dan taqwa. (As Siyaasah Asy Syar’iyah, Hal. 35)

Dzar bin Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu ‘Anhuma bercerita:

جاء إليه رجل فقال : إن لي جارا يأكل الربا ، وإنه لا يزال يدعوني ،
فقال : مهنأه لك ، وإثمه عليه

Ada seseorang yang mendatangi Ibnu Mas’ud lalu dia berkata:

“Aku punya tetangga yang suka makan riba, dan dia sering mengundangku untuk makan.”

Ibnu Mas’ud menjawab; Untukmu bagian enaknya, dan dosanya buat dia.

(Imam Abdurrazzaq, Al Mushannaf, no. 14675)

Salman Al Farisi Radhiyallahu ‘Anhu berkata:

إذا كان لك صديق
عامل، أو جار عامل أو ذو قرابة عامل، فأهدى لك هدية، أو دعاك إلى طعام، فاقبله، فإن مهنأه لك، وإثمه عليه

“Jika sahabatmu, tetanggamu, atau kerabatmu yang pekerjaannya haram, lalu dia memberi hadiah kepadamu atau mengajakmu makan, terimalah! Sesungguhnya, kamu dapat enaknya, dan dia dapat dosanya.” (Ibid, No. 14677)

Demikian. Wallahu A’lam

✍️ Farid Nu’man Hasan

Meruqyah Bangunan

Pertanyaan

Assalammu’allaikum , izin bertanya, bagaimana hukumnya jika kita mau berdagang, tetapi saudara selalu memberi saran yg katanya syariat dari pak haji, bahwa sayang kita harus membaca doa, surat alfatihah, al falag, dan annas yg di tiupkan ke air, trus nanti di ciprat2kan ke setip pojok warungnya agar laris, apakah ini sudah termasuk perbuatan syirik pak ustadz, mohon penjelasanya
Sutikno Dhirjo, Bandung +62 817-323-xxx

Jawaban

Wa’alaikumussalam Wa Rahmatullah

Bismillahirrahmanirrahim..

Meruqyah dengan membaca ayat-ayat Al Quran ke air bukanlah syirik, itu salah satu cara ruqyah syar’iyyah. Yaitu membaca ayat-ayat Al Quran, atau doa nabi, ke air lalu air itu diminum atau diusap ke yang sakit, atau disiram ke bangunan (rumah, toko) untuk perlindungan.

Hal ini berdasarkan hadits Shahih Bukhari, dalam _Bab an Nafats fir Ruqyah’_

فَإِذَا رَأَى أَحَدُكُمْ شَيْئًا يَكْرَهُهُ فَلْيَنْفِثْ حِينَ يَسْتَيْقِظُ ثَلاَثَ مَرَّاتٍ، وَيَتَعَوَّذْ مِنْ شَرِّهَا، فَإِنَّهَا لاَ تَضُرُّهُ

Jika kamu melihat sesuatu yg tidak disukai, maka hendaknya dia meludah saat terbangun sebanyak 3 kali, dan berlindung (kepada Allah) dari keburukannya maka itu tidak akan membahayakannya. (HR. Bukhari no. 5747)

Ini juga diriwayatkan dari sebagian salaf. Seperti Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘Anhu:

إذا عسر على المرأة ولدها تكتب هاتين الآيتين والكلمتين في صحيفة ثم تغسل وتسقى منها، وهي: بسم الله الرحمن الرحيم لا إله إلا الله العظيم الحليم الكريم، سبحان الله رب السموات ورب الارض ورب العرش العظيم ….

Jika seorang wanita kesulitan ketika melahirkan, maka Anda tulis dua ayat berikut secara lengkap di lembaran, kemudian masukkan ke dalam air dan kucurkan kepada dia, yaitu kalimat: “Laa Ilaha Illallah Al Halimul Karim Subhanallahi Rabbil ‘Arsyil ‘Azhim Al Hamdulillahi Rabbil ‘Alamin….”

(Tafsir Al Qurthubi, 16/222)

Hal ini dilakukan para salaf, di antaranya Imam Ahmad bin Hambal, seperti yang dikatakan Imam Ibnu Muflih Rahimahullah:

نقل عبدالله أنه رأى أباه يعوذ في الماء ويقرأ عليه ويشربه ، ويصب علىنفسه منه

Abdullah menyebutkan bahwa dia melihat ayahnya (yaitu Imam Ahmad bin Hambal) membacakan ta’awudz kepada air dan meminumnya dan menuangkan air itu kepada dirinya. (Al Adab Asy Syar’iyyah, 2/441)

Kebolehan ruqyah melalui media air juga dikatakan oleh Imam asy Syafi’i, Imam Ibnu Taimiyah, Imam Ibnul Qayyim, Imam Al Qurthubi, dan lainnya, serta pernah dilakukan oleh Ali bin Abi Thalib Radhiallahu ‘Anhu, Ibnu Abbas Radhiallahu ‘Anhuma, dan lainnya.

Dalam Fatawa Asy Syabakah Al Islamiyyah:

فلا حرج في قراءة آيات الرقية على ماء ورش المنزل والحديقة بهذا الماء، والطريقة الصحيحة لذلك هي قراءة آيات السحر على ماء، وخصوصاً قول الله تعالى: قَالَ مُوسَى مَا جِئْتُم بِهِ السِّحْرُ إِنَّ اللّهَ سَيُبْطِلُهُ إِنَّ اللّهَ لاَ يُصْلِحُ عَمَلَ الْمُفْسِدِينَ {يونس: 81}، ثم يرش الماء المقروء عليه في البيت والحديقة فيبطل السحر إن شاء الله

Tidak masalah membacakan ayat-ayat ruqyah kepada air lalu air itu dipercikkan kepada rumah dan kebun. Cara yang shahih adalah membacakan ayat-ayat ruqyah ke air, secara khusus adalah membacakan firman Allah Ta’ala: “Apa yang kamu lakukan itu, itulah sihir, sesungguhnya Allah akan menampakkan kepalsuan sihir itu. Sungguh, Allah tidak akan membiarkan terus berlangsungnya pekerjaan orang yang berbuat kerusakan.” (QS. Yunus, Ayat 81)

Lalu air yang dibacakan ruqyah tersebut dicipratkan ke rumah atau kebun, Insya Allah sihir itu lenyap.

(Fatawa Asy Syabakah Al Islamiyyah no. 56090)

Hanya saja, hal ini harus MEMENUHI BEBERAPA SYARAT, Al Hafizh Ibnu Hajar Al Asqalani Rahimahullah mengatakan:

وَقَدْ أَجْمَعَ الْعُلَمَاء عَلَى جَوَاز الرُّقَى عِنْد اِجْتِمَاع ثَلَاثَة شُرُوط : أَنْ يَكُون بِكَلَامِ اللَّه تَعَالَى أَوْ بِأَسْمَائِهِ وَصِفَاته ، وَبِاللِّسَانِ الْعَرَبِيّ أَوْ بِمَا يُعْرَف مَعْنَاهُ مِنْ غَيْره ، وَأَنْ يَعْتَقِد أَنَّ الرُّقْيَة لَا تُؤْثَر بِذَاتِهَا بَلْ بِذَاتِ اللَّه تَعَالَى

“Ulama telah ijma’ bolehnya ruqyah jika memenuhi tiga syarat:

1. Menggunakan firman Allah Ta’ala atau dengan asma dan sifat-sifatNya.

2. Dengan lisan bahasa Arab atau dengan bahasa yang bisa diketahui maknanya selain bahasa Arab.

3. Meyakini bahwa ruqyah tidak mmberikan pengaruh dengan zatnya sendiri, tetapi Allah Ta’ala yang memberikan pengaruhnya.” (Fathul Bari, 10/195)

Demikian. Wallahu A’lam

✍️ Farid Nu’man Hasan

Islam dan Kelestarian Lingkungan

Islam adalah agama yang sempurna, tidak hanya membicarakan aspek ibadah dan akhirat

Salah satu yang mendapat perhatian Islam adalah penjagaan terhadap pelestarian lingkungan

Dalam Al Quran, Allah Ta’ala menyindir perilaku manusia yang telah melakukan kerusakan di daratan dan lautan, dan dampak buruknya.

Allah Ta’ala berfirman:

ظَهَرَ الْفَسَا دُ فِى الْبَرِّ وَا لْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ اَيْدِى النَّا سِ لِيُذِيْقَهُمْ بَعْضَ الَّذِيْ عَمِلُوْا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُوْنَ

“Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan perbuatan tangan manusia; Allah menghendaki agar mereka merasakan sebagian (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).” (QS. Ar-Rum: Ayat 41)

Bahkan Al Quran juga menegaskan hukuman keras bagi mereka yang merusak permukaan bumi.

Allah Ta’ala berfirman:

إِنَّمَا جَزَٰٓؤُاْ ٱلَّذِينَ يُحَارِبُونَ ٱللَّهَ وَرَسُولَهُۥ وَيَسۡعَوۡنَ فِي ٱلۡأَرۡضِ فَسَادًا أَن يُقَتَّلُوٓاْ أَوۡ يُصَلَّبُوٓاْ أَوۡ تُقَطَّعَ أَيۡدِيهِمۡ وَأَرۡجُلُهُم مِّنۡ خِلَٰفٍ أَوۡ يُنفَوۡاْ مِنَ ٱلۡأَرۡضِۚ ذَٰلِكَ لَهُمۡ خِزۡيٞ فِي ٱلدُّنۡيَاۖ وَلَهُمۡ فِي ٱلۡأٓخِرَةِ عَذَابٌ عَظِيمٌ

Hukuman bagi orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya dan membuat kerusakan di bumi hanyalah dibunuh atau disalib, atau dipotong tangan dan kaki mereka secara silang, atau diasingkan dari tempat kediamannya. Yang demikian itu kehinaan bagi mereka di dunia, dan di akhirat mereka mendapat azab yang besar.

(QS. Al-Ma’idah: 33)

Ada pun dalam sunnah, juga banyak penegasan larangan merusak lingkungan baik kepada air, tumbuhan, dan hewan.

Rasulullah ﷺ melarang pencemaran air. Dalam hadits disebutkan:

عَنْ جَابِرٍ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ نَهَى أَنْ يُبَالَ فِي الْمَاءِ الرَّاكِدِ

Dari Jabir, dari Rasulullah ﷺ, bahwasanya beliau melarang kencing di air yang menggenang.

(HR. Muslim no. 281)

Rasulullah ﷺ juga melarang mencemari jalan dan tempat manusia berteduh. Sebab, hal itu merusak lingkungan dan mengganggu manusia.

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ اتَّقُوا اللَّعَّانَيْنِ قَالُوا وَمَا اللَّعَّانَانِ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ الَّذِي يَتَخَلَّى فِي طَرِيقِ النَّاسِ أَوْ فِي ظِلِّهِمْ

Dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: “Hindarilah dua hal penyebab laknat dan celaan!” Sahabat bertanya: “Apa dua hal tersebut wahai Rasulullah?” Rasulullah menjawab: “Seseorang yang buang hajat di jalanan manusia atau di tempat berteduh mereka.”

(HR. Muslim no. 269)

Rasulullah ﷺ juga mengecam keras orang yang menebang pohon yg biasa dipakai manusia berteduh.

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ حُبْشِيٍّ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ قَطَعَ سِدْرَةً صَوَّبَ اللَّهُ رَأْسَهُ فِي النَّارِ

Dari Abdullah bin Hubsyi ia berkata, “Rasulullah ﷺ bersabda, “Barang siapa menebang pohon bidara maka Allah akan membenamkan kepalanya dalam api neraka.”

(HR. Abu Daud no. 5239, shahih)

Maksud pohon bidara di sini adalah pohon bidara di padang pasir yang biasa dijadikan tempat berteduh manusia.

سُئِلَ أَبُو دَاوُد عَنْ مَعْنَى هَذَا الْحَدِيثِ فَقَالَ هَذَا الْحَدِيثُ مُخْتَصَرٌ يَعْنِي مَنْ قَطَعَ سِدْرَةً فِي فَلَاةٍ يَسْتَظِلُّ بِهَا ابْنُ السَّبِيلِ وَالْبَهَائِمُ عَبَثًا وَظُلْمًا بِغَيْرِ حَقٍّ يَكُونُ لَهُ فِيهَا صَوَّبَ اللَّهُ رَأْسَهُ فِي النَّارِ

Imam Abu Daud ditanya tentang hadits tersebut, lalu ia menjawab, “Secara ringkas, makna hadits ini adalah bahwa barang siapa menebang pohon bidara di padang bidara dengan sia-sia dan zalim; padahal itu adalah tempat untuk berteduh para musafir dan hewan-hewan ternak, maka Allah akan membenamkan kepalanya di neraka.” (Ibid)

Terhadap hewan juga demikian. Rasulullah ﷺ melarang menyakiti mereka.

Said bin Jubeir Radhiallahu ‘Anhu menceritakan:

كُنْتُ عِنْدَ ابْنِ عُمَرَ فَمَرُّوا بِفِتْيَةٍ أَوْ بِنَفَرٍ نَصَبُوا دَجَاجَةً يَرْمُونَهَا فَلَمَّا رَأَوْا ابْنَ عُمَرَ تَفَرَّقُوا عَنْهَا وَقَالَ ابْنُ عُمَرَ مَنْ فَعَلَ هَذَا إِنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَعَنَ مَنْ فَعَلَ هَذَا

Saya sedang bersama Ibnu Umar, lalu lewatlah para pemuda atau sekelompok orang yang menyakiti seekor ayam betina, mereka melemparinya. Ketika hal itu dilihat Ibnu Umar mereka berhamburan. Dan Ibnu Umar berkata: “Siapa yang melakukan ini? Sesungguhnya Nabi ﷺ melaknat orang yang melakukan ini.”

(HR. Bukhari No. 5515)

Dari Ibnu Abbas Radhiallahu ‘Anhuma, bahwa Nabi ﷺ bersabda:

لَا تَتَّخِذُوا شَيْئًا فِيهِ الرُّوحُ غَرَضًا

Janganlah kalian menjadikan sesuatu yang memiliki ruh sebagai sasaran. (HR. Muslim No. 1957)

Larangan Mencincang Hewan Hidup-Hidup. Dalam riwayat yang sama, dari Ibnu Umar pula:

لَعَنَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ مَثَّلَ بِالْحَيَوَانِ

Nabi ﷺ melaknat orang yang mencincang/membuat cacat hewan. (HR. Bukhari No. 5515)

Yaitu mencincang dan membuat cacat hewan ketika masih hidup. Lalu, apa makna laknat dalam hadits ini? Yaitu diharamkan. Al Hafizh Al Imam Ibnu Hajar mengatakan:

واللعن من دلائل التحريم

Dan ‘laknat’ merupakan  di antara petunjuk keharamannya.” (Fathul Bari, 9/644)

Di sisi lain, Rasulullah ﷺ memerintahkan membunuh hewan jika hewan itu berbahaya bagi kehidupan manusia. Seperti tikus, anjing rabies, ular, dan lainnya.

Jika diperhatikan semuanya, ujung dari penjagaan Islam terhadap pelestarian lingkungan adalah untuk sebesar-besarnya maslahat hidup manusia.

Demikian. Wallahul Muwaffiq Ilaa Aqwamith Thariq

✍ Farid Nu’man Hasan

scroll to top