Ash Shadiquun – Orang-Orang Jujur

Al Harits Al Muhasibiy Rahimahullah berkata:

الصادق هو الذي لا يبالي ولو خرج عن كل قدر له في قلوب
الخلائق من أجل صلاح قلبه ولا يحب إطلاع الناس على مثاقيل الذر من حسن عمله ولا يكره إطلاع الناس على السئ من عمله فإن كراهته لذلك دليل على أنه يحب الزيادة عندهم وليس هذا من أخلاق الصديقين

Orang Jujur lagi benar adalah orang yang tidak memperhatikan segala penghargaan manusia kepadanya, demi kedamaian hatinya. Dia tidak suka manusia mengetahui kebaikan dirinya walau seberat atom. Dia tidak menarus rasa benci jika manusia tahu kejelekan dirinya. Kebencian itu hanyalah menunjukkan bahwa dia menginginkan tambahan perhatian dari mereka. Itu bukan akhlak orang-orang yang jujur

Imam An Nawawi, At Tibyan fi Adab Hamalah Al Quran, Hal. 33

✍ Farid Nu’man Hasan

Berqurban Ke Gaza

Ini diistilahkan dengan Naqlul Udhhiyah (Distribusi Hewan Qurban)

Pada dasarnya anjuran qurban pelaksanaan dan pendistribusian adalah di negeri sendiri bahkan di kampung sendiri.

Dengan demikian pemilik qurban dapat melaksanakan tiga sunnah:

1. Menyembelih sendiri jika mampu
2. Jika tidak mampu, maka disunnahkan menyaksikan qurbannya saat disembelih
3. Ikut memakan daging qurban tersebut

Ketiga sunnah ini akan sulit bahkan tidak bisa diraih jika qurban di luar daerahnya.

Distribusi qurban ke negeri lain ada dua bentuk:

1. Mengirim uangnya ke luar daerahnya dan diamanahkan ke seseorang atau sekelompok orang sebagai tawkil (perwakilan) dari pemilik qurban.

2. Bisa juga disembelih di negeri sendiri oleh sebuah lembaga lalu diolah menjadi matang atau dibekukan (frozen) untuk dikirim ke luar negeri.

Pada dasarnya qurban di luar domisili pemilik (shahibul qurban), umumnya ulama melarang ada pula yang memakruhkan kecuali di luar daerah tersebut lebih membutuhkan dibanding daerahnya, maka ini boleh.

Syaikh Wahbah Az Zuhaili menjelaskan sbb:

– Hanafiyah: sah tapi makruh, kecuali di luar daerah yang dituju ada kerabatnya atau kondisi di sana lebih membutuhkannya.

– Malikiyah: tidak boleh, yaitu jika jarak “luar daerah” yg dituju sudah sama dengan jarak dibolehkannya shalat qashar atau lebih. Kecuali kondisi di luar daerah tersebut lebih membutuhkan. Maka, boleh sebagian besar diberikan ke daerah yang membutuhkan itu, dan bagian yang sedikit bisa di berikan di tempatnya.

– Syafi’iyyah dan Hanabilah, sama dengan Malikiyah, yaitu tidak boleh di daerah luar yg jaraknya sudah boleh shalat qashar atau lebih. Bagi mereka qurbannya tetap sah tapi haram, kecuali di luar lebih butuh.

(Al Fiqhul Islami Wa Adillatuhu, jilid. 4, hal. 282)

Jika melihat semua pendapat empat mazhab, maka semuanya sepakat bahwa qurban itu terlarang di luar daerah domisili pequrban.

Tapi, mereka juga sepakat hal itu dibolehkan jika di luar sana kondisinya lebih membutuhkan dibanding daerah si mudhahi (pequrban). Maka, jika kita lihat kondisi Palestina secara umum dan Gaza secara khusus, maka qurban ke Palestina khususnya Gaza adalah sah dan dibolehkan.

Hal ini diperkuat oleh penjelasan para imam berikut. Di antaranya:

Imam Abu Zakariya Yahya bin Syarf An Nawawi Rahimahullah:

سواء كان بلده او موضعه من السفر بخلاف الهدى فإنه يختص بالحرم و فى نقل الأضحية وجهان حكاهما الرافعى و غيره تخريجا من نقل الزكاة

(Qurban itu sebaiknya di tempat sendiri) Sama saja baik di negerinya sendiri atau di negeri singgah saat dia safar, berbeda dengan Al Hadyu (qurban jamaah haji), itu khusus di tanah haram. Adapun pemindahan hewan qurban ada dua sudut pandang, hal itu diceritakan oleh Ar Rafi’iy dan lainnya, dikeluarkannya sebagaimana pendistribusian zakat (yakni BOLEH).

(Al Majmu’ Syarh Al Muhadzdzab, 7/404)

Ulama nusantara, Syaikh Nawawi Al Bantani:

و فى نقل الأضحية وجهان قياسا على نقل الزكاة و الصحيح هنا الجواز

Dalam masalah distribusi hewan qurban (ke luar daerah) ada dua pendapat diqiyaskan pada distribusi zakat, pendapat yang BENAR adalah BOLEH. (Tsimar Al Yani’ah, Hal. 82)

Juga difatwakan oleh para ulama dunia di zaman modern, di antaranya Al Ittihad Al ‘Alami Li ‘Ulamail Muslimin (Ikatan Ulama Muslimin Sedunia),  yang dirintis oleh Al Imam Yusuf Al Qaradhawi Rahimahullah, yang saat ini diketuai oleh Syaikh Ali Al Qurrah Daghi Hafizhahullah.

Berikut ini fatwanya:

ترى اللجنة جواز نقل الأضحية – ولو مجمدة أو معبئة- من بلد لآخر إن كان ينقلها إلى ذي قرابة، أو إلى قوم هم أحوج إليها من بلده، وهو رأي جماهير الفقهاء، أما إن لم يكن هناك حاجة أو داع لنقلها، فالخلاف بين الفقهاء مشتهر، بين القول بالكراهة، أو بالجواز، أو بالحرمة مع كونها تجزئه. وترجح اللجنة أن نقلها مجزئ مطلقا، وهو ما ذهب إليه غالب الفقهاء المعاصرين ، وبخاصة أن الحاجة ماسة إليها في الدول التي تكثر فيها الحروب والطوارئ وتقع فيها المجاعات، وعلى رأس ذلك اليوم ما أصاب أهل غزة، فيشرع نقلها من بلد المزكي إلى غزة أو السودان ، وما شابههما من بلاد المسلمين الذين هم أحوج ما يكونون إلى الطعام والشراب المعتاد فضلا عن حاجتهم إلى اللحوم التي قد تقيم صلبهم أياما وأسابيع.

Lajnah Fatwa berpendapat bolehnya naqlul udhhiyah (distribusi qurban) baik dalam keadaan beku (frozen) atau dikemas dari satu negeri ke negeri lainnya, jika dia mendistribusikan ke kerabatnya, atau kaum yang lebih membutuhkannya dibanding negerinya, dan ini adalah pendapat mayoritas para fuqaha.

Akan tetapi, jika tidak ada keperluan dan alasan untuk mendistribusikannya, maka terjadi perbedaan pendapat di kalangan para fuqaha antara yang mengatakan makruh, boleh, dan haram namun tetap sah.

Lajnah fatwa mentarjih bahwa pendistribusian ini adalah sah secara mutlak, dan ini adalah pendapat mayoritas ahli fiqih kontemporer, khususnya teruntuk negeri yg kebutuhannya mendesak seperti di negara-negara yg banyak terjadi peperangan, keadaan darurat, serta kelaparan, terutama saat ini yang terjadi di penduduk Gaza.

Sehingga diperbolehkan didistribusikan dari negara asal ke Gaza atau Sudan, dan negara-negara serupa di negara-negara Islam, yang sangat membutuhkan makanan dan minuman yang secara normal, terutama kebutuhan mereka thdp daging yang dapat menguatkan tulang punggung mereka selama berhari-hari dan berminggu-minggu. Wallahu A’lam

(https://iumsonline.org/ar/ContentDetails.aspx?ID=35317)

Demikian. Wallahu A’lam

Wa Shalallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘Ala Aalihi wa Shahbihi wa Sallam

✍️ Farid Nu’man Hasan

Sekali Lagi, Zakat Fitrah Dengan Uang

▪️▫️▪️▫️▪️▫️▪️▫️

Tahun lalu sudah kami bahas cukup panjang, silahkan search di channel ini dengan judul “Zakat Fitri Dengan Uang, Terlarangkah?!”

Berikut ini adalah tambahan referensi, BOLEHnya zakat fitrah/Fitri dengan mengeluarkan harga dari harta zakatnya.

Abu Ishaq As Sabi’i -seorang tabi’iy yg pernah berjumpa 30 sahabat Nabi ﷺ- berkata :

أدركتهم وهم يؤدون في صدقة رمضان الدراهم بقيمة الطعام

Aku mendapati para sahabat Nabi ﷺ menunaikan zakat di bulan Ramadhan dalam bentuk mata uang (dirham) yg senilai dg makanan (1 sha’).

(HR. Ibnu Abi Syaibah, 3/65)

Kebolehan ini juga menjadi Madzhab-nya Imam Ahmad bin Hambal Rahimahullah. Selama ini dikira hanya Imam Abu Hanifah dari imam yang empat menyetujui zakat fitrah dengan uang.

Imam Ibnu Taimiyah menjelaskan:

“وأما إذا أعطاه القيمة ففيه نزاع : هل يجوز مطلقاً؟ أو لا يجوز مطلقاً؟ أو يجوز في بعض الصور للحاجة، أو المصلحة الراجحة؟ على ثلاثة أقوال ـ في مذهب أحمد وغيره ـ وهذا القول أعدل الأقوال” يعني القول الأخير

Adapun jika Ia (Muzakki) mengeluarkan zakatnya dalam bentuk mata uang maka terdapat khilaf diantara Ulama.

– Apakah boleh secara mutlak?,
– apa tidak boleh secara mutlak?,
– apa boleh dalam kondisi tertentu karena ada hajat ?
– dan atau boleh karena ada maslahat lebih kuat?

Didalam madzhab Imam Ahmad bin Hanbal hal ini ada 3 qaul (pendapat). Dan pendapat yg terakhir (BOLEH karena adanya maslahat yang kuat) adalah PENDAPAT YANG PALING ADIL

(Majmu’ul Fatawa, 25/79)

Imam Al Bukhari, sebagaimana yang diceritakan Imam Ibnu Rusyd – dikutip Imam Ibnu Hajar Al ‘Asqalani:

وافق البخاري في هذه المسألة الحنفية مع كثرة مخالفته لهم لكن قاده إلى ذلك الدليل

Didalam hal ini (zakat dg mata uang) Al-Bukhari sependapat dg Hanafiyah walaupun lebih banyak berbeda didalam banyak hal namun khusus masalah ini dalil-lah yg menuntun Beliau untuk sependapat dg Hanafiyah.

(Fathul Bari, 3/312)

Demikian. Wallahu a’lam

(FAIDAH DARI PONTREN PARAMAAN)

✍ Farid Nu’man Hasan

Makan Daging Qurban Nazar Sendiri

◼◽◼◽◼◽◼◽◼◽

✉️❔PERTANYAAN

Saya pernah membaca jika kita berkurban karena perkara wajib, misalnya menunaikan nadzar, maka haram hukumnya bagi pengkurban untuk memakan sebagian dari daging kurban tersebut. Saya pernah bernadzar jika saya bisa keterima kerja di perusahaan A maka saya akan berkurban. Saya juga pernah bernadzar jika saya sudah bekerja maka saya akan selalu melaksanakan kurban di idul adha setiap tahunnya. Atas nadzar-nadzar tersebut sudah saya jalankan dan saya juga memakan sebagian dari daging kurban tersebut. Pertanyaannya, apakah memang saya tidak boleh mengkonsumsi daging kurban tersebut, terutama daging kurban yang saya lakukan saat idul adha?
(Arumdati-Jakarta Selatan)

✒️❕JAWABAN

◼◽◼◽◼◽◼◽◼◽

Bismillahirrahmanirrahim..

Secara umum, memakan daging qurban sendiri adalah sunnah. Berdasarkan ayat berikut:

فَكُلُوا مِنْهَا وَأَطْعِمُوا الْبَائِسَ الْفَقِيرَ

“.. Maka makanlah sebahagian daripadanya (hewan qurbanmu) dan (sebahagian lagi) berikanlah untuk dimakan orang-orang yang sengsara dan fakir.” (QS. Al Hajj (22): 28)

Khadimus Sunnah, Syaikh Sayyid Sabiq menjelaskan:

للمهدي أن يأكل من هديه الذي يباح له الاكل منه أي مقدار يشاء أن يأكله، بلا تحديد، وله كذلك أن يهدي أو يتصدق بما يراه. وقيل: يأكل النصف، ويتصدق بالنصف .وقيل: يقسمه أثلاثا، فيأكل الثلث، ويهدي الثلث، ويتصدق بالثلث

“Si pemiliki hewan kurban dibolehkan makan bagian yang dibolehkan baginya sesuai keinginannya tanpa batas. Dia pun boleh menghadiahkan atau mensedekahkan sesuka hatinya. Ada pula yang mengatakan dia boleh memakannya setengah dan mensedekahkan setengah. Dan dikatakan: dibagi tiga bagian, untuknya adalah sepertiga, dihadiahkan sepertiga, dan disedekahkan sepertiga”. (Fiqhus Sunnah, 1/742-743)

Namun, untuk qurban yang wajib semisal karena nazar, maka para ulama berbeda pendapat apakah mudhahhi (pemilik qurban) boleh memakannya atau tidak.

Tertulis dalam Al Mausu’ah:

أَمَّا إِذَا وَجَبَتِ الأْضْحِيَّةُ فَفِي حُكْمِ الأْكْل مِنْهَا اخْتَلَفَ الْفُقَهَاءِ

Ada pun jika qurban wajib maka tentang hukum memakan sebagian darinya, hal itu diperselisihkan ahli fiqih. (Al Mausu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah, 6/115)

Kalangan Malikiyah dan pendapat yang shahih dari Hanabilah, bahwa qurban nazar boleh dimakan oleh pemiliknya.

Sementara sebagian Hanabilah, dan ucapan Imam Ahmad bin Hambal bahwa tidak boleh pemilik qurban memakan qurban nazarnya.

Ada pun Syafi’iyah mengatakan tidak boleh memakannya dan ini pendapat resmi mazhab Syafi’i, sementara ulama Syafi’iyah lainnya mengatakan boleh memakannya secara mutlak.

Dalam mazhab Hanafi, menurut Al Kasani boleh secara mutlak memakannya bahkan ini ijma’ di internal mazhab Hanafi. Baik qurban sunnah atau qurban wajib. Sementara seorang ahli hadits yang fiqihnya Hanafi yaitu Imam Az Zaila’i mengatakan tidak boleh memakannya.

Demikian ringkasan dari Al Mausu’ah Al Fiqhiyyah Al Kuwaitiyah.

Lalu, bagaimana sikap terbaik? Untuk kehati-hatian dan sikap yang lebih aman, lebih baik tidak memakan qurban nazarnya sendiri, dengan demikian sikap tsb bisa keluar dari perdebatan. Hal ini sama seperti seorang yang berzakat tentu tidak pantas dia memakan zakatnya sendiri.

Syaikh Husamuddin ‘Afanah mengatakan:

والذي أميل إليه أن الأضحية المنذورة يتصدق بها كلها ، ولا يأكل منها شيئاً خروجاً من الخلاف

Aku cenderung pada pendapat bahwa qurban nazar hendaknya disedekahkan semua, dan tidak memakannya sedikit pun dalam rangka keluar dari perselisihan pendapat. (Al Mufashshal fi Ahkamil Udhhiyah, hal. 157)

Demikian. Wallahu A’lam

✍ Farid Nu’man Hasan

scroll to top