Menghadiri undangan, acara belum selesai hingga masuk waktu shalat. Mana yang harus ditinggalkan?

◼◽◼◽◼◽◼◽◼◽

✉️❔PERTANYAAN:

Assalamualaikum ustadz. Izin bertanya, jika mengadiri undangan, dan acara belum selesai hingga masuk waktu shalat. Mana yang harus ditinggalkan/ditunda? (Anita-Palembang)

✒️❕JAWABAN

◼◽◼◽◼◽◼◽◼◽

Wa’alaikumussalam wa Rahmatullah wa Barakatuh

Bismillahirrahmanirrahim..

Tidak ragu lagi shalat di awal waktu adalah yang terbaik. Dari Abdullah bin Mas’ud Radhiallahu ‘Anhu, Beliau berkata:

سَأَلْتُ النَّبِيَّ أَيُّ الْعَمَلِ أَحَبُّ إِلَى اللهِ قَالَ الصَّلَاةُ عَلَى وَقْتِهَا قَالَ ثُمَّ أَيٌّ قَالَ ثُمَّ بِرُّ الْوَالِدَيْنِ قَالَ ثُمَّ أَيٌّ قَالَ الْجِهَادُ فِي سَبِيلِ اللهِ

Aku bertanya kepada Nabi ﷺ : “Amal apakah yang paling Allah cintai?” Beliau bersabda: “Shalat pada waktunya.” Ibnu Mas’ud berkata: “Lalu apa lagi?” Beliau bersabda: “Berbakti kepada kedua orang tua.” Ibnu Mas’ud berkata: “Lalu apa lagi?” Beliau bersabda: “Jihad fisabilillah.” (HR. Muttafaq ‘Alaih)

Para ulama berbeda pendapat tentang makna “Shalat Pada Waktunya”. Ada yang mengartikan shalat di waktu masih berlaku (baik awal, tengah, dan akhir), bukan setelah waktunya berakhir. Ada pula yang mengartikan shalat di awal waktu. Ini yang lebih tepat, berdasarkan hadits lainnya.

عَنْ أُمِّ فَرْوَةَ، قَالَتْ: سُئِلَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَيُّ الْأَعْمَالِ أَفْضَلُ؟ قَالَ: «الصَّلَاةُ فِي أَوَّلِ وَقْتِهَا»

Dari Ummu Farwah, dia berkata: Rasulullah ﷺ ditanya amal apakah yang paling utama? Beliau menjawab: “Shalat di awal waktunya.” (HR. Abu Daud, Ahmad)

Imam Ibnu Rajab menjelaskan:

واستدل بذلك على أن الصلاة في أول الوقت أفضل، كما استدل لحديث ام فروة، عن النبي – صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -، أنه سئل: أي العمل أفضل؟ قال: ((الصلاة لأول وقتها)) . اخرجه الإمام أحمد وأبو داود والترمذي. وفي إسناده اضطراب -: قاله الترمذي والعقيلي

Berdalilkan hadits tersebut menunjukkan shalat di awal waktu lebih utama, berdasarkan hadits Ummu Farwah bahwa Rasulullah ﷺ ditanya amal apa yang paling utama? Beliau bersabda: “Shalat di awal waktunya” (HR. Ahmad, Abu Daud, At Tirmidzi). Namun sanadnya idhtirab (goncang), sebagaimana dikatakan At Tirmidzi dan Al ‘Uqaili. (Fathul Bari, 4/209)

Lalu bagaimana jika menundanya sehingga shalat tidak diawal waktu? Hal itu dibolehkan dengan syarat waktu shalat masih tersedia, hanya saja pelakunya kehilangan keutamaan shalat di awal waktu.

Dalil bolehnya shalat tidak di awal waktu adalah hadits sbb:

إن للصلاة أولا وآخرا، وإن أول وقت الظهر حين تزول الشمس، وإن آخر وقتها حين يدخل وقت العصر..

Shalat itu ada awal waktunya dan akhirnya, awal waktu zhuhur adalah saat tergelincir matahari, waktu akhirnya adalah saat masuk waktu ashar .. Dst (HR. Ahmad no. 7172, dishahihkan oleh Syaikh Syu’aib Al Arnauth. Ta’liq Musnad Ahmad, no. 7172)

Imam An Nawawi Rahimahullah menjelaskan:

يجوز تأخير الصلاة إلى آخر وقتها بلا خلاف، فقد دل الكتاب، والسنة، وأقوال أهل العلم على جواز تأخير الصلاة إلى آخر وقتها، ولا أعلم أحداً قال بتحريم ذلك

Dibolehkan menunda shalat sampai akhir waktunya tanpa adanya perselisihan pendapat, hal itu berdasarkan Al Qur’an dan As Sunnah. Perkataan para ulama juga membolehkan menunda sampai akhir waktunya, tidak ada seorang ulama yang mengatakan haram hal itu. (Al Majmu’ Syarh Al Muhadzdzab, 3/58)

Penundaan ini bukanlah saahuun (melalaikan shalat), sebab makna saahuun adalah menunda shalat sampai habis waktunya. Sebagaimana penjelasan Sa’ad bin Abi Waqash, Ibnu Abbas, Masruq, Ibnu Abza, Abu Adh Dhuha, Muslim bin Shabih. (Tafsir Ath Thabari, 24/630)

Seorang ulama mazhab Hambali abad ini mengatakan:

وقد بين النبي صلى الله عليه وسلم مواقيتها من كذا إلى كذا فمن أداها فيما بين أول الوقت وآخره فقد صلاها في الزمن الموقوت لها

Nabi Shalallahu’Alaihi wa Sallam telah menjelaskan bahwa waktu shalat itu sejak waktu ini ke ini, maka barang siapa yang menjalankan di antara awal waktu dan akhirnya, maka dia telah menunaikan shalat di waktu yang telah ditentukan.

(Syaikh Utsaimin, Majmu’ Al Fatawa wa Rasail, Jilid. 12, Bab Shalat)

Maka, jika Sdr penanya meninggalkan resepsi lalu shalat di awal waktu maka itu lebih utama, apalagi jika sudah mengucapkan selamat kpd penganten dan keluarganya, dan makan. Apabila meneruskan di resepsi, lalu shalat setelah itu dan waktu shalat masih lapang hal itu dibolehkan.

Demikian. Wallahu A’lam

✍ Farid Nu’man Hasan

Niat Puasa; Apakah Tiap Malam Ataukah Cukup Sekali di Awal Malam?

◼◽◼◽◼◽◼◽◼◽

✉️❔PERTANYAAN:

Assalamu’alaikum ustadz. Izin tanya, kalau niat puasa diawal langsung niat sebulan biar ga lupa, apa itu boleh?(+62 857-9597-xxxx)

✒️❕JAWABAN

◼◽◼◽◼◽◼◽◼◽

Wa’alaikumussalam Wa Rahmatullah Wa Barakatuh

Bismillahirrahmanirrahim..

Para ulama berbeda pendapat tentang hal itu.

Pertama. Mayoritas mengatakan niat harus tiap malam, selambat-lambatnya sebelum subuh.

Hal ini berdasarkan hadits-hadits berikut:

Dari Hafshah Radhiallahu ‘Anha, bahwa Nabi ﷺ bersabda:

من لم يبيت الصيام من الليل فلا صيام له

Barang siapa yang malam hari belum berniat puasa, maka tidak ada puasa baginya. (HR. An Nasa’i No. 2334)

Al Hafizh Ibnu hajar berkata: “Hadits ini dishahihkan para imam, seperti Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban, Al Hakim, dan Ibnu Hazm.” (Fathul Bari, jilid. 4, hal. 142)

Juga Dari Hafshah Radhiallahu ‘Anha, bahwa Nabi ﷺ bersabda:

مَنْ لَمْ يُجْمِعِ الصِّيَامَ قَبْلَ الْفَجْرِ فَلاَ صِيَامَ لَهُ

Barang siapa yang belum berniat puasa sebelum fajar maka tidak ada puasa baginya. (HR. At Tirmidzi No. 730)

Hadits shahih, seperti yang dikatakan oleh Syaikh Al Albani, Syaikh Al A’zhami, dan Syaikh Husein Salim Asad.

Imam Ibnu Khuzaimah berkata:

أراد بقوله : لا صيام لمن لم يجمع الصيام من الليل الواجب من الصيام دون التطوع منه

Maksud dari sabdanya: “Tidak ada puasa bagi yang belum berniat puasa pada malam hari” adalah puasa wajib, bukan puasa sunnah. (Shahih Ibni Khuzaimah, 3/213)

Hadits ini menunjukkan niat puasa mesti ada tiap malam, maksimal sebelum subuh.

Dalam Al Mausu’ah:

ذَهَبَ الْجُمْهُورُ إِلَى تَجْدِيدِ النِّيَّةِ فِي كُل يَوْمٍ مِنْ رَمَضَانَ …

Mayoritas ulama berpendapat bahwa niat itu harus diperbarui setiap hari puasa di Ramadhan ..

وَلأِنَّ كُل يَوْمٍ عِبَادَةٌ مُسْتَقِلَّةٌ ، لاَ يَرْتَبِطُ بَعْضُهُ بِبَعْضٍ ، وَلاَ يَفْسُدُ بِفَسَادِ بَعْضٍ ……

Karena masing-masing hari adalah ibadah yang tersendiri, satu sama lain tidak saling terkait, dan tidaklah gara-gara batal satu hari membuat batal yg lain

(Al Mausu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah, 28/26)

Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah mengatakan:

ولابد أن تكون قبل الفجر، من كل ليلة من ليالي شهر رمضا

“Harus berniat sebelum subuh setiap malamnya di antara malam-malam bulan Ramadhan.” (Syaikh Sayyid Sabiq, Fiqhus Sunnah, 1/437)

Kedua. Boleh sekali niat untuk satu bulan, sebagaimana pendapat Imam Malik, Zufar, dan salah satu riwayat dari Imam Ahmad bin Hambal.

Dalam Al Mausu’ah:

… وَذَهَبَ زُفَرُ وَمَالِكٌ – وَهُوَ رِوَايَةٌ عَنْ أَحْمَدَ – أَنَّهُ تَكْفِي نِيَّةٌ وَاحِدَةٌ عَنِ الشَّهْرِ كُلِّهِ فِي أَوَّلِهِ ، كَالصَّلاَةِ . وَكَذَلِكَ فِي كُل صَوْمٍ مُتَتَابِعٍ ، كَكَفَّارَةِ الصَّوْمِ وَالظِّهَارِ …..

Ada pun Zufar, Malik, dan salah satu riwayat dari Imam Ahmad, bahwa niat cukup sekali utk satu bulan yaitu di awal malam Ramadhan, sebagaimana shalat. Demikian pula puasa dua bulan berturut-turut baik karena kafarat atau zhihar .. (Ibid)

Maka, dalam rangka kehati-hatian lebih baik tetap niat setiap malam atau menjelang subuh, di masing-masing hari Ramadhan. Bisa juga diniatkan saat makan sahur, walau biasanya makan sahur sudah dianggap indikasi seseorang sudah berniat puasa, tapi bagus jika dia tegaskan lagi niat tersebut. Di hati sudah cukup dan sah. Ada pun niat yang dilafazkan, maka itu diperselisihkan ulama; sunnah menurut mayoritas ulama, sdgkan Malikiyah mengatakan makruh, dan ada sebagian menyebut bid’ah.

Demikian. Wallahu A’lam

✍️ Farid Nu’man Hasan

Wanita Haid Membaca Al Quran di HP

Bismillah wal Hamdulillah wash Shalatu was Salamu ‘ala Rasulillah wa ba’d:

Masalah ini sangat sering ditanyakan, nampaknya perlu kami jawab lagi lebih rinci.

Membaca Al Quran melalui aplikasi Al Quran di HP, tidaklah dihitung seperti membaca Al Quran di Mushaf. Sebab, HP bukanlah mushaf. Tampilan layar HP yang bergonta-ganti; kadang WA, youtube, marketplace, juga Al Quran, maka sangat jauh dari definisi mushaf.

Syaikh Muhammad Shalih Al Munajjid Hafizhahullah mengatakan:

هذه الجوالات التي وضع فيها القرآن كتابة أو تسجيلا ، لا تأخذ حكم المصحف ، فيجوز لمسها من غير طهارة ، ويجوز دخول الخلاء بها ، وذلك لأن كتابة القرآن في الجوال ليس ككتابته في المصاحف فهي ذبذبات تعرض ثم تزول وليست حروفا ثابتة

HP yang di dalamnya terdapat aplikasi Al Quran baik tulisan atau suara, tidaklah dihukumi sebagai mushaf. Maka, boleh menyentuhnya tanpa bersuci. Boleh pula masuk WC dengannya. Hal itu disebabkan tulisan Al Qur’an di HP tidaklah seperti tulisan di Mushaf. Keberadaannya hilang dan muncul, dia bukanlah huruf yang permanen. (Al Islam Su’aal wa Jawaab no. 106961)

Lalu, bagaimana wanita haid membaca Al Quran melalui HP?

Karena HP bukan mushaf, maka status wanita haid membaca Al Quran di HP sama seperti membaca Al Quran TANPA MENYENTUH MUSHAF, baik melihat saja atau hapalannya.

Persoalan wanita haid membaca Al Quran dengan MENYENTUH MUSHAF dan TANPA MENYENTUH mushaf pernah kami bahas di buku Fikih Perempuan Kontemporer (Gema Insani, 2018). Di situ kami paparkan tentang dalil-dalil pihak yang melarang dan membolehkan secara rinci memakan puluhan halaman. Di sini, kami akan ringkas dari pembahasan “Membaca TANPA menyentuh mushaf” saja, sebagai berikut:

Dalam hal ini, para ulama terbagi menjadi dua golongan.

1. Pihak Yang Mengharamkan

Ini adalah pendapat mayoritas ulama. Salah satu alasannya, dari Ibnu Umar Radhiallahu ‘Anhuma, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

لَا تَقْرَأِ الْحَائِضُ وَلَا الْجُنُبُ شَيْئًا مِنَ الْقُرْآنِ

“Janganlah wanita haid dan orang junub membaca sesuatu pun dari Al Quran.” (HR. At Tirmidzi No. 131, Al Baihaqi dalam Sunannya No. 1479)

Berkata Imam At Tirmidzi Rahimahullah dalam Sunannya:

وهو قول أكثر أهل العلم من أصحاب النبي صلى الله عليه وسلم والتابعين ومن بعدهم، مثل: سفيان الثوري، وابن المبارك، والشافعي، وأحمد، وإسحق، قالوا: لا تقرأ الحائض ولا الجنب شيئا من القرآن إلا طرف الآية والحرف ونحو ذلك، ورخصوا للجنب والحائض في التسبيح والتهليل.

“Ini adalah pendapat mayoritas ulama dari kalangan sahabat Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, tabi’in, dan orang setelah mereka seperti Sufyan At Tsauri, Ibnul Mubarak, Asy Syafi’i, Ahmad, dan Ishaq. Mereka mengatakan: Janganlan wanita haid dan orang junub membaca sedikit pun dari Al Quran kecuali melihat ujung ayat dan huruf dan semisalnya. Mereka memberikan keringanan bagi orang junub dan wanita haid dalam bertasbih dan tahlil.” (Sunan At Tirmidzi, No. 131)

Imam An Nawawi juga mengatakan dalam Al Majmu’:

مذهبنا أنه يحرم على الجنب والحائض قراءة القرآن قليلها وكثيرها حتى بعض آية؛ وبهذا قال أكثر العلماء كذا حكاه الخطابي وغيره عن الأكثرين، وحكاه أصحابنا عن عمر بن الخطاب وعلي وجابر رضي الله عنهم والحسن والزهري والنخعي وقتادة وأحمد وإسحاق.

“Madzhab kami adalah bahwa haram bagi orang junub dan haid membaca Al Quran sedikit dan banyak, walau sebagian ayat. Ini juga pendapat kebanyakan ulama, demikianlah diceritakan pleh Al Khathabi dan selainnya dari banyak manusia. Para sahabat kami juga menceritakan dari Umar bin Al Khathab, Ali, Jabir –semoga Allah meridhai mereka-, Al Hasan, Az Zuhri, An Nakha’i, Qatadah, Ahmad, dan Ishaq.” (Al Majmu’ Syarh Al Muadzdzab, 2/127)

Demikianlah pandangan kelompok yang melarang orang berhadats besar (seperti haid dan junub) membaca Al Quran. Tetapi mereka membolehkan jika baca di hati saja, atau membaca doa-doa dari Al Quran dengan tidak memaksudkannya sebagai Al Quran.

Mereka juga membolehkan berdzikir seperti tahmid, tahlil, takbir, dan tasbih, bahkan kebolehan dzikir ini adalah ijma’, sebagaimana disebutkan dalam At Tibyan-nya Imam An Nawawi.

2. Pihak Yang Membolehkan

Inilah pendapat Ibnu Abbas, Said bin al Musayyab (tabi’in paling utama menurut Imam Ahmad), Said bin Jubeir, Daud azh Zhahiri, Ibnul Mundzir dari kalangan Syafi’iyyah, sebagian Malikiyah, Asy Syaukani, sebagian ulama kontemporer seperti Al Albani, Al Qaradhawi, Bin Baaz, dll. Alasan mereka, tidak ada satu pun hadits yang shahih dan lugas yang menunjukkan larangan wanita haid membaca Al Quran.

Mereka menilai bahwa hadits dari Ibnu Umar Radhiallahu ‘Anhuma, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

لاتقرأ الحائض ولا الجنب شيئا من القرآن

“Janganlah wanita haid dan orang junub membaca sesuatu pun dari Al Quran.”

Hadits ini lemah, seperti yang di katakan oleh Imam Al Baihaqi sendiri: laisa hadza bil qawwi (hadits ini tidak kuat). (Lihat As Sunan Al Kubra No. 1479)

Sedangkan Imam At Tirmidzi mengatakan: “Kami tidak mengetahui kecuali dari jalur Ismail bin ‘Iyasy.” Beliau mengutip ucapan Imam Bukhari: “Sesungguhnya Ismail bin ‘Iyasy meriwayatkan hadits-hadits munkar dari penduduk Hijaz dan Iraq.” Lalu beliau berkomentar: “Seakan riwayatnya (Ismail bin’Iyasy) yang seorang diri dari mereka (penduduk Hijaz dan Iraq) adalah dhaif.” (Lihat Sunan At Tirmidzi –biasa juga disebut Jami’ At Tirmidzi, No. 131)

Imam Abu Hatim berkomentar tentang hadits di atas: hadza baathil! (hadits ini batil). (Imam Adz Dzahabi, Mizanul I’tidal, 1/242. Darul Ma’rifah, Beirut – Libanon)

Imam Ahmad bin Hambal juga mengatakan: hadza baathil! (Nailul Authar, 1/226)

Imam Yahya bin Ma’in berkata tentang Ismail bin ‘Ayasy: “Haditsnya yang berasal dari penduduk Syam adalah shahih, tetapi yang berasal dari penduduk Iraq dan Madinah (hijaz), maka rusak lagi buruk.” (Ibid, 1/243) tetapi dia juga mengatakan tentangnya: tsiqah. (Ibid, 1/242)

Imam Ibnu Khuzaimah mengatakan: “Tidak boleh berhujjah dengannya.” (Ibid)

Imam Asy Syaukani Rahimahullah juga mengingkari pendalilan dengan hadits ini:

وأما حديث ابن عمر ففيه مقال سنذكره عند ذكره لا ينتهض معه للاستدلا

“Ada pun hadits Ibnu Umar, maka di dalamnya terdapat perbincangan yang akan kami sebutkan ketika membahasnya, yang tidak dapat menguatkan untuk dijadikan dalil.” (Nailul Authar, 1/226) dalam pembahasannya itu beliau menyimpulkan kedhaifan hadits ini dan menurutnya tidak boleh mengharamkan kecuali dengan dalil yang shahih.

Imam An Nawawi Rahimahullah mengatakan:

وقال داود: يجوز للجنب والحائض قراءة كل القرآن، وروي هذا عن ابن عباس وابن المسيب، قال القاضي أبو الطيب وابن الصباغ وغيرهما: واختاره ابن المنذر، وقال مالك: يقرأ الجنب الآيات اليسيرة للتعوذ، وفي الحائض روايتان عنه إحداهما: تقرأ والثانية: لا تقرأ، وقال أبو حنيفة: يقرأ الجنب بعض آية ولا يقرأ آية وله رواية كمذهبنا.

“Berkata Daud: Dibolehkan bagi orang junub dan haid untuk membaca seluruh Al Quran. Hal ini diriwayatkan dari Ibnu Abbas dan Ibnul Musayyib. Berkata Al Qadhi Abu Thayyib, Ibnu Ash Shabagh, dan selain mereka: Inilah pendapat yang dipilih Ibnul Mundzir. Berkata Imam Malik: orang junub boleh membaca Al Quran ayat yang ringan untuk perlindungan. Sedangkan tentang wanita haid ada dua riwayat darinya, riwayat pertama menyebutkan boleh membacanya. riwayat kedua menyebutkan tidak boleh membacanya. Sedangkan Imam Abu Hanifah mengatakan: orang junub boleh membaca sebagian ayat, dan tidak boleh ayat yang utuh, dia memiliki riwayat pendapat yang sama dengan madzhab kami (Syafi’iyah).” (Al Majmu’ Syarh Al Muhadzdzab, 2/127)

Dalam salah satu kitab madzhab Malik, yakni Al Khulashah Al Fiqhiyah tertulis:

ولا يحرم عليها قراءة القرآن أيام الحيض والنفاس سواء كانت جنبا…

“Tidak haram bagi wanita membaca Al Quran pada hari-hari haid dan nifas, sama juga dengan orang junub ..” (Al Khulashah Al Fiqhiyah ‘Ala Madzhabis Saadah Al Malikiyah, Hal. 51. Maktabah Al Misykah)

Syaikh Sayyid Sabiq juga menambahkan informasi yang menguatkan pendapat kelompok ini:

وذهب البخاري والطبراني وداود وابن حزم إلى جواز القراءة للجنب.
قال البخاري: قال إبراهيم: لا بأس أن تقرأ الحائض الاية، ولم ير ابن عباس بالقراءة للجنب بأسا، وكان النبي صلى الله عليه وسلم يذكر الله على كل أحيانه.
قال الحافظ تعليقا على هذا، لم يصح عند المصنف (يعني البخاري) شئ من الاحاديث الواردة في ذلك: أي في منع الجنب والحائض من القراءة، وإن كان مجموع ما ورد في ذلك تقوم به الحجة عند غيره لكن أكثرها قابل للتأويل.

“Sementara itu, Bukhari, Thabarani, Daud, dan Ibnu Hazm berpendapat dibolehkannya membaca Al Quran bagi orang junub. Imam Bukhari mengatakan bahwa Ibrahim berkata: “Tidak apa-apa bagi orang haid membaca satu ayat, dan Ibnu Abbas memandang tidak mengapa bagi orang junub membaca Al Quran, dan Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam selalu berdzikir kepada Allah pada semua keadaannya.
Mengomentari hal ini, Al Hafizh mengatakan: Tidak ada yang sah dari penyusun kitab (yakni Al Bukhari) satu pun hadits yang memuat hal ini; yaitu tentang larangan orang junub dan haid membaca Al Quran. Jika pun semua dalil tentang itu ada dan dikumpulkan, yang dengan itu orang selainnya akan menggunakannya sebagai hujjah, namun ternyata kebanyakan dalil itu masih dapat ditakwil (maksudnya belum bisa dipastikan larangannya, pen).” (Fiqhus Sunnah, 1/68)

Ada pun Imam Ibnu Taimiyah, Beliau menyatakan adanya ulama yang membolehkan jika wanita haid tersebut ada keperluan, seperti untuk menjaga hapalan agar tidak hilang:

وأما قراءتها القرآن، فإن لم تخف النسيان فلا تقرؤه . وأما إذا خافت النسيان فإنها تقرؤه في أحد قولي العلماء

“Adapun membaca Al Quran, jika wanita itu tidak khawatir lupa dengan hapalannya, maka dia tidak boleh membacanya. Ada pun jika dia khawatir lupa, maka boleh dia membacanya menurut satu diantara dua pendapat ulama.” (Maju’ Fatawa, 21/636)

Seorang tokoh Hambali masa kini, Syaikh Utsaimin juga menyatakan:

“Dibolehkan bagi wanita haid untuk membaca Al Quran jika ada keperluan, misal jika dia seorang guru, dia membaca Al Quran untuk pengajaran, atau dia seorang pelajar dia membacanya untuk belajar, atau untuk mengajar anak-anaknya yang masih kecil atau besar, dia menyampaikan dan membacakan ayat di depan mereka. Yang penting adalah jika ada kebutuhan bagi wanita untuk membaca Al Quran, maka itu boleh dan tidak mengapa. Begitu pula jika dia khawatir lupa maka membacanya merupakan upaya untuk mengingatkan, maka itu tidak mengapa walau pun dia haid. Sebagian ulama mengatakan: sesungguhnya boleh bagi wanita haid membaca Al Quran secara mutlak walau tanpa kebutuhan. Ulama lain mengatakan: haram membaca Al Quran baginya walaupun ada kebutuhan. Ada pun pendapat yang ketiga: bahwa jika wanita ada keperluan membaca Al Quran untuk mengajarkannya atau mempelajariny atau takut lupa, maka itu tidak mengapa baginya.” (Majmu’ Fatawa wa Rasail Al ‘Utsaimin, No. 220. Cetakan terakhir. 1413H. Disusun oleh; Fahd bin Nashir bin Ibrahim As Sulaiman. Darul Wathan – Dar Ats Tsaraya)

Ada pula yang membedakan antara junub dan haid, seperti Syaikh Bin Baaz yang mengatakan wanita haid boleh membaca Al Quran (tanpa menyentuh), sedangkan orang junub tidak boleh. (Fatawa Islamiyah, 4/27. Disusun oleh Muhammad bin Abdul Aziz Al Musnid) Ini juga menjadi pendapat Imam Al Qadhi ‘Iyadh. (Ikmal Mu’lim Syarh Shahih Muslim, No. 373. Al Maktabah Al Misykah)

Jadi, tentang “Orang Berhadats Besar (Haid, Junub, Nifas) Membaca Al Quran” bisa kita simpulkan:

1. Haram secara mutlak, baik itu Haid, Nifas, dan Junub. Inilah pandangan mayoritas ulama , sejak zaman sahabat seperti Umar, Ali, Jabir, hingga tabi’in seperti Az Zuhri, Al Hasan, An Nakha’i , Qatadah, dan generasi berikutnya, seperti Sufyan Ats Tsauri, Ibnul Mubarak, Ahmad bin Hambal, Asy Syafi’i, dan Ishaq.

2. Haid dan Nifas adalah boleh, sedangkan junub tidak boleh. Ini pendapat Al Qadhi ‘Iyadh dan Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz.

3. Boleh jika ada kebutuhan seperti untuk mengajar, belajar, atau untuk menjaga hapalan. Ini pendapat Imam Ibnu Taimiyah dan Syaikh Ibnu Al ‘Utsaimin.

4. Boleh secara mutlak, baik untuk Haid, Nifas, dan Junub. Ini pendapat Ibnu Abbas, Said bin Al Musayyib, Said bin Jubeir, Bukhari, Thabarani, Daud, Ibnu Hazm, Ibnul Mundzir, Asy Syaukani, dan lainnya. Selesai

Demikian. Wallahu A’lam

Farid Nu’man Hasan

Berbicara Saat Dzikir

◼◽◼◽◼◽◼◽◼◽

✉️❔PERTANYAAN:

Assalamualaikum. Ust izin tanya. Apa kl kita sdg baca Almatsurat tdk boleh menjawab sambil bicara ketika ada yg bertanya? Apa dalilnya. (+62 812-1919-xxx)

✒️❕JAWABAN

◼◽◼◽◼◽◼◽◼◽

Wa’alaikumussalam wa Rahmatullah wa Barakallah

Bismillahirrahmanirrahim..

Dzikir di luar shalat, boleh bicara. Yang tidak boleh adalah saat shalat. Yang penting pembicaraannya hal yang baik dan sedikit saja.

Thawaf saja yang hukumnya seperti shalat boleh bicara.. namun demikian lebih utama ditinggalkan agar dzikirnya konsen.

Imam An Nawawi berkata:

يجوز الكلام في الطواف ولا يبطل به ولا يكره؛ لكن الأولى تركه؛ إلا أن يكون كلاماً في خير كأمر بمعروف أو نهي عن منكر أو تعليم جاهل أو جواب فتوى ونحو ذلك

Dibolehkan berbicara di saat thawaf, tidak batal dan tidak makruh, tapi lebih utama ditinggalkan, kecuali pembicaraan yang mengandung amar ma’ruf nahi munkar, atau mengajar org jahil, atau menjawab fatwa, dan sejenisnya.

(Al Majmu’ Syarh Al Muhadzdzab, jilid. 8, hal. 55)

Demikian. Wallahu A’lam

Farid Nu’man Hasan

scroll to top