Serba-Serbi Salam

“Assalamu’alaikum ” itu syiar Islam, masing-masing umat beragama ada syiar dan ciri khasnya sendiri. Inilah salam Islam, salam penuh keberkahan yang berasal dari Allah Ta’ala.

Allah Ta’ala berfirman:

فَإِذَا دَخَلۡتُم بُيُوتٗا فَسَلِّمُواْ عَلَىٰٓ أَنفُسِكُمۡ تَحِيَّةٗ مِّنۡ عِندِ ٱللَّهِ مُبَٰرَكَةٗ طَيِّبَةٗۚ كَذَٰلِكَ يُبَيِّنُ ٱللَّهُ لَكُمُ ٱلۡأٓيَٰتِ لَعَلَّكُمۡ تَعۡقِلُونَ

Apabila kamu memasuki rumah-rumah hendaklah kamu memberi salam (kepada penghuninya, yang berarti memberi salam) kepada dirimu sendiri, dengan salam yang penuh berkah dan baik dari sisi Allah. Demikianlah Allah menjelaskan ayat-ayat(-Nya) bagimu, agar kamu mengerti.

(QS. An-Nur: 61)

Salam itu doa, doa keselamatan, kasih sayang, dan keberkahan, untuk yang disalami. Karena itu, perlu diperhatikan cara pengucapan dan kalimatnya, tidak asal-asalan.

Salam itu salah satu sarana memunculkan cinta sesama orang-orang beriman. Rasulullah ﷺ bersabda:

لَا تَدْخُلُونَ الْجَنَّةَ حَتَّى تُؤْمِنُوا وَلَا تُؤْمِنُوا حَتَّى تَحَابُّوا أَوَلَا أَدُلُّكُمْ عَلَى شَيْءٍ إِذَا فَعَلْتُمُوهُ تَحَابَبْتُمْ أَفْشُوا السَّلَامَ بَيْنَكُمْ

“Kalian tidak akan masuk surga sampai kalian beriman, dan tidaklah kalian beriman sampai kalian saling menyayangi. Maukah kalian aku tunjukkan kepada sesuatu, apabila kalian mengerjakannya niscaya kalian akan saling menyayangi? Sebarkanlah salam di antara kalian.”

(HR. Muslim no. 54)

Mengawali salam adalah sunnah menurut mayoritas ulama. Bahkan Ibnu Abdil Bar mengatakan kesunnahannya adalah ijma’. Sedangkan menjawabnya adalah fardhu (wajib).

(Mishbahuzh Zhalam Syarh Bulugh Al Maram, jilid. 4, hal. 290).

Tapi, kenyataannya para fuqaha tidak ijma’, sebab menurut kalangan Hanafiyah, juga salah riwayat dari Imam Ahmad, dan pendapat yg tidak masyhur dari Malikiyah, mengatakan mengawali salam adalah wajib, bukan sekedar sunnah.

(Al Mausu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah, 25/160-161)

Menjawab salam dianjurkan dengan kalimat yang lebih baik, lebih komplit, minimal sepadan.

Allah Ta’ala berfirman:

{ وَإِذَا حُيِّيتُم بِتَحِيَّةٖ فَحَيُّواْ بِأَحۡسَنَ مِنۡهَآ أَوۡ رُدُّوهَآۗ إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ عَلَىٰ كُلِّ شَيۡءٍ حَسِيبًا }

Dan apabila kamu dihormati dengan suatu (salam) penghormatan, maka balaslah penghormatan itu dengan yang lebih baik, atau balaslah (penghormatan itu, yang sepadan) dengannya. Sungguh, Allah memperhitungkan segala sesuatu. (QS. An-Nisa’: 86)

Cara salam ada beberapa bentuk:

– Assalamu ‘alaikum (dapat 10 kebaikan)
– Assalamu ‘alaikum wa Rahmatullah (20 kebaikan)
– Assalamu ‘alaikum wa Rahmatullah wa Barakatuh (30 kebaikan)

(HR. Ahmad No. 19948, Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan: “Sanadnya kuat sesuai syarat Imam Muslim, semua perawinya terpercaya, dan termasuk perawi Bukhari dan Muslim, kecuali Ja’far bin Sulaiman, dia adalah perawinya Imam Muslim, seorang yang jujur dan bagus haditsnya.” Lihat
Ta’liq Musnad Ahmad No. 19948)

Semua kalimat ini disepakati kesunnahannya. Ada pun tambahan wa maghfiratuh diperselisihkan para ulama sejak masa sahabat nabi.

Berikut ini keterangannya:

قال الحسن: إِذا قال أخوك المسلم: السلام عليكم، فردَّ السلام، وزد: ورحمة الله. أو رُد ما قال ولا تزد. وقال الضحاك: إِذا قال: السلام عليك، قلت: وعليكم السلام ورحمة الله، وإِذا قال:
السلام عليك ورحمة الله، قلتَ: وعليكم السلام ورحمة الله وبركاته، وهذا منتهى السلام

Berkata Al Hasan: “Jika saudaramu muslim berkata: Assalamu ‘alaikum, maka jawablah salamnya dan tambahkan “ wa Rahmatullah”, atau jawablah secara sama tanpa tambahan.

Adh Dhahak mengatakan: “Jika dia berkata: Assalamu ‘Alaika, maka engkau katakan: “Wa ‘Alaikum Salam wa Rahmatullah.” Jika dia berkata: “As Salamu ‘Alaika wa Rahmatullah, maka kau katakan: “Wa ‘Alaikum Salam wa Rahmatullah wa Barakatuh.” Ini adalah akhir salam. (Imam Abul Faraj bin Al Jauzi, Zaadul Masiir, jilid. 1, hal. 441)

Imam An Nawawi Rahimahullah juga menjelaskan:

يستحب أن يقول المبتدئ بالسلام:”السلام عليكم ورحمة الله وبركاته”فيأتي بضمير الجمع, وإن كان المسلم عليه واحداً, ويقول المجيب: “وعليكم السلام ورحمة الله وبركاته”فيأتي بواو العطف في قوله: وعليكم

Disunahkan bagi yang mengawali ucapan salam dengan kalimat: “Assalamu ‘Alaikum wa Rahmatullah wa Barakatuh.” Menggunakan dhamir (kata ganti orang) jamak (plural), walaupun yang menerima salam adalah satu orang muslim saja. Sedangkan yang menjawab mengucapkan: “Wa ‘Alaikum Salam wa Rahmatullah wa Barakatuh,” dengan menggunakan huruf “wau ‘athaf” pada kalimat: “Wa ‘alaikum.”

(Riyadhushshalihin, Kitabus Salam Bab Kaifiyah As Salam, Hal. 274)

Dalam riwayat Zaid bin Arqam disebutkan bahwa, “Jika Nabi ﷺ mengucapkan salam kepada kami maka kami menjawab: Wa ‘Alaikas salam wa Rahmatullah wa Barakatuh wa Maghfiratuh.

(HR. Al Bukhari dalam Tarikh Al Kabir, 1/1/330. Sanadnya Jayyid dan semua perawinya terpercaya. Lihat As Silsilah Ash Shahihah No. 1449)

Dalam atsar shahih, dari Kharijah bin Said, bahwa jika beliau menulis suratnya Zaid memulai dengan salam:

السَّلَامُ عَلَيْكَ يَا أَمِيرَ الْمُؤْمِنِينَ وَرَحْمَةُ اللَّهِ وبركاته ومغفرته وطيب صلواته

As Salamu ‘Alaika – Ya Amiral Mu’minin- wa Rahmatullah wa Barakatuh wa Maghfiratuh wa Thayyibu shalawatih. (HR. Al Bukhari dalam Adabul Mufrad No. 1001. Lihat Shahih Adabil Mufrad, 1/436)

Sementara Ibnu Abbas Radhiallahu ‘Anhuma tidak menyukai hal itu, sebab hal itu tidak sesuai Al Quran, yakni ayat tentang perkataan malaikat kepada istrinya Nabi Ibrahim ‘Alaihissalam: wa rahmatullah wa barakatuhu ‘alaikum ahlal bait. (QS. Huud: 73)

‘Atha berkata tentang sikap Ibnu ‘Abbas Radhiallah ‘Anhuma:

كُنْتُ عِنْدَ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَبَّاسٍ إِذْ جَاءَهُ رَجُلٌ فَسَلَّمَ عَلَيْهِ، فَقُلْتُ: وَعَلَيْكُمُ السَّلَامُ وَرَحْمَةُ اللَّهِ وَبَرَكَاتُهُ وَمَغْفِرَتُهُ. فَقَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ: «انْتَهِ إِلَى مَا انْتَهَتْ إِلَيْهِ الْمَلَائِكَةُ»

Aku bersama Abdullah bin Abbas, saat itu datang seorang laki-laki lalu mengucapkan salam kepadanya. Maka aku menjawab: “Wa ‘Alaikumus Salam wa Rahmtullah wa Barakatuh wa Maghfiratuh.” Ibnu ‘Abbas berkata: “Berhentilah pada kalimat di mana Malaikat juga berhenti.” (Imam Al Hakim, Al Mustadrak No. 3316, katanya: shahih. Lihat juga Al Baihaqi dalam Syu’abul Iman No. 8487)

Ketidaksukaan ini juga ditunjukkan oleh Abdullah bin Umar Radhiallahu ‘Anhuma, Imam Al Baihaqi meriwayatkan sebagai berikut:

أَنَّهُ كَانَ مَعَ عَبْدِ اللهِ بْنِ عُمَرَ فَسَلَّمَ عَلَيْهِ رَجُلٌ، فَقَالَ: سَلَامٌ عَلَيْكَ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ وَمَغْفِرَتُهُ، فَانْتَهَرَهُ ابْنُ عُمَرَ، وَقَالَ: ” حَسْبُكَ إِذَا انْتَهَيْتَ إِلَى: وَبَرَكَاتُهُ، إِلَى مَا قَالَ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ “

Bahwa ada seorang laki-laki yang mengucapkan salam kepada Ibnu Umar, dengan ucapan: “Salamun ‘Alaika wa Rahmatullah wa Barakatuh wa Maghfiratuh.” Maka Ibnu Umar mencelanya, dan berkata: “Cukup bagimu jika kamu akhiri dengan “wa Barakatuh” mengikuti apa yang Allah ﷻ firmankan.” (HR. Al Baihaqi, Syu’abul Iman No. 8490. As Suyuthi, Ad Durul Mantsur, 4/454)

Demikian. Wallahu A’lam

✍ Farid Nu’man Hasan

Muhammad SAW Menjadi Nabi Dulu Sebelum Rasul

◼◽◼◽◼◽

✉️❔PERTANYAAN:

Bismillahirrahmanirrahim. Ustadz, benarkah bahwa ada ulama yang mengatakan kalau pada Wahyu pertama, nabi itu belum menjadi Rasul ? Atau pendapat yang mengatakan menjaga nabi dulu kemudian Rasul. Terimakasih

✒️❕JAWABAN

Bismillahirrahmanirrahim..

Ya, benar. Tertulis dalam Fatawa Asy Syabakah Al Islamiyah:

وبدء النبوة كان بنزول أول آية نزلت من القرآن ـ وهي قول الله تعالى: اقرأ باسم ربك الذي خلق. الآية

Awal permulaan KENABIAN adalah dengan turunnya ayat pertama Al Quran yaitu Iqro’ bismi rabbikalladzi khalaq

وهذا لا نزاع فيه بين أهل العلم، وأما ما كان يأتيه قبل ذلك من الرؤى الصادقة، فمن إرهاصات النبوة وليست هي النبوة

Hal ini TIDAK ADA PERDEBATAN para ulama. Ada pun apa yang dialaminya sebelum itu baik berupa mimpi yang benar, tanda-tanda kenabian saat kecil (irhash), bukanlah masa kenabian.

وكان بدء الرسالة بنزول قوله تعالى: يا أيها المدثر قم فأنذر

Ada pun permulaan KERASULAN adalah dengan turunnya firman Allah Ta’ala: Ya Ayyuhal Muddatsir, qum fa andzir

(Fatawa Asy Syabakah Al Islamiyyah no. 137815)

Demikian. Wallahu a’lam

Farid Nu’man Hasan

Hukum Ziarah Kubur Bagi Wanita

◼◽◼◽◼◽

✉️❔PERTANYAAN:

apakah ada larangan wanita yang sedang haidh untuk ziarah kubur? (B – Lampung)

✒️❕JAWABAN

Bismillahirrahmanirrahim..

Berziarah kubur bagi wanita muslimah baik haid atau tidak, diperselisihkan hukumnya oleh para ulama. Sebagian mengatakan terlarang namun mayoritas mengatakan boleh.

Pihak Yang Melarang

Mereka berdalil dengan hadits:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَعَنَ زَوَّارَاتِ الْقُبُورِ

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘Anhu bahwa Rasulullah ﷺ melaknat zawarat (para wanita yang berziarah kubur).

(HR. At Tirmidzi no. 1056, Beliau berkata: hasan shahih. Ibnu Majah juga meriwayatkan dari jalur Ibnu Abbas, dengan sanad hasan)

Bagi pihak yang melarang, hadits ini larangan yang begitu jelas bagi wanita yang berziarah kubur baik haid atau tidak, sama saja. Mereka adalah Syaikh Abdul Aziz bin Baaz, Syaikh Abdul Muhsin al ‘Abbad al Badr, dan lainnya.

Syaikh Abdul Muhsin Al ‘Abbad Al Badr menjelaskan:

فالقول الصحيح هو القول بالتحريم، وأن النساء لا يجوز لهن أن يزرن القبور، ثم أيضاً -كما هو واضح- أن المرأة إذا تركت الزيارة فأكثر ما في الأمر أنها تركت أمراً مستحباً، وأما إذا فعلت الزيارة فإنها تتعرض للعنة كما في هذا الحديث، ومعلوم أن ترك هذا الفعل الذي تسلم فيه من اللعنة أولى ومقدم على كونها تفعل شيئاً لو تركته لم يحصل لها شيء إلا أنها تركت أمراً مستحباً لا يترتب على تركه شيء. إذاً: القول بالتحريم والمنع هو الأظهر والأولى

Maka, pendapat yang benar adalah pendapat yang mengharamkannya, bahwa wanita tidak boleh berziarah kubur, lalu juga –sebagaimana yang telah jelas- bahwa wanita jika dia meninggalkan ziarah, maka paling banyak dia akan meninggalkan perkara sunah saja, ada pun jika dia melakukan ziarah, maka dia akan mendapatkan laknat sebagaimana disebutkan oleh hadits, telah maklum bahwa meninggalkan perbuatan ini, yang dengan itu akan membuatnya selamat dari laknat, adalah lebih utama dan didahulukan dibanding dia melakukan perbuatan yang jika dia tinggalkan tidak berdampak apa-apa, melainkan hanya dia telah meninggalkan anjuran saja, dan jika dia tinggalkan tidak apa-apa. Jadi, pendapat yang mengharamkannya lebih kuat dan utama. (Syarh Sunan Abi Daud, 17/150)

Pihak Yang Membolehkan

Ada sejumlah dalil yang menunjukkan wanita baik haid atau tidak, boleh berziarah kubur.

Di antaranya adalah dalil-dalil umum anjuran berziarah kubur, yang mana dalil ini berlaku umum baik laki-laki maupun perempuan, haid atau tidak.

عن بُرَيْدَة – رضي الله عنه – ، قَالَ : قَالَ رسول الله – صلى الله عليه وسلم – : ( كُنْتُ نَهَيْتُكُمْ عن زِيَارَةِ القُبُورِ فَزُوروها ) رواه مسلم . وفي رواية : ( فَمَنْ أرَادَ أنْ يَزُورَ القُبُورَ فَلْيَزُرْ ؛ فإنَّهَا تُذَكِّرُنَا الآخِرَةَ )

Dari Buraidah Radhiallahu ‘Anhu, katanya: Bersabda Rasulullah ﷺ: “Dahulu aku melarang kalian dari berziarah kubur, maka sekarang berziarahlah.” (HR. Muslim no. 1977). Riwayat lain: “maka barangsiapa yang hendak berziarah kubur maka berziarahlah, karena hal itu bisa mengingatkan akhirat.”

Hadits lainnya:

عَنْ عَائِشَةَ أَنَّهَا قَالَتْ
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كُلَّمَا كَانَ لَيْلَتُهَا مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَخْرُجُ مِنْ آخِرِ اللَّيْلِ إِلَى الْبَقِيعِ فَيَقُولُ السَّلَامُ عَلَيْكُمْ دَارَ قَوْمٍ مُؤْمِنِينَ وَأَتَاكُمْ مَا تُوعَدُونَ غَدًا مُؤَجَّلُونَ وَإِنَّا إِنْ شَاءَ اللَّهُ بِكُمْ لَاحِقُونَ اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِأَهْلِ بَقِيعِ الْغَرْقَدِ

Dari ‘Aisyah Radhiallahu ‘Anha, dia berkata: Dahulu Rasulullah ﷺ ketika giliran malamnya bersama Rasulullah ﷺ , Beliau keluar pada malam itu menuju pekuburan Baqi’, Beliau bersabda: “Salam sejahtera untuk kalian negeri kaum beriman, telah didatangkan kepada kalian apa-apa yang dijanjikan, hari besok akan segera, dan kami –Insya Allah- akan besama kalian, Ya Allah berikanlah ampunan kepada penghuni Baqi’.” (HR. Muslim no. 974)

Berkata Al ‘Allamah Asy Syaikh Waliyuddin At Tibrizi Rahimahullah:

لأن الزيارة عللت بتذكير الموت ، ويحتاج إليه الرجال والنساء جميعاً

Karena berziarah merupakan sebab untuk mengingat kematian, dan hal itu dibutuhkan oleh laki-laki dan wanita sekaligus. (Misykah Al Mashabih, 5/1033)

Berkata Imam Mulla Ali Al Qari Rahimahullah:

وقد عللت الزيارة فيها بأنها ترق القلب وتدمع العين وتذكر الآخرة والموت ، وبأن فيها عبرة ما لفظه هذه الأحاديث بتعليلاتها تدل على أن النساء كالرجال في حكم الزيارة

Telah ada berbagai alasan berziarah bagi wanita, di dalamnya hal itu bisa melembutkan hati, mengalirkan air mata, dan mengingat akhirat dan kematian, dan pelajaran yang terdapat pada berbagai hadits yang menyebutkan sebab itu menunjukkan bahwa wanita adalah sama dengan laki-laki tentang hukum berziarah (kubur). (Ibid)

Ada pun tentang dalil khusus kebolehan wanita berziarah kubur, adalah perbuatan Aisyah Radhiallahu ‘Anha yang melakukannya dan diizinkan oleh Rasulullah ﷺ.

عن ابن أبي مليكة عن عائشة رضي الله عنها أنها كانت إذا قدمت مكة جاءت إلى قبر أخيها عبد الرحمن بن أبي بكر رضي الله عنهما فسلمت عليه

Dari Ibnu Abi Malikah, dari ‘Aisyah Radhiallahu ‘Anha, bahwa Beliau jika datang ke Mekkah, mendatangi ke kubur saudaranya Abdurrahman bin Abu Bakr Radhiallahu ‘Anhuma, dan mengucapkan salam kepadanya. (HR. Al Fakihi, Akhbar Makkah, No. 2443, Ibnu Abdil Bar, At Tamhid, 3/235)

Dari ‘Aisyah Radhiallahu ‘Anha, -haditsnya cukup panjang kami ambil bagian akhirnya saja:

فَقَالَ إِنَّ رَبَّكَ يَأْمُرُكَ أَنْ تَأْتِيَ أَهْلَ الْبَقِيعِ فَتَسْتَغْفِرَ لَهُمْ قَالَتْ قُلْتُ كَيْفَ أَقُولُ لَهُمْ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ قُولِي السَّلَامُ عَلَى أَهْلِ الدِّيَارِ مِنْ الْمُؤْمِنِينَ وَالْمُسْلِمِينَ وَيَرْحَمُ اللَّهُ الْمُسْتَقْدِمِينَ مِنَّا وَالْمُسْتَأْخِرِينَ وَإِنَّا إِنْ شَاءَ اللَّهُ بِكُمْ لَلَاحِقُونَ

Beliau bersabda: Sesungguhnya Rabbmu memrintahkan kamu untuk mendatangi ahlul baqi’ (kuburan baqi’), hendaknya memohonkan ampun buat mereka.” ‘Aisyah berkata: Aku bertanya: “Bagaimana yang aku ucapkan untuk mereka wahai Rasulullah?” Beliau menjawab: “katakanlah: As Salamu ‘Ala Ahlad Diyar minal mu’minin wal Muslimin ………….dst.” (HR. Muslim No. 974)

Kisah ini menunjukkan secara terang benderang kebolehannya. Jika berziarah kubur dilarang, tentulah pertanyaan ‘Aisyah itu tidak akan dijawab, atau sekalipun dijawab akan dijawab dengan larangan ke kubur bagi dirinya.

Anas bin Malik Radhiallahu ‘Anhu menceritakan:

مَرَّ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِامْرَأَةٍ تَبْكِي عِنْدَ قَبْرٍ فَقَالَ اتَّقِي اللَّهَ وَاصْبِرِي قَالَتْ إِلَيْكَ عَنِّي فَإِنَّكَ لَمْ تُصَبْ بِمُصِيبَتِي وَلَمْ تَعْرِفْهُ فَقِيلَ لَهَا إِنَّهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَتَتْ بَابَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَلَمْ تَجِدْ عِنْدَهُ بَوَّابِينَ فَقَالَتْ لَمْ أَعْرِفْكَ فَقَالَ إِنَّمَا الصَّبْرُ عِنْدَ الصَّدْمَةِ الْأُولَى

Nabi ﷺ melewati seorang wanita yang menangis di sisi kubur. Nabi bersabda: “Bertaqwa-lah kepada Allah dan bersabarlah.” Wanita itu berkata: “Enyah kau dariku, kau tidak mendapatkan musibah seperti yang aku terima.” Wanita itu tidak mengenalinya, lalu dikatakan kepadanya bahwa itu adalah Nabi ﷺ. Lalu wanita itu mendatangi pintu rumah Nabi ﷺ, dia tidak menemui adanya penjaga pintu. Lalu wanita itunberkata: “Aku tadi tidak mengenali engkau.” Nabi ﷺ bersabda: “Sabar itu dihantaman yang pertama.” (HR. Bukhari No. 1283)

Hadits ini sangat jelas menunjukkan kebolehannya, jika terlarang tentulah wanita itu sudah dilarang oleh Nabi ﷺ berada di sisi kubur.

Demikianlah alasan-alasan pihak yang membolehkan. Pendapat ini didukung juga oleh Syaikh Al Albani Rahimahullah. Syaikh Al Mubarkafuri mengutip dari Imam ibnu Hajar bahwa ini adalah pendapat mayoritas ulama. (Tuhfah Al Ahwadzi, 4/137)

Sanggahan Dari Pihak Mayoritas kepada pihak yang melarang

Pihak yang membolehkan telah mengkoreksi alasan-alasan pihak yang melarang ini di beberapa sisi.

Pertama. Makna Zawarat

Mereka mengatakan bahwa makna zawarat adalah wanita yang sering-sering ziarah kubur. Itulah yg terlaknat dalam hadits tersebut. Bukan semata-mata wanita yang berziarah kubur.

Disebutkan dalam Tuhfah Al Ahwadzi:

قال القارىء لعل المراد كثيرات الزيارة وقال القرطبي هذا اللعن إنما هو للمكثرات من الزيارة

Berkata Al Qari bahwa bisa jadi maknanya adalah banyak berziarah. Al Qurthubi berkata: laknat ini adalah untuk yang banyak melakukan ziarah. (Syaikh Abul ‘Ala Mubarkafuri, Tuhfah Al Ahwdzi, 4/126)

Imam As Suyuthi mengatakan, bahwa yang dilaknat dalam hadits ini adalah wanita yang berziarah dengan tanpa menjaga adab dan akhlak, katanya:

إن اللعن محمول على زيارتهم بما لا يجوز كالتبرج والجزع والصياح وغير ذلك مما لا ينبغي ، وأما إذا أمن جميع ذلك فلا مانع من الإذن لهن

Sesungguhnya laknat di sini dimaknai bahwa ziarahnya mereka itu dibarengi dengan hal-hal yang tidak diperbolehkan seperti tabarruj (bersolek), mengeluh, berteriak, dan hal-hal tidak pantas lainnya. Ada pun jika aman dari semua hal ini, maka tidak terlarang mengizinkan mereka (untuk ziarah). (Misykah Al Mashabih, 5/1033)

Imam Asy Syaukani menguatkan penjelasan para imam ini, katanya:

وهذا الكلام هو الذي ينبغي اعتماده في الجمع بين أحاديث الباب المتعارضة في الظاهر

Dan ini adalah perkataan yang tepat untuk dijadikan pegangan di dalam mengkompromikan hadits-hadits yang secara zahirnya nampak bertentangan dalam bab ini. (Nailul Authar, 4/95)

Kedua. Hadits larangan telah mansukh (dihapus).

Larangan tersebut terjadi di masa-masa awal Islam, dengan kata lain telah mansukh (dihapus), sebagaimana penjelasan Imam At Tirmidzi Rahimahullah tentang hadits La’ana Az Zawaaraat Al Qubur (Rasulullah ﷺ melaknat wanita yang berziarah kubur):

قد رأى بعض أهل العلم أن هذا كان قبل أن برخص النبي – صلى الله عليه وسلم – في زيارة القبور، فلما رخص دخل في رخصته الرجال والنساء

Sebagian ulama mengatakan bahwa hal ini terjadi ketika sebelum diberikan keringanan oleh Nabi ﷺ tentang ziarah kubur, maka ketika sudah diberikan keringanan, maka keringanan itu mencakup laki-laki dan wanita. (Lihat Sunan At Tirmidzi No. 1056, lihat juga Imam As Suyuthi dalam Syarh Sunan Ibni Majah, 1/113, Imam Al Baghawi dalam Syarhus Sunnah, 2/417 )

Mansukh-nya hadits ini semakin jelas dengan riwayat ketika ‘Aisyah berziarah ke kubur saudaranya:

فقيل لها أليس قد نهى النبي صلى الله عليه و سلم عن ذلك قالت نعم كان نهى ثم أمر بزيارتها انتهى

Dikatakan kepada ‘Aisyah, bukankah Nabi ﷺ telah melarang hal itu? Beliau menjawab: “Ya, dahulu Beliau melarang, kemudian Beliau memerintahkan untuk berziarah.” Selesai. (Tuhfah Al Ahwadzi, 4/137)

Tiga. Sanadnya lemah

Menurut pihak yang membolehkan, hadits tersebut lemah. Imam Ibnu Abdil Bar menyebutkan:

قال أبو بكر وسمعت أبا عبد الله يعني أحمد بن حنبل يسأل عن المرأة تزور القبر فقال أرجو إن شاء الله أن لا يكون به بأس عائشة زارت قبر أخيها قال ولكن حديث ابن عباس أن النبي صلى الله عليه وسلم لعن زوارات القبور ثم قال هذا أبو صالح ماذا كأنه يضعفه ثم قال أرجو إن شاء الله عائشة زارت قبر أخيها قيل لأبي عبد الله فالرجال قال أما الرجال فلا بأس به

Berkata Abu Bakar: Aku mendengar Abu Abdillah –yakni Imam Ahmad bin Hambal- ditanya tentang wanita yang berziarah kubur. Beliau menjawab: “Aku harap hal itu tidak apa-apa, Insya Allah, ‘Aisyah menziarahi kubur saudaranya. ” Orang itu berkata: “Tetapi ada hadits Ibnu Abbas bahwa Nabi ﷺ melaknat wanita peziarah kubur.” Imam Ahmad menjawab: “Hadits ini terdapat Abu Shalih.” Apa yang dikatakannya seakan dia mendhaifkan hadits ini. Lalu Imam Ahmad berkata: “Aku harap tidak apa-apa, Insya Allah, ‘Aisyah berziarah ke kubur saudaranya.” Ditanyakan kepada beliau: “Kalau kaum laki-laki?” Beliau menjawab: “Ada pun laki-laki, tidak apa-apa.” (At Tamhid, 3/234)

Syaikh Al Albani telah mendhaifkan hadits Ibnu Abbas di atas, dan Beliau telah mengkritik para ulama yang telah berhujjah dengan hadits ini. Katanya:

أن هذا الحديث مع شهرته ضعيف الاسناد، لا تقوم به حجة، وإن تساهل كثير من المصنفين فأوردوه في هذا الباب وسكتوا عن علته، كما فعل ابن حجر في (الزواجر)، ومن قبله العلامة ابن القيم في (زاد المعاد)، واغتر به جماهير السلفيين وأهل الحديث فاحتجوا به في كتبهم ورسائلهم ومحاضراتهم

Hadits ini walau terkenal, isnadnya lemah (dhaif). Tidak boleh berhujjah dengannya. Sesungguhnya telah banyak penyusun kitab meremehkan hal ini, mereka menyampaikan hadits ini dalam permasalahan ini dan mereka diam saja terhadap cacat yang ada dalam hadits ini, sebagaimana yang dilakukan Ibnu Hajar dalam Az Zawajir. Juga sebelum beliau, Al ‘Allamah Ibnul Qayyim dalam Zaadul Ma’ad, yang membuat terpedaya mayoritas salafiyin dan ahli hadits. Mereka berdalil dengan hadits ini baik pada buku, risalah, dan ceramah-ceramah mereka. (Ahkamul Janaiz, Hal. 232)

Kesimpulan:

Telah nampak bahwa pendapat yang membolehkan adalah pendapat yang lebih kuat. Dilihat dari banyak sisi:

– Hadits-haditsnya jauh lebih banyak jumlahnya, lebih kuat dalam periwayatannya, dan lebih beragam jenisnya, baik qauliyah (ucapan) dan taqririyah (persetujuan) nabi, yakni disebutkan dalam Shahih Bukhari, Shahih Muslim, dan lainnya. Hadits-hadits ini ada yang berlaku umum (laki-laki dan wanita), dan ada pula yang khusus wanita.

– Sementara hadits yang paling kuat tentang pelarangan diriwayatkan lebih sedikit, dan diperdebatkan keshahihannya, yang paling kuat adalah hasan baik jalur Abu Hurairah dan Ibnu Abbas.

– Hadits riwayat Imam At Tirmidzi itu pun dimungkinkan telah mansukh sebagaimana keterangan sebagian ulama, dan diperkuat oleh pernyataan ‘Aisyah Radhiallahu ‘Anha.

– Kalau pun hadits itu tidak mansukh, maknanya bukan berarti terlaknat wanita yang berziarah kubur, tetapi terlaknat yang banyak berziarah, sebagaimana dikatakan oleh Imam Ali Al Qari, Imam Al Qurthubi, Imam As Suyuthi, dan lainnya, dan yang dikuatkan oleh Imam Asy Syaukani dan Syaikh Al Albani.

Demikian. Wallahu A’lam

✍ Farid Nu’man Hasan

Menghina Allah Dalam Lintasan Hati

Pertanyaan

Assalamu alaikum wr.wb
Perkenalkan ustadz saya seorang wanita berusia 27th. Saat ini saya sedang dilanda kegelisahan yang teramat berat bagi saya. Saya menderita penyakit was was. Beberapa waktu yang lalu saya merasa sudah menghina Allah SWT di dalam hati karena alasan tertentu, tapi saya itu lupa apakah saya menghina Allah atau saya hanya berbicara kotor di dalam hati. Dan terlintas di fikiran kalau saya murtad. Lalu saya bersyahadat. Tetapi disaat saya bersyahadat itu rasanya lidah saya kelu dan badan saya gemetar karena sangking takutnya jika syahadat saya tidak sah. Setiap hari saya ulang2 syahadat tetapi setelah saya mengucap syahadat rasanya terlintas lagi fikiran” kamu belum syahadat” jadi itu syahadat nya saya ulang terus menerus sampai saya pusing memikirkan hal tsb. Dan sampai sekarang saya masih merasa bahwa saya belum bersyahadat. Jika saya biarkan atau tidak saya gubris, hati dan pikiran saya tidak tenang karena ini menyangkut agama, saya takut jika saya masih belum muslim, jadi saya teruss mengingat2 apakah saya sudah bersyahadat atau belum.Saya benar2 lelah dengan penyakit ini. Sampai saya berfikir apa saya harus berbicara dengan ibu saya agar menjadi saksi saya bersyahadat pak ustadz. Dan apakah sah syahadat seorang wanita yang sedang haid/ tidak menutup aurat dengan sempurna , dan apakah sah jika ibu saya menjadi saksi syahadat tapi beliau haid/ tidak menutup aurat dengan sempurna? Dan apakah saya wajib mengucap 2 kalimat syahadat kembali atau cukup dengan syahadat saya yg saya ulang2 dari kemarin. Mohon penjelasannya ya pak ustadz. Semoga pak ustadz selalu dilindungi oleh Allah SWT aminn..
Wassalamu’alaikum wr wb
(YR- Banyuwangi)


Jawaban

Wa’alaikumussalam wa Rahmatullah wa Barakatuh

Bismillahirrahmanirrahim

Semoga Allah Ta’ala menjaga Anda dan keluarga..

Menghina Allah Ta’ala ada beberapa keadaan:

1. Menghina Allah Ta’ala lewat lisan/ucapan secara sadar dan ada maksud

Ini merupakan sebab murtadnya seseorang dari Islam. Baik dia lakukan secara serius atau nada bergurau, tapi dia sadar dan bermaksud, maka pelakunya kafir.

Salah satu ulama Al Azhar, Syaikh Khalid Abdul Mun’im ar Rifa’i menjelaskan:

فقد أجمع أهل السنة على أنه يشترط في القول المكفر قصد قد قصد سواء كان جاداً أو مازحاً فإنه كافرٌ كفراً مخرجاً عن الملة عليه أن يتوب إلى الله عز وجل وسب الدين مازحاً أشد

Ahlussunah telah ijma’ bahwa perkataan yang dapat membuat kafir pelakunya disyaratkan adanya maksud dari pengucapnya baik itu serius atau bergurau, maka pelakunya kafir dan keluar dari millah (Islam). Wajib baginya bertobat kepada Allah Ta’ala, ada pun menghina agama dengan nada bergurau itu lebih parah lagi. (dikutip dari Mawqi’ Thariqul Islam)

Imam Ibnu ‘Askar mengatakan:

وَمَنْ سَبَّ اللهَ أَوْ نَبِيّاً قُتِلَ دُونَ اسْتِتَابَهٍ، وَالْمُرْتَدُّ يَحْبَطُ عَمَلُهُ

Siapa yang mencela/memaki Allah atau seorang nabi maka dia dibunuh tanpa dia bertobat. Dia murtad dan terhapus amalnya.

(Irsyad as Saalik Ila Asyraf al Masaalik fi Fiqh al Imam Malik, hal. 114)

Ada pun bagi yg tidak sadar, atau tidak bermaksud, seperti keceplosan (Zallatul Lisaan atau sabqul lisaan), maka ini tidak dihukumi apa-apa.

Dalam hadits Shahih Muslim, Rasulullah ﷺ menceritakan orang yang kehilangan untanya, ketika dia lelah mencarinya sampai putus asa lalu beristirahat di bawah pohon, tiba-tiba unta itu datang. Laki-laki itu sangat girang, saking girangnya dia berucap:

اللهم أنت عبدي وأنا ربك، أخطأ من شدة الفرح

Ya Allah, Engkau Hambaku, Aku adalah Tuhanmu. Dia salah karena saking bahagianya.

(HR. Muslim no. 2747)

Ucapan laki-laki ini jelas kekufuran, namun karena ini keceplosan, bukan sengaja, maka tidak dinilai apa-apa.

وَلَيۡسَ عَلَيۡكُمۡ جُنَاحٞ فِيمَآ أَخۡطَأۡتُم بِهِۦ وَلَٰكِن مَّا تَعَمَّدَتۡ قُلُوبُكُمۡۚ

Dan tidak ada dosa atasmu jika kamu khilaf (tidak sengaja ) tentang itu, tetapi (yang berdosa) apa yang disengaja oleh hatimu. (QS. Al Ahzab: 5)

2. Menghina Allah Ta’ala di hati

Untuk jenis ini terbagi menjadi dua bagian lagi:

Pertama. Sekedar lintasan hati

Hinaan yang muncul berupa lintasan hati, tidak menjadi maksud dan keyakinan, maka belum dihukumi apa-apa. Jika terjadi berulang-ulang maka itu adalah was was yang harus dihilangkan, dan orang yang mengalaminya hendaknya jangan biarkan diombang-ambingkan oleh pikiran-pikiran seperti itu, yakinilah bahwa dirinya masih muslim.

Syaikh Abdullah Al Faqih mengatakan:

فسب العبادة أو سب الله تعالى أو سب دينه، إن كان مجرد خاطر وحديث نفس، فلا يؤاخذ به العبد ما لم يتلفظ به، أو يعمل بمقتضاه، أو يستقر في قلبه بحيث يصير اعتقادا لا ينفر منه صاحبه ولا يكرهه

Menghina ibadah atau Allah Ta’ala atau agama jika semata-mata lintasan atau ungkapan jiwa maka belum dinilai apa-apa bagi hamba tersebut (maksudnya: masih muslim) selama belum diucapkan, atau belum melakukan apa-apa yang sesuai ucapannya, atau belum mengikrarkan di hatinya yang membuatnya menjadi sebuah keyakinan.

(Fatawa Asy Syabakah Al Islamiyyah no. 132288)

Dalilnya adalah hadits Nabi ﷺ:

إن الله تَجَاوَزَ عن أمتي ما حَدَّثَتْ به أَنْفُسَهَا، ما لم تَعْمَلْ أو تتكلم

Allah Ta’ala membiarkan yang terjadi pada umatku apa-apa yang masih terlintas dalam jiwanya, selama belum menjadi perkataan atau tindakan. (HR. Muttafaq ‘Alaih)

Kedua. Menghina di hati dengan keyakinan, maksud, dan kesadaran.

Maka ini dihitung kafir, berdasarkan penjelasan-penjelasan di atas.

Firman Allah Ta’ala:

وَلَٰكِن مَّا تَعَمَّدَتۡ قُلُوبُكُمۡۚ

Tetapi apa yang disengaja oleh hatimu. (QS. Al Ahzab: 5)

Jika melihat cerita Sdr penanya, maka Sdr penanya masih kategori kelompok satu, yaitu baru sekedar lintasan dan was was, masih sebagai muslimah. Maka, tetaplah istiqamah dalam Islam, dan berlindung kepada Allah Ta’ala dari was was.

Demikian. Wallahu A’lam

✍ Farid Nu’man Hasan

scroll to top