Adab Menerima Tamu

✉️❔PERTANYAAN

Ustadz… Saya mau bertanya terkait masalah adab d bawah ini,

Salah satu adab yang disebutkan dalam kitab Ihya’ Ulum Ad-Diin karya Imam Al-Ghazali “Adab keempat: Janganlah seseorang mengatakan pada tamunya, “Mau tidak saya menyajikan engkau makanan? Akan tetapi yang tepat, tuan rumah pokoknya menyajikan apa yang ia punya. Imam Sufyan Ats-Tsauri menyebutkan, “Jika saudaramu mengunjungimu, maka jangan bertanya padanya, ‘Apakah engkau mau makan?’ Atau bertanya, ‘Apakah aku boleh sajikan makan untukmu?’ Akan tetapi yang baik, jika ia mau makan apa yang disajikan, syukurlah. Jika tidak mau menikmatinya, tinggal dibereskan sajian tersebut.” (Ihya’ ‘Ulum Ad-Diin, terbitan Darul Ma’rifah, 2: 12, penomoran Maktabah Syamilah)

Tulisan diatas saya kutip
Dari salah satu web dakwah ya Ustadz.

Apakah adab di atas berlaku juga dengan “iklim” kita di Indonesia yang terbiasa bertanya pada tamu “mau minum apa” atau perkataan-perkataan yang semakna? Jazakumullahu khoiron.

✒️❕JAWABAN

Ini adalah adab. Jika memang kondisinya berubah baik karena perubahan zaman, tempat, dan kondisi, maka tidak apa-apa tidak sama. Yang penting substansinya tercapai yaitu ikramudh dhayf (memuliakan tamu).

Imam Ibnul Qayyim berikut ini:

في تغير الفتوى واختلافها يحسب تغير الأزمنة والأمكنة والأحوال والنيات والعوائد

“Pasal tentang perubahan fatwa dan perbedaannya yang disebabkan perubahan zaman, tempat, kondisi, niat, dan tradisi.”

Lalu Beliau berkata:

هذا فصل عظيم النفع جدا وقع بسبب الجهل به غلط عظيم على الشريعة أوجب من الحرج والمشقة وتكليف ما لا سبيل إليه ….

Ini adalah pasal yang sangat besar manfaatnya, yang jika bodoh terhadal pasal ini maka akan terjadi kesalahan besar dalam syariat, mewajibkan sesuatu yang sulit dan berat, serta membebankan apa-apa yang tidak pantas dibebankan …  ”

(I’lamul Muwaqi’in,   Juz. 3, Hal. 3. Maktabah Kulliyat Al Azhariyah. Kairo. 1388H-1968M. Tahqiq: Thaha Abdurrauf Sa’ad)

Wallahu A’lam

✍️ Farid Nu’man Hasan

Apakah Saat Mengaji Al Qur’an (Tilawah Melihat Mushaf) Boleh Sambil Olahraga ?

✉️❔PERTANYAAN

Apakah saat mengaji Al Qur’an (tilawah melihat mushaf) boleh sambil olahraga ?
Misal :
. Mengaji sambil jalan di tempat atau jalan keliling.
. Mengaji sambil olahraga dengan alat treadmill atau sepeda statis
. Mengaji sambil olahraga tangan (untuk melatih otot tangan) (Dewi-Surabaya)

✒️❕JAWABAN

Bismillahirrahmanirrahim..

Adab dalam membaca Al Quran adalah duduk dengan khidmat dan menghadap kiblat. Tapi, tidak terlarang seseorang membaca Al Quran sambil tidur, senderan, berdiri, berlari, atau beraktivitas lainnya.

Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala:

الَّذِينَ يَذْكُرُونَ اللَّهَ قِيَامًا وَقُعُودًا وَعَلَىٰ جُنُوبِهِمْ وَيَتَفَكَّرُونَ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ رَبَّنَا مَا خَلَقْتَ هَٰذَا بَاطِلًا سُبْحَانَكَ فَقِنَا عَذَابَ النَّارِ

(yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri, duduk atau dalam keadaan berbaring, dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata), “Ya Tuhan kami, tidaklah Engkau menciptakan semua ini sia-sia; Mahasuci Engkau, lindungilah kami dari azab neraka. (Qs. Ali ‘Imran: 191)

Imam An Nawawi Rahimahullah berkata:

فيه جواز قراءة القرآن مضطجعا ومتكئاً

Pada hadits ini menunjukkan bolehnya membaca Al Qur’an secara berbaring dan bersandar. ( Al Minhaj Syarh Shahih Muslim 3/211)

Syaikh Muhammad Shalih Al Munajjid Hafizhahullah menjelaskan:

لا حرج في قراءة القرآن من المصحف والإنسان مستلقي

Tidak apa-apa membaca Al Qur’an dari mushaf dan orang itu sambil berbaring. (Al Islam Su’aal wa Jawaab no. 124757)

Ada pun yang terlarang adalah membaca Al Quran di dalam WC, atau sedang BAB-BAK, atau sedang hubungan suami istri. Juga terlarang membaca Al Quran saat ruku’ dan sujud.

Hal ini berdasarkan hadits berikut:

أَلا وَإِنِّي نُهِيتُ أَنْ أَقْرَأَ الْقُرْآنَ رَاكِعًا أَوْ سَاجِدًا ، فَأَمَّا الرُّكُوعُ فَعَظِّمُوا فِيهِ الرَّبَّ عَزَّ وَجَلَّ ، وَأَمَّا السُّجُودُ فَاجْتَهِدُوا فِي الدُّعَاءِ

Ketahuilah, bahwa aku dilarang membaca Al Quran saat ruku’ dan sujud. Maka, saat ruku’ agungkanlah Allah ‘Azza wa Jalla, dan saat sujud sungguh-sungguhlah untuk berdoa. (HR. Muslim No. 479, dari Ibnu Abbas)

Apa dampak hukum larangan ini ? Ulama sepakat hal itu makruh. (Lihat Imam An Nawawi,  Al Majmu’ Syarh Al Muhadzdzab,  3/411, dan Imam Ibnu Qudamah, Al Mughni, 2/181)

Kesimpulan:

Maka, apa yang ditanyakan yaitu membaca Al Quran sambil olah raga, berlari, dan berjalan, sama sekali tidak masalah.

Demikian. Wallahu A’lam

✍️ Farid Nu’man Hasan

Hati-Hati Mengatakan: “Masyarakat Telah Rusak”

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِذَا قَالَ الرَّجُلُ هَلَكَ النَّاسُ فَهُوَ أَهْلَكُهُمْ

Dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah ﷺ bersabda,

“Apabila ada seseorang yang berkata, ‘Celakalah manusia’, maka ahlakuhum (ia sendiri yang lebih celaka dari mereka).”

Abu Ishaq berkata:

لَا أَدْرِي أَهْلَكَهُمْ بِالنَّصْبِ أَوْ أَهْلَكُهُمْ بِالرَّفْعِ

Aku tidak tahu apakah ahlakahum (dengan nashab) atau ahlakuhum (dengan rafa’)

(HR. Muslim no. 2623)

Hadits ini mengajarkan kita untuk tidak mudah menuduh manusia dengan kerusakan. Oleh karena itu, Imam Muslim memasukan hadits dalam Bab:

باب النهي عَنْ قول هلك الناس

Bab Larangan Dari Ucapan: Manusia Telah Hancur Binasa

Justru Rasulullah ﷺ menyebut orang yang begitu dengan: ahlakuhum yang artinya dia sendiri lebih rusak (hancur binasa) dibanding mereka.

Jika dibaca ahlakahum maka dialah yang membikin rusak atau membinasakan mereka.

Namun menurut Imam An Nawawi cara baca ahlakuhum yang lebih masyhur. (Syarh Shahih Muslim, juz. 16, hal. 134)

Larangan ucapan tersebut karena mengandung makna merasa diri lebih hebat dan lebih baik dari orang lain. Larangan ini sejalan dengan ayat:

فَلَا تُزَكُّوٓاْ أَنفُسَكُمۡۖ هُوَ أَعۡلَمُ بِمَنِ ٱتَّقَىٰٓ

Maka janganlah kamu, menganggap dirimu suci. Dialah yang paling mengetahui tentang orang yang bertaqwa.

[QS. An-Najm: 32]

Imam An Nawawi menjelaskan:

وَاتَّفَقَ الْعُلَمَاءُ عَلَى أَنَّ هَذَا الذَّمَّ إِنَّمَا هُوَ فِيمَنْ قَالَهُ عَلَى سَبِيلِ الْإِزْرَاءِ عَلَى النَّاسِ ، وَاحْتِقَارِهِمْ ، وَتَفْضِيلِ نَفْسِهِ عَلَيْهِمْ ، وَتَقْبِيحِ أَحْوَالِهِمْ ، لِأَنَّهُ لَا يَعْلَمُ سِرَّ اللَّهِ فِي خَلْقِهِ

Para ulama sepakat bahwa makna hadits ini adalah celaan, yaitu celaan untuk orang yang meremehkan manusia, merendahkan, melebihkan dirinya di atas orang lain, menyebut buruk keadaan mereka, karena dia tidak tahu rahasia Allah yg ada pada hamba-Nya.

(Syarh Shahih Muslim, juz. 16, hal. 134)

Imam Syamsul ‘Azhim Abadi menjelaskan:

وَمَعْنَاهُ أَنَّ الْغَالِينَ الَّذِينَ يُؤَيِّسُونَ النَّاسَ مِنْ رَحْمَةِ اللَّهِ يَقُولُونَ هَلَكَ النَّاسُ أَيِ اسْتَوْجَبُوا النَّارَ بِسُوءِ أَعْمَالِهِمْ ، فَإِذَا قَالَ الرَّجُلُ ذَلِكَ فَهُوَ الَّذِي أَوْجَبَهُ لَهُمْ لا الله تعالى

Maknanya adalah orang-orang yang berlebihan yaitu orang-orang yang membuat putus asa manusia dari rahmat Allah dengan mengatakan “manusia telah rusak” artinya mereka layak masuk neraka karena buruknya amal mereka, maka jika ada org yang berkata seperti ini dialah yang memasukkan orang-orang ke neraka bukan Allah Ta’ala.

(Aunul Ma’bud, juz. 13, hal. 266)

Ini harus kita perhatikan baik-baik karena salah satu slogan dakwah kita adalah Nahnu Du’at Laa Qudhat (Kita adalah da’i, bukan tukang vonis).

Wa Shalallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘Ala Aalihi wa Shahbihi wa Shahbihi wa Sallam

✍️ Farid Nu’man Hasan

Cara Bayar Fidyah

✉️❔PERTANYAAN

Ustadz… Saya mau bertanya, bagaimana tata cara dan ketentuan membayar fidyah?

✒️❕JAWABAN

Fidyah dikeluarkan bagi yang sudah tidak mampu lagi puasa seperti aki-aki atau nenek-nenek yang sudah jompo, orang yang sakit yang sulit untuk sembuh, disalurkan kepada fakir miskin, utamakan yang dekat, jika tidak ada boleh yang jauh.

Ada pun Fidyah ada 3 cara pemberian, 2 disepakati dan 1 masih diperselisihkan..

1. Makanan pokok (Qutul Balad) yang masih mentah, kalau di Indonesia beras. Takarannya berbeda pendapat para ulama antara 1 sha’, 1/2 sha’, dan 1 mud.

Tapi, umumnya fuqaha mengatakan 1 mud. 1 Mud itu dua tapak tangan orang dewasa. Mud tangannya orang Arab tentu lebih besar, Kira-kira 0,6 sd 0,75 kg beras.

Bayarkan sesuai jumlah puasa yang ditinggalkan, jika lupa, maka dikira-kira yang paling mendekati ..

2. Makanan Matang dengan lauk pauknya, seperti yang dilakukan oleh Anas bin Malik dalam riwayat Imam Bukhari. Dia bayar fidyah dengan cara mengumpulkan fakir miskin sejumlah puasa yang ditinggalkan makan di rumahnya sampai kenyang dengan SEKALI MAKAN (bukan 3x makan), dan membekali mereka ketika pulang dengan daging dan roti

3. Dengan uangnya.

Ini perselisihkan ulama. Mayoritas mengatakan tidak boleh, karena dalam Al Quran (2:184) fidyah itu disebut dengan tho’am (makanan).

Ada pun Hanafiyah dan sebagian Syafi’iyah mengatakan boleh JIKA dengan uang memang lebih bermanfaat.

Demikian. Wallahu A’lam


✉️❔PERTANYAAN

Assalamu’alaykum ustadz

Izin bertanya,

Untuk ukuran bayar fidyah seberapa besar & bagaimana cara penyalurannya???(+62 897-984x-xxx)

✒️❕JAWABAN

Wa’alaikumussalam Wa Rahmatullah Wa Barakatuh

Cara bayar fidyah, ringkasnya begini:

– Jenis harta Fidyah adalah qutul balad (makanan pokok) di sebuah negeri. Di kita adalah beras.

Jumlahnya 1 mud, yang jika diukur +/- 0,75kg, untuk mengganti satu hari puasa yang ditinggalkan. Maka, jika 30 hari puasa yang ditinggalkan, maka berikan kepada 30 fakir miskin. Jika orang miskinnya tidak banyak, sulit mencari orang miskin, boleh saja satu orang mendapatkan lebih dari 1 mud, bahkan boleh satu orang menerima semua fidyah tersebut.

– Cara kedua, yaitu dengan makanan matang siap makan. Hal ini dilakukan oleh Anas bin Malik sebagaimana hadits Bukhari. Beliau mengundang para fakir miskin makan di rumahnya, sekali waktu makan, lalu ketika pulang Beliau memberikan tambahan roti dan daging.

– Cara ketiga, dengan uang atau harganya. Cara ini dinyatakan TIDAK BOLEH, oleh mayoritas ahli fiqih sebab Allah Ta’ala memerintahkan fidyatun tha’amun miskin (fidyah dengan memberikan makanan kepada org miskin), bukan dengan uang.

Sebagian ulama ada yang membolehkan, yaitu mazhab Hanafi dan sebagian Syafi’iyyah, jika memang dengan uang lebih membawa manfaat. Pendapat inilah yang dipakai saat ini di Indonesia.

Demikian. Wallahu A’lam

✍️ Farid Nu’man Hasan

scroll to top