Membaca Shalawat di Tasyahud Akhir Tanpa “wa ‘ala aali Muhammad

Pertanyaan

Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh, ustadz izin bertanya, dulu waktu saya masih kecil pernah diajarkan apabila pada bacaan tasyahud akhir kita boleh membaca shalawat dengan atau tidak menggunakan “sayyidina”, akan tetapi saya salah paham akan hal itu ustadz, jadi saya malah menghilangkan kata “wa’ala ali muhammad” di setiap bacaan shalawat pada tasyahud akhir dan baru menyadarinya hari ini ustadz, jadi apa yang harus saya lakukan ustadz, apakah harus mengganti shalat-shalat yang sudah saya lakukan selama ini?, mohon bantuannya ustadz, terimakasih. (Dito Erfana-Pacitan)


Jawaban

Wa’alaikumussalam wa Rahmatullah wa Barakatuh

Bismillahirrahmanirrahim..

Perlu diketahui bahwa membaca shalawat di tasyahud akhir diperselisihkan para ulama. Sebagian mengatakan sunnah, bagi mereka tanpa membaca shalawat shalat tetap sah. Ini pendapat Hanafiyah, Malikiyah, dan mayoritas ulama.

Sebagian lain mengatakan membaca shalawat di tasyahud akhir adalah rukun, tanpa membacanya maka shalatnya batal. Ini pendapat resmi mazhab Syafi’i dan Hambali.

Imam An Nawawi menjelaskan:

اعلم أن العلماء اختلفوا في وجوب الصلاة على النبي صلى الله عليه وسلم عقب التشهد الأخير في الصلاة، فذهب أبو حنيفة، ومالك ـ رحمهما الله ـ والجماهير على أنها سنة، لو تركت صحت الصلاة، وذهب الشافعي، وأحمد ـ رحمهما الله تعالى ـ إلى أنها واجبة لو تركت لم تصح الصلاة

Ketahuilah bahwa para ulama berbeda pendapat tentang kewajiban membaca shalawat kepada Nabi Muhammad ﷺ setelah tasyahud akhir dalam shalat. Imam Abu Hanifah, Imam Malik رحمهما الله, dan mayoritas ulama berpendapat bahwa membaca shalawat tersebut adalah sunnah; jika ditinggalkan, shalat tetap sah. Sedangkan Imam Syafi’i dan Imam Ahmad رحمهما الله تعالى berpendapat bahwa membaca salawat itu wajib; jika ditinggalkan, salat tidak sah. (Syarh Shahih Muslim, jilid. 4, hal. 123)

Namun, bagi pihak yang mewajibkan mengatakan jika seseorang membaca shalawat hanya “Allahumma Shalli ‘ala Muhammad”, itu sudah cukup dan sah dinamakan shalawat, walau tanpa ditambah wa ‘ala aali Muhammad, dst.

Imam An Nawawi menjelaskan:

وَالْوَاجِبُ عِنْدَ أَصْحَابِنَا اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَمَا زَادَ عَلَيْهِ سُنَّةٌ

Yang wajib menurut para sahabat kami (Syafi’iyah) adalah Allahumma Shalli ‘ala Muhammad, ada pun selebihnya adalah sunnah. (Syarh Shahih Muslim, jilid. 4, hal. 124)

Maka, apa yang ditanyakan saudara penanya, bahwa Shalawat yang dibacanya hanya sampai Allahumma Shalli ‘ala (Sayyidina) Muhammad, tanpa tambahan wa ‘ala aali Muhammad … Itu sudah cukup dan sah. Alhamdulillah.

Wallahu A’lam

Wa Shalallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘Ala Aalihi wa Shahbihi wa Sallam

☘

✍ Farid Nu’man Hasan

Bendahara Meminjam Uang Kas Tanpa Izin

 PERTANYAAN:

Bismillah..
Ustadz afwan mau tanya, kalau ada orang yang diamanahi jadi Bendahara, terus meminjam uang kas dan dikembalikan saat dibutuhkan, kira2 bagaimana hukumnya ustadz?


 JAWABAN

Bismillahirrahmanirrahim..

Jika dia (bendahara) diam-diam dan tanpa izin memakai/meminjam uang kas lembaga, organisasi, DKM, atau lainnya, walaupun dengan rencana mengembalikan, ini tetap tindakan yang tidak amanah alias Khianat.

Allah ﷻ berfirman:

{ يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ لَا تَخُونُواْ ٱللَّهَ وَٱلرَّسُولَ وَتَخُونُوٓاْ أَمَٰنَٰتِكُمۡ وَأَنتُمۡ تَعۡلَمُونَ }

Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul dan (juga) janganlah kamu mengkhianati amanat yang dipercayakan kepadamu, sedang kamu mengetahui. [QS. Al-Anfal: 27]

Dalam hadits:

لاَ إِيمَانَ لِمَنْ لاَ أَمَانَةَ لَهُ، وَلاَ دِينَ لِمَنْ لاَ عَهْدَ لَهُ

Tidak beriman orang yang tidak amanah, dan tidak beragama orang yang tidak menepati janjinya. (HR. Ahmad, Al Baihaqi, Abu Nu’aim, dll. Semua jalur yang ada menjadikan hadits ini shahih)

Bahkan, walaupun sudah izin pengurus, tapi sumber dana yang dipinjamnya itu adalah jenis dana “muqayyad” yaitu dana yang sudah diperuntukkan untuk keperluan khusus, maka itu juga tidak dibenarkan, kecuali berasal dari dana muthlaq (umum) yang peruntukkannya bebas dan tidak khusus.

Wallahu A’lam

Baca juga: Hukum Menjual Barang Titipan

 Farid Nu’man Hasan

Konflik Antara Abu Bakar dan Fatimah

 PERTANYAAN:

Assalaamu’alaykum Ustadz, Apakah benar ada perselisihan (konflik) antara Sayidina Abu Bakar r.a. dengan Hazrat Fatimah Az-Zahra r.a. hingga beliau berdua tidak bertegur sapa sampai wafatnya Fatimah r.a. ?

JazakAllaahu khair


 JAWABAN

Wa’alaikumussalam wa Rahmatullah wa Barakatuh

Fathimah dan Abu Bakar Radhiallahu ‘Anhuma memang sempat berselisih masalah tanah Fadak. Syiah menuduh Abu Bakar mengambil tanah Fadak yang merupakan warisan Rasulullah ﷺ kepada Fathimah.

Itu tuduhan sangat lemah, karena Rasulullah ﷺ tidak pernah meninggalkan warisan tetapi shadaqah. Oleh karenanya Abu Bakar menjadikan tanah Fadak sebagai shadaqah bukan milik pribadi Fathimah.

Ini berdasarkan hadits Bukhari dan Muslim:

لاَ نُورَثُ مَا تَرَكْنَا صَدَقَةٌ

“Kami tidak diwarisi, apa yang kami tinggalkan adalah shadaqah”

Namun hubungan Fathimah dan Abu Bakar tetap baik-baik saja, dan akhir hayatnya Fathimah ridha terhadap Abu Bakar. Sebagaimana riwayat Imam Al Baihaqi dalam As Sunan Al Kubra:

لما مرضت فاطمة أتاها أبو بكر الصديق فاستأذن عليها، فقال علي: يافاطمة هذا أبو بكر يستأذن عليك؟ فقالت: أتحب أن آذن له؟ قال: نعم، فأذنت له فدخل عليها يترضاها، فقال: والله ما تركت الدار والمال، والأهل والعشيرة، إلا إبتغاء مرضاة الله، ومرضاة رسوله، ومرضاتكم أهل البيت، ثم ترضاها حتى رضيت

Ketika Fathimah sakit, Abu Bakar Ash-Shiddiq datang menemuinya dan meminta izin untuk masuk. Ali berkata: “Wahai Fathimah, ini Abu Bakar meminta izin untuk masuk kepadamu.” Fathimah bertanya: “Apakah engkau ingin aku mengizinkannya?” Ali menjawab: “Iya.” Maka Fathimah pun mengizinkannya.

Abu Bakar kemudian masuk menemuinya dan berusaha menyenangkannya. Dia berkata: “Demi Allah, aku tidak meninggalkan rumah, harta, keluarga, dan kaum kerabat, kecuali demi mencari keridhaan Allah, keridhaan Rasul-Nya, dan keridhaan kalian, wahai Ahlul Bait.” Abu Bakar terus berusaha menyenangkannya hingga akhirnya Fathimah meridhainya. (As Sunan Al Kubra, 6/301)

Kisah tanah Fadak yang membuat Fathimah Radhiallahu ‘Anha jengkel ini sering diulang-ulang Syiah untuk mendiskreditkan Abu Bakar Radhiallahu ‘Anhu, padahal itu sama sekali gak ngefek, karena Allah Ta’ala dan Rasul-Nya telah memuji Abu Bakar Ash Shiddiq. (Tak ada konflik antara Abu Bakar dan Fatimah)

Dari Ibnu Umar Radhiallahu ‘Anhuma, bahwa Rasulullah ﷺ bersabda kepada Abu Bakar:

أنت صاحبي على الحوض، وصاحبي في الغار

“Engkau adalah sahabatku di haudh (telaga rasul di surga) dan sahabatku di gua.” (HR. At Tirmidzi No. 3752, katanya: hasan shahih)

Dalam hadits lain:

أما إنك يا أبا بكر أول من يدخل الجنة من أمتي

“Ada pun engka wahai Abu Bakar, adalah orang pertama dari umatku yang akan masuk surga.” (HR. Abu Daud, No. 4652. Ath Thabrani, Al Mu’jam Al Kabir, No. 538. Dishahihkan oleh Al Hakim, Tarikhul Khulafa’ Hal. 20)

Ali bin Abi Thalib Radhiallahu ‘Anhu sebagai tokoh yang paling sentral dalam aqidah Syiah pun memuji Abu Bakar sbb:

أن الله أنزل اسم أبي بكر من السماء الصديق

“Sesungguhnya Allah menurunkan nama dari langit bagi Abu Bakar dengan Ash Shiddiq.” (HR. Ath Thabarani, Al Mu’jam Al Kabir, No. 14.)

Berkata Al Hafizh Ibnu Hajar: rijalnya tsiqat (kredibel) (Fathul Bari, 7/9)

Baca juga: Keutamaan Abu Bakar Ash Shiddiq Radhiallahu ‘Anhu

Wallahu A’lam

 Farid Nu’man Hasan

Konsep Rezeki dalam Islam

 PERTANYAAN:

Assalammu’alaikum ust Farid yg In Syaa Allah di Cintai Allah akan ilmunya…
Afwan ganggu ust

Ada pertanyaan titipan dari teman kantor :

Ust, sebenarnya dalam konsep Islam mendapatkan rezeki ( uang ) itu tergantung dari ikhtiar atau ibadah maghdah yg membuat kita semakin dekat dgn Allah??

Karena ada persepsi di masyarakat klo rajin puasa, rajin Dhuha, Rajin sholat 5 waktu berjama’ah di mesjid, zikir pagi petang, dan ibadah lainnya gak akan bisa menghasilkan banyak rezeki ( uang ) klo bukan rajin + keras dalam bekerja, jadi mindsetnya :

✓ Yg menentukan itu kekuatan rajin + kerja keras nya bukan kekuatan ibadahnya.

Dikantor ada orang yg rajin sholat Dhuha menyempatkan ditengah kesibukan di sudukan oleh teman kantor yg lain bahwa yg menentukan rezeki ( uang ) itu adalah rajin + kerja keras.

Seperti apa ya ust para sahabat dalam menjemput rezeki ( uang ) itu sehingga kita kenal sosok sahabat yg kaya seperti Utsman, Abdurrahman bin Auf sehingga seperti menomor duakan kekuatan ibadah??

Mohon pencerahannya ust

Jazakallah


 JAWABAN

Wa’alaikumussalam wa Rahmatullah wa Barakatuh

Ibadah dan tawakkal saja tanpa usaha dan ikhtiar, ini salah .., pemalas..

Usaha tanpa ibadah, juga salah .., ini sombong..

Kedua-duanya sama-sama bertentangan dengan sunnah. Imam Sahl bin Abdillah at Tustari Rahimahullah mengatakan:

مَنْ طَعَنَ فِي الْحَرَكَةِ – يَعْنِي فِي السَّعْيِ وَالْكَسْبِ – فَقَدْ طَعَنَ فِي السُّنَّةِ، وَمَنْ طَعَنَ فِي التَّوَكُّلِ، فَقَدْ طَعَنَ فِي الْإِيمَانِ، فَالتَّوَكُّلُ حَالُ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -، وَالْكَسْبُ سُنَّتُهُ، فَمَنْ عَمِلَ عَلَى حَالِهِ، فَلَا يَتْرُكَنَّ سُنَّتَهُ.

Orang yang mencela sebab dan usaha maka dia telah mencela sunnah. Orang yang mencela tawakkal maka dia telah mencela keimanan. Tawakkal itu adalah keadaannya Rasulullah ﷺ, dan berusaha itu adalah sunnahnya.

Siapa yang beramal berdasar keadaan Rasulullah ﷺ, maka janganlah dia tinggalkan sunnahnya (yaitu usaha). (Imam Ibnu Rajab al Hambali, Jami’ al ‘Ulum wa al Hikam (Kairo: Dar Ibn al Jauzi, 2019), hal. 483)

Islam mengajarkan shalat dhuha, istighfar, dan doa-doa pembuka rezeki .. tapi Islam juga mengajarkan usaha.

Allah Ta’ala berfirman:

إِنَّ اللَّهَ لَا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّىٰ يُغَيِّرُوا مَا بِأَنْفُسِهِمْ

Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sebelum mereka mengubah keadaan diri mereka sendiri. (QS. Ar-Ra’d, Ayat 11)

Ayat yang lain:

وَقُلِ اعْمَلُوا فَسَيَرَى اللَّهُ عَمَلَكُمْ وَرَسُولُهُ وَالْمُؤْمِنُونَ ۖ وَسَتُرَدُّونَ إِلَىٰ عَالِمِ الْغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ فَيُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ

Dan katakanlah, “Bekerjalah kamu, maka Allah akan melihat pekerjaanmu, begitu juga Rasul-Nya dan orang-orang mukmin, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) Yang Mengetahui yang gaib dan yang nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan.” (QS. At-Taubah, Ayat 105)

Dari Rafi’ bin Khadij, “Dikatakan:

يَا رَسُولَ اللَّهِ أَيُّ الْكَسْبِ أَطْيَبُ قَالَ عَمَلُ الرَّجُلِ بِيَدِهِ وَكُلُّ بَيْعٍ مَبْرُورٍ

“Wahai Rasulullah, mata pencaharian apakah yang paling baik?” beliau bersabda:

“Bekerjanya seorang laki-laki dengan tangannya sendiri dan setiap jual beli yang mabrur.”

(HR. Ahmad No. 17265, Al Hakim dalam Al Mustadrak No. 2158. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan: hasan lighairih)

Para nabi pun bekerja .., Nabi Daud ‘Alaihissalam makan dari usahanya sendiri, Nabi Zakariya ‘Alaihissalam sbagai tukang kayu. Sebagaimana diriwayatkan dalam Shahih Al Bukhari.

Para sahabat Mekkah adalah pedagang, para sahabat Madinah adalah petani, tidak ada menganggur dan mengandalkan ibadah saja. Tapi mereka pun juga sangat luar biasa dalam doa dan ibadahnya disamping usahanya.

Umar bin Khattab Radhiallahu ‘Anhu pernah berkata:

لَا يَقْعُدَنَّ أَحَدُكُمْ عَنْ طَلَبِ الرِّزْقِ وَيَقُولُ: اللَّهُمَّ ارْزُقْنِي، وَقَدْ عَلِمَ أَنَّ السَّمَاءَ لَا تُمْطِرُ ذَهَبًا وَلَا فِضَّةً

“Janganlah salah seorang di antara kalian duduk berpangku tangan dalam mencari rezeki, lalu berkata: ‘Ya Allah, berilah aku rezeki’, padahal dia tahu bahwa langit tidak menurunkan hujan emas dan perak.” (Dikutip Imam Al Ghazali dalam Al Ihya’)

Umar bin Khattab Radhiallahu ‘Anhu, sahabat nabi yang sukses dengan kebunnya, dan wafat meninggalkan banyak kekayaan, tapi Beliau juga mengajarkan doa.. Beliau berdoa agar jangan termasuk orang sengsara:

اللَّهُمَّ إِنْ كُنْتَ كَتَبْتَنِي فِي أَهْلِ السَّعَادَةِ فَأَثْبِتْنِي فِيهَا، وَإِنْ كُنْتَ كَتَبْتَنِي فِي أَهْلِ الشَّقَاوَةِ وَالذَّنْبِ فَامْحُنِي وَأَثْبِتْنِي فِي أَهْلِ السَّعَادَةِ وَالْمَغْفِرَةِ، فَإِنَّكَ تَمْحُو مَا تَشَاءُ وَتُثْبِتُ، وَعِنْدَكَ أُمُّ الْكِتَابِ

Ya Allah, jika Kau catat namaku termasuk orang berbahagia maka kokohkanlah, jika Engkau catat namaku termasuk orang yang sengsara dan berdosa, hapuslah namaku dan tetapkanlah aku bersama orang yang berbahagia dan mendapat ampunan, karena Engkau berkehendak menghapus apa yang mau dan menetapkan apa yang Kau mau, dan pada kuasaMulah ummul kitab (Lauh Mahfuzh). (Tafsir Al Qurthubi, 9/330)

Jadi, konsep mencari rezeki dalam Islam, gabungkan keduanya; mujahadah dalam usaha dan ibadah sekaligus.

Wallahu A’lam

Baca juga: Tentang Konsep Rezeki

☘

✏ Farid Nu’man Hasan

scroll to top