◼◽◼◽◼◽◼◽◼◽
✉️❔PERTANYAAN:
Assalamualaikum ustadz, mohon pandangan ustadz terkait penjelasan lebih lanjut tentang UAH semoga Allah menjaga beliau bahwa sya’ir dalam bahasa Arab berbeda dg sya’ir dalam bahasa Indonesia dimana dalam Bahasa Arab, sya’ir itu termasuk di dalamnya ada unsur musik. Mohon Insightnya ustadz. Barakallah fiikuma, semoga Allah memberikan keberkahan utk ustadz berdua (Ustadz Farid dan UAH).
✒️❕JAWABAN
◼◽◼◽◼◽◼◽◼◽
Wa’alaikum wa Rahmatullah wa Barakatuh
Lebih dari lima orang menanyakan hal ini, dan nampaknya perlu ada komentar khusus.
Masalah ini memang mesti diperinci dulu.
– Jika maksudnya “musik” sebagaimana alat musik secara makna hakiki, maka ini yg keliru seperti yh saya jelaskan sebelumnya. Yg seperti ini jangan dicari-cari pembenarannya. Mesti diluruskan dan diingatkan dgn baik.
– Jika maksud Beliau adalah makna simbolis saja, bukan hakiki alat musik, sebagaimana ungkapan “Hiburan saya adalah Al Quran”, “Senandungnya para mujahid adalah Al Quran” .. ini tidak apa-apa, karena itu hanya bahasa ungkapan saja.
Sebagaimana ungkapan “Al Quran adalah bom nuklir bagi musuh-musuh Islam” ini tentu bukan makna hakiki.
Syaikh Mushthafa Shadiq ar Rafi’i seorang penyair dan sastrawan Mesir dalam kitab Beliau I’jazul Quran wal Balaghah an Nabawiyah mengatakan bahwa Al Quran memiliki aspek musikal. Menurutnya rangkaian kata dan kalimat Al Quran memunculkan suara-suara yang memiliki keindahan tersendiri.
Artinya dalam tinjauan para pakar Sastra Arab (bukan tinjauan ahli fiqih), istilah Musiqiyah tidak selalu dan tidak terbatas bermakna alat musik saja, tapi juga kata-kata dan kalimat Indah sebagaimana nada-nada musik sehingga mereka mengistilahkan Musiqiyatul Quran. Jika ini yang dimaksud UAH, maka Beliau bicara dalam konteks sastra bukan syariah ..
Saya tutup dengan nasihat Abu Qilabah Rahimahullah:
إذا بلغك عن أخيك شيء تكرهه فالتمس له عذرا فإن لم تجد له عذرا فقل لعل له عذرا لا أعلمه
“Apabila sampai kepadamu berita tentang saudaramu tentang perkara yang engkau membencinya, maka carikanlah ‘udzur (alasan) untuknya. Jika engkau tidak mendapatkan ‘udzur untuknya maka katakanlah, “Mungkin ada ‘udzur baginya yang tidak aku ketahui.”
(Imam Ibnu Hibban, Raudhatul ‘Uqalaa wa Nuzhatul Fudhala, Hal. 184. Darul Kutub Al ‘Ilmiyah, Beirut. 1977M-1397H)
Imam Al ‘Aini menyebutkan:
و قيل إِحْسَان الظَّن بِاللَّه عز وَجل وبالمسلمين وَاجِب
Berbaik sangka kepada Allah dan kaum muslimin adalah wajib. (‘Umdatul Qaari, 20/133)
Maka, jika ada saudara kita yg dikenal baik, shalih, atau ahli ilmu, namun datang berita tentangnya hal yang negatif baik karena tulisan atau ucapannya. Maka, tahanlah diri untuk membenarkan keburukan itu sampai benar-benar sah dan terbukti bahwa dia melakukan keburukan tsb. Apalagi jika berita datangnya dari orang atau media yang tidak jelas kejujurannya, atau ada motiv tertentu tentang berita itu.
Jika terbukti pun, tidak lantas kita menghinanya dan berkomentar tanpa ilmu.
Demikian. Wallahu A’lam
✍️ Farid Nu’man Hasan