Hukum Bayi Pergi Haji

✉️❔PERTANYAAN

Assalamualaikum warohmatullahi wabarokatuhu, lagi ramai ustaz, pergi haji di usia 2 bulan. Pertanyaannya; apakah sudah dihukumi berhaji? Syukran jazakumullahu khoiron

✒️❕JAWABAN

Wa’alaikumussalam Wa Rahmatullah Wa Barakatuh

Hajinya anak kecil tetap sah, walau mereka belum diwajibkan. Dia tetap dapat pahala begitu pula ortuanya. Bagi anak kecil tersebut dihitung menunaikan sunnah.

Dalilnya:

عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ رضي الله عنهما قَالَ : رَفَعَتْ امْرَأَةٌ صَبِيًّا لَهَا فَقَالَتْ يَا رَسُولَ اللَّهِ , أَلِهَذَا حَجٌّ ؟ قَالَ : ( نَعَمْ وَلَكِ أَجْرٌ )

Dari Ibnu Abbas ia berkata: Ada seorang wanita yang menggendong anak kecil lalu bertanya,

“Wahai Rasulullah, apakah anak kecil ini boleh menunaikan haji.”

Beliau menjawab, “Ya, dan kamupun mendapatkan pahala.”

(HR. Muslim no. 1336)

Imam An Nawawi mengomentari hadits ini:

فِيهِ حُجَّة لِلشَّافِعِيِّ وَمَالِك وَأَحْمَد وَجَمَاهِير الْعُلَمَاء أَنَّ حَجّ الصَّبِيّ مُنْعَقِد صَحِيح يُثَاب عَلَيْهِ وَإِنْ كَانَ لَا يُجْزِيه عَنْ حَجَّة الْإِسْلَام , بَلْ يَقَع تَطَوُّعًا , وَهَذَا الْحَدِيث صَرِيح فِيهِ

Hadits ini menjadi hujjah bagi Asy Syafi’i, Malik, Ahmad, dan mayoritas ulama bahwa hajinya ash shobi (anak kecil, bayi) adalah sah dan dia mendapatkan pahala walau pun itu tidak cukup menunaikan haji dalam Islam, tetapi itu dinilai sunnah, dan hadits ini begitu jelas ttg itu.

(Syarh Shahih Muslim, jilid. 9, hal. 99)

Demikian. Wallahu A’lam

✍️ Farid Nu’man Hasan

Status Wudhu Kita Saat Marah

✉️❔PERTANYAAN

السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللّٰه وَبَرَكَاتُهُ

Ustadz, saya mau bertanya bagaimana status wudhu kita, ketika kita marah namun dalam keadaan wudhu, lalu kemudian kita melaksanakan sholat tanpa memperbaharui wudhu lagi ?

✒️❕JAWABAN

Wa’alaikum wa Rahmatullah wa Barakatuh

Marah sama sekali bukan pembatal wudhu. Tapi, orang sedang marah dianjurkan berwudhu untuk meredakan amarahnya.

Berdasarkan hadits:

إِنَّ الْغَضَبَ مِنْ الشَّيْطَانِ وَإِنَّ الشَّيْطَانَ خُلِقَ مِنْ النَّارِ وَإِنَّمَا تُطْفَأُ النَّارُ بِالْمَاءِ فَإِذَا غَضِبَ أَحَدُكُمْ فَلْيَتَوَضَّأْ

Marah itu dari setan dan setan diciptakan dari api, dan api hanya padam dengan air maka jika saoah seorang kalian marah berwudhulah. (HR. Abu Daudx Ahmad).

Namun hadits ini dinyatakan DHAIF oleh Imam An Nawawi (Al Khulashah, 1/112), juga Syaikh Syu’aib al Arnauth, dll.

Namun demikian, secara makna hadits ini shahih yaitu jika marah dianjurkan (bukan wajib) untuk wudhu.. dr sisi kesehatan pun juga benar..

Imam Ibnul Mundzir mengatakan:

إن ثبت هذا الحديث فإنما الأمر به ندبا ليسكن الغضب ، ولا أعلم أحدا من أهل العلم يوجب الوضوء منه

Jika hadits ini shahih maka perintah yg ada di dalamnya menunjukkan anjuran (sunnah) agar meredakan amarah, aku tidak ketahui adanya seorg pun ulama yang mengatakan wajib.

(Al Awsath, hal. 189)

Syaikh Muhammad Shalih Al Munajjid mengatakan:

ولكن معنى الحديث مقبول وصحيح من جهة الطب ؛ لأن الغضب يصاحبه فوارن الدم ، والماء يطفئ هذه الفورة ويكسر حدتها ، ولذلك ما زال الفقهاء يذكرون الوضوء كعلاج للغضب ، ولم ينكر ذلك أحد منهم

Tetapi makna hadits ini bisa diterima dan shahih dr sisi medis, karena amarah itu disertai dgn mendidihnya darah dan air dapat memadamkannya dan mengurangi intensitasnya. Oleh karena itu, para fuqaha tetap menyebut wudhu sebagai obat atas kemarahan, dan tidak ada satupun dari mereka yang mengingkari hal tersebut.
(Al Islam Su’aal wa Jawaab no. 133861)

Demikian. Wallahu A’lam

✍️ Farid Nu’man Hasan

Perbedaan Khulafaur Rasyidin Dan Khalifah Nubuwah

✉️❔PERTANYAAN

assalamu’alaikum ustadz, ada hadits menggunakan istilah “khulafaur rasyidin”, ada jg yg pakai istilah “khalifah nubuwah”. apakah kedua istilah ini sama?

✒️❕JAWABAN

Wa’alaikum wa Rahmatullah wa Barakatuh

Hadits ttg Khulafaur Rasyidin:

فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ يَرَى اخْتِلَافًا كَثِيرًا وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الْأُمُورِ فَإِنَّهَا ضَلَالَةٌ فَمَنْ أَدْرَكَ ذَلِكَ مِنْكُمْ فَعَلَيْهِ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِينَ الْمَهْدِيِّينَ عَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ

Sesungguhnya siapa saja diantara kalian yang hidup akan melihat perselisihan yang sangat banyak, maka jauhilah oleh kalian perkara-perkara yang dibuat-buat, karena sesungguhnya hal itu merupakan kesesatan. Barang siapa diantara kalian yang menjumpai hal itu hendaknya dia berpegang teguh dengan sunnahku dan sunnah para Khulafaur Rasyidin yang mendapat petunjuk, gigitlah sunnah-sunnah itu dengan gigi geraham

(HR. At Tirmidzi no. 2676, At Tirmidzi berkata: hasan shahih)

Hadits tentang Khilafah ‘ala Minhajun Nubuwwah (kekhilafahan menurut sistem kenabian):

عَنِ النُّعْمَانِ بْنِ بَشِيرٍ قَالَ كُنَّا قُعُودًا فِي الْمَسْجِدِ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَكَانَ بَشِيرٌ رَجُلًا يَكُفُّ حَدِيثَهُ فَجَاءَ أَبُو ثَعْلَبَةَ الْخُشَنِيُّ فَقَالَ يَا بَشِيرُ بْنَ سَعْدٍ أَتَحْفَظُ حَدِيثَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي الْأُمَرَاءِ فَقَالَ حُذَيْفَةُ أَنَا أَحْفَظُ خُطْبَتَهُ فَجَلَسَ أَبُو ثَعْلَبَةَ فَقَالَ حُذَيْفَةُ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَكُونُ النُّبُوَّةُ فِيكُمْ مَا شَاءَ اللَّهُ أَنْ تَكُونَ ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ أَنْ يَرْفَعَهَا ثُمَّ تَكُونُ خِلَافَةٌ عَلَى مِنْهَاجِ النُّبُوَّةِ فَتَكُونُ مَا شَاءَ اللَّهُ أَنْ تَكُونَ ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ اللَّهُ أَنْ يَرْفَعَهَا ثُمَّ تَكُونُ مُلْكًا عَاضًّا فَيَكُونُ مَا شَاءَ اللَّهُ أَنْ يَكُونَ ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ أَنْ يَرْفَعَهَا ثُمَّ تَكُونُ مُلْكًا جَبْرِيَّةً فَتَكُونُ مَا شَاءَ اللَّهُ أَنْ تَكُونَ ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ أَنْ يَرْفَعَهَا ثُمَّ تَكُونُ خِلَافَةً عَلَى مِنْهَاجِ النُّبُوَّةِ ثُمَّ سَكَتَ

Dari An Nu’man bin Basyir ia berkata, “Kami pernah duduk-duduk di dalam Masjid bersama Rasulullah ﷺ. kemudian Basyir menahan pembacaan haditsnya. Kemudian datanglah Abu Tsa’labah Al Khusyani dan berkata, “Wahai Basyir bin Sa’d, apakah kamu hafal hadits Rasulullah ﷺ berkenaan dengan Umara` (para pemimpin)?” kemudian Hudzaifah berkata, “Aku hafal Khotbah beliau.” Maka Abu Tsa’labah pun duduk, kemudian Hudzaifah berkata, “Rasulullah ﷺ bersabda, ‘Akan berlangsung nubuwwah (kenabian) di tengah-tengah kalian selama kurun waktu tertentu yang Allah kehendaki lalu Dia mengangkatnya (berakhir) bila Dia menghendaki untuk mengakhirinya. Kemudian berlangsung kekhilafahan menurut sistim kenabian selama kurun waktu tertentu yang Allah kehendaki lalu Dia mengangkatnya bila Dia menghendaki untuk mengakhirinya Kemudian berlangsung kerajaan yang bengis selama kurun waktu tertentu yang Allah kehendaki lalu Dia mengangkatnya bila Dia menghendaki untuk mengakhirinya …… Dst

(HR. Ahmad no. 17680)

Makna Khulafaur Rasyidin adalah 4 khalifah .. yaitu Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali Radhiallahu ‘Anhum. Tidak ada perbedaan pendapat para ulama Ahlussunah atas makna ini.

Ada pun Khilafatun ‘ala Minhajin Nubuwwah adalah sistemnya, yaitu kepemimpinan mereka sesuai manhaj kenabian ..

Imam Ali Al Qari menjelaskan:

( على منهاج النبوة ) أي: طريقتها الصورية والمعنوية

Yaitu di atas metode kenabian, baik secara gambaran yang nampak dan mentalitasnya. (Mirqah al Mafatih, 9/248)

Tentunya hal tsb juga dilakukan oleh 4 Khalifah pertama.. di masa setelah mereka adalah mulkan ‘adhon (raja-raja yang menggigit, jahat) lalu mulkan jabriyyah (raja-raja diktator)…

Syaikh Abdullah Al Faqih menjelaskan:

أما عن معنى الحديث: فالخلافة على منهاج النبوة هي خلافة أبي بكر وعمر وعثمان وعلي ، كما هو ظاهر الروايات

Ada pun makna hadits Khilafatun ‘ala Minhajin Nubuwwah adalah kekhilafahannya Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Ali, sebagaimana zahirnya berbagai riwayat.

(Fatawa Asy Syabakah Al Islamiyah no. 36833)

Wallahu A’lam

✍️ Farid Nu’man Hasan

Tangisan yang Menyelamatkan

Menangis adalah salah satu ekspresi fisik dari jiwa manusia. Baik dari rasa sakit, takut, sedih, haru, iba, bahkan gembira. Menangis yang didasari takut karena dosa dan azab, baik saat tafakkur, muhasabah, dzikrul maut (mengingat kematian) atau membaca Al Quran, adalah tangisan yang dapat melembutkan hati dan jiwa. Inilah tangisan yang menyelamatkan manusia.

Allah ﷻ berfirman:

إِذَا تُتْلَى عَلَيْهِمْ آيَاتُ الرَّحْمَنِ خَرُّوا سُجَّدًا وَبُكِيًّا

“Jika dibacakan kepada mereka ayat-ayat Allah, maka mereka tersungkur sambil sujud dan menangis.” (QS. Maryam: 58)

Menurut Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah menangis dalam ayat ini mencakup bagi yang membaca Al Quran dalam shalat dan di luar shalat. [1]

Dari Ibnu Abbas Radhiallahu ‘Anhuma, bahwa Nabi ﷺ bersabda:

عَيْنَانِ لاَ تَمَسُّهُمَا النَّارُ: عَيْنٌ بَكَتْ مِنْ خَشْيَةِ اللهِ، وَعَيْنٌ بَاتَتْ تَحْرُسُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ

“Ada dua mata yang tidak akan disentuh api neraka. (Yaitu) mata yang menangis karena takut kepada Allah ﷻ dan mata yang terjaga dalam jihad fisabilillah.” [2]

Dari Abu Umamah Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Nabi ﷺ bersabda:

لَيْسَ شَيْءٌ أَحَبَّ إِلَى اللهِ مِنْ قَطْرَتَيْنِ وَأَثَرَيْنِ، قَطْرَةٌ مِنْ دُمُوعٍ فِي خَشْيَةِ اللهِ، وَقَطْرَةُ دَمٍ تُهَرَاقُ فِي سَبِيلِ اللهِ، وَأَمَّا الأَثَرَانِ: فَأَثَرٌ فِي سَبِيلِ اللهِ، وَأَثَرٌ فِي فَرِيضَةٍ مِنْ فَرَائِضِ اللَّهِ.

Tidak ada suatu apa pun yang lebih Allah ﷻ cintai dibandingkan dua tetes dan dua bekas: ada pun dua tetes yaitu tetesan air mata karena takut kepada Allah dan tetes-tetas darah fisabilillah. Sedangkan dua bekas adalah bekas-bekas saat jihad fisabilillah dan bekas dari menjalankan kewajiban-kewajiban dari Allah ﷻ.
[3]

Inilah tangisan orang-rang yang bartaubat, yang takut terhadap siksa-Nya, tentang azab kubur dan neraka, dan ke- Maha Kuasaan-Nya. Imam al Munawi Rahimahullah mengatakan:

أي من خوف عقابه أو مهابة جلاله

Yaitu air mata karena rasa takut terhadap siksa-Nya atau kehebatan keagungan-Nya. [4]

Syaikh Abul ‘Ala al Mubarkafuri Rahimahullah menjelaskan:

وَهِيَ مَرْتَبَةُ الْمُجَاهِدِينَ مَعَ النَّفْسِ التَّائِبِينَ عَنِ الْمَعْصِيَةِ سَوَاءٌ كَانَ عَالِمًا أَوْ غَيْرَ عَالِمٍ

Ini adalah kedudukan para mujahidin bersama orang-orang yang bertaubat dari maksiatnya, baik dia seorang berilmu atau bukan. [5]

Maka, tangisilah dosa dan kesalahan kita sebagai awal titik tolak perubahan hidup lebih baik lagi. Jika tidak juga bisa menangis, maka tangisilah; kenapa tidak bisa menangis?!

Wallahu A’lam

Notes:

[1] Sayyid Sabiq, Fiqh as Sunnah (Beirut: Dar al Kitab al ‘Arabi, 1977), jilid. 1, hal. 259

[2] At Tirmidzi, Sunan at Tirmidzi (Kairo: Dar Ibn al Jauzi, 2011), no hadits. 1639, Imam at Tirmidzi mengatakan: hasan.

[3] Ibid, no hadits. 1669, Imam at Tirmidzi mengatakan: hasan

[4] Al Munawi, At Taisir bisyarhi al Jami’ ash Shaghir (Riyadh: Maktabah al Imam asy Syafi’I, 1988), jilid. 2, hal. 151

[5] Imam Abu al Hasan al Mubarkafuri, Tuhfah al Ahwadzi (Kairo: Dar Ibn al Jauzi, 2018), jilid. 6, hal. 21

✍️ Farid Nu’man Hasan

scroll to top