Hukum Mengonsumsi Bir Zero Alkohol

✉️❔PERTANYAAN

Assalamu’alaykum Ustaz

Izin bertanya. Pertanyaan dari teman saya, bagaimana hukum mengkonsumsi produk ‘bir zero alkohol, halalkah?’

Jazaakumullah khoir Ustaz

✒️❕JAWABAN

Wa’alaikumussalam wa Rahmatullah wa Barakatuh

Jika jujur zero alkohol, maka itu sama dengan minuman non alkohol lainnya. Kaidahnya:

الحكم بالمسميات لا بالأسماء

Hukum itu dari apa yang dinamakan (substansinya) bukan dari namanya

Walau namanya bir pletok (minuman tradisional betawi, dari jahe) maka dia halal. Hanya saja penamaan seperti itu membuat hambatan hati bagi seorang mukmin. Sebab, walau pun minum sirop tapi gelasnya adalah pispot, tentu kita tetap jijik membayangkannya.

Sebaiknya tetap menggunakan nama-nama yang baik dan tidak mengkonotasikan ke yang buruk.

Wallahu A’lam

✍️ Farid Nu’man Hasan

Boleh Gak Melaknat Orang Zalim?

Bismillahirrahmanirrahim..

Semoga Allah Ta’ala merahmati kita semua dengan kasih sayangNya. Dan membalas kezaliman orang zalim dengan balasan yang setimpal.

Pada dasarnya dilarang bagi seorang mukmin melaknat ini dan itu tanpa haq. Sebab itu merusak kesempurnaan imannya.

Dari Alqamah bin Abdillah, dia berkata: Bersabda Rasulullah ﷺ :

ليس المؤمن بالطعان ولا اللعان ولا الفاحش ولا البذيء

Bukan orang beriman yang suka menyerang, melaknat, berkata keji, dan kotor. (HR. Bukhari dalam Adabul Mufrad, no. 332. Shahih)

Imam Abu Thayyib Syamsul ‘Azhim Rahimahullah mengatakan:

لا يَلْعَنْ بَعْضُكُمْ بَعْضًا فَلَا يَقُلْ أَحَدٌ لِمُسْلِمٍ مُعَيَّنٍ عَلَيْكَ لَعْنَةُ اللَّهِ مَثَلًا

Janganlah saling melaknat, janganlah seseorang melaknat secara mu’ayyan (khusus/individu) kepada seorang muslim, misalnya: “Semoga Allah melaknatmu!” (‘Aunul Ma’ bud, 13/172)

Inilah pendapat umumnya ulama bahwa melaknat itu tidak dibenarkan secara khusus kepada person tertentu baik dia muslim atau kafir di masa hidupnya. Sebab, bisa jadi dia bertobat setelah itu. Kecuali sebagian Malikiyah seperti Imam Ibnul ‘Arabi yang menyatakan boleh hal itu bagi yang melayak mendapatkannya.

Kapan dibolehkan melaknat?

Laknat dibolehkan secara mujmal (global), tidak nunjuk jidat seseorang. Misal, semoga Allah Ta’ala melaknat orang-orang yang menzalimi kaum muslimin dan ulamanya, atau semoga laknat bagi zionist, dan semisal ini. Atau kepada orang kafir harbi yang wafat dalam kekafirannya.

Hal ini berdasarkan beberapa ayat:

وَلَمَّا جَآءَهُمۡ كِتَٰبٞ مِّنۡ عِندِ ٱللَّهِ مُصَدِّقٞ لِّمَا مَعَهُمۡ وَكَانُواْ مِن قَبۡلُ يَسۡتَفۡتِحُونَ عَلَى ٱلَّذِينَ كَفَرُواْ فَلَمَّا جَآءَهُم مَّا عَرَفُواْ كَفَرُواْ بِهِۦۚ فَلَعۡنَةُ ٱللَّهِ عَلَى ٱلۡكَٰفِرِينَ

Dan setelah sampai kepada mereka Kitab (Al-Qur’an) dari Allah yang membenarkan apa yang ada pada mereka sedangkan sebelumnya mereka memohon kemenangan atas orang-orang kafir, ternyata setelah sampai kepada mereka apa yang telah mereka ketahui itu, mereka mengingkarinya. Maka laknat Allah bagi orang-orang yang ingkar.

(QS. Al-Baqarah, Ayat 89)

Ayat lainnya:

لُعِنَ ٱلَّذِينَ كَفَرُواْ مِنۢ بَنِيٓ إِسۡرَٰٓءِيلَ عَلَىٰ لِسَانِ دَاوُۥدَ وَعِيسَى ٱبۡنِ مَرۡيَمَۚ ذَٰلِكَ بِمَا عَصَواْ وَّكَانُواْ يَعۡتَدُونَ

Orang-orang kafir dari Bani Israil telah dilaknat melalui lisan (ucapan) Dawud dan Isa putra Maryam. Yang demikian itu karena mereka durhaka dan selalu melampaui batas.

(QS. Al-Ma’idah, Ayat 78)

Imam Abu Thayyib Rahimahullah mengatakan:

لانَّهُ يَجُوزُ اللَّعْنُ بِالْوَصْفِ الْأَعَمِّ كَقَوْلِهِ لَعْنَةُ اللَّهِ عَلَى الْكَافِرِينَ أَوْ بِالْأَخَصِّ كَقَوْلِهِ لَعْنَةُ اللَّهِ عَلَى الْيَهُودِ أَوْ عَلَى كَافِرٍ مُعَيَّنٍ مَاتَ عَلَى الْكُفْرِ كَفِرْعَوْنَ وَأَبِي جَهْلٍ قاله القارىء

Karena sesungguhnya dibolehkan laknat dengan sifat yang lebih umum, seperti firman Allah: “Laknat Allah atas orang-orang kafir” atau yang lebih khusus “Laknat Allah atas orang-orang Yahudi” atau laknat atas orang kafir secara mu’ayyan yang mati dalam kekafirannya seperti FIR’AUN dan ABU JAHAL. Demikian yang dikatakan Ali Al Qari.

(‘Aunul Ma’ bud, 13/172)

Demikian. Wallahu a’lam

Wa Shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa’ ala Aalihi wa Shahbihi wa Sallam

✍️ Farid Nu’man Hasan

Jangan Ambil Pelajaran Dari Kritikan Orang Yang Sedang Marah Kepadamu

Dalam kitab Ats Tsiqaat-nya Imam Ibnu Hibban diceritakan bahwa Imam Muhammad bin Ishaq -seorang ahli hadits generasi tabi’in dan sejarawan penyusun kitab Al Maghazi- melontarkan pernyataan yg membuat Imam Malik tersinggung.

Menurut Ibnu Ishaq hubungan Imam Malik dengan raja Yaman Dzu Ashbah bukanlah hubungan pertalian darah, tapi sekedar hubungan pelayan saja kepada keluarga kerajaan. Tentu hal ini membuat Imam Malik tersinggung dan Imam Malik membantahnya.

Ketersinggungan Imam Malik semakin bertambah, ketika Beliau selesai menyusun kitab Al Muwaththa’, Imam Muhammad bin Ishaq bersikap seperti merendahkannya dengan mengatakan:

ائتونى به، فإني بيطاره

Datangkan kepadaku kitab tsb, aku bedah (preteli) isinya

Ucapan ini dilaporkan kepada Imam Malik, lalu Imam Malik marah dan menimpali dengan mengatakan:

هَذَا دجال من الدجاجلة يروي عَنِ الْيَهُود

Orang ini adalah dajjal di antara para dajjal, dia meriwayatkan hadits dari Yahudi.

(Lihat Ats Tsiqaat, jilid. 7, hal. 328. Lihat juga Su’alat Al Bardza’i Li Abi Zur’ah ar Razi, jilid. 2, hal. 592)

Dalam ilmu hadits, istilah dajjal untuk seorang perawi hadits bermakna pendusta. Gara-gara kritikan Imam Malik ini, membuat kredibilitas Imam Muhammad bin Ishaq ternoda di mata sebagian pakar hadits. Sementara kedudukan Imam Malik tetap tinggi, sikap Ibnu Ishaq kepadanya tidak ada efek sama sekali.

Namun demikian, cukup banyak ulama yang fair melihat perselisihan ini. Mereka memandang ucapan Imam Malik bahwa Imam Ibnu Ishaq adalah dajjal merupakan kritik yang tidak tepat. Karena Imam Malik belum pernah berjumpa dengannya dan kritik ini juga berasal dari ketersinggungan dan kemarahan yang sifatnya pribadi Imam Malik kepadanya. Oleh karena itu umumnya ulama menilai haditsnya Ibnu Ishaq shahih minimal hasan.

Ya’qub bin Syaibah bertanya kepada Ali al Maldini tentang ucapan Imam Malik kepada Imam Ibnu Ishaq tsb, Beliau berkata:

مالك لم يجالسه ، ولم يعرفه ، وأي شيء حدث به ابن إسحاق بالمدينة

Malik belum pernah duduk bersamanya, dan tidak mengenalnya, dan sedikit pun dia tidak pernah berbicara dengan Ibnu Ishaq di Madinah. (Siyar A’lam An Nubala, jilid. 4, hal. 77)

Syaikh Muhammad Shalih Al Munajjid mengatakan:

وأما تكذيب الإمام مالك له ، وقوله عنه : دجَّال من الدجاجلة : فلم يقبله العلماء منه ؛ إذ لم يذكر دليلا على تكذيبه ، وقد كان بين مجموعة من العلماء : كابن إسحاق ، وابن أبي ذئب ، وابن الماجشون شقاق ونفرة مع الإمام مالك ، فلم يقبل العلماء المتأخرون كلام بعضهم في بعض لما عرف من عداوتهم ، كما لم يقبلوا قول ابن إسحاق في الإمام مالك : ائتوني ببعض كتبه حتى أبين عيوبه ، أنا بيطار كتبه

Ada pun sebutan dusta Imam Malik kepada Ibnu Ishaq dan perkataannya: “Dajjal di antara para dajjal”, tidaklah diterima oleh para ulama karena tidak disebutkan bukti kedustaannya. Sekelompok ulama ada yang terlibat konflik dgn Imam Malik seperti Ibnu Ishaq, Ibnu Abi Dzi’b, dan Ibnul Majusyin. Maka, para ulama selanjutnya tidaklah menerima kritikan ulama satu atas lainnya yang di antara mereka terjadi permusuhan. Begitu juga ucapan Ibnu Ishaq kepada Imam Malik: “Bawakan kepadaku buku-bukunya Malik, aku akan jelaskan cacatnya dan aku akan bedah isinya” tidak diterima oleh para ulama. (Al Islam Su’aal wa Jawaab no. 148009)

Kesimpulan:

– Para ulama juga manusia, mereka ada yang sedih, gembira, tertawa, cemberut, marah satu sama lainnya, dan juga melakukan kesalahan. Imam Adz Dzahabi mengatakan:

لَسْنَا نَدَّعِي فِي أَئِمَّةِ الجَرْحِ وَالتَّعْدِيْلِ العِصْمَةَ مِنَ الغَلَطِ النَّادِرِ، وَلاَ مِنَ الكَلاَمِ بنَفَسٍ حَادٍّ فِيْمَنْ بَيْنَهُم وَبَيْنَهُ شَحنَاءُ وَإِحْنَةٌ، وَقَدْ عُلِمَ أَنَّ كَثِيْراً مِنْ كَلاَمِ الأَقْرَانِ بَعْضِهِم فِي بَعْضٍ مُهدَرٌ، لاَ عِبْرَةَ بِهِ، وَلاَ سِيَّمَا إِذَا وَثَّقَ الرَّجُلَ جَمَاعَةٌ يَلُوحُ عَلَى قَوْلِهُمُ الإِنصَافُ

Kita tidaklah menganggap para imam jarh wa ta’dil itu terjaga dari kesalahan yang jarang terjadi, tidak juga terjaga dari perkataan kasar yang berasal dari kedengkian satu sama lain di antara mereka, dan telah diketahui kaidah banyaknya kritikan seorg ulama kepada ulama lainnya yang sezaman tidaklah perlu dianggap. Apalagi jika ada segolongan ulama lain yang menyebutnya tsiqah (kredibel) dengan perkataan yang lebih objektif. (Siyar A’lam An Nubala, jilid. 7, hal. 40-41)

– Kisah ini mengajarkan agar kita tidak mengambil pelajaran dari kritikan orang atau sekelompok orang yang sudah terlanjur ada kebencian, marah, atau permusuhan sebelumnya kepada pihak yang dikritik. Sebab, biasanya yang menjadi dasar adalah emosi, hawa nafsu, dan kepentingan pribadi, bukan krn ilmu dan rasionalitas.

Demikian. Wallahu A’lam

Wa Shalallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘Ala Aalihi wa Shahbihi wa Sallam

✍️ Farid Nu’man Hasan

Mengkonsumsi Produk Tanpa Label Halal MUI

✉️❔PERTANYAAN

Assalamu’alaykum warohmatullahi wabarokatuh ‘Afwan izin bertanya Ustaz. Apakah telah terpenuhi kehalalan dan keamanan kita mengonsumsi suatu produk yang beredar di Indonesia meskipun tidak ada label halal MUI namun telah terdaftar di lembaga BPOM? sedangkan produk² itu telah diproduksi sekelas CV / PT baik impor maupun produk dalam negeri. Jazaakumullah khoir Ustaz

✒️❕JAWABAN

Wa’alaikumussalam wa Rahmatullah wa Barakatuh

Hukum asal segala sesuatu adalah mubah, sampai ada dalil yang tegas mengatakan haram.

Kaidahnya:

أن الأصل في الأشياء المخلوقة الإباحة حتى يقوم دليل يدل على النقل عن هذا الأصل

Sesungguhnya hukum asal dari segala ciptaan adalah mubah, sampai tegaknya dalil yang menunjukkan berubahnya hukum asal ini. (Imam Asy Syaukani, Fathul Qadir, 1/64. Mawqi’ Ruh Al Islam)

Dalil kaidah ini adalah:

هُوَ الَّذِي خَلَقَ لَكُمْ مَا فِي الْأَرْضِ جَمِيعًا ثُمَّ اسْتَوَى إِلَى السَّمَاءِ فَسَوَّاهُنَّ سَبْعَ سَمَوَاتٍ وَهُوَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ

“Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu dan Dia berkehendak (menciptakan) langit, lalu dijadikan-Nya tujuh langit. dan Dia Maha mengetahui segala sesuatu.” (QS. Al Baqarah (2): 29)

Dalil As Sunnah:

الحلال ما أحل الله في كتابه والحرام ما حرم الله في كتابه وما سكت عنه فهو مما عفا عنه

“Yang halal adalah apa yang Allah halalkan dalam kitabNya, yang haram adalah yang Allah haramkan dalam kitabNya, dan apa saja yang di diamkanNya, maka itu termasuk yang dimaafkan.” (HR. At Tirmidzi No. 1726, hasan)

Apa yg tanpa label halal, apakah langsung dikatakan haram? Tentu tidak, walau itu bisa jadi. Tergantung komposisi yg ada di dalamnya.

Namun, adanya label akan lebih menenangkan bagi konsumen muslim. Maka, pilihlah produk-produk yang membuat kita lebih tenang saat mengkonsumsinya.

Wallahu A’lam

✍️ Farid Nu’man Hasan

scroll to top