Keteguhan Terhadap Kebenaran dan Keluasan Ilmu Sang Imam

Dia adalah Imam Abu Bakar as Sarkhasi al Hanafi (w. 490 H), penyusun kitab Al Mabsuth, kitab mu’tamad (pegangan) madzhab Hanafi

Dalam muqadimah kitab tersebut, diceritakan asal muasal tersusunnya kitab itu.

Suatu ketika, seorang gubernur sebuah daerah bernama “Uzajanda”, bertanya kepadanya jika dia (Gubernur) menikahi seorang jariyah (budak wanita muda belia) dan belum dimerdekakan. Apakah sah?

Imam as Sarkhasi menjawab:

فعله حرام لايجوز ونكاحه باطل

Itu perbuatan haram, tidak boleh, dan nikahnya batal.

Sang gubernur pun marah, dan memenjarakannya dengan cara memasukannya ke dalam sumur kering selama 10 tahun.

Murid-muridnya mendatanginya dan tetap bertanya kepadanya tentang fiqih dalam madzhab Hanafi.

Mereka minta dibuatkan penjelasan dalam bentuk kitab, akhirnya Imam as Sarkhasi mendiktekannya dengan hapalannya dari dalam sumur.

Sementara murid-muridnya mencatatnya, akhirnya terkumpul 30 Jilid kitab Al Mabsuth ini.

Demikianlah ulama yang berani berkata benar dihadapan penguasa, walau dengan resiko keamanan dirinya.

Demikianlah ulama yang begitu kuat hapalan dan luas ilmunya. Tanpa dibekali alat tulis dan referensi, 30 Jilid kitab ilmiah tersusun dari buah tangannya walau dia mendekam di dalam sumur.

Wallahu A’lam wa Lillahil ‘Izzah

✍ Farid Nu’man Hasan

Menyembelih kambing yang hamil, apakah dagingnya tetap boleh dimakan?

◼◽◼◽◼◽◼◽◼◽

✉️❔PERTANYAAN:

kami menyembelih kambing,untuk hidangan acara keluarga.setelah dibersihkan,ternyata kambingnya hamil.pihak pemelihara kambingx tidak tahu.apakah dagingx tetap boleh dimakan?? (Ahmad-Probolinggo)

✒️❕JAWABAN

◼◽◼◽◼◽◼◽◼◽

Bismillahirrahmanirrahim..

Sama sekali tidak masalah hal tersebut. Jika seekor kambing disembelih ternyata dia hamil dan memiliki janin yang sudah mati, maka -dalam mazhab Syafi’i, Ahmad, dan mayoritas sahabat nabi- sembelihan terhadap induknya sudah mencakup kepada janinnya. Sehingga tidak perlu lagi menyembelih janinnya. Baik induk dan janinnya sama-sama halal. Ada pun dalam mazhab Hanafi, janin tersebut mesti disembelih dulu. (Imam Az Zarkasyi, Tasynif al Masami’ bi Jam’il Jawami’, 2/824)

Pendapat mazhab Syafi’i lebih pas berdasarkan hadits berikut, dari Abu Sa’id bahwa Rasulullah ﷺ bersabda:

ذَكَاةُ الْجَنِينِ ذَكَاةُ أُمِّهِ

Sembelihan janin mengikuti sembelihan induknya (HR. At Tirmidzi no. 1476. At Tirmidzi berkata: hasan shahih)

Hadits ini dijadikan dalil oleh para sahabat nabi, juga ulama setelah zaman mereka seperti Sufyan Ats Tsauri, Ibnul Mubarak, Asy Syafi’i, Ahmad, Ishaq, Abu Al Wadak, dan lainnya, bahwa sembelihan terhadap induk sudah cukup.

Al Qadhi Ar Ruba’i berkata:

والمراد أن الجنين لا يحتاج إلى ذكاة وأن ذكاة أمه كافية

Maksud hadits ini adalah bahwa janin tidak perlu disembelih dan sembelihan induknya sudah mencukupi. (Al Qadhi Ar Ruba’i, Fathul Ghafar, 4/1932)

Ada pun jika janin keluar dalam keadaan hidup maka hendaknya disembelih dulu, karena statusnya seperti sama dengan hewan ternak lainnya yang mesti disembelih jika ingin dimakan.

Imam Ali Al Qari berkata:

وفي شرح السنة فيه دليل على أن من ذبح حيوانا فخرج من بطنها جنين ميت يكون حلالا ، وهو قول أكثر أهل العلم من أصحاب النبي صلى الله عليه وسلم فمن بعدهم ، وإليه ذهب الشافعي ، وشرط بعضهم الإشعار ، فأما إذا خرج الجنين حيا فيذبح

Dalam kitab Syarhus Sunnah disebutkan bahwa hadits ini merupakan dalil jika hewan yang disembelih lalu dari perutnya keluar janin yang sudah mati maka janin itu halal. Ini adalah pendapat mayoritas ulama di kalangan sahabat nabi dan setelah mereka, ini juga pendapat mazhab Syafi’i, sebagian mereka memberikan syarat adanya info (tentang janin itu). Ada pun jika keluarnya janin dalam keadaan hidup maka hendaknya disembelih. (Mirqah Al Mafatih, 6/2656-2657)

Demikian. Wallahu A’lam

Wa Shalallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘Ala Aalihi wa Shahbihi wa Sallam

✍ Farid Nu’man Hasan

Momen-Momen Utama Untuk Berdoa Di Waktu Shalat

Pada prinsipnya shalat sendiri adalah kumpulan dzikir dan doa, karena arti shalat secara bahasa adalah doa. Namun ada momen-momen khusus dianjurkan berdoa di luar doa dan dzikir yang biasa dibaca saat shalat.

Momen-momen tsb adalah:

1 Saat sujud

Dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah ﷺ bersabda:

أَقْرَبُ مَا يَكُونُ الْعَبْدُ مِنْ رَبِّهِ وَهُوَ سَاجِدٌ فَأَكْثِرُوا الدُّعَاءَ

“Posisi paling dekat antara hamba dengan Rabbnya adalah ketika sujud, maka perbanyaklah kalian berdoa.” (HR. Muslim no. 482)

Tidak ada ketentuan khusus mesti di sujud terakhir, sebagaimana kebiasaan sebagian manusia. Bebas saja di sujud yang mana pun, semua termasuk keumuman hadits ini.

2 Sebelum salam setelah usai membaca shalawat di tasyahud akhir

Dalam sebuah hadits yang cukup panjang, Rasulullah ﷺ mengajarkan bahwa jika telah selesai membaca shalawat di duduk tasyahud akhir hendaknya:

ثُمَّ يَتَخَيَّرُ مِنَ الدُّعَاءِ أعْجَبَهُ إلَيْهِ، فَيَدْعُو.

Lalu dia pilih doa dengan doa apa pun yang disukainya, maka berdoalah (HR. Bukhari no. 835)

Doa yang bagaimana? Sebagian ulama mengatakan doa yang berasal dari sunnah adalah lebih utama tapi boleh saja selain itu, kecuali menurut Imam Abu Hanifah dan Imam Ahmad yg kewajibkan doa dari sunnah.

Syaikh Abul Hasan al Mubarkafuri menyebutkan bahwa Imam Malik dan Imam asy Syafi’i mengatakan:

يجوز أن يدعوا بكل شيء من أمور الدين والدنيا مما يشبه كلام الناس ما لم يكن إثماً، ولا يبطل صلاته بشيء من ذلك

Bolehnya berdoa dengan doa apa pun baik urusan agama dan dunia yang perkataannya menyerupai perkataan manusia, selama tidak mengandung dosa. Hal itu sama sekali tidak membatalkan shalatnya.

Beliau juga menyebut bahwa Imam Abu Hanifah dan Imam Ahmad menyatakan tidak boleh berdoa kecuali dengan doa yang ma’tsur, atau yang berasal dari Al Quran, atau semisal itu.

Lalu Syaikh Abul Hasan al Mubarkafuri mengomentari:

قلت: لا دليل على هذا التقييد لا من كتاب الله، ولا من سنة رسوله، ولا من قول صحابي فلا يلتفت إليه

Aku berkata: “Tidak ada dalilnya pengkhususan doa tersebut (hanya doa ma’tsur), baik dalil dari Al Quran, As Sunnah, dan perkataan para sahabat nabi, maka jangan hiraukan hal tersebut.” (Mir’ah Al Mafatih, 3/312)

3 Berdoa setelah membaca Al Fatihah

Tidak ada dalil khusus tentang hal ini, baik Al Quran dan As Sunnah. Namun kebiasaan orang-orang shalih dahulu mereka melakukannya. Imam Al Hathab Rahimahullah mengatakan:

قال في الطراز: ويدعو بعد الفراغ من الفاتحة إن أحب قبل السورة، وقد دعا الصالحون

Dalam Ath Thiraz: “Hendaknya berdoa setelah usai baca Al Fatihah jika dia suka sebelum membaca surat, doa itu dilakukan orang-orang shalih.” (Al Mawahib al Jalil, 1/544)

Syaikh Abdullah Al Faqih berkata:

فما أقدمت عليه من الدعاء والذكر بعد الفاتحة لا يبطل الصلاة , بل إن بعض أهل العلم قالوا بمشروعية الدعاء بعد الفاتحة

Doa dan dzikir yang dilakukan setelah Al-Fatihah tidaklah membatalkan shalat, bahkan sebagian ulama mengatakan disyariatkannya berdoa setelah membaca Al-Fatihah. (Al Fatawa Asy Syabakah Al Islamiyah no. 252826)

4 Berdoa setelah shalat

Hal ini berdasarkan hadits, dari Abu Umamah Radhiallahu ‘Anhu, beliau berkata:

أيُّ الدُّعاء أسمعُ؟ قال صلّى الله عليه وسلّم: «جوف الليل، وأدبار الصلوات المكتوبة»

“Doa manakah yang paling didengar? Rasulullah ﷺ menjawab: “Doa pada sepertiga malam terakhir, dan setelah shalat wajib.” (HR. At Tirmidzi, No. 3499. Hadits ini hasan, lihat Shahih wa Dhaif Sunan At Tirmidzi, No. 3499)

Berdoa setelah shalat wajib adalah sunnah menurut mayoritas ulama, dan itu lebih baik dibanding berdoa setelah shalat sunnah.

Dalam Al Mausu’ah Al Fiqhiyyah Al Kuwaitiyah disebutkan:

ذَهَبَ جُمْهُورُ الْفُقَهَاءِ إِلَى أَنَّ مَا بَعْدَ الصَّلاَةِ الْمَفْرُوضَةِ مَوْطِنٌ مِنْ مَوَاطِنِ إِجَابَةِ الدُّعَاءِ

“Pendapat MAYORITAS fuqaha adalah bahwa waktu setelah shalat fardhu merupakan waktu di antara waktu-waktu dikabulkannya doa.” (Al Mausu’ah Al Fiqhiyyah Al Kuwaitiyah, 39/227).

Imam Ja’far Ash Shadiq Radhiallahu ‘Anhu -salah satu guru Imam Abu Hanifah- berkata:

الدعاء بعد المكتوبة أفضل من الدعاء بعد النافلة كفضل المكتوبة على النافلة

“Berdoa setelah shalat wajib lebih utama dibanding berdoa setelah shalat nafilah, sebagaimana kelebihan shalat wajib atas shalat nafilah.” (Fathul Bari, 11/134. Lihat juga Imam Ibnu Baththal, Syarh Shahih Bukhari, 10/94)

Sebagian ulama seperti Imam Ibnu Taimiyah, Imam Ibnul Qayyim, juga ulama abad 20 Syaikh ‘Utsaimin, mengatakan tidak ada doa setelah shalat wajib, yang ada hanya dzikir.

Pendapat ini telah koreksi para ulama seperti Al Hafizh Ibnu Hajar dalam Fathul Bari, Imam Al Qasthalani dalam Mawahib Al Laduniyah, Syaikh Abdurrahman Al Mubarakfuri dalam Tuhfah Al Ahwadzi. Imam Al Kasymiri dalam Faidhul Bari.

Demikian. Wallahu A’lam

Wa Shalallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘Ala Aalihi wa Shahbihi wa Sallam

✍ Farid Nu’man Hasan

Kura-Kura, Penyu, Bulus Apakah Halal Dimakan?

◼◽◼◽◼◽◼◽◼◽

✉️❔PERTANYAAN:

Assalamu’alaikum wr wb. Izin bertanya ustadz, Hewan Kura-kura, Penyu, Bulus apakah halal untuk dimakan? (Muhammad Anshori-Tuban)

✒️❕JAWABAN

◼◽◼◽◼◽◼◽◼◽

Wa’alaikumussalam wa Rahmatullah wa Barakatuh

Bismillahirrahmanirrahim..

Dalam hal ini ada dua macam:

1. Kura-kura laut atau air, misalnya penyu

Mayoritas ulama mengatakan halalnya penyu (kura-kura laut/air), kecuali mazhab Hanafi yg mengatakan haram.

Sesuai firman Allah Ta’ala:

أُحِلَّ لَكُمْ صَيْدُ الْبَحْرِ

Dihalalkan bagi kalian hasil buruan laut. (QS. Al Maidah: 96)

Imam Ibnu Katsir Rahimahullah mengatakan:

وقد استدل الجمهور على حل ميتة بهذه الآية الكريمة

Mayoritas ulama berdalil dengan ayat yang mulia ini tentang halalnya bangkai (hewan laut). (Tafsir Ibnu Katsir, 1/198)

Diperkuat lagi oleh hadits berikut, dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu bercerita:

سَأَلَ رَجُلٌ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّا نَرْكَبُ الْبَحْرَ وَنَحْمِلُ مَعَنَا الْقَلِيلَ مِنْ الْمَاءِ فَإِنْ تَوَضَّأْنَا بِهِ عَطِشْنَا أَفَنَتَوَضَّأُ مِنْ مَاءِ الْبَحْرِ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ هُوَ الطَّهُورُ مَاؤُهُ الْحِلُّ مَيْتَتُهُ

Seorang laki-laki bertanya kepada Rasulullah ﷺ :

Wahai Rasulullah, kami sedang berlayar di lautan, kami membawa sedikit air. Jika kami pakai air itu buat wudhu, maka kami akan kehausan, apakah boleh kami wudhu pakai air laut?

lalu Beliau bersabda: “Laut itu suci airnya, halal bangkainya.” (HR. At Tirmidzi no. 69, Abu Daud no. 83, Dishahihkan oleh Ibnu Hibban, Ibnul Mulaqin, dll)

Imam al Bukhari Rahimahullah mengatakan:

ولم ير الحسن بالسلحفاة بأساً

Al Hasan memandang tidak masalah dengan (makan) penyu. (Shahih Bukhari, Kitab adz Dzabaih wal shaid)

Sebagai jalan hati-hati sebaiknya disembelih dulu:

والأحوط أن تذبح خروجا من الخلاف

Lebih hati-hati adalah menyembelihnya dalam rangka keluar dari perselisihan pendapat. (Fatawa Asy Syabakah Al Islamiyyah no. 8959)

Hanya Hanafiyah yang mengatakan hewan laut itu bangkai ikan saja yang halal. Semua hewan laut selain ikan adalah haram. (Imam Al Kasani, Bada’i Shana’i, 5/35-36)

2. Kura-kura darat

Dibolehkan dengan syarat disembelih dulu sebagaimana hewan darat lainnya. Jika tidak disembelih maka haram.

Syaikh Abdullah al Faqih mengatakan:

وأما السلحفاة البرية، فلا يجوز أكلها، إلا بعد ذبحها.
قال ابن قدامة: كل ما يعيش في البر من دواب لا يحل بغير ذكاة، كطير الماء، والسلحفاة… وقال أحمد: كلب الماء يذبحه، ولا أرى بأسا بالسلحفاة إذا ذبح والرق يذبحه.

Ada pun kura-kura darat maka tidak boleh memakannya kecuali setelah disembelih terlebih dahulu. Imam Ibnu Qudamah mengatakan: “Semua hewan yang hidup di darat tidaklah halal memakannya tanpa disembelih seperti burung air (penguin), kura-kura .. Imam Ahmad berkata: “Anjing laut hendaknya disembelih. Bagiku tidak ada masalah dengan kura-kura jika disembelih.” (Fatawa Asy Syabakah Al Islamiyah no. 8959)

Demikian. Wallahu A’lam

✍ Farid Nu’man Hasan

scroll to top