Mengapa Menolak Timnas Israel?

◼◽◼◽◼◽◼◽◼◽

✉️❔PERTANYAAN:

Assalamualaikum ust, izin tnya, bgmna sbtulny sikap bijak seorang muslim ketika terkait sifat keberpihakan/penolakan negara yg memerangi muslim? Apakah juga termasuk masuk ke dalam aspek2 lainnya? Mhon pencerahannya dan pendapat2 ulama ttg hal tsb (+62 821-8661-xxxx)

✒️❕JAWABAN

◼◽◼◽◼◽◼◽◼◽

Wa’alaikumussalam Wa Rahmatullah Wa Barakatuh

Selama sebuah negeri muslim diperangi dan dijajah oleh negara lain, maka negara tersebut statusnya adalah kafir harbi.

Tidak boleh mereka memasuki negeri muslim lainnya kecuali izin dari pemimpin dan atas dasar maslahat. Seperti, mereka memerdekakan kaum muslimin yang mereka jajah, atau mereka mau mendengarkan ajaran Islam.

Para ulama mengatakan:

لَيْسَ لِلْحَرْبِيِّ دُخُول دَارِ الإِْسْلاَمِ إِلاَّ بِإِذْنٍ مِنَ الإِْمَامِ أَوْ نَائِبِهِ، فَإِنِ اسْتَأْذَنَ فِي دُخُولِهَا فَإِنْ كَانَ فِي دُخُولِهِ مَصْلَحَةٌ، كَإِبْلاَغِ رِسَالَةٍ، أَوْ سَمَاعِ كَلاَمِ اللَّهِ تَعَالَى، أَوْ حَمْل مِيرَةٍ أَوْ مَتَاعٍ يَحْتَاجُ إِلَيْهِمَا الْمُسْلِمُونَ، جَازَ الإِْذْنُ لَهُ بِدُخُول دَارِ الإِْسْلاَمِ إِلاَّ الْحَرَمَ، وَلاَ يُقِيمُ فِي الْحِجَازِ أَكْثَرَ مِنْ ثَلاَثَةِ أَيَّامٍ، لأَِنَّ مَا زَادَ عَلَى هَذِهِ الْمُدَّةِ فِي حُكْمِ الإِْقَامَةِ، وَهُوَ غَيْرُ جَائِزٍ. وَفِي غَيْرِ الْحِجَازِ يُقِيمُ قَدْرَ الْحَاجَةِ. أَمَّا الْحَرَمُ فَلاَ يَجُوزُ دُخُول كَافِرٍ فِيهِ وَإِنْ كَانَ ذِمِّيًّا بِحَالٍ مِنَ الأَْحْوَال عِنْدَ جُمْهُورِ الْفُقَهَاءِ

– Tidak boleh kafir harbi memasuki negeri kaum muslimin

– Imam atau wakilnya boleh saja mengizinkan mereka masuk jika ada maslahat

– maslahat tsb adalah tersampaikan risalah Islam, diperdengarkan ayat2 Allah, atau mereka membawa barang2 yang dibutuhkan kaum muslimin.

– Khusus tanah haram, mereka tidak boleh diizinkan. Bahkan kafir dzimmi pun tidak boleh menurut mayoritas fuqaha.

– Untuk di Hijaz maksimal mrk hanya boleh bermukim 3 hari.

(Al Mausu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah, 20/203)

Dalam konteks penolakan terhadap kesebelasan timnas Zionis Israel, maka selama mereka masih menjajah, merampok tanah Palestina, maka selama itu status mereka adalah harbi. Maka, berlaku hukum-hukum bagi kafir harbi seperti di atas.

Ini bukan mencampurkan antara politik dan olahraga, .. tapi hasasiyah imaniyah (kepekaan iman) seorang muslim, solidaritas, dan empati kepada sesama muslim yang terjajah. Karena sesama muslim itu bersaudara dan satu tubuh.

Demikian. Wallahu A’lam

Farid Nu’man Hasan

Berbekam Saat Puasa

◼◽◼◽◼◽◼◽◼◽

✉️❔PERTANYAAN:

Assalamu’alaikum ustadz, izin bertanya. Bagaimana hukum berbekam siang hari bulan ramadhan? Jazaakallahu sebelumnya (DG)

✒️❕JAWABAN

◼◽◼◽◼◽◼◽◼◽

Wa’alaikumussalam Wa Rahmatullah Wa Barakatuh

Bismillahirrahmanirrahim..

Berbekam saat puasa diperselisihkan ulama. Mayoritas mengatakan tidak apa-apa. Sementara para ulama Hanabilah (Hambaliyah) mengatakan batal.

Pihak yang mengatakan batal, berdalil hadits dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah ﷺ  bersabda:

أَفْطَرَ الْحَاجِم وَالْمَحْجُوم

“Orang yang membekam dan yang dibekam, hendaknya berbuka puasa.”  (HR. Ibnu Majah no. 1679. Dinyatakan shahih oleh Syaikh Ahmad Syakir, Syaikh Syu’aib Al Arnauth, dll)

Namun, mayoritas ulama mengoreksi dengan mengatakan bahwa hadits itu telah mansukh (dihapus hukumnya), oleh hadits berikut:

عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ احْتَجَمَ وَهُوَ مُحْرِمٌ وَاحْتَجَمَ وَهُوَ صَائِمٌ

“Dari Ibnu ‘Abbas Radhiallahu ‘Anhuma, bahwa Nabi ﷺ  berbekam dan beliau sedang ihram, dan pernah berbekam padahal sedang berpuasa.” (HR. Bukhari no. 1938)

Imam Ibnu Hajar Rahimahullah berkata:

قَالَ اِبْن عَبْد الْبَرّ وَغَيْره : فِيهِ دَلِيل عَلَى أَنَّ حَدِيث ” أَفْطَرَ الْحَاجِم وَالْمَحْجُوم ” مَنْسُوخ لِأَنَّهُ جَاءَ فِي بَعْض طُرُقه أَنَّ ذَلِكَ كَانَ فِي حَجَّةِ الْوَدَاع

“Berkata Ibnu Abdil Bar dan lainnya: “Hadits ini merupakan dalil, bahwa hadits yang berbunyi “Orang yang membekam dan yang dibekam, hendaknya berbuka”, telah mansukh (dihapus) karena telah ada beberapa riwayat lain bahwa hal itu (berbekam ketika ihram) terjadi pada haji wada’ (perpisahan).”

(Fathul Bari, jilid. 4, hal. 178)

Imam Al Mundziri mengatakan hadits Abu Hurairah telah dihapus oleh hadits Ibnu Abbas. (‘Umdatul Qari, jilid. 11, hal. 40)

Sementara Imam Ibnu Hazm, berpendapat tidak mansukh, tapi memang berbekam tidaklah batal. (Al Muhalla, jilid. 4, hal. 335-336)

Sebagian ulama menjelaskan kalaupun hadits tersebut tidak mansukh, namun makna hadits “hendaknya berbuka” bukan berarti batal tapi diberikan keringanan bagi yang berbekam untuk berbuka saja.

Syaikh Abul ‘Ala Al Mubarkafuri Rahimahullah menjelaskan:

وَقَالَ الْأَكْثَرُونَ لا بأس بها إذ صح عن بْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ احْتَجَمَ وَهُوَ مُحْرِمٌ وَاحْتَجَمَ وَهُوَ صَائِمٌ وَإِلَيْهِ ذَهَبَ مَالِكٌ وَالشَّافِعِيُّ وَأَصْحَابُ أَبِي حَنِيفَةَ وَقَالُوا مَعْنَى قَوْلِهِ أَفْطَرَ تَعَرَّضَ لِلْإِفْطَارِ كما يقال هلك فلان إذا تعرض الهلاك

“Mayoritas ulama mengatakan tidak apa-apa hal itu (berbekam), karena telah shahih dari Ibnu Abbas bahwa Rasulullah ﷺ berbekam dan saat itu dia sedang ihram dan berbekam saat berpuasa. Inilah pendapat Malik, Syafi’i, dan para sahabat Abu Hanifah.
Mereka mengatakan bahwa makna sabdanya “hendaknya berbuka” adalah dibuka peluang baginya untuk berbuka, sebagaimana dikatakan “halaka fullan” (fulan binasa), artinya dia terbuka peluang untuk binasa.”

(Tuhfah al Ahwadzi, 3/407)

Sementara, dari Tsabit Al Bunani:

سُئِلَ أَنَسُ بْنُ مَالِكٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَكُنْتُمْ تَكْرَهُونَ الْحِجَامَةَ لِلصَّائِمِ قَالَ لَا إِلَّا مِنْ أَجْلِ الضَّعْفِ

“Anas bin Malik ditanya: “Apakah Anda memakruhkan berbekam bagi orang puasa?” beliau menjawab: “TIDAK, selama tidak membuat lemah.”

(HR. Bukhari no. 1940)

Dari keterangan ini maka jelaslah kebolehkan berbekam, dan ini pendapat yang lebih kuat dibanding pihak yang mengatakan batal, kecuali jika melemahkan, maka ia makruh sebagaimana yang dikatakan Anas bin Malik Radhiallahu ‘Anhu.

Demikian. Wallahu A’lam

Farid Nu’man Hasan

Muzakki Berzakat Untuk Mustahiq Luar Daerahnya

◼◽◼◽◼◽◼◽◼◽

✉️❔PERTANYAAN:

Assalamu’alaikum ustadz, Punten. Mau tanya soal zakat.. dimasjid dekat kosan saya ada tulisan, “dimana ia (harta) diperoleh, disitulah zakat ditunaikan”. Apakah statement itu berdasar, ustadz? Kemudian jika iya, apakah memang tidak ada ruang bagi kita anak rantau untuk melakukan zakat di kampung halaman/lembaga zakat di daerah lain? (+62 813-8864-xxxx)

✒️❕JAWABAN

◼◽◼◽◼◽◼◽◼◽

Wa’alaikumussalam Wa Rahmatullah Wa Barakatuh

Ya, seorang muzakki berzakat di luar daerahnya adalah terlarang menurut empat mazhab, mulai dari yang memakruhkan saja sampai yang menyebut tidak sah.

Syaikh Muhammad Na’im Sa’i mengatakan bahwa mayoritas ulama memakruhkan membayar zakat di luar daerah muzakki (luar dearah maksudnya: pada jarak daerah yang sudah boleh qashar shalat). Ini adalah pendapat Umar bin Abdul Aziz, Thawus, Said bin Jubeir, Mujahid, Nakha’i, Ats Tsauri, Malik, dan Ahmad.

Lalu, apakah SAH? ada perbedaan pendapat dlm hal ini, Imam Ibnu Qudamah mengatakan SAH, dan itu pendapat mayoritas ulama, dan itu juga pendapat Abu Hanifah.

Imam An Nawawi mengatakan tidak sah, dan itu merupakan pendapat paling shahih dari dua pendapat Imam Asy Syafi’i tentang ini. Ini (tidak sah) juga salah satu riwayat dari Imam Ahmad.

(Lihat semua dari _Mausu’ah Masaail Al Jumhur fil Fiqh Al Islami,_ jilid. 1, hal. 294)

Sedangkan dalam kitab Ikhtilaf Al Aimmah Al ‘Ulama, disebutkan sbb:

1. Imam Abu Hanifah

Makruh, kecuali mengirim kepada orang yang dekat dengannya dan membutuhkan, atau kepada kaum yang lebih membutuhkan dibanding penduduk negerinya sendiri, Ini tidak makruh.

2. Imam Malik

Tidak boleh secara mutlak, kecuali penduduk negeri tsb begitu membutuhkan, maka seorang pemimpin boleh mendistribusikan ke mereka menurut hasil analisa dan ijtihad.

3. Imam Asy Syafi’i

Makruh mendistribusikan zakat ke luar, jika dibawa keluar maka tentang keabsahan zakatnya ada dua pendapat dari Imam Syafi’i.

4. Imam Ahmad bin Hambal.

Menurut pendapat yang masyhur darinya, tidak boleh bayar zakat ke negeri lain baik kepada kerabatnya atau orang lain selama di negerinya masih ada orang yang layak diberikan zakat.

(Abu Muzhafar, Ikhtilaf Al Aimmah Al ‘Ulama, jilid. 1, hal. 220)

Namun demikian, jika kondisi negerinya sendiri SUDAH CUKUP, maka para ulama ijma’ boleh dibayarkan kepada yang lebih membutuhkan di negeri lain.

Imam Abu Muzhafar Ibnu Hubairah mengatakan:

وَأَجْمعُوا على أَنه إِذا اسْتغنى أهل بلد عَنْهَا جَازَ نقلهَا إِلَى من هم أَهلهَا

Mereka ijma’ bahwa jika penduduk di negerinya sudah cukup zakatnya, maka BOLEH mendistribusikan zakat itu kepada negeri yang penduduknya lebih membutuhkan. (Ibid)

Jadi, jika di daerah si muzakki sudah terpenuhi bahkan melimpah ruah, maka zakat boleh didistribusikan ke luar, dan ini telah ijma’.

Demikian. Wallahu A’lam

Farid Nu’man Hasan

Skeptis dengan Agama Karena Banyak Perbedaan Pendapat

◼◽◼◽◼◽◼◽◼◽

✉️❔PERTANYAAN:

Assalamu’alaikum ustadz, saya skeptis dengan cara beragama sebab banyaknya pendapat para ulama mengenai fiqh, aqidah dll. Dan saya banyak memiliki teman kerja yang berbeda2 madzhab ada yg mengerti dan ada yg gagal paham.
Dari 0-18 tahun kenal NU, Lalu 19-21 tahun kenal Muhammadiyah, lalu 22-28 tahun kenal jamaah tablig dan 29 hingga sekarang kenal manhaj salaf. Lantas saya selalu bingung dg banyaknya pendapat2 itu. Bagaimana seharusnya saya?

✒️❕JAWABAN

◼◽◼◽◼◽◼◽◼◽

Wa’alaikumussalam wa Rahmatullah wa Barakatuh

Kerangka berpikir kita harus kuat, bahwa perbedaan yang dialami manusia termasuk internal umat Islam adalah hal yang sunatullah dalam kehidupan.

Renungkan ayat berikut:

{ وَلَوۡ شَآءَ رَبُّكَ لَجَعَلَ ٱلنَّاسَ أُمَّةٗ وَٰحِدَةٗۖ وَلَا يَزَالُونَ مُخۡتَلِفِينَ }

Dan jika Tuhanmu menghendaki, tentu Dia jadikan manusia umat yang satu, tetapi mereka senantiasa berselisih (pendapat). [Surat Hud: 118]

Jadi, perbedaan atau perselisihan itu bagian dari masyiatullah (kehendak Allah). Oleh karenanya, para pakar tafsir generasi salaf seperti Al Hasan, Muqatil, dan ‘Atha menjelaskan:

أي وللاختلاف خلقهم

Yaitu Allah menciptakan mereka (manusia) untuk berbeda. (Al Jami’ Li Ahkam al Quran (Kairo: Dar Ibn al Jauzi, 2011), juz. 5, hal. 428)

Namun, perbedaan tidak identik perpecahan. Para sahabat nabi, mereka berbeda suku, kabilah, dan pemahaman dalam beberapa hal fiqih, tapi mereka tetap bersatu dalam barisan umat Islam. Perpecahan di antara mereka muncul karena api fitnah kaum munafik dan Yahudi yang menyusup di dalamnya.

Bahkan perbedaan juga dialami Malaikat, para nabi, para sahabat, dan para imam ahli ilmu. Sebagaimana yang tertera dalam Al Qur’an, Sunnah, sirah nabawiyah, serta sirah para tokoh.

Sikap kita adalah jika perbedaannya bukan hal prinsip dalam aqidah, masih sekedar perbedaan seputar fiqih, metode dakwah, menyikapi realita politik, maka toleran saja. Seperti perbedaan antara NU, Muhammadiyah, Persis, Jamaah Tabligh, Ikhwanul Muslimin, Salafi, dan semisal ini.

Imam Sufyan Ats Tsauri Rahimahullah mengatakan:

إذا رأيت الرجل يعمل العمل الذي قد اختلف فيه وأنت ترى غيره فلا تنهه

“Jika engkau melihat seorang melakukan perbuatan yang masih diperselisihkan, padahal engkau punya pendapat lain, maka janganlah kau mencegahnya.” (Imam Abu Nu’aim Al Asbahany, Hilaytul Auliya, 3/133)

Imam Ahmad bin Hambal Rahimahullah، Beliau mengomentari orang yang shalat dua rakaat setelah Ashar:

لا نفعله ولا نعيب فاعله

“Kami tidak melakukannya tapi kami tidak juga menilai aib orang yang melakukannya.”

(Al Mughni, 2/87, Syarhul Kabir, 1/802)

Tapi jika perbedaannya sudah ranah aqidah yang pokok seperti dengan Ahmadiyah, syiah, inkar sunnah, dan aliran sesat lainnya, maka sikap kita tegas menolak mereka.

Wallahu A’lam

✍ Farid Nu’man Hasan

scroll to top