Mencari Sebab Kematian Apakah Bertentangan Dengan Iman Kepada Qadha dan Qadar?

✉️❔PERTANYAAN

Assalaamualaikum..Tanya ustadz..
Bila seseorang meninggal dunia..bolehkah seseorang mencari tahu penyebab kematiannya…kemudian hubungannya dengan Iman kepada Qadha dan Qadar?..

✒️❕JAWABAN

Wa’alaikumussalam wa rahmatullah …

Dalam kehidupan manusia, ada dua sebab yg senantiasa berjalan:

– as sabab asy syar’i
– as sabab al kauni

Seorang mukmin meyakini bahwa kematian itu takdir, dan itulah sabab syar’i. Seorang mukmin juga meyakini bahwa kematian juga ada sebab kauni seperti sakit, dibunuh, kecelakaan, dsb.

Seorang mukmin meyakini bahwa “prestasi” Seorang siswa adalah takdir.. Tapi seorang mukmin juga meyakini adanya sabab kauni yaitu disiplin, belajar tekun, dll.

Maka, Mencari sebab yg sifatnya kauniyah (alami, kausalitas) dari sebuah peristiwa kematian -misal apakah sakit, dibunuh, bunuh diri, kecelakaan, dsb- tidaklah bertentangan dengan iman kepada qadha dan qadar.

Sebagaimana mencari sebab kauniyah dari peristiwa bencana -misalnya banjir, apakah karena buang sampaj sembarang, curah hujan yang tinggi, dst.

Sebagaimana mencari tahu sebab kekalahan dalam perang Uhud, sebab runtuhnya Bani Umayah, bani Abbassiyah, Turki Utsmani, dan lain sebagainya. Tidak satu pun ulama mengatakan meneliti dan mencari tahu hal tersebut bentuk ketidakridhaan kepada Qadha dan Qadar. Sebab, perilaku manusia untuk mencari tahu itu semua pun bagian dari qadha dan qadar-nya Allah Ta’ala.

Saat terbunuhnya Utsman bin ‘Affan radhiallahu ‘anhu, ‘Aisyah radhiallahu ‘anha menuntut agar dicari siapa pembunuhnya dan diberikan hukuman. Tentu sikap ‘Aisyah tidaklah dikatakan tidak ridha atau tidak beriman dengan qadha dan qadar.

Ahlus sunnah wal Jamaah bukanlah Jabbariyah, yg meyakini manusia itu majbur (dipaksa), tidak berdaya, tinggal terima saja keadaan.. Melupakan sabab kauni..

Ahlus sunnah wal Jamaah juga bukan qadariyah, yg memahami semuanya adalah di tangan manusia, Allah Ta’ala tidak ada peran sama sekali… Tidak ada takdir yg berjalan melainkan semuanya atas kuasa manusianya..

Ahlussunnah wal jamaah, seimbang dalam memahami qadha dan qadra, dan perbuatan manusia..

WallahuA’lam


✍️ Farid Nu’man Hasan

Hukum Transaksi Di Masjid Secara Online

✉️❔PERTANYAAN

afwan ustadz apakah termasuk larangan berdagang di dalam masjid : jika kita bertransaksi perdagangan secara online ? misal membeli tiket / barang dg aplikasi, membayar tagihan listrik dg aplikasi yg dilakukan saat di dalam masjid.

✒️❕JAWABAN

Segala bentuk transaksi, baik offline atau online, adalah sama saja, tidak mengubah makna “jual beli”, hal itu terlarang di masjid..

Umumnya ulama memaknai makruh, sementara Hambali mengatakan Haram, begitu pula Ash Shan’ani dalam Subulussalam.

Dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

إِذَا رَأَيْتُمْ مَنْ يَبِيعُ أَوْ يَبْتَاعُ فِي الْمَسْجِدِ فَقُولُوا لَا أَرْبَحَ اللَّهُ تِجَارَتَكَ

“Jika kalian melihat orang yang berjual beli di masjid, maka katakanlah: “Semoga Allah tidak menguntungkan perniagaanmu.” (H.R. At Tirmidzi No. 1336, katanya: hasan gharib. Dishahihkan oleh Imam Hakim)

Dalam Al Mausu’ah tertulis:

وَاخْتَلَفُوا فِي صِفَةِ الْمَنْعِ ، فَذَهَبَ الْحَنَفِيَّةُ وَالْمَالِكِيَّةُ وَالشَّافِعِيَّةُ إِِلَى الْكَرَاهَةِ ، وَذَهَبَ الْحَنَابِلَةُ إِِلَى التَّحْرِيمِ

“Mereka berbeda pendapat tentang sifat larangannya, menurut madzhab Hanafiyah, Malikiyah, dan Syafi’iyah adalah makruh. Sedangkan Hanabilah (Hambaliyah) mengharamkannya.”

(Al Mausu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah, 17/179)

Berkata Imam At Tirmidzi Rahimahullah:

وَالْعَمَلُ عَلَى هَذَا عِنْدَ بَعْضِ أَهْلِ الْعِلْمِ كَرِهُوا الْبَيْعَ وَالشِّرَاءَ فِي الْمَسْجِدِ وَهُوَ قَوْلُ أَحْمَدَ وَإِسْحَقَ وَقَدْ رَخَّصَ فِيهِ بَعْضُ أَهْلِ الْعِلْمِ فِي الْبَيْعِ وَالشِّرَاءِ فِي الْمَسْجِدِ

“Sebagian ahli ilmu mengamalkan hadits ini, mereka memakruhkan jual beli di masjid. Inilah pendapat Ahmad dan Ishaq. Sedangkan, ahli ilmu lainnya memberikan keringanan (boleh) jual beli di masjid.” (Sunan At Tirmidzi lihat penjelasan No. 1336)

Imam Abu Hanifah membolehkannya, tetapi jika barang dagangannya dibawa ke masjid, maka itu makruh tanzih (makruh mendekati boleh namun sebaiknya ditinggalkan). Sedangkan Imam Malik dan Imam Asy Syafi’i memakruhkannya. Sedangkan Imam Ahmad mengharamkannya. (Fiqhus Sunnah, 3/87. Darul Kitab Al ‘Arabi)

Imam Amir Ash Shan’ani mengatakan hadits ini menunjukkan keharaman jual beli di masjid, dan kewajiban bagi yang melihatnya untuk mengatakan: Semoga Allah tidak menguntungkan perniagaanmu. Alasannya, karena Nabi ﷺ mengatakan: masjid dibangun bukan untuk itu. Apakah jual beli ini sudah dalam bentuk akad? Al Mawardi mengatakan: telah disepakati, bahwa hal itu adalah akad jual beli. (Subulus Salam, 2/46)

Jadi, keharaman berlaku bagi akad jual beli. Sedangkan jika baru tahap tawar menawar atau berbicara bisnis, tidak termasuk keharaman.

Sementara Imam Asy Syaukani mengatakan, bahwa jumhur (mayoritas) ulama menafsirkan makna larangan dalam hadits tersebut adalah makruh jual beli di masjid. Al ‘Iraqi mengatakan bahwa telah ijma’ (aklamasi) jika telah terjadi akad jual beli di masjid, maka akad tersebut tidak boleh dibatalkan. Imam As Syaukani lebih cenderung pada pendapat yang mengharamkan, sebab jika makna larangan adalah makruh, maka itu harus ditunjukkan oleh qarinah (korelasi)nya. Sedangkan maksud dari pengucap dengan larangan secara hakiki adalah menunjukkan haramnya. Menurutnya inilah yang benar. Ada pun kesepakatan ulama bahwa jual beli tidak boleh dibatalkan dan tetap sah, maka itu tidak menafikan keharamannya. Hal itu bukan qarinah yang menunjukkan larangan adalah bermakna makruh. Sebagian sahabat Asy Syafi’i ada yang tidak memakruhkan jual beli di masjid, tetapi hadits ini membantah pendapat mereka. Para sahabat Abu Hanifah berbeda dengan pandangan umumnya, kebanyakan memakruhkan dan sedikit di antara mereka tidak memakruhkannya, namun ini pendapat yang tidak berdalil. (Nailul Authar, 2/158-159. Maktabah Ad Da’wah Al Islamiyah)

Wallahu A’lam


✍️ Farid Nu’man Hasan

Beramal Untuk Mendapatkan Cinta Manusia

Tidak mengapa seseorang beramal dengan harapan manusia mencintai dirinya asalkan amal itu amal-amal yang tidak diharamkan. Hal ini bukan termasuk perusak keikhlasan, berdasarkan dalil-dalil yang begitu banyak.

Di antaranya:

1. Dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

لَا تَدْخُلُونَ الْجَنَّةَ حَتَّى تُؤْمِنُوا وَلَا تُؤْمِنُوا حَتَّى تَحَابُّوا أَوَلَا أَدُلُّكُمْ عَلَى شَيْءٍ إِذَا فَعَلْتُمُوهُ تَحَابَبْتُمْ أَفْشُوا السَّلَامَ بَيْنَكُمْ

Kalian tidak akan masuk surga sampai kalian beriman, dan kalian tidak beriman sampai kalian saling mencintai. Maukah kalian aku tunjukkan kepada sesuatu yang jika kalian lakukan maka kalian akan saling mencintai? Yaitu sebarkan salam di antara kalian. (HR. Muslim No. 54)

2. Dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

تهادوا تحابوا

Salinglah memberi hadiah niscaya kalian saling mencintai. (HR. Bukhari dalam Adabul Mufrad No. 594.

3. Juga hadits:

عَنْ أَبِي الْعَبَّاس سَهْل بِنْ سَعْد السَّاعِدِي رَضِيَ الله عَنْهُ قَالَ : جَاءَ رَجُلٌ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ : ياَ رَسُوْلَ اللهِ دُلَّنِي عَلَى عَمَلٍ إِذَا عَمِلْتُهُ أَحَبَّنِيَ اللهُ وَأَحَبَّنِي النَّاسُ، فَقَالَ : ازْهَدْ فِي الدُّنْيَا يُحِبُّكَ اللهُ، وَازْهَدْ فِيْمَا عِنْدَ النَّاسِ يُحِبُّكَ النَّاسُ. [حديث حسن رواه ابن ماجة وغيره بأسانيد حسنة]

Dari Abu Abbas Sahl bin Sa’ad Assa’idi radhiallahuanhu dia berkata: Seseorang mendatangi Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam, maka beliau berakata:

Wahai Rasulullah, tunjukkan kepadaku sebuah amalan yang jika aku kerjakan, Allah dan manusia akan mencintaiku.

Maka beliau bersabda: Zuhudlah terhadap dunia maka engkau akan dicintai Allah dan zuhudlah terhadap apa yang ada pada manusia maka engkau akan dicintai manusia.

(HR. Ibnu Majah dan lainnya dengan sanad hasan)

Oleh karena itu, Syaikh Ismail Muhammad Al Anshari Rahimahullah mengatakan:

أنه لا بأس بالسعي فيما تكتسب به محبة العباد مما ليس بمحرم ، بل هو مندوب إليه ، كما يدل عليه الأمر بإفشاء السلام ، وغير ذلك من جوالب المحبة التي أمر بها الشارع

Tidak apa-apa melakukan aktivitas yang dapat menghasilkan cinta dari manusia selama aktivitas tersebut bukan hal yang diharamkan, bahkan itu dianjurkan untuk dilakukan, sebagaimana hal itu ditunjukkan dalil perintah menyebarkan salam dan selainnya yang termasuk perbuatan yang diperintahkan oleh Asy Syaari’ (pembuat syariat) untuk meraih perasaan cinta sesama manusia. (At Tuhfah Ar Rabbaniyah, hadits No. 31)

Demikian. Wallahu A’lam

✍️ Farid Nu’man Hasan

Kebenaran Hanya Satu?

✉️❔PERTANYAAN

Assalamualaikum ust.Farid Nu’man ijin bertanya:

Saya pernah ditanya terkait bahwa kebenaran itu hanya satu,kemudian bagaimana tentang perkara ijtihad ulama yg semuanya menjadi benar.?

✒️❕JAWABAN

Wa’alaikumussalam Wa Rahmatullah Wa Barakatuh

Para ulama berbeda pandangan apakah ijtihad dalam suatu perkara dinilai hanya satu yg benar yang lain salah (mukhathi’ah) namun yang salah itu tidak bisa ditentukan, Ataukah semuanya benar (mushawwibah)?

Namun banyak ahli tahqiq (peneliti) mengatakan semua mujtahid benar.

Imam Ibnu Daqiq al ‘Id menjelaskan sbb:

والعلماء إنما ينكرون ما أجمع عليه أما المختلف فيه فلا إنكار فيه لأن على أحد المذهبين: أن كل مجتهد مصيب وهو المختار عند كثير من المحققين. وعلى المذهب الآخر: أن المصيب واحد والمخطئ غير متعين لنا والإثم موضوع عنه لكن على جهة النصيحة للخروج من الخلاف فهو حسن مندوب إلى فعله برفق

Para ulama hanyalah mengingkari apa-apa yang telah ijma’ (kemungkarannya), sedangkan perkara yang masih diperselisihkan tidak boleh ada pengingkaran dalam hal itu. Sebab, seseorang ada di dua madzhab yang berlaku:

1. Seluruh Mujtahid itu benar. Inilah yang dipilih oleh banyak muhaqqiq (peneliti).

2. Yang benar hanya satu yang lainnya salah, namun yang salah itu tidak tentu yang mana, dan dosa tidak berlaku (bagi yang salah).

Namun dia dinasihati agar keluar dari perselisihan. Ini adalah hal yang bagus dan diajurkan melakukannya dengan lembut.

(Imam Ibnu Daqiq al ‘Id, Syarah al Arbain an Nawawiyah, Hal.  113)

Alasan pihak yang mengatakan semua mujtahid benar adalah:

– Ketika Abu Bakar dan Umar Radhiallahu ‘Anhuma berbeda tentang membaca Al Quran dipelankan dan dikeraskan, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam membenarkan kedua2nya.

– Ketika Abu Bakar memilih tidak tidur sebelum shalat witir, sementara Umar tidur dulu, Rasulullah membenarkan kedua-duanya.

– Serombongan sahabat diutus ke Bani Quraizhah, Nabi berkesan jangan shalat ashar sebelum sampai di sana. Ternyata ketika sudah masuk waktu Ashar mereka masih di perjalanan dan belum sampai. Sebagian mereka ada yg tetap shalat ashar, krn waktunya sdh masuk, sebagian lain tetap shalatnya di kampung Bani Quraizhah. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam pun tidak mengingkari kedua2nya. Ini dlm Shahih Bukhari.

Alasan pihak yang mengatakan mujtahid ada yg benar dan salah, adalah:

– Rasulullah tegas mengatakan hakim ijtihadnya benar dapat 2 pahala, yang salah dapat 1 pahala. Sebagaimana hadits Bukhari.

– Kebenaran jika lebih dari satu, maka seolah syariat ini tidak tegas dalam melahirkan kebenaran.

– Pidato Abu Bakar dan Umar saat mereka baru terpilih jadi khalifah, mereka mengatakan Jika aku benar maka itu dari Allah, jika aku salah maka itu dari kebodohanku .. Dst.

WallahuA’lam


✍️ Farid Nu’man Hasan

scroll to top