20 Malaikat Penjaga

✉️❔PERTANYAAN

Assalamualaikum.. Afwan ustad izin bertanya, mengenai tafsir Qs Ar Rad ayat 10 tentang malaikat yang menjaga atau berada di sisi malaikat, diantara nya ada 20 malaikat yang menjaga maksudnya bagaimana ya?…

✒️❕JAWABAN

Wa’alaikumussalam wa Rahmatullah wa Barakatuh

Mungkin maksudnya Ar Ra’d ayat 11, bunyinya:

{ لَهُۥ مُعَقِّبَٰتٞ مِّنۢ بَيۡنِ يَدَيۡهِ وَمِنۡ خَلۡفِهِۦ يَحۡفَظُونَهُۥ مِنۡ أَمۡرِ ٱللَّهِۗ إِنَّ ٱللَّهَ لَا يُغَيِّرُ مَا بِقَوۡمٍ حَتَّىٰ يُغَيِّرُواْ مَا بِأَنفُسِهِمۡۗ وَإِذَآ أَرَادَ ٱللَّهُ بِقَوۡمٖ سُوٓءٗا فَلَا مَرَدَّ لَهُۥۚ وَمَا لَهُم مِّن دُونِهِۦ مِن وَالٍ }

Baginya (manusia) ada malaikat-malaikat yang selalu menjaganya bergiliran, dari depan dan belakangnya. Mereka menjaganya atas perintah Allah. Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sebelum mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. Dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap suatu kaum, maka tak ada yang dapat menolaknya dan tidak ada pelindung bagi mereka selain Dia.

[Surat Ar-Ra’d: 11]

Di sini tidak ada penyebutan 20 Malaikat, lalu dari mana sumber adanya 20 malaikat yang menjaga manusia? Yaitu dari hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Jarir Ath Thabari bahwa Utsman bin Affan bertanya tentang jumlah malaikat yang mengawasi seorang manusia.

Rasulullah ﷺ menjawab:

– satu Malaikat sebelah kanan mencatat kebaikan
– satu Malaikat sebelah kiri mencatat keburukan
– dua malaikat di depan dan di belakang
– dua malaikat di bibir, senantiasa menjaga agar bershalawat
– satu malaikat di ubun-ubun, mengangkat derajat jika tawadhu, jika sombong akan menghukum
– satu malaikat di mulut menjaga agar tdk kemasukan ular
– dua malaikat di mata

Kata Rasulullah ﷺ di ujung hadits:

فهؤلاء عشرة أملاك على كل آدمي ينزلون ملائكة الليل على ملائكة النهار; لأن ملائكة الليل سوى ملائكة النهار ، فهؤلاء عشرون ملكا على كل آدمي وإبليس بالنهار وولده بالليل

“Itulah sepuluh malaikat yang mengawasi setiap manusia, malaikat malam turun menggantikan malaikat siang. Karena malaikat malam berbeda dengan malaikat siang, maka itulah dua puluh malaikat yang mengawasi setiap manusia, sedangkan Iblis menggoda di siang hari dan anak-anaknya di malam hari.” (Tafsir Ibnu Katsir)

Namun hadits ini sama sekali tidak shahih, hasan pun tidak.

Syaikh Mahmud bin Muhammad al Milaah memasukan hadits ini dalam kitabnya berjudul:

الْأَحَادِيث الضعيفة والموضوعة الَّتِي حكم عَلَيْهَا الْحَافِظ ابْن كثير فِي تَفْسِيره

Hadits-hadits yang telah dinilai DHAIF dan PALSU oleh Al Hafizh Ibnu Katsir dalam Tafsirnya

Khususnya halaman di 221.

Demikian. Wallahu A’lam

✍️ Farid Nu’man Hasan

Adakah Jin Menyerupai Manusia?

✉️❔PERTANYAAN

Assalamu’alaikum Ustad. Ada titipan pertanyaan Menurut kk di dunia ini ada ga sih Jin yg menyerupai Manusia? Hehe..Cuma skedar nanya aja sih kak karna penasaran ihihi

✒️❕JAWABAN

Wa’alaikumussalam wa Rahmatullah wa Barakatuh

Jin dalam wujud aslinya tidak akan tampil dalam kehidupan manusia, karena bukan alamnya. Siapa yang mengaku melihat jin dalam wujud aslinya maka dia berbohong dan tertolak kesaksiannya.

Syaikh Muhammad Rasyid Ridha Rahimahullah mengutip perkataan Imam Asy Syafi’i Rahimahullah:

من زعم أنه يرى الجن أبطلنا شهادته، إلا أن يكون نبياً

Siapa yang mengklaim bahwa dirinya dapat melihat Jin, maka kami tolak syahadah-nya, kecuali bagi seorang nabi.

(Tafsir Al Manar, 7/526)

Tapi, JIN JAHAT (dia disebut dengan syetan) dia dapat tampil dalam kehidupan manusia dalam wujud BUKAN ASLINYA, seperti hewan dan manusia, baik manusia yang masih hidup dan sudah wafat.

Berikut ini berbagai dalilnya:

– Imam Ibnu Jarir, meriwayatkan dari Ibnu Abbas, As Sudi, Urwah bin az Zubeir, Ibnu Ishaq, bahwa saat menjelang perang Badr, syetan datang dalam wujud manusia yaitu Suraqah bin Malik bin Ju’syum, tokoh Bani Madlaj. (Tafsir Ath Thabari, 5/3869-3870)

– Dalam Shahih Bukhari (no. 2187), Abu Hurairah menangkap laki-laki pencuri zakat, sampai tiga kali. Setiap ditangkap selalu dibebaskan. Sampai yang ketiga kali laki-laki itu mengajarkan Abu Hurairah bacaan pengusir syetan, yaitu ayat Kursi. Lalu, Rasulullah ﷺ mengatakan orang itu adalah syetan.

– Anjing hitam itu syetan. (HR. Muslim no. 510), dalam hadits kain al aswad al bahim (hitam legam) dan memiliki dua titik di atas matanya. (HR. Muslim no. 1572)

– Jin dalam wujud ular. (HR. Muslim no. 2233, 2236)

– dan lainnya.

Wallahu A’lam

✍️ Farid Nu’man Hasan

Hukum Nama Toko Menggunakan Asmaul Husna

✉️❔PERTANYAAN

Assalamualaikum ustadz. Mau tanya apa boleh nama toko pakai nama Asmaul Husna. Misakkan toko kue al- Mughni

✒️❕JAWABAN

Wa’alaikum wa Rahmatullah wa Barakatuh

Hal itu diperselisihkan ulama. Sebagian ulama melarang karena tidak boleh nama Allah Ta’ala dipakai oleh makhluk. Semua hal selain Allah Ta’ala adalah makhluk, sehingga manusia, hewan, benda-benda termasuk toko adalah makhluk.

Sebagian lain membolehkan, Imam Ibnu Qudamah menyusun kitab kompilasi fiqih mazhab Hambali dengan AL MUGHNI.

Syaikh Syauqi ‘Alam -mufti Mesir saat ini- mengatakan:

تسمية المحلات التجارية ببعض الأسماء التي تُطلق على الله تعالى وعلى غيره، نحو: العزيز أو الحكيم، أمر جائز شرعًا، لكن بشرط تجنب الوقوع فيما يفضي إلى امتهان تلك الأسماء ما أمك..

Menamakan toko dan warung dengan nama-nama Allah seperti Al Aziz, Al Hakim, dll, adalah perkara yang dibolehkan oleh syariat dengan syarat menjauhkan sebisa mungkin hal-hal yang dapat merusak kemuliaan asma tersebut.

Contoh, busana penjaga tokonya kesti sesuai syariat, barang yang dijual dan sistemnya harus halal, tidak mengandung unsur judi, penipuan, dan kerusakan lainnya..

Wallahu A’lam

✍️ Farid Nu’man Hasan

Bagaimana Memandikan Mayit yang Sudah Membusuk Jika Disentuh atau Terkena Air Terkoyak Kulitnya?

✉️❔PERTANYAAN

Sebelumnya perkenalkan, nama saya SB, bekerja sebagai petugas kamar jenazah di RSUD Cibabat Kota Cimahi Jawa Barat
Ijin bertanya Kyai dengan kasus khusus di kamar jenazah yang membusuk sulit di tayamumkan karena kulitnya pun terlepas saat disentuh atau disiram dengan air akan terlepas juga kulitnya. Sementara ini belum ada penjelasan yang mencerahkan karena kondisi darurat untuk sementara kami terpaksa tidak mentayamumkannya dengan mengambil dalil Lihurmatil Mayyit agar bisa disholatkan kyai.

kami kebingungan untuk mentayamumi tidak bisa dimandikan mengingat jika disentuh atau dibasuh air saja kulitnya sudah lepas.sementara karena terdesak itu yang ada di benak kami tanpa bisa ditayamumi lsg dikafani dan disholatkan karena harus segera dikuburkan mengingat kondisinya sudah sangat membusuk (SB-Cimahi)

✒️❕JAWABAN

Bismillahirrahmanirrahim..

Memandikan mayat adalah wajib menurut mayoritas ulama, kecuali sebagian Malikiyah yang mengatakan sunnah.

Dalam al Mausu’ah tertulis:

ذَهَبَ الْحَنَفِيَّةُ وَبَعْضُ الْمَالِكِيَّةِ وَالشَّافِعِيَّةِ وَالْحَنَابِلَةِ إِلَى أَنَّ الْمَوْتَ مِنْ مُوجِبَاتِ الْغُسْل، لِقَوْل النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حِينَ تُوُفِّيَتْ إِحْدَى بَنَاتِهِ: اغْسِلْنَهَا ثَلاَثًا أَوْ خَمْسًا أَوْ أَكْثَرَ مِنْ ذَلِكَ. وَذَهَبَ بَعْضُ الْمَالِكِيَّةِ إِلَى سُنِّيَّةِ غُسْل الْمَيِّتِ، قَال الدُّسُوقِيُّ: وُجُوبُ غُسْل الْمَيِّتِ هُوَ قَوْل عَبْدِ الْوَهَّابِ وَابْنِ مُحْرِزٍ وَابْنِ عَبْدِ الْبَرِّ، وَشَهَرَهُ ابْنُ رَاشِدٍ وَابْنُ فَرْحُونَ، وَأَمَّا سُنِّيَّتُهُ فَحَكَاهَا ابْنُ أَبِي زَيْدٍ وَابْنُ يُونُسَ وَابْنُ الْجَلاَّبِ وَشَهَرَهُ ابْنُ بَزِيزَة

Kalangan Hanafiyah, sebagian Malikiyah, Syafi’iyyah, dan Hanabilah berpendapat bawa mayat itu termasuk yang wajib di mandikan. Berdasarkan hadits Rasulullah ﷺ. di saat wafatnya salah satu putrinya, “Mandikanlah tiga kali, atau lima kali, atau lebih dari itu.”

Sebagian Malikiyah mengatakan memandikan mayat itu sunnah. Berkata Ad Dasuqi: “Mayat itu wajib dimandikan,” itulah perkataan Abdul Wahhab, Ibnu Muhriz, Ibnu Abdil bar, ditenarkan oleh Ibnu Rusyd dan Ibnu Farhun.

Ada pun yang mengatakan sunnah, diceritakan dari Ibnu Abi Zaid, Ibnu Yunus, dan Ibnu al Jallab, dan ditenarkan oleh Ibnu Bazizah. (Lihat Al Mausu’ah Al Fiqhiyyah Al Kuwaitiyah, jilid. 31, hal. 205)

Imam Ibnu Rusyd menjelaskan:

فإنه قيل فيه إنه فرض على الكفاية. وقيل سنة على الكفاية. والقولان كلاهما في المذهب. والسبب في ذلك: أنه نقل بالعمل لا بالقول، والعمل ليس له صيغة تفهم الوجوب

Dikatakan bahwa memandikan mayat itu fardhu kifayah. Dikatakan pula sunnah kifayah. Dua pendapat ini ada dalam pendapat madzhab (Maliki). Hal ini disebabkan tentang memandikan mayat itu diriwayatkan melalui perkataan dan perbuatan (Rasulullah), dan dr perbuatan itu tidak ada bentuk kata yang bisa dipahami bahwa itu kewajiban. (Bidayatul Mujtahid, jilid. 1, hal. 226)

Ada pun mengkafankan mayat, semua fuqaha sepakat adalah fardhu kifayah. Berdasarkan hadits Rasulullah ﷺ dan ijma’. Haditsnya sbb:

الْبَسُوا مِنْ ثِيَابِكُمِ الْبَيَاضَ، فَإِنَّهَا مِنْ خَيْرِ ثِيَابِكُمْ، وَكَفِّنُوا فِيهَا مَوْتَاكُمْ، وَإِنَّ مِنْ خَيْرِ أَكْحَالِكُمُ الْإِثْمِدَ يَجْلُو الْبَصَرَ وَيُنْبِتُ الشَّعَرَ

Pakailah pakaian berwarna putih sebab itu sebaik-baik pakaian kalian, serta kafanilah orang-orang mati kalian dengannya, dan sebaik-baik celak kalian adalah itsmid karena dia dapat mencerahkan pandangan dan menumbuhkan rambut. (HR. Ajmad no. 2219. Syaikh Syuaib al Arnauth: shahih. Ta’liq Musnad Ahmad, jilid. 4, hal. 94)

Begitu pula menguburkannya adalah fardhu kifayah berdasarkan ijma’:

دَفْنُ الْمُسْلِمِ فَرْضُ كِفَايَةٍ إِجْمَاعًا إِنْ أَمْكَنَ. وَالدَّلِيل عَلَى وُجُوبِهِ: تَوَارُثُ النَّاسِ مِنْ لَدُنْ آدَمَ عَلَيْهِ السَّلَامُ إِلَى يَوْمِنَا هَذَا مَعَ النَّكِيرِ عَلَى تَارِكِهِ

Menguburkan seorang muslim adalah fardhu kifayah berdasarkan ijma’, jika dimungkinkan. Dalil kewajibannya adalah manusia telah mewariskan hal tersebut sejak masa Adam ‘Alaihissalam sampai masa kita saat ini dan manusia mengingkari orang yang tidak melakukannya.

(Al Mausu’ah, jilid. 13, hal. 237)

Lalu, Bagaimana dengan mayit yang sudah membusuk, rusak kulitnya, menggembung, yang jika dimandikan akan mengoyak tubuhnya, atau mengeluarkan bakteri penyakit yang berbahaya bagi orang hidup sehingga tidak mungkin lagi dimandikan?

Jika demikian keadaannya, maka cukup baginya disiramkan air tanpa diusap tangan, Syaikh Abdullah al Faqih Hafizhahullah mengatakan:

وإذا كان جسده قد تغير بسبب طول المكث في الماء أو بغيره فيكتفى بصب الماء عليه دون إمرار اليد عليه كما يفعل بمن غمرت القروح جسده، ثم يكفن

Jika jasadnya sudah mengalami perubahan karena terlalu lama terbenam di air atau sebab lainnya, maka cukup baginya menyiramkan dengan air tanpa mengusap-usapnya dengan tangan, sebagaimana memperlakukan mayat yang sekujur tubuhnya diliputi luka, kemudian dikafankan. (Fatawa Asy Syabakah Al Islamiyah no. 135774)

Jika disiram masih tidak mungkin juga, maka bisa ditayammumkan saja. Imam Ibnu Hajar al Haitami Rahimahullah mengatakan:

(وَمَنْ تَعَذَّرَ غَسْلُهُ) لِفَقْدِ مَاءٍ أَوْ لِنَحْوِ حَرْقٍ أَوْ لَدْغٍ وَلَوْ غُسِّلَ تَهَرَّى أَوْ خِيفَ عَلَى الْغَاسِلِ وَلَمْ يُمْكِنْهُ التَّحَفُّظُ (يُمِّمَ)

(Bagi mayat yang ada udzur untuk dimandikan) karena ketiadaan air atau semisal terbakar, atau tersengat racun, yang seandainya dimandikan akan terkoyak, atau dikhawatirkan yang memandikan tidak bisa menjaganya maka hendaknya ditayammumkan. (Tuhfatul Muhtai, jilid. 3, hal. 184)

Jika ditayammumkan pun masih tidak bisa juga, maka tidak mengapa saat itu mengambil pendapat yang mengatakan memandikan tidaklah wajib, hanya sunnah, yaitu dengan taklid kepada sebagian Malikiyah, karena adanya hajat dan kedaruratan untuk itu. Walau ini dianggap pendapat marjuh (lemah) tapi karena ada uzur syar’i yang kuat.

Sikap ini kita ambil berdasarkan penjelasan Syaikh Abdullah Alu Khunain dalam Fatwa fi asy Syari’ah al Islamiyah tentang kapan boleh mengambil pendapat yang lemah:

القَوْلُ الأَوَّل: مَنْعُ الأَخْذِ وَالعَمَل بِالقَوْلِ المَرْجُوْح وَلَوْ كَانَ ثم حَاجَة أوْ ضَرُورَة .وبذلك قَالَ المَازِرِي والشَاطِبِي مِنْ المَالِكِيَة فِي أَحَدِ قَوْلَيْه.
القَوْل الثاَنِي: لِلْمُفْتِي الأَخْذ بِالقَوْلِ المَرْجُوْح فِي خَاصَةِ نَفْسِهِ وَلاَ يَجُوْزُ ذَلِك فِي الفُتيَا.
وَبِذَلِك قَالَ بَعْضُ المَالِكيَة وَبَعْضُ الشَافِعِية.
القَوْل الثَالِث:جَوَازُ الأَخْذُ وَالعَمَلُ فِي الفُتْيَا بِالقَوْل المَرْجُوْح عِنْدَ الاِقتِضَاء مِنْ ضَرُوْرَة أَوْ حَاجَة بِشُرُوْط.
وَبِذَلكَ قَالَ جُمْهُوْرُ الفقَهَاء مِنْ الحَنفيَة وأَكثَرُ المَالِكيَة، وَهوَ أَحَدُ قَوْلَي الشَاطِبِي، وَبَعْضُ الشَافعيَة وَهوَ مَذهَبُ الحَناَبلَة.

Pertama. Tidak boleh mengambil dan mengamalkan pendapat marjuh walau ada hajat dan darurat. Ini pendapat Imam al Maziri dan Imam asy Syathibi dari kalangan Malikiyah dalam salah satu di antara dua pendapatnya.

Kedua. Boleh saja bagi mufti mengambil dan mengamalkan pendapat yang marjuh untuk diri sendiri bukan difatwakan ke orang lain. Ini pendapat sebagian Malikiyah dan Syafi’iyah.

Ketiga. Boleh memfatwakan mengambil dan mengamalkan pendapat marjuh jika memang darurat atau adanya hajat yang memenuhi syarat. Ini pendapat umumnya ulama baik Hanafiyah, mayoritas Maikiyah, salah satu pendapat Asy Syathibi, sebagian Syafi’iyah, dan ini pendapat Hambaliyah. (Lihat: https://www.ahlalhdeeth.com/vb/showthread.php?t=154876)

Syaikh Abdullah Alu Khunain lebih menguatkan pendapat yang terakhir bahwa pendapat yang lemah boleh diambil dan diamalkan jika memang benar-benar mendatangkan maslahat dan adanya hajat.

Demikian. Wallahu A’lam

✍️ Farid Nu’man Hasan

scroll to top