Serial Syarah Ringkas Hadits – Hadits Ramadhan (Hadits 7): Dermawannya Rasulullah

Dari Abdullah bin Abbas Radhiallahu ‘Anhuma, Beliau berkata:

كان رسولُ اللهِ صلَّى اللهُ عليهِ وسلَّم أجودَ الناسِ بالخيرِ ، وكان أجودَ ما يكون في شهرِ رمضانَ حتى ينسلِخَ

Rasulullah ﷺ adalah manusia yang paling dermawan melakukan kebaikan, dan kedermawanannya semakin menjadi-jadi di bulan Ramadhan sampai Beliau wafat. (HR. Muttafaq ‘Alaih)

Syarah Hadits:

أَجْوَدَ النَّاسِ بِالْخَيْرِ :

manusia paling pemurah terhadap kebaikan

Maksudnya aktsaruhum juudan yaitu paling banyak kedermawanannya, baik pada harta, waktu, ilmu, dan apa pun yang bermanfaat bagi makhluk Allah Ta’ala.

Juud artinya kedermawanan atau murah hati. Syaikh Abdul Qadir As Saqqaaf menjelaskan:

الجُودُ هو الكَرَمُ والبَذْلُ والإنفاقُ مِن غَيرِ سُؤالٍ، وقد كانَ النَّبيُّ صلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ مِن أبلَغِ النَّاسِ في العَطاءِ والإنفاقِ

Al Juud adalah akhlak mulia dan berkorban dan berinfak tanpa diminta. Rasulullah ﷺ adalah manusia paling kuat dalam memberi dan berinfak. (selesai)

وكان أجودَ ما يكون في شهرِ رمضانَ:

dan kedermawanannya semakin menjadi-jadi di bulan Ramadhan

Yaitu di bulan Ramadhan, kedermawanan Rasulullah ﷺ semakin luar biasa. Karena bulan Ramadhan kemurahan Allah Ta’ala atas hamba-hamba-Nya juga luar biasa banyaknya baik dengan berbagai kebaikan, ampunan, keberkahan, dan kasih sayang, maka hal yang pantas jika hamba melakukan kedermawanan  kepada saudara-saudaranya sesama manusia.

Di antara kedermawanan tersebut adalah:

Dari Zaid bin Khalid Al Juhani Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

مَنْ فَطَّرَ صَائِمًا كَانَ لَهُ مِثْلُ أَجْرِهِ غَيْرَ أَنَّهُ لَا يَنْقُصُ مِنْ أَجْرِ الصَّائِمِ شَيْئًا

Barang siapa yang memberikan makanan untuk berbuka bagi orang berpuasa maka dia akan mendapatkan pahala sebagaimana orang tersebut, tanpa mengurangi sedikit pun pahala orang itu.

(HR. At Tirmidzi No. 807, katanya: hasan shahih)

Hadits lainnya:

عن أنس قال : قيل يا رسول الله ، أي الصدقة أفضل ؟ قال : « صدقة في رمضان »

Dari Anas, dia berkata: “Wahai Rasulullah, sedekah apakah yang paling utama?”, Beliau menjawab: “Sedekah pada bulan Ramadhan.” (HR. At Tirmidzi, No. 663. Para ulama mendhaifkan hadits ini)

Dalam hadits lainnya, kedermawanan Rasulullah ﷺ digambarkan melebihi kedermawanan angin yang berhembus:

فَلَرَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَجْوَدُ بِالْخَيْرِ مِنْ الرِّيحِ الْمُرْسَلَةِ

Maka, Rasulullah ﷺ benar-benar manusia yang sangat dermawan bahkan melebihi angin yang berhembus. (HR. Bukhari no. 3220)

Artinya, ini perumpamaan yang luar biasa. Sebab angin berhembus itu tidak kenal waktu, ke segala arah tanpa pilih kasih, dan jumlahnya pun tidak terbatas. Kebaikan Rasulullah ﷺ dibulan Ramadhan melebihi itu semua.

Demikian. Wallahu A’lam

✍ Farid Nu’man Hasan

Penentuan Awal Ramadhan dan Syawwal

◼◽◼◽◼◽◼◽◼◽

✉️❔PERTANYAAN

Ustadz, ketika memasuki bulan Ramadhan seringkali terjadi perbedaan penentuan Awal Ramadhan. Bagaimana cara kita menyikapi perbedaan tersebut supaya terhindar dari perpecahan?

✒️❕JAWABAN

◼◽◼◽◼◽◼◽◼◽

Bismillahirrahmanirrahim…

Penentuan hari raya, baik masuknya Ramadhan, Syawwal, Dzulhijjah, sebenarnya bukanlah wewenang pribadi dan kelompok masyarakat. Sejak zaman salaf, itu merupakan wewenang negara/penguasa, selama penguasa itu masih muslim terlepas apakah penguasa itu shalih atau tidak.

Jika banyak individu atau ormas memutuskan sendiri, padahal ormas jumlahnya begitu banyak, lalu tidak ada keseragaman pandangan di antara mereka, maka, bisa dibayangkan mungkin akan terjadi versi hari raya yang begitu banyak.

Ibnu Umar Radhiallahu ‘Anhuma menceritakan:

تَرَائِى النَّاسُ الْهِلَالَ،» فَأَخْبَرْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، أَنِّي رَأَيْتُهُ فَصَامَهُ، وَأَمَرَ النَّاسَ بِصِيَامِهِ

“Orang-orang melihat hilal, maka aku kabarkan kepada Rasulullah ﷺ bahwa aku melihatnya. Lalu beliau memerintahkan orang-orang untuk berpuasa” (HR. Abu Daud no. 2342, shahih)

Begitu pula dalam riwayat berikut:

أَنَّ رَكْبًا جَاءُوا إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَشْهَدُونَ أَنَّهُمْ رَأَوُا الْهِلَالَ بِالْأَمْسِ، فَأَمَرَهُمْ أَنْ يُفْطِرُوا، وَإِذَا أَصْبَحُوا أَنْ يَغْدُوا إِلَى مُصَلَّاهُمْ

“Ada seorang sambil menunggang kendaraan datang kepada Nabi ﷺ ia bersaksi bahwa telah melihat hilal di sore hari. Lalu Nabi ﷺ memerintahkan orang-orang untuk berbuka dan memerintahkan besok paginya berangkat ke lapangan” (HR. At Tirmidzi no.1557, Shahih)

Di hadits ini menunjukkan, Ibnu Umar tidak memutuskan sendiri, atau orang-orang yg melihat hilal pun tidak memutuskan sendiri, tapi tetap dilaporkan kepada Rasulullah ﷺ sebagai pemimpin saat itu, lalu Beliau yang memutuskan. Hadits yang kedua juga demikian, orang-orang yang sudah melihat hilal tidak memutuskan sendiri tapi dilaporkan dulu ke Rasulullah ﷺ sebagai pemimpin.

Di hadits lain, Rasulullah ﷺ bersabda:

الصَّوْمُ يَوْمَ تَصُوْمُوْنَ, وَالْفِطْرُ يَوْمَ تُفْطِرُوْنَ, وَاْلأَضْحَى يَوْمَ تُضَحُّوْنَ

“Puasa itu adalah di hari kalian (umat Islam) berpuasa, hari raya adalah pada saat kalian berhari raya, dan berkurban/ Idul Adha di hari kalian berkurban.” (HR. At Tirmidzi no. 697, Shahih. Lihat Ash Shahihah No. 224)

Imam At Tirmidzi menjelaskan: “Dan sebagian ahli ilmu menafsirkan hadits ini, mereka berkata : makna hadits ini adalah berpuasa dan berbuka adalah bersama jama’ah dan mayoritas orang (Ummat Islam).” (Ibid)

Imam Abul Hasan As Sindi menyebutkan dalam   Hasyiah As Sindi ‘Ala Ibni Majah:

وَالظَّاهِر أَنَّ مَعْنَاهُ أَنَّ هَذِهِ الْأُمُور لَيْسَ لِلْآحَادِ فِيهَا دَخْل وَلَيْسَ لَهُمْ التَّفَرُّد فِيهَا بَلْ الْأَمْر فِيهَا إِلَى الْإِمَام وَالْجَمَاعَة وَيَجِب عَلَى الْآحَاد اِتِّبَاعهمْ لِلْإِمَامِ وَالْجَمَاعَة وَعَلَى هَذَا فَإِذَا رَأَى أَحَد الْهِلَال وَرَدَّ الْإِمَام شَهَادَته يَنْبَغِي أَنْ لَا يَثْبُت فِي حَقّه شَيْء مِنْ هَذِهِ الْأُمُور وَيَجِب عَلَيْهِ أَنْ يَتْبَع الْجَمَاعَة فِي ذَلِكَ

“Jelasnya, makna hadits ini adalah bahwasanya perkara-perkara semacam ini (menentukan awal Ramadhan, Idul Fithri dan Idul Adha, pen) keputusannya bukanlah di tangan individu. Tidak ada hak bagi mereka untuk melakukannya sendiri-sendiri. Bahkan permasalahan semacam ini dikembalikan kepada  pemimpin (imam) dan mayoritas umat Islam. Dalam hal ini, setiap individu pun wajib untuk mengikuti penguasa dan mayoritas umat Islam. Maka jika ada seseorang yang melihat hilal namun penguasa menolak persaksiannya, sudah sepatutnya untuk tidak dianggap persaksian tersebut dan wajib baginya untuk mengikuti mayoritas umat Islam dalam permasalahan itu.” (Hasyiah As Sindi ‘Ala Ibni Majah, 3/431)

Ormas, para pakar, posisinya sebagai partner, teman diskusi, dan pemberi masukan. Ketika belum ada keputusan, maka silahkan eksplorasi berbagai dalil dan sudut pandang, jangan dibatasi. Tapi ketika sudah ada keputusan, seharusnya perselisihan itu lenyap, semua pihak yang berbeda pun mesti tunduk. Rapat RT-RW saja seperti itu.

Imam Al Qarrafi Rahimahullah mengatakan:

اعْلَمْ أَنَّ حُكْمَ الْحَاكِمِ فِي مَسَائِلِ الِاجْتِهَادِ يَرْفَعُ الْخِلَافَ وَيَرْجِعُ الْمُخَالِفُ عَنْ مَذْهَبِهِ لِمَذْهَبِ الْحَاكِمِ وَتَتَغَيَّرُ فُتْيَاهُ بَعْدَ الْحُكْمِ

Ketahuilah, bahwa keputusan pemimpin dalam masalah yang masih diijtihadkan adalah menghilangkan perselisihan, dan hendaknya orang menyelisihi ruju ‘ (kembali) dari pendapatnya kepada pendapat hakim (pemimpin) dan dia mengubah fatwanya setelah keluarnya keputusan hakim. (Anwarul Buruq fi Anwa’il Furuq, 3/334. Mawqi’ Al Islam)

Syaikh Khalid bin Abdullah Muhammad Al Mushlih mengatakan:

فإذا حكم ولي أمر المسلمين بحكم ترى أنت أن فيه معصية، والمسألة من مسائل الخلاف فيجب عليك طاعته، ولا إثم عليك؛ لأن حكم الحاكم يرفع الخلاف

Jika pemimpin kaum muslimin sudah menetapkan sebuah ketentuan dengan keputusan hukum yang menurut Anda ada maksiat di dalamnya, padahal masalahnya adalah masalah yang masih diperselisihkan, maka wajib bagi Anda untuk tetap taat kepadanya, dan itu tidak berdosa bagi Anda, karena jika hakim sudah memutuskan sesuatu maka keputusan itu menghilangkan perselisihan. (Syarh Al ‘Aqidah Ath Thahawiyah, 16/5. Mawqi’ Syabakah Al Islamiyah)

Demikianlah, dalam peribadatan yang sifatnya kolektif (jama’i) seringkali kita harus mengalahkan emosi dan fanatisme kelompok dan pribadi demi kebersamaan umat Islam. Kebersamaan itu harus nyata dan nampak, bukan hanya teori saja.

Wallahu A’lam. Wa Shalallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘Ala Aalihi wa Shahbihi wa Sallam

✍ Farid Nu’man Hasan

Zakat Disalurkan Ke Ortua Sendiri

Bismillahirrahmanirrahim..

Tidak diperbolehkan menyalurkan zakat ke orang tua kandung. Sebab, harta anak adalah harta ortuanya juga. Sudah sepantasnya dan memang menjadi kewajiban anaknya jika keadaan orangtuanya fakir, maka anak menafkahi mereka.

Larangan ini telah menjadi ijma’, Imam Ibnu Qudamah Rahimahullah berkata:

أَجْمَعَ أَهْلُ الْعِلْمِ عَلَى أَنَّ الزَّكَاةَ لَا يَجُوزُ دَفْعُهَا إلَى الْوَالِدَيْنِ، فِي الْحَالِ الَّتِي يُجْبَرُ الدَّافِعُ إلَيْهِمْ عَلَى النَّفَقَةِ عَلَيْهِمْ، وَلِأَنَّ دَفْعَ زَكَاتِهِ إلَيْهِمْ تُغْنِيهِمْ عَنْ نَفَقَتِهِ، وَتُسْقِطُهَا عَنْهُ، وَيَعُودُ نَفْعُهَا إلَيْهِ، فَكَأَنَّهُ دَفَعَهَا إلَى نَفْسِهِ، فَلَمْ تَجُزْ، كَمَا لَوْ قَضَى بِهَا دَيْنَهُ

“Para ulama telah ijma’ bahwa zakat tidak boleh disalurkan kepada kedua orang tua sendiri disaat orang yang bayar zakat itu memang wajib menafkahi mereka. Sebab, menyalurkan zakat kepada mereka sama juga mencukupi mereka dengan hartanya sendiri, dan mengembalikan manfaatnya kepada diri sendiri seolah dia bayar zakat kepada dirinya sendiri, maka itu tidak boleh sebagaimana jika dia bayar hutang dengan zakat itu.” (Al Mughni, 2/509)

Imam Ahmad bin Hambal Rahimahullah menjelaskan:

لَا يُعْطِي الْوَالِدَيْنِ مِنْ الزَّكَاةِ، وَلَا الْوَلَدَ وَلَا وَلَدَ الْوَلَدِ، وَلَا الْجَدَّ وَلَا الْجَدَّةَ وَلَا وَلَدَ الْبِنْتِ

“Kedua orang tua tidaklah diberikan zakat, tidak pula anak, cucu, kakek, nenek, dan anak dari anak perempuan.” (Ibid)

Namun, ada pendapat yang berbeda dengan umumnya ulama, yaitu Imam Ibnu Taimiyah, menurutnya boleh saja anak berzakat untuk orgtuanya JIKA ortua punya utang. Alasannya, utang orang tua bukanlah tanggungan anak maka kondisi Ortua yang berhutang boleh dizakati oleh anaknya:

يجوز صرف الزكاة إلى الوالدين وإن علوا، وإلى الوالد وإن سفل، إذا كانوا فقراء وهو عاجز عن نفقتهم، وأيد ذلك بوجود المقتضى للصرف (وهو الفقر والحاجة) السالم عن المعارض (أي لم يوجد مانع شرعي يعارض هذا المقتضى(

“Dibolehkan menyalurkan zakat kepada kedua orang tua dan ke atasnya (kakek, nenek, dst), dan kepada ayah ke bawahnya, jika mereka faqir dan tidak mampu nafkahnya. Hal yang mendukung hal itu adalah adanya kondisi yang mengharuskannya (yaitu faqir dan kebutuhan) tidak adanya penghalang-penghalang syar’i terhadap kondisi itu.” (Al Ikhtiyarat, hal. 61)

Demikian. Wallahu A’lam

✍ Farid Nu’man Hasan

Qunut Nazilah Lebih Dari Sebulan

◼◽◼◽◼◽◼◽◼◽

✉️❔PERTANYAAN

Agresi dan pembantaian Zionis kepada umat Islam Gaza berlangsung sudah lebih dari setengah tahun, dengan jumlah korban sudah 36rb umat Islam, apakah dibenarkan masih melafazkan Qunut Nazilah dalam shalat? (pertanyaan dari beberapa jamaah)

✒️❕JAWABAN

◼◽◼◽◼◽◼◽◼◽

Bismillahirrahmanirrahim..

Ya, selama musibah khusus yang dialami umat Islam masih ada, seperti apa yg terjadi di Palestina khususnya Gaza, maka selama itu pula qunut nazilah masih berlaku dan boleh dibacakan.

Hal ini berdasarkan hadits Abu Hurairah Radhiyallahu Anhu bahwa Rasulullah ﷺ selama sebulan mendoakan para pelaku pembantaian terhadap umat Islam saat itu dan penangkapan yg dialami sebagian sahabat, Beliau berdoa setelah sami’allahu liman hamidah:

اللَّهُمَّ أَنْجِ الْوَلِيدَ بْنَ الْوَلِيدِ ، اللَّهُمَّ نَجِّ سَلَمَةَ بْنَ هِشَامٍ ، اللَّهُمَّ نَجِّ عَيَّاشَ بْنَ أَبِي رَبِيعَةَ ، اللَّهُمَّ نَجِّ الْمُسْتَضْعَفِينَ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ ، اللَّهُمَّ اشْدُدْ وَطْأَتَكَ عَلَى مُضَرَ ، اللَّهُمَّ اجْعَلْهَا عَلَيْهِمْ سِنِينَ كَسِنِي يُوسُفَ. ثم ذكر أبو هريرة رضي الله عنه أنهم نجوا من أيدي الكفار ، وقدموا المدينة ، فترك الرسول صلى الله عليه وسلم الدعاء لهم

ALLAAHUMMA ANJI ALWALIIDA BIN ALWALIID, ALLAAHUMMA NAJJI SALMAH BIN HISYAM, ALLAAHUMMA NAJJI AYYASY BIN ABI RABIAH, ALLAAHUMMA NAJJI ALMUSTADH’AFIINA MINAL MU”MINIINA, ALLAAHUMMAUSYDUD WATH’ATAKA ‘ALAA MUDHARR, ALLAAHUMMAJ’ALHAA ALAIHIM SINIINA KASIINII YUUSUFA (Ya Allah, selamatkanlah Walid bin Walid, Ya Allah, selamatkanlah Salmah bin Hisyam, Ya Allah, selamatkanlah, Ayyasy bin Abu Rabiah, Ya Allah, selamatkanlah orang-orang yang tertindas dari orang-orang mukmin, Ya Allah, keraskanlah hukumanmu terhadap Mudharr, Ya Allah, jadikanlah untuk mereka tahun-tahun paceklik sebagaimana tahun-tahun paceklik Yusuf).

Lalu kata Abu Hurairah: “Mereka bebas dari cenkraman kaum kuffar, lalu datang ke Madinah, dan Rasulullah ﷺ meninggalkan doa qunut tsb.”

(HR. Muslim no. 675)

Hadits ini menunjukkan Rasulullah ﷺ meninggalkan qunut nazilah ketika para sahabat telah bebas dan kembali ke Madinah. Oleh karena itu, Syaikh Muhammad Shalih Al Munajjid mengatakan:

القنوت في الصلوات المفروضة مشروع عند وجود سببه – وهو النازلة تنزل بالمسلمين – فما دامت النازلة موجودة فإنه يُقنت لها ، فإذا زال السبب تُرك القنوت

Berqunut (nazilah) di shalat-shalat wajib adalah perkara yg disyariatkan ketika ada sebabnya -yaitu bencana yang dialami kaum muslimin- maka selama bencana itu masih ada maka qunut untuknya pun masih ada, jika sebab qunutnya sudah tidak ada maka tinggalkan qunut nazilahnya. (Al Islam Su’aal wa Jawaab no. 126173)

Hal serupa dikatakan oleh para ulama di Al Lajnah Ad Daimah kerajaan Arab Saudi sbb:

السؤال الثاني من الفتوى رقم(7268)
هل يجوز القنوت في النازلة في الصلوات الخمس أكثر من مدة شهر ؟

Apakah dibolehkan qunut nazilah di shalat lima waktu lebih dari sebulan?

الجواب: يجوز ذلك أكثر من شهر تبعًا لحال النازلة شدة واستمرارا.
وبالله التوفيق وصلى الله على نبينا محمد وآله وصحبه وسلم

Jawaban: Qunut Nazilah boleh lebih dr sebulan jika memang kondisi musibahnya masih terus berlangsung.

(Lajnah Daimah Arab Saudi, fatwa no. 7288)

Demikian. Wallahu A’lam

✍ Farid Nu’man Hasan

scroll to top