Saat Kaset Murattal Terdengar, Apakah Wajib Mendengarkan?

Salah satu adab bagi seorang muslim dikala Al Qur’an dibacakan baik secara langsung atau melalui kaset murattal adalah mendengarkannya dengan seksama. Hal itu sebagai bentuk pemuliaan dan pengagungan atas Kalamullah.

Hanya saja, para fuqaha sejak dahulu memang berbeda pendapat apakah diam dan mendengarkan bacaan Al Quran di luar shalat itu WAJIB atau SUNNAH.

Allah Ta’ala berfirman:

وَإِذَا قُرِئَ الْقُرْآنُ فَاسْتَمِعُوا لَهُ وَأَنْصِتُوا لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ

“Dan apabila dibacakan Al Quran, maka dengarkanlah baik-baik, dan perhatikanlah dengan tenang agar kamu mendapat rahmat.“ (QS. Al A’raf (7): 204)

Dalam ayat ini, Allah Ta’ala memerintahkan ketika Al Quran dibacakan hendaknya dengarkan dan perhatikan. Namun menurut penjelasan jumhur ulama, ayat ini konteksnya adalah perintah di dalam shalat, bukan di luar shalat. Artinya, jika imam sedang membaca surah maka hendaknya makmum diam, mendengarkan, dan perhatikan.

Pemahaman bahwa itu berlaku di dalam shalat sejalan dengan hadits:

إنما جعل الإمام ليؤتم به ، فإذا كبر فكبروا ، وإذا قرأ فأنصتوا

Sesungguhnya imam diangkat untuk diikuti. Jika dia takbir maka takbirlah, jika dia membaca Al Quran maka diamlah (HR. Muslim)

Imam Ibnu Katsir menyebutkan beberapa riwayat yang menjadi sebab turunnya ayat ini, di antaranya:

– Pertama. Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘Anhu, Beliau berkata:

كانوا يتكلمون في الصلاة ، فلما نزلت هذه الآية : ( وإذا قرئ القرآن فاستمعوا له [ وأنصتوا ] ) والآية الأخرى ، أمروا بالإنصات

Dahulu mereka ngobrol di saat shalat, lalu ketika turun ayat ini “Jika dibacakan Al Quran maka dengarkan dan perhatikan” dan ayat lainnya, maka mereka pun diam.

– Kedua. Dari Ibnu Mas’ud Radhiyallahu ‘Anhu, Beliau berkata:

كنا يسلم بعضنا على بعض في الصلاة : سلام على فلان ، وسلام على فلان ، فجاء القرآن ( وإذا قرئ القرآن فاستمعوا له وأنصتوا لعلكم ترحمون )

Dahulu kami mengucapkan salam satu sama lain di dalam shalat: “Salam atas fulan, salam atas fulan.” Maka turunlah ayat Al Quran: “Jika dibacakan Al Quran maka dengarkan dan perhatikan agar kamu mendapatkan rahmat”

– Az Zuhri berkata:

نزلت هذه الآية في فتى من الأنصار ، كان رسول الله صلى الله عليه وسلم كلما قرأ شيئا قرأه ، فنزلت : ( وإذا قرئ القرآن فاستمعوا له وأنصتوا )

Turunnya ayat ini berkenaan tentang seorang pemuda Anshar, dahulu jika Rasulullah ﷺ membaca ayat Al Quran (sebagai imam) pemuda itu ikut juga membacanya. Maka turunlah ayat: “Jika dibacakan Al Quran maka dengarkan dan perhatikan agar kamu mendapatkan rahmat”

(Tafsir Ibnu Katsir, 3/536)

Dalam Tafsir Al Qurthubi juga disebutkan:

قيل : إن هذا نزل في الصلاة ، روي عن ابن مسعود وأبي هريرة وجابر والزهري وعبيد الله بن عمير وعطاء بن أبي رباح وسعيد بن المسيب . قال سعيد : كان المشركون يأتون رسول الله صلى الله عليه وسلم إذا صلى ; فيقول بعضهم لبعض بمكة : لا تسمعوا لهذا القرآن والغوا فيه . فأنزل الله جل وعز جوابا لهم وإذا قرئ القرآن فاستمعوا له وأنصتوا

Dikatakan bahwa ayat ini turun tentang bacaan Al Quran di dalam shalat. Diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud, Abu Hurairah, Jabir, Az Zuhri, ‘Ubaidullah bin ‘Amir, Atha’ bin Abu Rabah, dan Sa’id bin al Musayyab.

Sa’id berkata: “Dahulu kaum musyrikin Mekkah mendatangi Rasulullah ﷺ saat sedang shalat, mereka satu sama lain berkata ‘Jangan dengarkan Al Quran, abaikan saja’. Maka turunlah ayat ini sebagai jawaban bagi mereka. (Tafsir Al Qurthubi, 7/353)

Imam Al Qurthubi juga menjelaskan:

ﻗﺎﻝ اﻟﻨﻘﺎﺵ: ﺃﺟﻤﻊ ﺃﻫﻞ اﻟﺘﻔﺴﻴﺮ ﺃﻥ ﻫﺬا اﻻﺳﺘﻤﺎﻉ ﻓﻲ اﻟﺼﻼﺓ اﻟﻤﻜﺘﻮﺑﺔ ﻭﻏﻴﺮ اﻟﻤﻜﺘﻮﺑﺔ

An Niqasy berkata: para ahli tafsir telah ijma’ bahwa ini berlaku dalam hal mendengarkan bacaan Al Quran di shalat wajib dan selain shalat wajib. (Ibid, 7/354)

Jadi, jika kita rinci adalah sebagai berikut:

– Mendengarkan bacaan Al Quran di dalam shalat yang jahr adalah wajib. Ini ijma’.

– Mendengarkan bacaan Al Quran di luar shalat, diperselisihkan para ulama. Namun mayoritas mengatakan tidak wajib, tapi sunnah.

Syaikh Muhammad Shalih al Munajjid mengatakan:

الاستحباب والندب ، وحملوا الآية التي في سورة الأعراف في حال الصلاة فقط ، أما في غير الصلاة فالأمر على الندب والاستحباب ، وهذا قول جماهير أهل العلم

Hukum (mendengarkannya) Sunnah dan anjuran, mereka memahami surat Al A’raf tersebut tentang keadaan di dalam shalat saja. Ada pun di luar shalat hanya anjuran dan disukai (sunnah). Inilah pendapat mayoritas ulama. (Al Islam Su’aal wa Jawaab no. 88728)

Ada pun mazhab Hanafi dan yang lainnya mengatakan wajib mendengarkan bagi yg tidak ada uzur, sebagaimana wajib mendengarkan di dalam shalat sebab menurut mereka ayat tersebut berlaku umum.

Imam Al Qurthubi berkata:

اﻟﻨﺤﺎﺱ: ﻭﻓﻲ اﻟﻠﻐﺔ ﻳﺠﺐ ﺃﻥ ﻳﻜﻮﻥ ﻓﻲ ﻛﻞ ﺷﻲء، ﺇﻻ ﺃﻥ ﻳﺪﻝ ﺩﻟﻴﻞ ﻋﻠﻰ اﺧﺘﺼﺎﺹ ﺷﻲء

Menurut An Nuhas: menurut bahasa kewajiban ini ada di segala hal, kecuali ada dalil yang menunjukkan khusus pada suatu hal saja. (Ibid, 7/354)

Dalam Al Mausu’ah disebutkan:

اﻻﺳﺘﻤﺎﻉ ﺇﻟﻰ ﺗﻼﻭﺓ اﻟﻘﺮﺁﻥ اﻟﻜﺮﻳﻢ ﺣﻴﻦ ﻳﻘﺮﺃ ﻭاﺟﺐ ﺇﻥ ﻟﻢ ﻳﻜﻦ ﻫﻨﺎﻙ ﻋﺬﺭ ﻣﺸﺮﻭﻉ ﻟﺘﺮﻙ اﻻﺳﺘﻤﺎﻉ

Mendengarkan tilawah Al Quran ketika dibacakan adalah wajib jika tidak ada halangan syar’i untuk mendengarkannya. (Al Mausu’ah Al Fiqhiyyah Al Kuwaitiyah, 4/85)

Hanya saja Hanafi berbeda pendapat sesama mereka apakah fardhu ‘ain atau kifayah. (Ibid)

Kesimpulan, hal ini memang diperselisihkan, namun demikian alangkah baiknya ketika Al Quran dibacakan hendaknya kita dengarkan dengan seksama terlepas dari apa hukumnya dalam rangka khurujan minal khilaf (keluar dr perselisihan pendapat).

Ada pun disaat kondisi tidak siap mendengarkan Al Quran, ada kesibukan yang menyita perhatian dan pendengaran maka lebih baik tidak menyetel murattal agar murattal tersebut tidak diabaikan.

Demikian. Wallahu A’lam

✍ Farid Nu’man Hasan

Larangan dan Bahaya Mendukung Kezaliman dan Pelakunya

Sejumlah ayat Al Quran dan Sunnah Nabi ﷺ menegaskan larangan menjadi pembeli orang-orang zalim dan satu barisan dengan mereka.

Allah Ta’ala berfirman:

وَلَا تَرْكَنُوا إِلَى الَّذِينَ ظَلَمُوا فَتَمَسَّكُمُ النَّارُ وَمَا لَكُمْ مِنْ دُونِ اللَّهِ مِنْ أَوْلِيَاءَ ثُمَّ لَا تُنْصَرُونَ

Dan janganlah kamu cenderung kepada orang yang zhalim yang menyebabkan kamu disentuh api neraka, sedangkan kamu tidak mempunyai seorang penolong pun selain Allah, sehingga kamu tidak akan diberi pertolongan. (QS. Hud: 113)

Dalam ayat lain:

وَلَا تُطِيعُوٓاْ أَمۡرَ ٱلۡمُسۡرِفِينَ ٱلَّذِينَ يُفۡسِدُونَ فِي ٱلۡأَرۡضِ وَلَا يُصۡلِحُونَ

Dan janganlah kamu taati orang-orang yang melampuai batas.(yaitu) mereka yang membuat kerusakan di bumi dan tidak mengadakan perbaikan. (QS. Asy Syu’ara: 151-152)

Ayat lain:

وَلَا تُطِعۡ مَنۡ أَغۡفَلۡنَا قَلۡبَهُۥ عَن ذِكۡرِنَا وَٱتَّبَعَ هَوَىٰهُ وَكَانَ أَمۡرُهُۥ فُرُطٗا

Dan janganlah kalian taati orang yang Kami lupakan hatinya untuk mengingat Kami dan ia mengikuti hawa nafsu dan perintahnya yang sangat berlebihan. (QS. Al Kahfi: 28)

Ada pun dalam hadits, Nabi ﷺ bersabda:

«اسْمَعُوا، هَلْ سَمِعْتُمْ أَنَّهُ سَيَكُونُ بَعْدِي أُمَرَاءُ؟ فَمَنْ دَخَلَ عَلَيْهِمْ فَصَدَّقَهُمْ بِكَذِبِهِمْ وَأَعَانَهُمْ عَلَى ظُلْمِهِمْ فَلَيْسَ مِنِّي وَلَسْتُ مِنْهُ وَلَيْسَ بِوَارِدٍ عَلَيَّ الحَوْضَ،َ»

“Dengarkanlah, apakah kalian telah mendengar bahwa sesudahku nanti akan ada para pemimpin?

Siapa yang masuk kepada mereka, lalu membenarkan kedustaan mereka dan mendukung kezaliman mereka, maka dia bukan golonganku, aku juga bukan golongannya. Dia juga tak akan menemuiku di telaga.”

(HR At Tirmidzi no. 2259, An Nasa’i no. 4208, Imam At Tirmidzi dalam Sunannya mengatakan: SHAHIH. Dalam Kanzul ‘Ummal, Imam Alauddin al Hindi mengatakan: SHAHIH. (no. 14891)

– Ayat dan hadits ini merupakan kecaman keras kepada para penguasa yang zalim atau orang-orang zalim secara umum. Sebab, kezaliman bisa dilakukan oleh siapa pun bukan hanya penguasa.

– Selain itu, terlarang menjadi pendukung orang-orang zalim, dan satu barisan bersama mereka. Membenarkan kedustaan dan kezaliman mereka sejadi-jadinya. Bahkan Allah Ta’ala mengancam dengan keras kepada para pendukungnya yaitu neraka. Begitulah kepada para pendukungnya, lalu bagaimana dengan orang zalimnya sendiri?

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Salam bersabda:

إن في جهنم واد ، في ذلك الوادي بئر يقال له هبهب ، حق على الله تعالى أن يسكنها كل جبار

“Sesungguhnya di neraka jahanam ada sebuah lembah, di lembah tersebut terdapat sumur yang dinamakan Hab Hab, yang Allah Ta’ala tetapkan sebagai tempat tinggal bagi setiap diktator.”

(HR. Ath Thabarani, Al Mu’jam Al Ausath, No. 3548, Al Hakim, Al Mustadrak ‘alash Shaihihain, No. 8765, katanya: Shahih. Imam Al Haitsami mengatakan sanadnya hasan. Lihat Majma’uz Zawaid, 5/197. Ini lafaz milik Al Hakim)

Dari Mu’awiyah Radhiallahu ‘Anhu, RasulullahShallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

سَيَكُونُ أَئِمَّةٌ مِنْ بَعْدِي يَقُولُونُ وَلا يُرَدُّ عَلَيْهِمْ، يَتَقَاحَمُونَ فِي النَّارِ كَمَا تَتَقَاحَمُ الْقِرَدَةُ “

Akan datang para pemimpin setelahku yang ucapan mereka tidak bisa dibantah, mereka akan masuk ke neraka berdesa-desakkan seperti kera yang berkerubungan.

(HR. Ath Thabarani, Al Mu’jam Al Kabir, No. 925, Al Awsath No. 5311, Abu Ya’la, No. 7382, menurut Syaikh Husein Salim Asad: isnadnya shahih)

Demikianlah nasihat Allah Ta’ala dalam Al Quran dan Rasul-Nya dalam sunnah yang mulia. Agar kaum muslimin, senantiasa bersama orang-orang yang benar, dan hati-hati terhadap doa orang-orang terzalimi (da’watul mazhlum).

Wallahul Muwafiq Ila Aqwamith Thariq

✍ Farid Nu’man Hasan

Batas Usia Seorang Anak Disebut Yatim

◼◽◼◽◼◽

✉️❔PERTANYAAN:

بسم الله
السلام عليكم ورحمة الله ورحمة الله وبركا ته

Semoga ustadz di Rahmati Allah. Mohon idzin bertanya. Sampai kapan batas yatim.? Syukron dengan penjelasannya.

✒️❕JAWABAN

Wa’alaikumussalam wa Rahmatullah wa Barakatuh

Saat dia baligh maka berakhir status keyatimannya.

Dalilnya:

لا يُتمَ بعدَ احتلامٍ

Tidak ada yatim setelah mencapai mimpi basah (baligh).

(HR. Abu Daud no. 2873. Dinyatakan hadits hasan, oleh Imam an Nawawi dalam Riyadhushshalihin. Syaikh Syuaib al Arnauth mengatakan: hasan lighairih.)

Imam Al Munawi mengatakan: “Jika dia sudah mencapai baligh maka dia tidak lagi dinamakan yatim.” (Faidhul Qadir, 6/444)

Demikian. Wallahu a’lam

✏ Farid Nu’man Hasan

Beginilah Mereka Saling Memuliakan

Asy Sya’bi berkata:

صلى زيد بن ثابت رضي الله عنه على جنازة ، ثم قُرّب له بغلته ليركبها ، فجاء ابن عباس رضي الله عنهما فأخذ بركابه ، فقال زيد : خل عنك يا ابن عم رسول الله ﷺ ، فقال هكذا نفعل بالعلماء ، فقبّل زيد يد ابن عباس وقال ، هكذا أُمِرْنا أن نفعل بأهل بيت نبينا

Zaid bin Tsabit Radhiallahu ‘Anhu shalat jenazah, lalu didekatkan kepadanya kendaraannya untuk dinaikinya. Ibnu Abbas Radhiallahu ‘Anhuma pun datang membawakan sanggurdi (pijakan kaki) untuk menaiki kendaraannya.

Zaid pun berkata: “Biarkan saja wahai anak paman Rasulullah ﷺ.”

Ibnu Abbas Radhiallahu ‘Anhuma menjawab: “Beginilah yang kami lakukan kepada para ulama.”

Lalu Zaid mencium tangan Ibnu Abbas, dan berkata: “Beginilah kami diperintahkan untuk melakukannya terhadap keluarga Nabi kami ﷺ.”

(Thabaqat Ibnu Sa’ad, 2/360)

Durus wa ‘Ibar (pelajaran dan hikmah):

1. Zaid bin Tsabit Radhiallahu ‘Anhu adalah salah satu sahabat nabi yang senior (Kibarus Shahabah). Dia termasuk pencatat wahyu, ulama di masa sahabat, dan Rasulullah ﷺ memujinya sebagai manusia yang paling paham ilmu faraidh (warisan).

2. Ibnu Abbas Radhiallahu ‘Anhuma adalah sahabat nabi junior (Shigharush Shahabah), Beliau termasuk keluarga nabi yaitu sepupu Rasulullah ﷺ. Manusia menjulukinya Al Bahr (lautan ilmu), Rasulullah ﷺ mendoakannya secara khusus agar Allah Ta’ala memahamkannya ilmu agama dan tafsir.

3. Kisah di atas menunjukkan saling memuliakan antara keluarga Nabi ﷺ kepada para ulama, serta ulama kepada keluarga Nabi ﷺ.

4. Mencium tangan seseorang karena keshalihan dan keilmuannya, atau karena kedudukannya sebagai keluarga Nabi ﷺ atau keturunannya, adalah akhlak kaum salaf.

5. Demikian juga melayani para ulama, yang mana mereka adalah pewaris para nabi, pelanjut perjuangannya, penjaga agama dan syariatNya, adalah bagian dari akhlak salaf pula.

6. Begitulah mereka mencontohkan, bersikap saling memuliakan dan menghormati, bukan saling menjatuhkan dan merusak kehormatan dan kewibawaan satu sama lain.

Wa Shalallahu ‘Ala Nabiyina Muhammadin wa ‘Ala Aalihi wa Shahbihi wa Sallam

✍ Farid Nu’man Hasan

scroll to top