Hukum Membaca Al-Qur’an dengan Suara Keras

Hukum membaca Al-Qur’an dengan suara keras menjadi pertanyaan karena ada hadits yang melarang meninggikan suara. Bagaimana penjelasannya? Simak tanya jawab di bawah:


✉️❔PERTANYAAN

Assalamu’alaikum Ustadz izin bertanya terkait membaca al Qur’an dikeraskan bagaimana ya? Karena ada hadits: “Ketahuilah, sesungguhnya kalian sedang berdialog dengan Rabb kalian. Oleh karena itu, janganlah sebagian kalian mengganggu sebagian yang lain, dan jangan pula sebagian yang satu mengeraskan terhadap sebagian yang lain di dalam membaca Al-Qur’an” atau beliau mengatakan, “atau dalam shalatnya.”” (HR Abu Dawud)


✒️❕JAWABAN

Wa’alaikumussalam Wa Rahmatullah..

Membaca Al Quran, berdzikir, dan bershalawat, adalah aktivitas yang pada dasarnya sunnah, dan sangat dianjurkan. Hanya saja tentu ada adab atau tatakrama yang mesti diperhatikan oleh pelakunya.

Salah satunya adalah jika dilakukan saat ada orang yang sedang shalat, atau keramaian yang sedang sibuk dengan urusannya masing-masing, hendaknya mengecilkan suara, jangan sampai meninggikan dengan volume suara yang melahirkan tasywisy (bising-hiruk pikuk) dan mengganggu mereka dan orang shalat, sebab itu terlarang.

Adab Membaca Al-Qur’an dengan Suara Keras

Dari Abu Said al Khudri Radhiallahu ‘Anhu:

اعْتَكَفَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي الْمَسْجِدِ فَسَمِعَهُمْ يَجْهَرُونَ بِالْقِرَاءَةِ فَكَشَفَ السِّتْرَ وَقَالَ أَلَا إِنَّ كُلَّكُمْ مُنَاجٍ رَبَّهُ فَلَا يُؤْذِيَنَّ بَعْضُكُمْ بَعْضًا وَلَا يَرْفَعْ بَعْضُكُمْ عَلَى بَعْضٍ فِي الْقِرَاءَةِ أَوْ قَالَ فِي الصَّلَاةِ

“Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam i’tikaf di masjid, beliau mendengar manusia mengeraskan suara ketika membaca Al Quran, maka dia membuka tirai dan bersabda: “ Ketahuilah sesungguhnya setiap kalian ini bermunajat kepada Rabbnya, maka jangan kalian saling mengganggu satu sama lain, dan jangan saling tinggikan suara kalian dalam membaca Al Quran atau di dalam shalat.” (HR. Abu Daud No. 1334, dishahihkan Ibnu Khuzaimah, dll)

Para ulama seperti Imam An Nawawi, Syaikh Sayyid Sabiq, Syaikh Wahbah az Zuhaili, dll.. Mengatakan hal itu terlarang…, mereka mengatakan haram, ada pula yang mengatakan makruh.

Imam An Nawawi menegaskan bahwa kebolehan mengeraskan suara tersebut terikat oleh sejumlah aturan seperti aman dari riya, pamer, dan tidak menganggu orang lain. Beliau berkata:

وأما الآثار عن الصحابة والتابعين من أقوالهم وأفعالهم فأكثر من أن تحصر، وأشهر من أن تذكر، وهذا كله فيمن لا يخاف رياءً، ولا إعجاباً، ولا نحوهما من القبائح، ولا يؤذي جماعة يلبس عليهم صلاتهم ويخلطها عليهم

Adapun atsar (riwayat) dari para sahabat dan tabi’in baik berupa ucapan maupun perbuatan mereka, jumlahnya lebih banyak daripada yang dapat dihitung, dan lebih masyhur daripada yang perlu disebutkan. Semua ini berlaku bagi orang yang tidak khawatir terhadap riya (pamer), rasa kagum terhadap diri sendiri, atau hal-hal buruk lainnya yang serupa, serta tidak mengganggu jamaah sehingga mengacaukan mereka dalam shalat dan merusak kekhusyukan mereka. (At Tibyan fi Adab Hamalatil Quran, hal. 60)

Baca juga: Hukum Membaca Al-Qur’an dalam Hati (Tanpa Suara)

Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah mengatakan:

يحرم رفع الصوت على وجه يشوش على المصلين ولو بقراءة القرآن. ويستثنى من ذلك درس العلم.

“Diharamkan mengeraskan suara hingga menyebabkan terganggunya orang shalat walau pun yang dibaca itu adalah Al Quran, dikecualikan bagi yang sedang proses belajar mengajar Al Quran.” (Fiqhus Sunnah, 1/251)

Syaikh Wahbah Az Zuhaili mengatakan:

كما يكره بالاتفاق الجهر بالقراءة في المسجد لما فيه من التشويش على الآخرين، ولمظنة الرياء.

Sebagaimana dimakruhkan berdasarkan kesepakatan ulama mengeraskan suara saat membaca Al Quran di masjid sebab hal itu memunculkan kebisingan terhadap orang lain dan memunculkan riya’.

(Al Fiqh Al Islami wa Adillatuhu, 2/1103)

Ada pun jika membaca Al Quran selamat dari riya, pamer, ujub, dan tidak mengganggu orang shalat, tidak menanggu manusia karena mereka dalam keadaan siap mendengarkannya seperti dalam sebuah acara, maka itu semua tidak masalah sama sekali.

Demikian. Wallahu A’lam

✍️ Farid Nu’man Hasan


Kesimpulan: Menurut para ulama, hukum membaca Al-Qur’an keras perlu memperhatikan adab untuk menghindari gangguan bagi orang sekitar.

Hukum Makan dengan Tangan Kiri

Makan dengan tangan kiri dilarang oleh Rasulullah SAW. Lalu apakah hukumnya? Simak dalam tanya jawab berikut:


✉️❔PERTANYAAN

Assalamu’alaikum ustadz.. Ada pertanyaan, apakah makan/minum dengan tangan kiri itu termasuk keharaman mutlak atau bagian dari adab saja ?


✒️❕JAWABAN

Wa’alaikumussalam wa Rahmatullah

Mayoritas ulama mengatakan makan dengan tangan kanan adalah wajib, sedangkan larangan dengan tangan sebelahnya bermakna haram, sebagian mengatakan makruh.

Salamah bin Al Akwa’ Radhiallahu ‘Anhu bercerita:

أَنَّ رَجُلًا أَكَلَ عِنْدَ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِشِمَالِهِ، فَقَالَ: «كُلْ بِيَمِينِكَ»، قَالَ: لَا أَسْتَطِيعُ، قَالَ: «لَا اسْتَطَعْتَ»، مَا مَنَعَهُ إِلَّا الْكِبْرُ، قَالَ: فَمَا رَفَعَهَا إِلَى فِيهِ

Ada seorang laki-laki yang makan di hadapan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dengan tangan kiri, maka Nabi berkata kepadanya: “Makanlah pakai tangan kananmu!” Laki-laki itu menjawab: “Saya tidak bisa.” Beliau bersabda: “Kamu tidak bisa melakukannya.” Tidaklah yang mencegah laki-laki itu melainkan kesombongannya. Beliau (Salamah) berkata: “Maka, laki-laki itu tidak bisa mengangkat tangannya ke mulutnya.” (HR. Muslim No. 2021)

Umar bin Salamah Radhiallahu ‘Anhu berkata:

كُنْتُ فِي حِجْرِ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَكَانَتْ يَدِي تَطِيشُ فِي الصَّحْفَةِ، فَقَالَ لِي: «يَا غُلَامُ، سَمِّ اللهَ، وَكُلْ بِيَمِينِكَ، وَكُلْ مِمَّا يَلِيكَ»

Saat itu saya di kamar Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, dan tanganku menyergah makanan di piring, Beliau bersabda kepadaku: “Wahai ghulam, sebutlah nama Allah, makanlah pakai tangan kananmu, dan makanlah yang terdekat.” (HR. Bukhari No. 5376, Muslim No. 2022)

Kedua hadits ini menggunakan kata perintah makan menggunakan tangan kanan. Sehingga umumnya para ulama mengatakan haramnya makan menggunakan tangan yang berlawanan, dan itu merupakan cara syetan makan.

Al Hafizh Ibnu Hajar Rahimahullah menjelaskan:

قُلْتُ وَيَدُلُّ عَلَى وُجُوبِ الْأَكْلِ بِالْيَمِينِ وُرُودُ الْوَعِيدِ فِي الْأَكْلِ بِالشِّمَالِ فَفِي صَحِيحِ مُسْلِمٍ مِنْ حَدِيثِ سَلَمَةَ بْنِ الْأَكْوَعِ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَأَى رَجُلًا يَأْكُلُ بِشِمَالِه ……….

Aku berkata: hadits ini menunjukkan wajibnya makan menggunakan tangan kanan. Telah sampai adanya riwayat tentang ancaman makan menggunakan tangan kiri. Terdapat dalam Shahih Muslim, dari hadits Salamah bin Al Akwa’ bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam melihat seorang laki-laki makan dengan tangan kirinya ……. dst. (Lihat hadits pertama di atas). (Fathul Bari, 9/522)

Al Hafizh Ibnu Hajar melanjutkan:

وَثَبَتَ النَّهْيُ عَنِ الْأَكْلِ بِالشِّمَالِ وَأَنه من عمل الشَّيْطَان من حَدِيث بن عُمَرَ وَمِنْ حَدِيثِ جَابِرٍ عِنْدَ مُسْلِمٍ وَعِنْدَ أَحْمَدَ بِسَنَدٍ حَسَنٍ عَنْ عَائِشَةَ رَفَعَتْهُ مَنْ أَكَلَ بِشِمَالِهِ أَكَلَ مَعَهُ الشَّيْطَانُ الْحَدِيثَ وَنَقَلَ الطِّيبِيُّ أَنَّ مَعْنَى قَوْلِهِ إِنَّ الشَّيْطَانَ يَأْكُلُ بِشِمَالِهِ أَيْ يَحْمِلُ أَوْلِيَاءَهُ مِنَ الْإِنْسِ عَلَى ذَلِكَ لِيُضَادَّ بِهِ عِبَادَ اللَّهِ الصَّالِحِينَ قَالَ الطِّيبِيُّ وَتَحْرِيرُهُ لَا تَأْكُلُوا بِالشِّمَالِ فَإِنْ فَعَلْتُمْ كُنْتُمْ مِنْ أَوْلِيَاءِ الشَّيْطَانِ فَإِنَّ الشَّيْطَانَ يَحْمِلُ أَوْلِيَاءَهُ عَلَى ذَلِكَ انْتَهَى

Telah pasti larangan makan dengan tangan kiri, dan itu merupakan perbuatan syetan, sebagaimana terdapat dalam hadits Ibnu Umar dan Jabir dalam riwayat Muslim, juga riwayat Ahmad dengan sanad yang hasan, dari ‘Aisyah dan Beliau menyandarkan ini sampai nabi, bahwa orang yang makan dengan tangan kiri maka syetan makan bersamanya. Ath Thibi menukilkan bahwa maksud sabdanya: syetan makan dengan tangan kiri adalah syetan membawa para wali (kawan karib)-nya dari kalangan manusia untuk melakukan itu demi melakukan perlawanan terhadap hamba-hamba Allah yang shalih.

Berkata Ath Thibi: jadi janganlah makan dengan tangan kiri, sebab jika kalian melakukannya maka engkau akan menjadi wali-nya syetan, dan syetan itu akan membawa para wali-nya untuk melakukan hal itu. Selesai. (Ibid)

Demikian. Wallahu A’lam

Baca juga: Sedekah Makanan dan Minuman

✍️ Farid Nu’man Hasan

Bolehkah Menjadikan Masjid Sebagai Mahar?

Masjid sebagai mahar, kurang tepat. Karena masjid itu milik umum. Kecuali jika suami memberikan harta pribadinya sebagai mahar lalu istri membangun tempat ibadah di atasnya sebagai wakaf. Simak penjelasan lengkapnya:


▫▪▫▪▫▪▫▪

 PERTANYAAN:

Assalamu alaikum. Afwan ustadz, bisakah menjadikan masjid sebagai mahar ?


JAWABAN

Wa’alaikumussalam wa Rahmatullah wa Barakatuh

Mahar dalam Syariat

Mahar adalah wajib dalam kelengkapan pernikahan, namun bukan rukun sehingga jika seseorang nikah tanpa memberikan mahar kepada istrinya maka pernikahan tetap sah namun dia berdosa karena meninggalkan kewajiban. Ini pendapat mayoritas ulama seperti yang dikatakan oleh Imam Al Qurthubi.

Adapun tentang batasan ukuran mahar dalam syariat tidak ada batasan khusus baik batasan minimal atau maksimal, bebas saja yang penting itu milik dari pengantin laki-laki yang diberikan kepada pengantin perempuan, dan mahar tersebut memiliki nilai atau harga yang bisa dimanfaatkan. Seperti uang, perhiasan, pakaian, tanah, dan mengajarkan Al Quran.

Baca juga: Hukum Menikah Tanpa Mahar

Masjid Sebagai Mahar

Adapun masjid yang dijadikan mas kawin, secara karakter sebenarnya tidak pas, tidak tepat, karena masjid itu milik umum dan maslahat umum yang biasanya berasal dari tanah wakaf dan tanah wakaf bukanlah milik individu, sementara mahar adalah untuk milik pribadi. Walau demikian nikahnya sendiri tetap sah karena tanpa mahar pun juga sah.

Kecuali, jika suami memberikan dari harta pribadi, tanah pribadi, diterima oleh istri sebagai mas kawin lalu oleh istri di-waqaf-kan untuk umat untuk di atasnya didirikan masjid, ini tidak apa-apa bahkan bagus.

Wallahu A’lam

Baca juga: Rambu Rambu Pembangunan Masjid

☘

✍ Farid Nu’man Hasan

Kontribusi Terhadap Perjuangan Islam

Allah ﷻ berfirman:

{ لَّا يَسۡتَوِي ٱلۡقَٰعِدُونَ مِنَ ٱلۡمُؤۡمِنِينَ غَيۡرُ أُوْلِي ٱلضَّرَرِ وَٱلۡمُجَٰهِدُونَ فِي سَبِيلِ ٱللَّهِ بِأَمۡوَٰلِهِمۡ وَأَنفُسِهِمۡۚ فَضَّلَ ٱللَّهُ ٱلۡمُجَٰهِدِينَ بِأَمۡوَٰلِهِمۡ وَأَنفُسِهِمۡ عَلَى ٱلۡقَٰعِدِينَ دَرَجَةٗۚ وَكُلّٗا وَعَدَ ٱللَّهُ ٱلۡحُسۡنَىٰۚ وَفَضَّلَ ٱللَّهُ ٱلۡمُجَٰهِدِينَ عَلَى ٱلۡقَٰعِدِينَ أَجۡرًا عَظِيمٗا }

Tidaklah sama antara orang yang beriman yang duduk (yang tidak turut berjihad) tanpa mempunyai uzur (halangan) dengan orang yang berjihad di jalan Allah dengan harta dan jiwanya. Allah melebihkan derajat orang-orang yang berjihad dengan harta dan jiwanya atas orang-orang yang duduk (tidak ikut berjihad tanpa halangan). Kepada masing-masing, Allah menjanjikan (pahala) yang baik (surga) dan Allah melebihkan orang-orang yang berjihad atas orang yang duduk dengan pahala yang besar. [Surat An-Nisa’: 95]

– Ayat ini menceritakan kelebihan dan ketinggian derajat orang-orang mukmin yang memperjuangkan agamanya, dibandingkan orang-orang yang beriman namun tidak ikut berjuang tanpa alasan.

– Imam Al Bukhari meriwayatkan bahwa ketika awal ayat ini turun – Abdullah bin Ummi Maktum, seorang sahabat yang tuna netra – mengadu kepada Rasulullah ﷺ bahwa dirinya tuna netra, sehingga tidak bisa ikut jihad walau sangat menginginkan, maka turunlah kalimat: Tidaklah sama antara orang mukmin yang duduk (tidak ikut berperang) yang tidak mempunyai uzur dengan orang-orang yang berjihad di jalan Allah. (An-Nisa: 95)

– Artinya, jika ketidaksertaan dalam perjuangan didasari alasan (uzur) yang syar’i, padahal mereka sangat menginginkan ikut berjuang maka kedudukan mereka tetap mulia dan dimaafkan.

– Substansi ayat ini adalah mengajarkan umat Islam agar berlomba-lomba memberikan sumbangsih apa pun potensi yang dimiliki untuk kejayaan Islam.

– Tidak ada yang dianggap remeh dari sumbangsih tersebut; baik kontribusi waktu, pemikiran, ilmu, tenaga, dana, sampai nyawa. Semua ini bernilai tinggi jika dipersembahkan utk ‘Izzul Islam wal Muslimin. Inilah yang membedakan antara orang yang berjuang dan duduk-duduk saja.

Wallahu A’lam wa Lillahil ‘Izzah

☘

✍ Farid Nu’man Hasan

scroll to top