✉️❔PERTANYAAN
Sebelumnya perkenalkan, nama saya SB, bekerja sebagai petugas kamar jenazah di RSUD Cibabat Kota Cimahi Jawa Barat
Ijin bertanya Kyai dengan kasus khusus di kamar jenazah yang membusuk sulit di tayamumkan karena kulitnya pun terlepas saat disentuh atau disiram dengan air akan terlepas juga kulitnya. Sementara ini belum ada penjelasan yang mencerahkan karena kondisi darurat untuk sementara kami terpaksa tidak mentayamumkannya dengan mengambil dalil Lihurmatil Mayyit agar bisa disholatkan kyai.kami kebingungan untuk mentayamumi tidak bisa dimandikan mengingat jika disentuh atau dibasuh air saja kulitnya sudah lepas.sementara karena terdesak itu yang ada di benak kami tanpa bisa ditayamumi lsg dikafani dan disholatkan karena harus segera dikuburkan mengingat kondisinya sudah sangat membusuk (SB-Cimahi)
✒️❕JAWABAN
Bismillahirrahmanirrahim..
Memandikan mayat adalah wajib menurut mayoritas ulama, kecuali sebagian Malikiyah yang mengatakan sunnah.
Dalam al Mausu’ah tertulis:
ذَهَبَ الْحَنَفِيَّةُ وَبَعْضُ الْمَالِكِيَّةِ وَالشَّافِعِيَّةِ وَالْحَنَابِلَةِ إِلَى أَنَّ الْمَوْتَ مِنْ مُوجِبَاتِ الْغُسْل، لِقَوْل النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حِينَ تُوُفِّيَتْ إِحْدَى بَنَاتِهِ: اغْسِلْنَهَا ثَلاَثًا أَوْ خَمْسًا أَوْ أَكْثَرَ مِنْ ذَلِكَ. وَذَهَبَ بَعْضُ الْمَالِكِيَّةِ إِلَى سُنِّيَّةِ غُسْل الْمَيِّتِ، قَال الدُّسُوقِيُّ: وُجُوبُ غُسْل الْمَيِّتِ هُوَ قَوْل عَبْدِ الْوَهَّابِ وَابْنِ مُحْرِزٍ وَابْنِ عَبْدِ الْبَرِّ، وَشَهَرَهُ ابْنُ رَاشِدٍ وَابْنُ فَرْحُونَ، وَأَمَّا سُنِّيَّتُهُ فَحَكَاهَا ابْنُ أَبِي زَيْدٍ وَابْنُ يُونُسَ وَابْنُ الْجَلاَّبِ وَشَهَرَهُ ابْنُ بَزِيزَة
Kalangan Hanafiyah, sebagian Malikiyah, Syafi’iyyah, dan Hanabilah berpendapat bawa mayat itu termasuk yang wajib di mandikan. Berdasarkan hadits Rasulullah ﷺ. di saat wafatnya salah satu putrinya, “Mandikanlah tiga kali, atau lima kali, atau lebih dari itu.”
Sebagian Malikiyah mengatakan memandikan mayat itu sunnah. Berkata Ad Dasuqi: “Mayat itu wajib dimandikan,” itulah perkataan Abdul Wahhab, Ibnu Muhriz, Ibnu Abdil bar, ditenarkan oleh Ibnu Rusyd dan Ibnu Farhun.
Ada pun yang mengatakan sunnah, diceritakan dari Ibnu Abi Zaid, Ibnu Yunus, dan Ibnu al Jallab, dan ditenarkan oleh Ibnu Bazizah. (Lihat Al Mausu’ah Al Fiqhiyyah Al Kuwaitiyah, jilid. 31, hal. 205)
Imam Ibnu Rusyd menjelaskan:
فإنه قيل فيه إنه فرض على الكفاية. وقيل سنة على الكفاية. والقولان كلاهما في المذهب. والسبب في ذلك: أنه نقل بالعمل لا بالقول، والعمل ليس له صيغة تفهم الوجوب
Dikatakan bahwa memandikan mayat itu fardhu kifayah. Dikatakan pula sunnah kifayah. Dua pendapat ini ada dalam pendapat madzhab (Maliki). Hal ini disebabkan tentang memandikan mayat itu diriwayatkan melalui perkataan dan perbuatan (Rasulullah), dan dr perbuatan itu tidak ada bentuk kata yang bisa dipahami bahwa itu kewajiban. (Bidayatul Mujtahid, jilid. 1, hal. 226)
Ada pun mengkafankan mayat, semua fuqaha sepakat adalah fardhu kifayah. Berdasarkan hadits Rasulullah ﷺ dan ijma’. Haditsnya sbb:
الْبَسُوا مِنْ ثِيَابِكُمِ الْبَيَاضَ، فَإِنَّهَا مِنْ خَيْرِ ثِيَابِكُمْ، وَكَفِّنُوا فِيهَا مَوْتَاكُمْ، وَإِنَّ مِنْ خَيْرِ أَكْحَالِكُمُ الْإِثْمِدَ يَجْلُو الْبَصَرَ وَيُنْبِتُ الشَّعَرَ
Pakailah pakaian berwarna putih sebab itu sebaik-baik pakaian kalian, serta kafanilah orang-orang mati kalian dengannya, dan sebaik-baik celak kalian adalah itsmid karena dia dapat mencerahkan pandangan dan menumbuhkan rambut. (HR. Ajmad no. 2219. Syaikh Syuaib al Arnauth: shahih. Ta’liq Musnad Ahmad, jilid. 4, hal. 94)
Begitu pula menguburkannya adalah fardhu kifayah berdasarkan ijma’:
دَفْنُ الْمُسْلِمِ فَرْضُ كِفَايَةٍ إِجْمَاعًا إِنْ أَمْكَنَ. وَالدَّلِيل عَلَى وُجُوبِهِ: تَوَارُثُ النَّاسِ مِنْ لَدُنْ آدَمَ عَلَيْهِ السَّلَامُ إِلَى يَوْمِنَا هَذَا مَعَ النَّكِيرِ عَلَى تَارِكِهِ
Menguburkan seorang muslim adalah fardhu kifayah berdasarkan ijma’, jika dimungkinkan. Dalil kewajibannya adalah manusia telah mewariskan hal tersebut sejak masa Adam ‘Alaihissalam sampai masa kita saat ini dan manusia mengingkari orang yang tidak melakukannya.
(Al Mausu’ah, jilid. 13, hal. 237)
Lalu, Bagaimana dengan mayit yang sudah membusuk, rusak kulitnya, menggembung, yang jika dimandikan akan mengoyak tubuhnya, atau mengeluarkan bakteri penyakit yang berbahaya bagi orang hidup sehingga tidak mungkin lagi dimandikan?
Jika demikian keadaannya, maka cukup baginya disiramkan air tanpa diusap tangan, Syaikh Abdullah al Faqih Hafizhahullah mengatakan:
وإذا كان جسده قد تغير بسبب طول المكث في الماء أو بغيره فيكتفى بصب الماء عليه دون إمرار اليد عليه كما يفعل بمن غمرت القروح جسده، ثم يكفن
Jika jasadnya sudah mengalami perubahan karena terlalu lama terbenam di air atau sebab lainnya, maka cukup baginya menyiramkan dengan air tanpa mengusap-usapnya dengan tangan, sebagaimana memperlakukan mayat yang sekujur tubuhnya diliputi luka, kemudian dikafankan. (Fatawa Asy Syabakah Al Islamiyah no. 135774)
Jika disiram masih tidak mungkin juga, maka bisa ditayammumkan saja. Imam Ibnu Hajar al Haitami Rahimahullah mengatakan:
(وَمَنْ تَعَذَّرَ غَسْلُهُ) لِفَقْدِ مَاءٍ أَوْ لِنَحْوِ حَرْقٍ أَوْ لَدْغٍ وَلَوْ غُسِّلَ تَهَرَّى أَوْ خِيفَ عَلَى الْغَاسِلِ وَلَمْ يُمْكِنْهُ التَّحَفُّظُ (يُمِّمَ)
(Bagi mayat yang ada udzur untuk dimandikan) karena ketiadaan air atau semisal terbakar, atau tersengat racun, yang seandainya dimandikan akan terkoyak, atau dikhawatirkan yang memandikan tidak bisa menjaganya maka hendaknya ditayammumkan. (Tuhfatul Muhtai, jilid. 3, hal. 184)
Jika ditayammumkan pun masih tidak bisa juga, maka tidak mengapa saat itu mengambil pendapat yang mengatakan memandikan tidaklah wajib, hanya sunnah, yaitu dengan taklid kepada sebagian Malikiyah, karena adanya hajat dan kedaruratan untuk itu. Walau ini dianggap pendapat marjuh (lemah) tapi karena ada uzur syar’i yang kuat.
Sikap ini kita ambil berdasarkan penjelasan Syaikh Abdullah Alu Khunain dalam Fatwa fi asy Syari’ah al Islamiyah tentang kapan boleh mengambil pendapat yang lemah:
القَوْلُ الأَوَّل: مَنْعُ الأَخْذِ وَالعَمَل بِالقَوْلِ المَرْجُوْح وَلَوْ كَانَ ثم حَاجَة أوْ ضَرُورَة .وبذلك قَالَ المَازِرِي والشَاطِبِي مِنْ المَالِكِيَة فِي أَحَدِ قَوْلَيْه.
القَوْل الثاَنِي: لِلْمُفْتِي الأَخْذ بِالقَوْلِ المَرْجُوْح فِي خَاصَةِ نَفْسِهِ وَلاَ يَجُوْزُ ذَلِك فِي الفُتيَا.
وَبِذَلِك قَالَ بَعْضُ المَالِكيَة وَبَعْضُ الشَافِعِية.
القَوْل الثَالِث:جَوَازُ الأَخْذُ وَالعَمَلُ فِي الفُتْيَا بِالقَوْل المَرْجُوْح عِنْدَ الاِقتِضَاء مِنْ ضَرُوْرَة أَوْ حَاجَة بِشُرُوْط.
وَبِذَلكَ قَالَ جُمْهُوْرُ الفقَهَاء مِنْ الحَنفيَة وأَكثَرُ المَالِكيَة، وَهوَ أَحَدُ قَوْلَي الشَاطِبِي، وَبَعْضُ الشَافعيَة وَهوَ مَذهَبُ الحَناَبلَة.
Pertama. Tidak boleh mengambil dan mengamalkan pendapat marjuh walau ada hajat dan darurat. Ini pendapat Imam al Maziri dan Imam asy Syathibi dari kalangan Malikiyah dalam salah satu di antara dua pendapatnya.
Kedua. Boleh saja bagi mufti mengambil dan mengamalkan pendapat yang marjuh untuk diri sendiri bukan difatwakan ke orang lain. Ini pendapat sebagian Malikiyah dan Syafi’iyah.
Ketiga. Boleh memfatwakan mengambil dan mengamalkan pendapat marjuh jika memang darurat atau adanya hajat yang memenuhi syarat. Ini pendapat umumnya ulama baik Hanafiyah, mayoritas Maikiyah, salah satu pendapat Asy Syathibi, sebagian Syafi’iyah, dan ini pendapat Hambaliyah. (Lihat: https://www.ahlalhdeeth.com/vb/showthread.php?t=154876)
Syaikh Abdullah Alu Khunain lebih menguatkan pendapat yang terakhir bahwa pendapat yang lemah boleh diambil dan diamalkan jika memang benar-benar mendatangkan maslahat dan adanya hajat.
Demikian. Wallahu A’lam
✍️ Farid Nu’man Hasan