Sikap Ulama Kontemporer Tentang Zakat Fitrah Dengan Uang

1. Syaikh Muhammad bin Ibrahim Rahimahullah (mantan mufti Saudi Arabia di zamannya dan guru dari Syaikh Bin Baaz):

“Zakat fitrah dengan uang DALIL DALILNYA KUAT”

Beliau berkata:

و جوز ذلك أبو حنيفة رحمه الله، وإليه ميل البخاري في صحيحه، وشيخ الإسلام ابن تيمية، ولكن يشترط كون ذلك أنفع، واستدل البخاري وغيره على ذلك بأدلة قوية

Hal itu boleh menurut Abu Hanifah rahimahullah, dan ini menjadi kecenderungan pendapat Imam Al Bukhari dalam Shahih-nya, dan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, tetapi dengan syarat bahwa hal itu lebih bermanfaat, dan dalam hal ini Imam Al Bukhari dan lainnya berdalil dengan DALIL-DALIL YANG KUAT. (Fatawa wa Rasail Samahatusy Syaikh Muhammad bin Ibrahim, 4/30)

2. Syaikh Husamuddin bin ‘Afanah Hafizhahullah (Pakar Fiqih dan Ushul Fiqih di Universitas Al Quds)

Beliau berkata:

ولا يصح القول بأن من أخرج القيمة في صدقة الفطر فإنها غير مجزئة، فالمسألة محل خلاف بين العلماء، ومسائل الخلاف إن أخذ أحد من الناس بقول أحد العلماء المجتهدين فلا حرج عليه إن شاء الله تعالى، وجواز إخراج القيمة قال به جماعة من أهل العلم المعتبرين

Tidak benar perkataan yang menyebut bahwa orang yang mengeluarkan zakat fitri dengan uang adalah tidak sah. Masalah ini adalah zona debatable ulama. Masalah yang masih diperselisihkan ulama, jika seseorang mengambil salah satu pendapat ulama mujtahid maka itu tidak masalah, Insya Allah. Bolehnya mengeluarkan zakat fitri dengan uang adalah pendapat segolongan ulama mu’tabar. (Yas’alunaka ‘an Ramadhan, Hal. 229)

3. Syaikh Ali Muhyiddin al Qurrah Daghi Hafizhahullah (Sekjen Ikatan Ulama Islam Internasional)

Beliau menyebut ada tiga pendapat dalam hal ini: 1. Tidak boleh secara mutlak, 2. Boleh secara mutlak, 3. Boleh jika ada maslahat.

Beliau menyebut pendapat kedua:

جواز دفع القيمة مطلقاً في جميع الأحوال ، وهو مذهب أبي حنيفة ، وأبي يوسف ، واختاره الفقيه المحدث أبو جعفر الطحاوي وهو المعتمد عند الحنفية ، وهو مروي عن سفيان الثوري ، وعمر بن عبدالعزيز ، والحسن البصري ، وغيرهم ، ورواية عن أحمد للحاجة أو مصلحة راجحة ، وهو رأي معظم المعاصرين اليوم، والهيئة العالمية لقضايا الزكاة المعاصرة ، وشيخ الأزهر السابق الشيخ محمود شلتوت والشيخ القرضاوي.

Bolehnya zakat fitrah dengan uang secara mutlak di semua keadaan, inilah madzhab Abu Hanifah, Abu Yusuf, dan yang dipilih oleh al Muhaddits al Faqih Abu Ja’far ath Thahawi, dan merupakan pendapat resmi Hanafiyah, dan diriwayatkan sebagai pendapat Sufyan ats Tsauri, Umar bin Abdul Aziz, Hasan al Bashri, dan selain mereka. Ini juga salah satu riwayat dari Imam Ahmad bin Hambal, jika memang dengan uang ada maslahat yang kuat. Ini adalah pendapat MAYORITAS ULAMA HARI INI, serta pendapat Lembaga Zakat Internasional Modern, serta fatwa Syaikhul Azhar yang lalu Syaikh Mahmud Syaltut dan Syaikh Yusuf al Qaradhawi.”

Lalu Syaikh Ali Daghi Hafizhahullah menyimpulkan setelah mengkaji dan membandingkan tiga pendapat itu:

يتبيّن لي رجحان القول الثاني مع ضبطه بما قاله أصحاب القول الثالث من أن يكون دفع القيمة أنفع للفقراء ، وبالتالي فإذا كان دفع الطعام والحبوب أنفع لهم فيبقى هو الأصل والله أعلم

Telah jelas bagiku, kekuatan argumentasi pendapat kedua beserta rambu-rambunya yg dikatakan pendapat ketiga yaitu jika dengan uang lebih bermanfaat bagi fuqara. Namun, jika membayar zakat fitrah dengan makanan dan biji-bijian (gandum, dll) lebih bermanfaat maka itulah yg lebih utama.
(https://iumsonline.org/fa/ContentDetails.aspx?ID=8564)

4. Al ‘Allamah Syaikh Yusuf al Qaradhawi Rahimahullah (Faqih abad ini), beliau berkata:

ومن هذا يتضح لنا أن المدار في الأفضلية على مدى انتفاع الفقير بما يدفع له، فإن كان انتفاعه بالطعام أكثر كان دفعه أفضل، كما حالة المجاعة و الشدة، وإن كان انتفاعه بالنقود أكثر كان دفعها أفضل.

Dari sini jelaslah bagi kami, bahwa masalah keutamaan tergantung manfaatnya bagi faqir miskin. Jika manfaat dengan makanan pokok lebih banyak maka dengan makanan lebih afdol. Seperti dlm kondisi paceklik atau kelaparan. Namun, apabila dengan uang lebih bermanfaat, maka menunaikannya dengan harga(uang)nya lebih utama. (Fiqhuz Zakah, Hal. 794)

5️⃣ Syaikh Khalid bin Abdullah Al Mushlih Hafizhahullah (murid senior sekaligus menantu Syaikh Utsaimin)

Beliau menyebutkan ada tiga pendapat tentang zakat fitrah dengan uang:

1. Tidak boleh, ini pendapat jumhur
2. Boleh, jika memang ada maslahat atau hajat untuk itu. Ini pendapat Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah.
3. Boleh secara mutlak, ini pendapat Imam Abu Hanifah.

Lalu Beliau berkata:

وأرجح هذه الأقوال هو ما ذهب إليه شيخ الإسلام من أن الأصل هو إخراجها من الطعام ما لم تدع إلى ذلك مصلحة أو حاجة فيجوز إخراجها من النقود.

Yang paling kuat dari berbagai pendapat ini adalah apa yang dikatakan Syaikhul Islam, prinsipnya adalah dengan makanan, namun boleh dengan uang jika ada maslahat atau hajat.

(Lihat: https://www.almosleh.com/ar/16753)

Wallahul Muwaffiq ilaa Aqwamith Thariq

✍ Farid Nu’man Hasan

Ibu Hamil dan Menyusui, Qadha atau Fidyah?

◼◽◼◽◼◽◼◽◼◽

✉️❔PERTANYAAN:

assalamualaikum wr wb, maaf mau tanya, Thun 2020 saya hamil dan pda buln Ramadan tpatnya saya sakit 1 Mingguan lebih, beberpa bln kmudian anak sya lahir lalu menyusui, dan bertemu lagi d bulan Ramadan berikutnya,
Itu gimana y cara membayarnya soalnya belum sempat byar utang puasa yg lalu tpi udh ketemu lg dngan puasa berikutnya karna menyusui, itu gimana ya (N, sukabumi +62 857-9851-xxxx)

✒️❕JAWABAN

◼◽◼◽◼◽◼◽◼◽

Wa’alaikumussalam wa Rahmatullah wa Barakatuh

Imam Ibnu Katsir dalam kitab Tafsir -nya (jilid. 1, hal. 501) menyebutkan ada 4 pendapat bagi IBU HAMIL/MENYUSUI, apakah qadha atau fidyah:

1. QADHA dan FIDYAH sekaligus

2. TIDAK QADHA dan TIDAK FIDYAH

3. Qadha saja, TANPA fidyah. Ini pendapat mayoritas ahli fiqih.

4. FIDYAH saja, TANPA QADHA. Ini pendapat para sahabat nabi seperti Ibnu Umar dan Ibnu Abbas.

Mana pendapat yang lebih pas? Seorang ahli fiqih abad ini, Al Allamah Syaikh Yusuf Al Qaradhawy hafizhahullah, dalam kitab Taisiru Fiqh (Fiqhus Siyam) memberikan jalan keluar yang bagus bahwasanya ini disesuaikan dengan kondisi wanita tsb. Apakah dia tipe wanita yang sering hamil ataukah jarang. Beliau berkata:

وهكذا كان كثير من النساء فى الأزمنة الماضية فمن الرحمة بمثل هذه المرأة ألا تكلف القضاء و تكتفى بالفدية، و فى هذا خير للمساكين وأهل الحاجة. أما المرأة التى تتباعد فترات حملها كما هو الشأن فى معظم نساء زمننا فى معظم المجتمعات الإسلامية و خصوصا فى المدن والتى قد لا تعانى الحمل والارضاع فى حياتها الا مرتين او ثلاثا، فالأرجح أن تقضى كما هو رأى الجمهور

“Demikianlah, Banyak ibu-ibu terdahulu (yang sering hamil) maka merupakan rahmat dari Allah bagi mereka jika tidak dibebani kewajiban qadha, namun cukup dengan fidyah saja, di samping hal ini merupakan kebaikan untuk faqir dan miskin dan orang-orang yang membutuhkan pertolongan materi.
Namun bagi ibu-ibu yang masa melahirkannya jarang, sebagaimana umumnya ibu-ibu di masa kita saat ini dan di sebagian besar negara Islam, tertutama di kota-kota, kadang-kadang hanya mengalami dua kali hamil dan dua kali menyusui selama hidupnya. Maka, bagi mereka lebih tepat pendapat jumhur, yakni qadha (bukan fidyah).”

(Fiqhush Shiyam, Hal. 73-74)

Jadi, jika wanita tersebut sulit puasa karena sering hamil dan selalu melalui bulan Ramadhan saat hamil, maka bagi dia fidyah saja. Ada pun, jika hamilnya jarang, karena masih ada waktu atau kesempatan di waktu tidak hamil, maka wajib baginya qadha saja. Inilah pendapat yang nampaknya kompromis dan adil, seimbang, dan sesuai ruh syariat Islam.

Demikian. Wallahu Alam

✍ Farid Nu’man Hasan

Tingkatan Orang Puasa

Imam Al Ghazali menjelaskan:

اعْلَمْ أَنَّ الصَّوْمَ ثَلَاثُ دَرَجَاتٍ صَوْمُ الْعُمُومِ وصوم الخصوص وصوم خصوص الخصوص
وأما صَوْمُ الْعُمُومِ : فَهُوَ كَفُّ الْبَطْنِ وَالْفَرْجِ عَنْ قضاء الشهوة ، كما سبق تفصيله.
وَأَمَّا صَوْمُ الْخُصُوصِ : فَهُوَ كَفُّ السَّمْعِ وَالْبَصَرِ وَاللِّسَانِ ، وَالْيَدِ وَالرِّجْلِ وَسَائِرِ الْجَوَارِحِ،  عَنِ الْآثَامِ.
وأما صوم خصوص الخصوص : فصوم القلب عن الهمم الدَّنِيَّةِ ، وَالْأَفْكَارِ الدُّنْيَوِيَّةِ ، وَكَفُّهُ عَمَّا سِوَى اللَّهِ عز وجل بالكلية“

Ketahuilah, bahwa puasa ada tiga tingkatan; puasanya orang umum (kebanyakan), orang khusus, dan khususnya khusus.

Puasa orang umum: menahan perut (dari makan dan minum) dan  kemaluan dari syahwat.

Puasa orang khusus: menahan pendengaran, penglihatan, lisan, tangan, kaki, dan semua anggota badan dari berbagai dosa.

Puasa khususnya khusus: puasanya hati dari hasrat dunia, pikiran tentang dunia, dan menahan diri dari apa pun selain Allah Ta’ala.

Ihya ‘Ulumuddin, jilid. 1, hal. 234

✍ Farid Nu’man Hasan

Perkataan Ulama Yang Membolehkan Melafazkan Niat (Ushalli dan Nawaitu)

Mukadimah

Persoalan ini adalah perkara yang diperselisihkan Ulama, dan MAYORITAS Ulama mengatakan sunnahnya MELAFAZkan niat (sebagaimana keterangan yang nanti akan kami paparkan). Sebagian lain memakruhkan, ada pula yang membid’ahkan. Inilah realita yang mesti diakui, dan jangan paksakan kehendak, lalu menyerang pendapat lain.

Sikap  Para Fuqaha Mazhab

Mereka adalah para imam kaum muslimin, dan mereka merupakan pilar-pilar penting tersebarnya Fiqih Islam. Mereka umumnya mengatakan SUNNAH (pendapat resmi Hanafiyah, Syafi’iyyah, dan Hanabilah, sedangkan Malikiyah, dan sebagian Hanafiyah dan Hanabilah memakruhkan), dan ini menjadi koreksi atas pihak yang selalu mengulang-ulang ‘memanaskan’ saudaranya dengan membid’ahkannya seolah itulah satu-satunya pendapat para fuqaha.

Tertulis dalam Al Mausu’ah:

فَذَهَبَ الْحَنَفِيَّةُ فِي الْمُخْتَارِ وَالشَّافِعِيَّةُ وَالْحَنَابِلَةُ فِي الْمَذْهَبِ إِلَى أَنَّ التَّلَفُّظَ بِالنِّيَّةِ فِي الْعِبَادَاتِ سُنَّةٌ لِيُوَافِقَ اللِّسَانُ الْقَلْبَ وَذَهَبَ بَعْضُ الْحَنَفِيَّةِ وَبَعْضُ الْحَنَابِلَةِ إِلَى أَنَّ التَّلَفُّظَ بِالنِّيَّةِ مَكْرُوهٌ  .وَقَال الْمَالِكِيَّةُ بِجَوَازِ التَّلَفُّظِ بِالنِّيَّةِ فِي الْعِبَادَاتِ ، وَالأْوْلَى تَرْكُهُ ، إِلاَّ الْمُوَسْوَسَ فَيُسْتَحَبُّ لَهُ التَّلَفُّظُ لِيَذْهَبَ عَنْهُ اللَّبْسُ

Pendapat kalangan Hanafiyah (pengikut Imam Abu Hanifah) berdasarkan pendapat yang dipilih, dan Syafi’iyah (pengikut imam Asy Syafi’i) serta Hanabilah (Hambaliyah-pengikut Imam Ahmad bin Hambal) menurut pendapat madzhab bahwasanya melafazkan niat dalam peribadatan adalah sunah, agar lisan dapat membimbing hati.

Sebagian Hanafiyah dan sebagian Hanabilah menyatakan bahwa melafazkan niat adalah makruh. Kalangan Malikiyah (pengikut Imam Malik) mengatakan bolehnya melafazkan niat dalam peribadatan, namun yang lebih utama adalah meninggalkannya, kecuali bagi orang yang was-was maka baginya dianjurkan untuk melafazkannya untuk menghilangkan kekacauan dalam pikirannya.

(Al Mausu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah, 42/67)

Syaikh Wahbah Az Zuhaili Rahimahullah menyebutkan:

ولا يشترط التلفظ بها قطعاً، لكن يسن عند الجمهور غير المالكية التلفظ بها لمساعدة القلب على استحضارها، ليكون النطق عوناً على التذكر، والأولى عند المالكية: ترك التلفظ بها   ؛ لأنه لم ينقل عن النبي صلّى الله عليه وسلم وأصحابه التلفظ بالنية، وكذا لم ينقل عن الأئمة الأربعة.

“Secara qah’i melafazkan niat tidaklah menjadi syarat sahnya, tetapi disunahkan menurut jumhur (mayoritas) ulama -selain Malikiyah- melafazkannya untuk menolong hati menghadirkan niat, agar pengucapan itu menjadi pembantu dalam mengingat, dan yang lebih utama menurut kalangan Malikiyah adalah meninggalkan pelafazan niat itu, karena tidak ada riwayat dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan para sahabatnya tentang melafazkan niat, begitu pula tidak ada riwayat dari imam yang empat.” (Al Fiqhul Islami wa Adillatuhu, 1/137)

Jadi menurut keterangan di atas, secara umum kebanyakan ulama madzhab adalah menyunnahkan melafazkan niat, ada pun sebagian Hanafiyah dan sebagian Hanabilah memakruhkan. Sedangkan Malikyah membolehkan walau lebih utama meninggalkannya, kecuali bagi orang yang was-was maka dianjurkan mengucapan niat untuk mengusir was-was tersebut.

Sedangkan para imam perintis empat madzhab, tidak ada riwayat dari mereka tentang pensyariatan melafazkan niat.

Imam Muhammad bin Hasan Al Hanafi Rahimahullah, kawan sekaligus murid Imam Abu Hanifah Rahimahullah

Beliau  mengatakan:

النِّيَّةُ بِالْقَلْبِ فَرْضٌ ، وَذِكْرُهَا بِاللِّسَانِ سُنَّةٌ ، وَالْجَمْعُ بَيْنَهُمَا أَفْضَل

“Niat di hati adalah wajib, menyebutnya di lisan adalah sunah,* dan menggabungkan keduanya adalah lebih utama.” (Al Mausu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah, 42/100)

Imam An Nawawi Rahimahullah

Dalam kitab Minhajut Thalibin, dalam konteks mengucapkan niat shalat, Beliau berkata:

وَالنِّيَّةُ بِالْقَلْبِ وَيُنْدَبُ النُّطْقُ قُبَيْلَ التَّكْبِيرِ

Niat di hati dan DISUNNAHKAN mengucapkan niat menjelang takbir. (Minhajut Thalibin, hal. 25)

Imam Ibnu Hajar Al Haitami Al Makki Asy Syafi’i Rahimahullah

Beliau mengatakan:

( وَيَنْدُبُ النُّطْقُ ) بِالْمَنْوِيِّ ( قُبَيْلَ التَّكْبِيرِ ) لِيُسَاعِدَ اللِّسَانُ الْقَلْبَ وَخُرُوجًا مِنْ خِلَافِ مَنْ أَوْجَبَهُ وَإِنْ شَذَّ وَقِيَاسًا عَلَى مَا يَأْتِي فِي الْحَجِّ

“(Disunahkan mengucapkan) dengan apa yang diniatkan (sesaat sebelum takbir) agar lisan  membantu hati dan keluar dari khilaf (perbedaan pendapat) dengan kalangan yang mewajibkan, walaupun yang mewajibkan ini adalah pendapat yang syadz (janggal),  sunnahnya ini  diqiyaskan dengan apa yang ada pada haji (yakni pengucapan kalimat talbiyah, pen).” (Tuhfah Al Muhtaj, 5/285)

Imam Syihabuddin Ar Ramli Asy Syafi’i Rahimahullah

Beliau mengatakan:

ويندب النطق بالمنوي قبيل التكبير ليساعد اللسان القلب ولأنه أبعد عن الوسواس وللخروج من خلاف من أوجبه

“Dianjurkan (sunnah) mengucapkan apa yang diniatkan sesaat sebelum takbir untuk membantu hati, karena hal itu dapat menjauhkan was-was dan untuk keluar dari perselisihan pendapat dengan pihak yang mewajibkannya.” (Nihayatul Muhtaj, 1/457. Darul Fikr)

Imam Al Bahuti Al Hambali  Rahimahullah

Beliau mengatakan ketika membahas niat dalam shalat:

وَمَحَلُّهَا الْقَلْبُ وُجُوبًا وَاللِّسَانُ اسْتِحْبَابًا

“Tempatnya niat  adalah  di hati sebagai hal yang wajib, dan disukai (sunah) diucapkan lisan ..”

(Kasysyaf Al Qina’, 2/442. Mawqi’ Islam)

Dan lain-lain.

Bagaimana Menyikapinya ?

Sebenarnya sederhana saja, silahkan kita ambil pendapat yang menurut kita paling kuat dan menenangkan dihati, tapi jangan inkari pendapat saudara kita yang berbeda, atau memprovokasi orang awam untuk memusuhi pendapat yang berbeda itu.

Imam Sufyan Ats Tsauri Rahimahullah berkata:

إذا رأيت الرجل يعمل العمل الذي قد اختلف فيه وأنت ترى غيره فلا تنهه.

“Jika engkau melihat seorang melakukan perbuatan yang masih diperselisihkan, padahal engkau punya pendapat lain, maka janganlah kau mencegahnya.” (Imam Abu Nu’aim Al Asbahani, Hilyatul Auliya, 3/133)

Imam Yahya bin Sa’id Al Qaththan Rahimahullah, beliau berkata:

ما برح أولو الفتوى يفتون فيحل هذا ويحرم هذا فلا يرى المحرم أن المحل هلك لتحليله ولا يرى المحل أن المحرم هلك لتحريمه.

Para ahli fatwa sering berbeda fatwanya, yang satu menghalalkan yang ini dan yang lain mengharamkannya. Tapi, mufti yang mengharamkan tidaklah menganggap yang menghalalkan itu binasa karena penghalalannya itu. Mufti yang menghalalkan pun tidak menganggap yang mengharamkan telah binasa karena fatwa pengharamannya itu.”

(Imam Ibnu Abdil Bar, Jami’ Bayanil ‘Ilmi wa Fadhlih, 2/161)

Maka, belajarlah adabnya ulama jangan sekedar fiqihnya. Di antara penyebab tajamnya lisan sebagian orang saat ini karena kurangnya adab dan akhlak. Mudah mentahdzir dan mencela pihak yang berbeda dengannya. Na’udzubillah min dzaalik!

Abu Abdillah Al Balkhiy Rahimahullah berkata:

أَدَبُ الْعِلْمِ أَكْثَرُ مِنْ الْعِلْمِ

Adabnya ilmu lebih banyak dibanding ilmu itu sendiri. (Al Adab Asy Syar’iyyah, 4/264)

Fokuslah dengan agenda-agenda keumatan yang membawa persatuan hati dan kesatuan gerak. Sebab, ketika Orang-orang kafir bersatu, namun kita selalu berselisih dan bertengkar, kemenangan apa yang bisa diharapkan dari umat seperti ini?

Demikian. Wallahu A’lam wa Ilahil Musytaka

☘️

✍️ Farid Nu’man Hasan

scroll to top