Imam Bertanya Tentang Kebaikan Mayit

◼◽◼◽◼◽◼◽◼◽

✉️❔PERTANYAAN:

Assalamualaikum
Izin bertanya (lagi) ustadz , ini perihal pengurusan jenazah;
Bagaimana ketentuan pembuatan liang lahat (di daerah saya biasa disebut “lubang landakan”/ liang yg dibuat di sisi sebelah kanan bawah dari lubang makam) apakah ada perbedaan satu daerah dg yg lain, mohon penjelasan, kemudian perihal ucapan imam sholat jenazah yg mengucapkan ” yaa ayyuhal haadiruun, kayfa hadzal mayyit?
Khoyrr? ” … Apakah hal itu ada dalilnya dst … mohon pencerahannya ustadz, terima kasih

✒️❕JAWABAN

◼◽◼◽◼◽◼◽◼◽

Wa’alaikumussalam wa Rahmatullah wa Barakatuh

Itu namanya Lahad, begitulah cara bikin lubang kubur dalam Islam. Mayit dimasukan bagian sisi kanannya. Tidak ada perbedaan di semua negeri Islam.

Ada pun kebiasaan imam shalat menanyakan ke jamaah tentang mayit apakah dia orang baik, lalu jamaah menjawab khair (baik), itu diambil dari hadits Bukhari berikut:

مَرُّوا بِجَنَازَةٍ، فَأَثْنَوْا عَلَيْهَا خَيْرًا، فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «وَجَبَتْ» ثُمَّ مَرُّوا بِأُخْرَى فَأَثْنَوْا عَلَيْهَا شَرًّا، فَقَالَ: «وَجَبَتْ» فَقَالَ عُمَرُ بْنُ الخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ: مَا وَجَبَتْ؟ قَالَ: «هَذَا أَثْنَيْتُمْ عَلَيْهِ خَيْرًا، فَوَجَبَتْ لَهُ الجَنَّةُ، وَهَذَا أَثْنَيْتُمْ عَلَيْهِ شَرًّا، فَوَجَبَتْ لَهُ النَّارُ، أَنْتُمْ شُهَدَاءُ اللَّهِ فِي الأَرْضِ

“Sahabat Anas bin Malik berkata, orang-orang lewat membawa satu jenazah, mereka memujinya dengan kebaikan. Maka Rasulullah bersabda, “Wajabat.” Kemudian lewat lagi orang-orang membawa satu jenazah, mereka mencelanya dengan kejelekan. Maka Rasulullah bersabda, “Wajabat.” Sahabat Umar bin Khathab berkata, “Apa yang wajib, ya Rasul?” Rasulullah bersabda, “Jenazah ini yang kalian puji dengan kebaikan wajib baginya surga. Dan rang ini yang kalian cela dengan kejelekan wajib baginya neraka. Kalian adalah para saksinya Allah di muka bumi.” (HR. Bukhari)

Lalu, bagaimana dengan orang yang tidak kenal dengan mayit itu? Dia boleh memilih antara diam saja agar terhindar dari kesaksian palsu, atau dia tanya ke orang lain di situ tentang mayit, lalu dia boleh menjawabnya Khair sebagai wujud husnuzhan kepada mayit.

Wallahu A’lam

✍️ Farid Nu’man Hasan

Puasa Enam Hari Syawwal Dilakukan Pada Bulan Selain Syawwal

◼◽◼◽◼◽◼◽◼◽

✉️❔PERTANYAAN:

Assalamualaikum..Ustad, semoga selalu dalam keadaan sehat.

Maaf Ustad, saya Bu **** dari Sukmajaya.
Izin bertanya ust,
Apakah Puasa syawal itu bisa dilakukan setelah bulan syawal? masih bisa diqadha di bulan selain Syawal, khususnya Dzulqodah
Jazakumullah Khoir ustad (+62 856-166xxxx)

✒️❕JAWABAN

◼◽◼◽◼◽◼◽◼◽

Wa’alaikumussalam wa Rahmatullah wa Barakatuh

Bismillahirrahmanirrahim..

Jika seseorang terhalang oleh halangan syar’i sehingga dia tidak bisa puasa Syawwal apakah bisa puasa Syawwal dilakukan di bulan lainnya dengan niat qadha? Maka dalam hal ini para ulama berbeda pendapat.

Pertama. Boleh, dan dia tetap mendapatkan keutamaan puasa Syawwal. Ini pendapat ulama mazhab Maliki dan sebagian Hanabilah.

Dalam Hasyiyah Al ‘Adawi dikatakan bahwa dianjurkannya puasa enam hari Syawwal itu untuk meringankan saja, bukan pengkhususan waktunya. Bagi yang baru bisa melaksanakan di bulan Dzulhijjah atau Dzulqa’dah maka itu hal yang baik. (Hasyiyah Al ‘Adawi, 2/243)

Begitu pula dalam kitab Tahdzib Al Furuq -nya Imam Al Qarafi. Menurut Imam Ibnul ‘Arabi hadits tentang anjuran puasa Syawwal itu adalah hadits yang berisikan tamtsil (perumpamaan), yaitu puasa Ramadhan diumpamakan setara dengan puasa 10 bulan sedangkan puasa enam hari Syawwal diumpamakan dengan puasa dua bulan. Sehingga pada prinsipnya puasa enam hari di bulan apa pun boleh sah dan tetap mendapatkan keutamaannya. (Tahdzib Al Furuq, 2/191)

Imam Ibnu Muflih mengatakan bahwa keutamaan puasa enam hari Syawwal juga bisa didapatkan di luar Syawwal, hal ini juga disebutkan oleh Al Qurthubi. (Al Furu’, 3/108)

Pendapat kedua. Boleh tapi pahalanya di bawah puasa Syawwal.

Ini pendapat Syafi’iyyah. Imam Ibnu Hajar Al Haitami mengatakan siapa yang puasa enam hari Syawal di bulan lain maka itu dibolehkan namun nilainya di bawah jika dilakukan di bulan Syawwal. (Tuhfatul Muhtaj, 3/456)

Pendapat tiga. Boleh tapi sama sekali tidak mendapatkan nilai puasa enam hari Syawwal.

Ini pendapat resmi Hanabilah. Alasannya zhahir hadits menunjukkan keutamaan hanya yang melakukannya di bulan Syawwal saja. (Kasysyaaf al Qinaa’, 2/338)

Demikian. Wallahu A’lam


✍️ Farid Nu’man Hasan

Tidak Bai’at Maka Islamnya Tidak Sah?

◼◽◼◽◼◽◼◽◼◽

✉️❔PERTANYAAN:

Assalamu’alaikum ustadz,ada kelompok yg diwajibkan kalau masuk kelompoknya harus dibaiat,klw tidak mau katanya islam kita belum sah,apakh benar pernyataan tersebut..ustadz..

✒️❕JAWABAN

◼◽◼◽◼◽◼◽◼◽

Wa’alaikumussalam wa Rahmatullah wa Barakatuh

Jika seseorang dilahirkan dari keluarga muslim, maka ijma’ bahwa org tersebut telah Islam, tidak perlu baginya syahadat ulang. Berdasarkan surat Al A’raf 172, dan hadits:

Dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasululah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

كُلُّ مَوْلُودٍ يُولَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ أَوْ يُنَصِّرَانِهِ أَوْ يُمَجِّسَانِهِ

“Setiap bayi dilahirkan dalam keadaan fitrah, maka bapaknyalah yang mebuatnya menjadi Yahudi, atau Nasrani, atau Majusi.” (HR. Bukhari No. 1319. Muslim No. 2658)

Al Hafizh Ibnu Hajar Al Asqalani Rahimahullah (w. 852H):

وَأَشْهَرُ الْأَقْوَال أَنَّ الْمُرَاد بِالْفِطْرَةِ الْإِسْلَام ، قَالَ اِبْن عَبْد الْبَرّ : وَهُوَ الْمَعْرُوف عِنْد عَامَّة السَّلَف . وَأَجْمَعَ أَهْل الْعِلْم بِالتَّأْوِيلِ عَلَى أَنَّ الْمُرَاد بِقَوْلِهِ تَعَالَى ( فِطْرَة اللَّه الَّتِي فَطَرَ النَّاس عَلَيْهَا ) الْإِسْلَام

“Pendapat yang paling masyhur bahwasanya maksud dari fitrah adalah Islam. Berkata Ibnu Abdil Bar: ‘Itu sudah dikenal oleh umumnya kaum salaf.’ Para ulama telah ijma’ (sepakat) dengan ta’wil maksud ayat: “(tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. tidak ada perubahan pada fitrah Allah,” adalah Islam.” (Fathul Bari, 3/248. Darul Fikr)

Jika dia pernah diubah oleh orangtuanya menjadi kafir, maka untuk kembali kepada Islam adalah dengan mengucapkan dua kalimat syahadat.

Jadi, mengucapkan dua kalimat syahadatlah sebagai madkhal (pintu masuk) kepada Islam.

Ada pun bai’at adalah mekanisme antara rakyat kepada pemimpinnya atau anggota sebuah komunitas kepada pimpinannya. Ini bukan penentu keislaman. Jika seseorang tidak berbaiat maka dia tetap muslim. Di masa konflik Ali dan Muawiyah Radhiallahu ‘Anhuma ada 7 sahabat nabi senior yang tidak berbai’at kepada keduanya, tentunya tidak bermakna mereka telah murtad.

Ada pun hadits yang berbunyi:

وَمَنْ مَاتَ وَلَيْسَ فِي عُنُقِهِ بَيْعَةٌ مَاتَ مِيتَةً جَاهِلِيَّةً

“Barangsiapa yang mati dan di lehernya tidak ada bai’at maka dia mati dalam keadaan jahiliyah.” (HR. Muslim)

Banyak manusia dan kelompok Islam teracuni pemikiran takfir (mudah mengkafirkan) gara-gara permasalahan ini. Hal ini terjadi karena penafsiran mereka yang keliru dan menyimpang terhadap makna hadits tersebut, dan tidak merujuk kepada penafsiran para Ahli, yakni para ulama, tapi merujuk tafsiran guru ngaji mereka demgan bujuk rayuan yang membius.

Kita lihat, apa sih makna miitatan jahiliyah (mati dalam keadaan jahiliyah) dalam hadits tersebut.

Apakah orang yang belum berbai’at lalu dia mati, matinya terhukum kafir. Sebagaimana sangkaan sebagian kelompok? Saya akan kutip syarah (penjelasan) yang dilakukan beberapa imam terpercaya umat ini, di antaranya Al Imam An Nawawi dalam Syarah-nya atas Shahih Muslim, tentang makna miitatan jahiliyah berikut:

هِيَ بِكَسْرِ الْمِيم ، أَيْ : عَلَى صِفَة مَوْتهمْ مِنْ حَيْثُ هُمْ فَوْضَى لَا إِمَام لَهُمْ

Dengan huruf mim dikasrahkan (jadi bacanya miitatan bukan maitatan), artinya kematian mereka disifati sebagaimana mereka dahulu tidak memiliki imam (pada masa jahiliyah). ( Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 6/322. Mawqi’ Ruh Al Islam)

Sekarang penjelasan Imam Asy Syaukani dalam Nailul Authar, sebagai berikut:

وَالْمُرَادُ بِالْمِيتَةِ الْجَاهِلِيَّةِ وَهِيَ بِكَسْرِ الْمِيمِ أَنْ يَكُونَ حَالُهُ فِي الْمَوْتِ كَمَوْتِ أَهْلِ الْجَاهِلِيَّةِ عَلَى ضَلَالٍ وَلَيْسَ لَهُ إمَامٌ مُطَاعٌ لِأَنَّهُمْ كَانُوا لَا يَعْرِفُونَ ذَلِكَ ، وَلَيْسَ الْمُرَادُ أَنْ يَمُوتَ كَافِرًا بَلْ يَمُوتَ عَاصِيًا

Dan yang dimaksud dengan miitatan jahiliyah dengan huruf mim yang dikasrahkan adalah dia mati dalam keadaan seperti matinya ahli jahiliyah yang tersesat di mana dia tidak memiliki imam yang ditaati karena mereka tidak mengenal hal itu, dan bukanlah yang dimaksud matinya kafir tetapi mati sebagai orang yang bermaksiat. (Imam Asy Syaukani, Nailul Authar, 7/171. Maktabah Ad Da’wah Al Islamiyah)

Dengan demikian, jika ada umat Islam yang tidak berbai’at kepada pemimpin yang sah d8 sebuah negeri lalu jika dia mati, matinya seakan manusia yg hidup di masa jahiliyah yang dahulu tidak miliki imam, dan bermaksiat kepada Allah Ta’ala. Bukan kafir sebagaimana tuduhan sebagian manusia.

Hal Itu jika berbai’at kepada khalifah yang sah dan diakui seluruh dunia Islam bukanlah kekafiran, maka apalagi dengan mencabut bai’at dr pemimpin sebuah kelompok saja dari umat Islam, yang kita tidak mengenal siapa pimpinannya?

Demikian. Wallahu A’lam

✍️ Farid Nu’man Hasan

Berenang Saat Puasa

◼◽◼◽◼◽◼◽◼◽

✉️❔PERTANYAAN:

Bolehkah berenang ketika puasa? (Grup A23)

✒️❕JAWABAN

◼◽◼◽◼◽◼◽◼◽

Bismillahirrahmanirrahim..

Jika dugaan kuatnya orang yang berenang tersebut mampu menjaga air tersebut tidak masuk atau tertelan maka umumnya ulama mengatakan hal itu boleh, namun itu baiknya dihindari sebagai tindakan preventif.

Abu Bakar berkata, telah ada yang bercerita kepadaku seseorang:

لَقَدْ رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِالْعَرْجِ يَصُبُّ الْمَاءَ عَلَى رَأْسِهِ مِنْ الْعَطَشِ أَوْ مِنْ الْحَر

“Aku telah melihat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mengguyurkan air ke kepalanya, lantaran rasa haus dan panas.” (HR. Malik, Al Muwaththa, No. 561, riwayat Yahya Al Laits. Ahmad No. 16602. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan: shahih. Ta’liq Musnad Ahmad No. 16602)

Imam Abu Sulaiman Walid Al Baji Rahimahullah menjelaskan:

وَقَدْ بَلَغَ بِهِ شِدَّةُ الْعَطَشِ أَوْ الْحَرِّ أَنْ صَبَّ الْمَاءَ عَلَى رَأْسِهِ لِيَتَقَوَّى بِذَلِكَ عَلَى صَوْمِهِ وَلِيُخَفِّفْ عَنْ نَفْسِهِ بَعْضَ أَلَمِ الْحَرِّ أَوْ الْعَطَشِ وَهَذَا أَصْلٌ فِي اسْتِعْمَالِ مَا يَتَقَوَّى بِهِ الصَّائِمُ عَلَى صَوْمِهِ مِمَّا لَا يَقَعُ بِهِ الْفِطْرُ مِنْ التَّبَرُّدِ بِالْمَاءِ وَالْمَضْمَضَةِ بِهِ ؛ لِأَنَّ ذَلِكَ يُعِينُهُ عَلَى الصَّوْمِ وَلَا يَقَعُ بِهِ الْفِطْرُ ؛ لِأَنَّهُ يَمْلِكُ مَا فِي فَمِهِ مِنْ الْمَاءِ وَيَصْرِفُهُ عَلَى اخْتِيَارِهِ وَيُكْرَهُ لَهُ الِانْغِمَاسُ فِي الْمَاءِ لِئَلَّا يَغْلِبَهُ الْمَاءُ مَعَ ضِيقِ نَفَسِهِ فَيَفْسُدَ صَوْمُهُ فَإِنْ فَعَلَ فَسَلِمَ فَلَا شَيْءَ عَلَيْهِ

“Beliau mengalami haus atau panas yang sangat, sehingga beliau mengguyurkan air ke kepalanya untuk menguatkan puasanya, dan meringankan sebagian rasa sakit yang dialami dirinya lantaran panas atau haus. Ini adalah hukum dasar dalam memakai apa saja yang bisa menguatkan orang berpuasa, yakni tidaklah membatalkan puasa, baik berupa menyejukkan diri dengan air dan berkumur-kumur dengannya. Karena hal itu bisa membantunya dalam puasa dan tidaklah membatalkan puasanya, karena dia mampu menjaga mulutnya dari air dan bisa mengatur air. Dan dimakruhkan berendam dalam air karena air telah menguasai (menutupi) dirinya dan membuatnya disempitkan dnegan air tersebut, sehingga puasanya bisa dirusak olehnya. Tetapi jika dia melakukan itu dan selamat dari hal itu, maka tidak apa-apa.” (Al Muntaqa Syarh Al Muwaththa’ , Juz. 2, Hal. 172, Mawqi’ Al Islam)

Tentang hadits di atas, berkata Imam Asy Syaukani Rahimahullah:

فِيهِ دَلِيلٌ عَلَى أَنَّهُ يَجُوزُ لِلصَّائِمِ أَنْ يَكْسِرَ الْحَرَّ بِصَبِّ الْمَاءِ عَلَى بَعْضِ بَدَنِهِ أَوْ كُلِّهِ ، وَقَدْ ذَهَبَ إلَى ذَلِكَ الْجُمْهُورُ ، وَلَمْ يُفَرِّقُوا بَيْنَ الْأَغْسَالِ الْوَاجِبَةِ وَالْمَسْنُونَةِ وَالْمُبَاحَةِ .
وَقَالَتْ الْحَنَفِيَّةُ : إنَّهُ يُكْرَهُ الِاغْتِسَالُ لِلصَّائِمِ ، وَاسْتَدَلُّوا بِمَا أَخْرَجَهُ عَبْدُ الرَّزَّاقِ عَنْ عَلِيٍّ مِنْ النَّهْيِ عَنْ دُخُولِ الصَّائِمِ الْحَمَّامَ

“Dalam hadits ini terdapat dalil bolehnya bagi orang puasa mengurangi rasa panas dengan mengguyurkan air ke sebagian badannya atau seluruhnya (seperti mandi, pen), demikianlah madzhab jumhur (mayoritas ulama), dan mereka tidak membedakan antara mandi wajib, sunah, dan mubah (semuanya hukumnya sama).

Kalangan Hanafiyah berkata: Sesungguhnya mandi adalah makruh bagi orang berpuasa, mereka beralasan dengan hadits yang diriwayatkan oleh Abdurrazzaq, dari Ali, berupa larangan bagi orang puasa untuk memasuki kamar mandi.” (Nailul Authar, 4/585. Lihat Aunul Mabud, 6/352)

Tetapi riwayat larangan tersebut adalah dhaif, sebagaimana dikatakan Al Hafizh Ibnu Hajar. (Ibid)

Syaikh Muhammad Shalih Al Munajjid mengatakan:

إذا كان يغلب على ظن السابح عدم دخول الماء إلى معدته من الفم أو الأنف ، وكان يحسن السباحة بحيث يضمن الحفاظ على صيامه ، فلا بأس عليه حينئذٍ من السباحة ، ويكون حكمها حكم الاغتسال للصائم ، وقد نص العلماء على جوازه ، ولو للتبرد فقط

Jika dugaan kuat orang yang berenang tersebut bisa menjaga masuknya air ke perut baik lewat mulut atau hidung, dia pun berenang dgn baik yang dapat menjamin terjaga puasanya, maka dlm kondisi seperti itu tidak masalah berenang, itu hukumnya sama dengan mandi, para ulama mengatakan hal itu dibolehkan walau untuk menyegarkan badan semata-mata

قال البخاري رحمه الله : بَاب اغْتِسَالِ الصَّائِمِ . وَبَلَّ ابْنُ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا ثَوْبًا فَأَلْقَاهُ عَلَيْهِ وَهُوَ صَائِمٌ

Al Bukhari Rahimahullah berkata: “Mandi Bagi Orang Berpuasa. Bahkan Ibnu Umar Merendam Pakaiannya dan Menutupi Dirinya Dengan Itu Padahal Dia Sdg Pausa.”

وَدَخَلَ الشَّعْبِيُّ الْحَمَّامَ وَهُوَ صَائِمٌ .. وَقَالَ الْحَسَنُ : لا بَأْسَ بِالْمَضْمَضَةِ وَالتَّبَرُّدِ لِلصَّائِم …

Asy Sya’bi masuk ke tempat pemandian padahal dia sdg puasa. Al Hasan berkata: “Tidak masalah berkumur-kumur dan menyegarkan badan bagi yg berpuasa.”

(Al Islam Su’aal wa Jawaab no. 65734)

Tapi jika dugaan kuatnya akan tertelan, maka terlarang berenang saat berpuasa.

Syaikh Muhammad Shalih Al Munajjid mengatakan:

إذا غلب على ظنه دخول الماء إلى جوفه بسبب السباحة ، فلا يجوز له هذا الفعل ، ويحرم عليه أن يمارس السباحة في نهار رمضان . ودليل ذلك :

Jika dugaan kuatnya air akan tertelan saat berenang maka tidak dibolehkan melakukan aktivitas ini. Maka diharamkan berenang di siang Ramadhan. (Ibid)

Imam Al Bujairami mengatakan:

لو عرف من عادته أنه يصل الماء إلى جوفه من ذلك لو انغمس ، ولا يمكنه التحرز عن ذلك ، حرم عليه الانغماس

Seandainya diketahui bahwa dengan berendam dapat tertelannya air sampai ke perut dan hal tidak dapat dihindari maka haram atasnya berendam saat itu.

(Hasyiyah Al Bujairami,2/74)

Demikian. Wallahu A’lam

✍️ Farid Nu’man Hasan

scroll to top