Menyikapi Perbedaan Pendapat Tentang Bunga Bank

Pertanyaan

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh, Ustadz yg semoga selalu ALLAH ridhoi, afwan ijin bertanya, ana lagi berbicara tentang riba di bank ke saudara. lalu dia memberikan link youtube tentang khilaf ulama mengenai bunga bank. di deskripsinya ditulis seperti ini:

sebagian ulama kontemporer lainnya, seperti syaikh Ali Jum’ah, Muhammad Abduh, Muhammad Sayyid Thanthawi, Abdul Wahab Khalaf, dan Mahmud Syaltut, menegaskan bahwa bunga bank hukumnya boleh dan tidak termasuk riba. Pendapat ini sesuai dengan fatwa yang dikeluarkan Majma’ al-Buhus al-Islamiyyah tanggal 23 Ramadhan 1423 H, bertepatan tanggal 28 November 2002 M.

Bagaimana pandangan ustadz mengenai ini, apakah pendapat ini merupakan pandangan fiqih yg benar bisa diterima? karena saudara saya jadinya berpegang dengan pendapat seperti itu. Mohon penjelasannya yaa ustadz. syukron jazakumullahu khairan katsir.


Jawaban

Wa’alaikumussalam wa Rahmatullah wa Barakatuh

Mayoritas ulama diberbagai negeri muslim mengatakan bunga bank adalah riba. Jika kita mengacu kepada para ulama di berbagai negeri – bukan hanya Mesir dengan Majma’ Buhutsnya seperti di atas – maka umumnya mengatakan riba.

Termasuk fatwa MUI tahun 2003, lalu sanggahan Syaikh Yusuf Al Qaradhawi kepada para ulama Mesir yang mengatakan bukan riba. Padahal Syaikh Yusuf al Qaradhawi juga ulama Mesir, tapi dia tinggal di Qatar.

Beliau menyusun buku khusus untuk menyanggah mereka dengan judul: Fawaid al Bunuk hiya ar Riba al Haram (Bunga Bank Adalah Riba Yang Haram).

Baik lembaga fatwa seperti Majma’ Fiqih al Islami, Al Lajnah Ad Daimah, dan lainnya tegas menyatakan ribanya bunga bank.

Tentu perbedaan pendapat ini mesti diakui eksistensinya. Namun, sikap seorang muslim adalah mengambil jalan hati-hati, sebagaimana arahan Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam:

فَمَنْ اتَّقَى الشُّبُهَاتِ اسْتَبْرَأَ لِدِينِهِ وَعِرْضِهِ وَمَنْ وَقَعَ فِي الشُّبُهَاتِ وَقَعَ فِي الْحَرَامِ كَالرَّاعِي يَرْعَى حَوْلَ الْحِمَى يُوشِكُ أَنْ يَرْتَعَ فِيهِ

Maka barangsiapa menjaga dirinya dari melakukan perkara yang syubhat, maka selamatlah agama dan harga dirinya, tetapi siapa yang terjatuh dalam perkara syubhat, maka dia terjatuh kepada keharaman. Tak ubahnya seperti gembala yang menggembala di tepi pekarangan, dikhawatirkan ternaknya akan masuk ke dalamnya.

(HR. Muslim no. 1599)

Perhatikan pula nasihat para ulama terdahulu, di antaranya Imam Ibnush Shalah – seorang ‘alim madzhab Syafi’i – dia berkata:

لَيْسَ كُلُّ خِلَافٍ يَسْتَرْوِحُ إِلَيْهِ، وَيُعْتَمَدُ عَلَيْهِ، وَمَنْ تَتَبَّعَ مَا اخْتَلَفَ فِيهِ الْعُلَمَاءُ، وَأَخَذَ بِالرُّخَصِ مِنْ أَقَاوِيلِهِمْ، تَزَنْدَقَ أَوْ كَادَ

Tidak semua perselisihan bisa kita cari-cari yang mudah (yang ringan dan enak) lalu kita mengikuti hal itu, sebab barang siapa yang mengikuti perselisihan ulama lalu dia mencari-cari yang ringan dari pendapat-pendapat mereka, maka itu telah atau hampir zindiq. (Dikutip oleh Imam Ibnul Qayyim, Ighatsatul Lahfan, 1/228)

Kecenderungan sebagian jiwa manusia mencari-cari celah hukum agar cocok dengan hawa nafsunya adalah hal yang tercela. Walau dalam perbedaan pendapat masing-masing pihak hendaknya tidak menyerang pribadi satu sama lain, namun hendaknya tetap mohon petunjuk kepada Allah Ta’ala agar dipertemukan dengan kebenaran.

Demikian. Wallahu a’lam

✍ Farid Nu’man Hasan

Membaca Ta’awudz Sebelum Al Fatihah di dalam Shalat

◼◽◼◽◼◽

✉️❔PERTANYAAN:

Assalamu’alaikum ustadz, izin bertanya tentang membaca ta’awudz sebelum membaca Al-Fatihah dalam shalat apakah di rakaat pertama saja atau setiap rakaat? Jazaakallahu sebelumnya (DG)

✒️❕JAWABAN

Wa’alaikumussalam wa Rahmatullah wa Barakatuh

Bismillahirrahmanirrahim..

Membaca ta’awudz sebelum membaca surat Al Fatihah di dalam shalat, diperselisihkan ulama tentang hukumnya.

1. Wajib

Ini adalah pendapat Atha’, Sufyan Ats Tsauri, Al Awza’i, dan Daud azh Zhahiri. (Ibnu Hazm, Al Muhalla, 3/247-248) Ibnu Hazm sendiri ikut pendapat ini.

Yang mengatakan wajib juga dari Ishaq, salah satu riwayat dari Ahmad, dan Ibnu Baththah. (Al Inshaf, 2/199)

Dalil kelompok ini:

فَإِذَا قَرَأْتَ الْقُرْآنَ فَاسْتَعِذْ بِاللّهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ

Maka apabila engkau (Muhammad) hendak membaca Al-Quran, mohonlah perlindungan kepada Allah dari setan yang terkutuk. [Surat An-Nahl: 98]

Ayat ini menunjukkan kata perintah, dan perintah pada dasarnya menunjukkan wajib selama tidak ada dalil yang membelokkan menjadi tidak wajib. Kewajiban ini berlaku di dalam shalat dan luar shalat.

2. Sunnah

Membaca ta’awudz bukanlah wajib tapi sunnah, yaitu di rakaat pertama saat membaca Al Fatihah, sebagai pengusir dari gangguan syetan.

Ini adalah pendapat mayoritas ulama. Baik para sahabat, tabi’in, tabi’ut tabi’in, Imam Abu Hanifah, Imam Asy Syafi’i, dan pendapat resmi (mu’tamad) dari Imam Ahmad. (Lihat Tabyin Al Haqaiq, 1/107, Al Majmu’, 3/280-282, Al Mughni, 1/283, Al Fatawa Al Kubra, 5/332)

Dalil kelompok ini, menurut mereka ayat di atas (An Nahl: 98) tidaklah menunjukkan perintah wajib, karena ada indikasi pada dalil yang lain yg menunjukkan tidak wajib. Di antaranya hadits berikut:

إِذَا قُمْتَ إِلَى الصَّلاَةِ فَكَبِّرْ، ثُمَّ اقْرَأْ مَا تَيَسَّرَ مَعَكَ مِنَ الْقُرْآنِ

Jika engkau hendak shalat maka takbirlah, lalu bacalah yang mudah bagimu dari Al Quran… (HR. Muttafaq ‘Alaih)

Hadits ini menunjukkan tidak ada isti’adzah di awal bacaan shalat.

Di sisi lain, kaum salaf telah ijma’ bahwa itu sunnah. Ijma’ ini menjadi dalil yang telak bahwa itu bukan wajib.

Dalam Al Mausu’ah tertulis:

واحتجّ الجمهور بأنّ الأمر للنّدب ، وصرفه عن الوجوب إجماع السّلف على سنّيّته

Mayoritas ulama berhujjah bahwa perintah tersebut bermakna nadb (sunnah) dan telah keluar dari makna wajib, yaitu adanya ijma’ kaum salaf atas kesunnahannya. (Al Mausu’ah Al Fiqhiyyah Al Kuwaitiyah, 4/6)

Imam Asy Syafi’i menjelaskan:

وإن تركه ناسيا أو جاهلا أو عامدا لم يكن عليه إعادة ولا سجود سهو ، وأكره له تركه عامدا

Jika meninggalkan ta’awudz karena lupa atau jahil (tidak tahu) atau sengaja, maka dia tidak perlu mengulangi shalatnya dan tidak ada sujud sahwi, dan aku menganggap makruh orang yang meninggalkan secara sengaja

Beliau juga berkata:

عَلَّمَ رجلا ما يكفيه في الصلاة فقال : ( كَبِّر ثُمَّ اقْرَأ ) قال : ولم يُروَ عنه أنه أمره بتعوذ ولا افتتاح ، فدل على أن افتتاح رسول الله صلى الله عليه وسلم اختيارٌ ، وأن التعوذ مما لا يُفسِدُ الصلاةَ إن تركه

Rasulullah ﷺ mengajarkan seseorang bacaan yang mencukupi dalam shalat: “bertakbirlah lalu bacalah”, tidak ada riwayat Beliau memerintahkan membaca ta’awudz dan iftitah. Ini menunjukkan ta’awudz dan ifititah-nya Rasulullah ﷺ adalah OPSIONAL (pilihan) saja, sesungguhnya ta’awudz termasuk hal yang jika ditinggalkan tidaklah merusak shalat. (Al Umm, 1/208)

3. Makruh di shalat wajib, boleh di shalat sunnah

Ini adalah pendapat para ulama Malikiyah. Imam Ad Dardir Al Maliki mengatakan:

وكره تعوذ وبسملة قبل الفاتحة والسورة (بفرض) أصلي، وجازا بنفل ولو منذورًا، وتركهما أولى ما لم يراع الخلاف

Pada dasarnya, dimakruhkan membaca ta’awudz dan basmalah sebelum membaca Al Fatihah dan surah pada shalat wajib, dan dibolehkan pada shalat sunnah walau itu shalat sunnah yang disebabkan nazar, dan meninggalkan keduanya (ta’awudz dan basmalah) adalah lebih utama selagi tidak memperpanjang perselisihan. (Asy Syarh Ash Shaghir, 1/337)

Alasan kelompok ini adalah basmalah dan ta’awudz bukan bagian dari Al Fatihah, dan tidak ada riwayat yang menunjukkan adanya bacaan ta’awudz dalam shalat.

Demikian. Wallahu A’lam

✍ Farid Nu’man Hasan

Ulama Madzhab vs Ulama Salafi

Pertanyaan

Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
Dalam banyak hal seringnya dikelompokkan jadi ulama 4 Madzhab Vs Ulama Salafi kontemporer, padahal seringkali yg dijadikan pegangan adalah sama2 Al-Quran dan Hadist, pertanyaan saya :
1. apakah ulama Salafi kontemporer lebih valid dan lebih paham dibanding ulama 4 madzhab terdahulu ?
2. Jika Salafi diartikan sebagai mengikuti Salafus Shalih, bukankah 4 Imam Madzhab termasuk sebagai generasi Salaf, lebih deket sanad keilmuannya dengan para sahabar Rasullulloh, kenapa bisa beda pemahamannya antara ulama generasi Salaf dengan Ulama Salafi kontemporer ?
3. Apakah Salafi kontemporer adalah pengertian bagi “ulama yang “bebas madzhab”
4. Saya pernah baca adanya tudingan bahwa kelompok yang mengaku Salafi sebetulnya “madzhab” baru yang comot sana comot sini dan menafsirkan sesuatu menurut pemahamannya sendiri (seringkali berbeda dengan pemahaman ulama generasi Salaf) karena kodifikasi “madzhab” baru ini blm jelas, betulkah begitu Ustadz ?
5. Manhaj Salaf dan golongan yang mengaku Salafi siapakah tokoh pendirinya (tokoh awalnya) ?
Sebetulnya masih banyak pertanyaan2 yang ingin ditanyakan, insya Allah lain kesempatan akan disampaikan ke Ustadz
Jazakallah Ustadz buat penjelasannya …


Jawaban

Wa’alaikumussalam wa Rahmatullah wa Barakatuh

1. Secara global ulama terdahulu lebih utama dibanding saat ini. Baik secara ketaqwaan, keilmuan, kezuhudan.

Imam Ibnul Baththal berkata:

لِأَنَّهُ يُفْتَحُ لِلصَّحَابَةِ لِفَضْلِهِمْ ثُمَّ لِلتَّابِعِينَ لِفَضْلِهِمْ ثُمَّ لِتَابِعيِهِمْ لِفَضْلِهِمْ قَالَ وَلِذَلِكَ كَانَ الصَّلَاحُ وَالْفَضْلُ وَالنَّصْرُ لِلطَّبَقَةِ الرَّابِعَةِ أَقَلَّ فَكَيْفَ بِمَنْ بعدهمْ

Hadits ini diawali dengan keutamaan para sahabat, lalu para tabi’in dengan keutamaan mereka, lalu para pengikut tabi’in dengan keutamaan mereka. Maka, generasi keempat lebih sedikit lagi keshalihan, keutamaan, dan kewibawaannya dibanding mereka. Lalu, bagaimana dengan manusia setelah mereka? (Dikutip Imam Ibnu Hajar, Fathul Bari, jilid. 6, hal. 89)

Tapi, secara individu bisa saja ada ulama atau manusia zaman kemudian bagus seperti ulama terdahulu.

Ini berdasarkan hadits dari Anas bin Malik Radhiallahu ‘Anhu bahwa Rasulullah ﷺ bersabda:

مَثَلُ أُمَّتِي مَثَلُ الْمَطَرِ لاَ يُدْرَى أَوَّلُهُ خَيْرٌ أَمْ آخِرُهُ

Umatku bagaikan air hujan, tidaklah diketahui manakah yang terbaik; awalnyakah atau akhirnya?

(HR. At Tirmidzi no. 2869. Al Hafizh Ibnu Hajar mengatakan shahih, karena banyak jalur yang menguatkannya. Fathul Bari, jilid. 7, hal. 6)

Dalil lainnya, Abu ‘Ubaidah Radhiallahu ‘Anhu bertanya:

يَا رَسُولَ اللهِ، هَلْ أَحَدٌ خَيْرٌ مِنَّا؟ أَسْلَمْنَا مَعَكَ وَجَاهَدْنَا مَعَكَ، قَالَ: ” نَعَمْ، قَوْمٌ يَكُونُونَ مِنْ بَعْدِكُمْ يُؤْمِنُونَ بِي وَلَمْ يَرَوْنِي “

“Wahai Rasulullah, apakah ada seorang yang lebih baik dari kami? Kami berislam bersamamu dan kami berjihad bersamamu.” Beliau bersabda: “Ya, yaitu kaum yang datang setelah zaman kalian, mereka beriman kepadaku padahal mereka belum pernah melihatku.”

(HR. Ahmad no. 16979, Shahih. Lihat Ta’liq Musnad Ahmad, jilid. 28, hal. 182)

Kemudian, jika disebut “ulama salafi” janganlah menyempitkan pada kelompok tertentu saja. Sebab, esensinya adalah siapa pun yang mengikuti jalan para sahabat, tabi’in, dan tabi’ut tabi’in dalam paradigma dan beramal dalam islam, itulah salafi. Dia bisa ada pada ormas A, B, C, atau komunitas A, B, C.

2. Ulama 4 madzhab itu salaf, sebab mereka hidup di tiga abad atau kurun pertama Islam.

Perbedaan pendapat antara ulama bukan hanya antara ulama terdahulu dan sekarang, tapi juga sesama ulama terdahulu juga banyak berbeda, sejak masa sahabat. Mereka sama dalam prinsip dasar, atau titik tolak utama, tapi bisa saja berbeda dalam sudut pandang dalam aplikasi masalahnya yang praktis. Contoh, semua ulama sepakat RIBA ITU HARAM, baik berdasarkan Al Quran, Sunnah, dan Ijma’. Tapi, ketika ada persoalan baru dalam muamalah (misal go pay), lalu muncul pertanyaan apakah itu BOLEH atau HARAM? Pihak 1 bilang haram karena mengandung RIBA, pihak 2 mengatakan BOLEH karena itu BUKAN RIBA. Jadi, mereka berbeda dalam memberikan batasan atau persepsinya sehingga berdampak pada perbedaan dalam menghukuminya.

3. Salafi Kontemporer, jika yang antum maksud adalah ulama pada kelompok “salafiyah” yang berpusat di Arab Saudi, lalu tersebar di Jordan (Markaz Al Albani), Mesir (Hizbun Nuur, atau kelompoknya Muhammad Raslan), Yaman (Dammaj), atau juga di Indonesia (radio Rodja, yufid, dan mantan-mantan Lasykar Jihad), maka mereka tidak menyatakan secara lugas sebagai Hambaliyah. Namun para ulama Arab Saudi seperti Syaikh Bin Baaz, Syaikh Utsaimin, Syaikh Shalih Fauzan, fikrah dasarnya memang Hambali. Di Maktabah Syamilah, buku-buku mereka diklasifikasilan sebagai buku-buku Hambaliyah.

Hambaliyah, tidak selalu sama dengan Imam Ahmad. Itu hal biasa. Sebagaimana Syafi’iyah juga tidak selalu sama dengan Imam Asy Syafi’i.

– Imam Ahmad mengatakan boleh baca Al Quran di kuburan, sampai membaca Al Quran buat mayit. Tapi Hambaliyah masa kini umumnya melarang dan membid’ahkan.

– Imam Ahmad membolehkan shalat dengan niat untuk orang yang sudah wafat. Sementara sebagian Hambaliyah saat ini mengatakan tidak boleh.

– Kebalikannya, Imam Asy Syafi’i mengatakan bacaan Al Quran tidak sampai ke mayit, tapi Syafi’iyah mengatakan sampai dan boleh.

4. Mereka yang tidak mau terikat dgn 4 madzhab, sebenarnya bukan saat ini saja. Di Indonesia masalah ini sudah lama, sejak masa Muhammadiyah, Persis, dan Al Irsyad, yang mana mereka tidak terikat dengan madzhab mana pun. Konsep mereka adalah tarjih, dari semua madzhab yang ada, yang dianggap lebih kuat dalilnya. Jadi, secara metodologi kelompok salafi saat ini tidak beda dengan kelompok-kelompok ini. Di luar negeri pun yang seperti ini juga ada.

Tapi, jika kita lihat para IMAM di dunia keilmuan baik fiqih dan hadits khususnya setelah abad ke 3 H, pastilah mereka bermadzhab, sulit dijumpai ulama tanpa madzhab setelah abad itu. Rata-rata imam ahli hadits, fiqih, tafsir, madzhabnya adalah Syafi’i. Nama2 mereka lebih masyhur di dunia Islam.

Al Baihaqi, Ibnu Hibban, Ad Daruquthni, Imam Hakim, An Nawawi, Ibnu Hajar, As Suyuthi, Ibnu Katsir, Adz Dzahabi, Ar Razi, Al Qaffal, Al Mawardi, dll.

Ada pun Maliki, seperti Ibnu Abdul Bar, Al Hathab, Al Khalil, dll.

Hanafi seperti Az Zaila’i, Ibnu Abidin, Ali Al Qari.

Ada pun Hambali seperti Ibnul Jauzi, Ibnu Qudamah, Ibnu Taimiyah, Ibnul Qayyim.

5. Manhaj Salaf, itu bukan kelompok tapi metode. Kalo manhaj tentu sudah ada sejak zaman salaf. Namun di buku-buku klasik, lebih dikenal istilah Madzhab Salaf, bukan manhaj salaf.

Kelompok itu jamaah, atau firqah. Kelompok atau firqah, atau komunitas yang disebut salafi baru ramai sekitar tahun 80an awal. Tokohnya adalah Syaikh Bin Baaz dan murid-muridnya, yang merupakan estafeta dakwah dari Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab, yang juga estafeta dari Imam IbnubTaimiyah dan Imam Ibnul Qayyim. Mereka semua madzhabnya Hambali. Oleh karena itu mereka juga di sebut golongan ATSARIYAH (AHLI HADITS), yg dimotori oleh Imam Ahmad bin Hambal Rahimahullah.

Imam As Safarayini Rahimahullah mengatakan:

الفائدة الرابعة التعريف بأهل السنة]
(الرَّابِعَةُ) : أَهْلُ السُّنَّةِ وَالْجَمَاعَةِ ثَلَاثُ فِرَقٍ: الْأَثَرِيَّةُ وَإِمَامُهُمْ أَحْمَدُ بْنُ حَنْبَلٍ – رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، وَالْأَشْعَرِيَّةُ وَإِمَامُهُمْ أَبُو الْحَسَنِ الْأَشْعَرِيُّ – رَحِمَهُ اللَّهُ، وَالْمَاتُرِيدِيَّةُ وَإِمَامُهُمْ أَبُو مَنْصُورٍ الْمَاتُرِيدِيُّ، وَأَمَّا فِرَقُ الضَّلَالِ فَكَثِيرَةٌ جِدًّا

Faidah yg keempat: Definisi Ahlus Sunnah.
Keempat: Ahlus Sunnah ada tiga kelompok.

1. Al Atsariyah, imam mereka adalah Imam Ahmad bin Hambal Rahimahullah

2. Al Asy’ariyah, imam mereka adalah Imam Abul Hasan Al Asy’ariy Rahimahullah

3. Al Maturidiyah, imam mereka adalah Imam Abu Manshur Al Maturidiy Rahimahullah
Adapun firqoh sesat sangat banyak… (Imam Syamsuddin As Safarayini, Lawami’ Al Anwar Al Bahiyah wa Sawathi’ Al Asrar Al Atsariyah, 1/73)

Wallahu A’lam

✍ Farid Nu’man Hasan

Allah Memerintahkan Suami Berkata Lembut

◼◽◼◽◼◽

✉️❔PERTANYAAN:

Assalamu’alikum, Bagaimana hukumnya klw seorang istri yang tidak betah ga nyaman lg tinggal bersama satu rumah dgn swami. Karna kata2 swami yg sering pedes…. Syukran Ustadz.

✒️❕JAWABAN

Wa’alaikumussalam wa Rahmatullah wa Barakatuh

Suami mesti bikin nyaman, ciptakan suasana yang membuat istrinya betah. Istri adalah amanah Allah, bukan hanya amanah mertua.

Berkata-kata lembut itu hal yang diperintahkan Allah Ta’ala kepada para suami.

Allah Ta’ala berfirman:

وَعَاشِرُوهُنَّ بِٱلۡمَعۡرُوفِۚ فَإِن كَرِهۡتُمُوهُنَّ فَعَسَىٰٓ أَن تَكۡرَهُواْ شَيۡـٔٗا وَيَجۡعَلَ ٱللَّهُ فِيهِ خَيۡرٗا كَثِيرٗا

Dan bergaullah dengan mereka (istri) menurut cara yang patut. Jika kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena boleh jadi kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan kebaikan yang banyak padanya.

(QS. An-Nisa’, Ayat 19)

Dalam hadits:

خيركم خيركم لأهله وأنا خيركم لأهلي

Sebaik-baik kamu adalah yang terbaik terhadap istrinya, dan aku yang terbaik terhadap istriku.

(HR. At Tirmidzi No. 3895, dari ‘Aisyah. Imam At Tirmidzi berkata: hasan shahih)

Ada pun istri, jangan terburu-buru minta cerai, atau lari dari rumah tanpa izin. Semestinya bersabar dan memperbaiki suaminya, nasihati dgn baik, jika selama suami masih “manusia” selama itu pula masih ada hati yang bisa berubah. Sebab, hati manusia di genggaman Allah Ta’ala. Doakan dia dan bantu dia untuk berubah.

Wallahu A’lam

✍ Farid Nu’man Hasan

scroll to top