Syarah Hadits Arbain Nawawiyah (Bag.7) – Lanjutan Hadits Kedua: Makna Islam, Iman, dan Ihsan

Tulisan Sebelumnya: Syarah Hadits Arbain Nawawiyah (Bag.6) – Lanjutan Hadits Kedua: Makna Islam, Iman, dan Ihsan

🐾🐾🐾🐾🐾🐾🐾🐾🐾

SYARAH HADITS KEDUA

قَالَ: فَأَخْبِرْنِيْ عَنِ الإِحْسَانِ :

Kemudian dia berkata lagi: Beritahukan aku tentang ihsan

قَالَ: أَنْ تَعْبُدَ اللهَ كَأَنَّكَ تَرَاهُ، فَإِنْ لَمْ تَكُنْ تَرَاهُ فَإِنَّهُ يَرَاكَ :

Lalu beliau bersabda: Ihsan adalah engkau beribadah kepada Allah seakan-akan engkau melihatNya, jika engkau tidak melihatNya maka Dia melihat engkau

Imam Ibnu Daqiq Al ‘Id mengatakan:

حاصله راجع إلى إتقان العبادات ومراعاة حقوق الله ومراقبته واستحضار عظمته وجلالته حال العبادات

“Esensinya adalah kembali pada keitqanan (kualitas) peribadatan dan menjaga hak-hak Allah, mendekatkan diri kepadaNya dan menghadirkan keagunganNya dan kebesaranNya dalam keadaan berbagai ibadah.” (Syarh Al Arbain An Nawawiyah, hal. 31)

Imam Sufyan bin ‘Uyainah Radhiallahu ‘Anhu mengatakan tentang makna Al Ihsan:

أن تكون سريرته أحسن من علانيته

“Menjadikan yang tersembunyi (di hati) lebih baik dari yang ditampakkannya.” (Imam Ibnu Katsir, Tafsir Al Quran Al ‘Azhim, 4/595)

قَالَ: فَأَخْبِرْنِي عَنِ السَّاعَةِ :

Kemudian dia berkata: Beritahukan aku tentang hari kiamat (kapan kejadiannya)

قَالَ: مَا الْمَسئُوُلُ عَنْهَا بِأَعْلَمَ مِنَ السَّائِلِ :

Beliau bersabda: Yang ditanya tidak lebih tahu dari yang bertanya

Maknanya adalah bahwa baik yang ditanya (yakni Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam) dan yang bertanya (yakni laki-laki yang pada hakikatnya adalah malaikat Jibril), keduanya sama sama tidak mengetahui kapan pastinya terjadi kiamat. Pengetahuan mereka sama-sama terbatas.

Syaikh Ismail bin Muhammad Al Anshari mengatakan tentang makna ucapan di atas:

لا أعلم وقتها أنا ولا أنت ، بل هو مما استأثر الله بعلمه

“Saya tidak mengetahui kapan waktunya begitu pula engkau, tetapi itu termasuk hal yang telah Allah tentukan dengan ilmuNya.” (At Tuhfah Ar Rabbaniyah, hadits ke 2. Maktabah Misykah)

Hal ini ditegaskan dalam Al Quran:

يَسْأَلُونَكَ عَنِ السَّاعَةِ أَيَّانَ مُرْسَاهَا قُلْ إِنَّمَا عِلْمُهَا عِنْدَ رَبِّي لا يُجَلِّيهَا لِوَقْتِهَا إِلا هُوَ

Mereka menanyakan kepadamu tentang kiamat: “Bilakah terjadinya?” Katakanlah: “Sesungguhnya pengetahuan tentang kiamat itu adalah pada sisi Tuhanku; tidak seorangpun yang dapat menjelaskan waktu kedatangannya selain Dia.” (QS. Al A’raf (7): 187)

Ayat lainnya:

يَسْأَلُونَكَ عَنِ السَّاعَةِ أَيَّانَ مُرْسَاهَا (42) فِيمَ أَنْتَ مِنْ ذِكْرَاهَا (43) إِلَى رَبِّكَ مُنْتَهَاهَا (44)

42. (orang-orang kafir) bertanya kepadamu (Muhammad) tentang hari kebangkitan, kapankah terjadinya? 43. siapakah kamu (maka) dapat menyebutkan (waktunya)? 44. kepada Tuhanmulah dikembalikan kesudahannya (ketentuan waktunya). (QS. An Naziat (79): 42-44)

Imam Ibnu Katsir Rahimahullah mengatakan tentang ayat-ayat ini:

ليس علمها إليك ولا إلى أحد من الخلق، بل مَردها ومَرجعها إلى الله عز وجل، فهو الذي يعلم وقتها على التعيين

“Pengetahuan tentang kiamat tidaklah ada padamu (Rasulullah) dan tidak pula seorang pun pada hambaNya, bahkan kembalikan dan pulangkanlah ilmu tentang kiamat kepada Allah ‘Azza wa Jalla, dan Dialah yang mengetahui waktunya secara khusus/pasti.” (Tafsir Al Quran Al ‘Azhim, 8/318. Dar An Nasyr wa At Tauzi’)

Dalam hadits ini, istilah kiamat diistilahkan dengan As Saa’ah- السَّاعَة. Secara bahasa penggunaan sehari-hari arti As Saa’ah adalah waktu, jam, arloji, dan masa 60 menit. Tapi, dalam konteks hadits ini dia bermakna kiamat. Istilah kiamat sendiri disebutkan dalam berbagai kata dalam Al Quran sesuai dengan bentuk peristiwanya, seperti Al Qiyamah (kiamat), Al Haaqqah (yang benar), Al Waaqi’ah (kenyataan yang terjadi), Al Infithar (pecah), At Takwir (terbelah), Al Insyiqaq (terbelah), Al Qaari’ah (pukulan keras), dan Al Zalzalah (guncangan).

Secara umum, pengetahuan manusia terhadap yang ghaib –bukan hanya kiamat- memang sangat sedikit. Allah Ta’ala berfirman:

قُلْ لا يَعْلَمُ مَنْ فِي السَّ

مَوَاتِ وَالأَرْضِ الْغَيْبَ إِلاَّ اللَّهُ وَمَا يَشْعُرُونَ أَيَّانَ يُبْعَثُونَ

Katakanlah: “tidak ada seorangpun di langit dan di bumi yang mengetahui perkara yang ghaib, kecuali Allah”, dan mereka tidak mengetahui bila mereka akan dibangkitkan. (QS. An Naml (27): 65)

Tapi, yang jelas kiamat hanya terjadi pada hari Jum’at. Berkata Syaikh Abdul Muhsin Al Abad Al Badr Hafizhahullah:

فكلهم لا يعلمون متى تقوم، الله تعالى هو الذي يعلم متى تقوم، فلا يُعلم متى تقوم في أي سنة وفي أي يوم من أي شهر، ولكن بلا شك هي لا تقوم يوم السبت ولا الأحد ولا الإثنين ولا الثلاثاء ولا الأربعاء ولا الخميس، وإنما تقوم يوم الجمعة بالتحديد، لأنه ثبت بذلك الحديث عن رسول الله عليه الصلاة والسلام، لكن أي جمعة من أي شهر من أي سنة لا يعلم بذلك إلا الله سبحانه وتعالى

“Maka, mereka semua tidak tahu kapan terjadinya kiamat, Allah Ta’ala yang mengetahui kapan terjadinya. Tidak diketahui pada tahun kapan terjadinya, pada hari apa, dan bulan apa. Tetapi, tidak diragkan lagi bahwa kiamat tidaklah terjadi pada hari sabut, ahad, senin, selasa, rabu, dan kamis. Dia terjadi pada hari jumat tertentu, karena hal ini telah shahih diriwayatkan dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Tetapi, jumat yang mana dari bulan yang mana, dari tahun yang mana? Tidak ada yang mengetahuinya kecuali Allah Ta’ala.” (Syaikh Abdul Muhsin Al Abad Al Badr, Syarh Sunan Abi Daud, No. 490)

Hadits shahih yang menyebutkan bahwa kiamat terjadi pada hari Jumat cukup banyak diantaranya, dari jalur Abu Hurairah. (HR. Abu Daud No. 1046, An Nasa’i No. 1430, At Tirmidzi No. 491), dari jalur Abu Lubabah. (HR. Ibnu Majah No. 84, Ibnu Abi Syaibah, Al Mushannaf, 2/9).

Bersambung …

Tulisan Sebelumnya: Syarah Hadits Arbain Nawawiyah (Bag.8) – Lanjutan Hadits Kedua: Makna Islam, Iman, dan Ihsan

🍃🌻🌴🌸🌺🌷🌾☘

✏ Farid Nu’man Hasan

Menyandingkan Nama Suami di Belakang Nama Istri

💢💢💢💢💢💢

📨 PERTANYAAN:

Assalamualaikum..
Ust, bgmn hukum nya seorang wanita di panggil dg menggabungkan nama suaminya?
Sprti yg ada di bbrpa daerah di Indonesia…
Misal fatimah istri dari Bp Jafar di panggil Fatimah Jakfar (08522900xxcc)

📬 JAWABAN

🍃🍃🍃🍃🍃

Wa’alaikumussalam wa Rahmatullah wa Barakatuh …

Hendaknya seseorang dinasabkan dan disandarkan kepada nama ayahnya, bukan nama suaminya.

Allah Ta’ala berfirman:

ادْعُوهُمْ لِآبَائِهِمْ هُوَ أَقْسَطُ عِنْدَ اللَّهِ

Panggilah anak-anak itu dengan nama ayah-ayah mereka. Dan yang demikian itu lebih adil di sisi Allah. (Qs. Al Ahzab: 5)

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

مَنِ ادَّعَى إِلَى غَيْرِ أَبِيهِ، وَهُوَ يَعْلَمُ فَالْجَنَّةُ عَلَيْهِ حَرَامٌ

Barang siapa yang mengklaim nasab kepada seorang yang bukan ayahnya, padahal dia tahu (itu bukan ayahnya), maka surga haram baginya. (HR. Al Bukhari No. 4326, Muslim, 115/63)

Maka, hendaknya seorang wanita tetap menggandengkan nama ayahnya di belakang namanya, sebab ayah tidak akan pernah jadi “mantan ayah”.

Kalau ada wanita menggunakan nama suaminya, “Fathimah Ja’far”, lalu besok bercerai atau suami wafat, nikah lagi dengan Ahmad, maka berubah lagi menjadi “Fathimah Ahmad.” Sedangkan dgn ayah, tidak akan berubah.

Syaikh Muhammad Shalih Al Munajjid Hafizhahullah menjelaskan;

لا يوجد في السنة النبوية ما يدل على أن الزوجة تُنسب لزوجها ، بل هذا أمر حادث لا تقره الشريعة ، وهؤلاء زوجات النبي صلى الله عليه وسلم أمهات المؤمنين ، تزوجهن النبي صلى الله عليه وسلم وهو أشرف الناس نسباً ، ولم تُنسب إحداهنَّ لاسمه صلى الله عليه وسلم ، بل كلُّ واحدة منهن نسبت لأبيها ولو كان كافراً ، وهؤلاء زوجات الصحابة – رضي الله عنهن –ومن بعدهن لم يغيرن نسبهن

Tidak ditemukan dalam Sunnah yang menunjukkan bahwa seorang istri disandarkan (dinasabkan) kepada suaminya. Ini adalah perkara baru yang tidak diakui oleh syariah.

Lihat istri-istri Nabi Shallallahu’Alaihi wa Sallam, para Umahatul mu’minin, mereka menikah dengan manusia yang paling mulia nasabnya yaitu Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, tapi masing – masing mereka tidak pernah menasabkan nama Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam kepada mereka. Tetapi, mereka tetap mengkaitkan na ma mereka kepada ayah-ayah mereka walau ayah mereka kafir.

Begitu pula istri-istri generasi sahabat nabi, juga setelah mereka, mereka tidak pernah mengubah nasab mereka.

( Al Islam Su’aal wa Jawaab no. 82138)

📌Yang Dibolehkan

Ada pun jika dipanggil dengan “Istri Ja’far”, “Bu Ja’far” yang menunjukkan ikatan pernikahan, ini tidak apa-apa.

Sebab Allah Ta’ala menyebut hal demikian pula:

إِذْ قَالَتِ امْرَأَتُ عِمْرَانَ رَبِّ إِنِّي نَذَرْتُ لَكَ مَا فِي بَطْنِي مُحَرَّرًا فَتَقَبَّلْ مِنِّي ۖ إِنَّكَ أَنْتَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ

(Ingatlah), ketika Isteri ´Imran berkata: “Ya Tuhanku, sesungguhnya aku menazarkan kepada Engkau anak yang dalam kandunganku menjadi hamba yang saleh dan berkhidmat (di Baitul Maqdis). Karena itu terimalah (nazar) itu dari padaku. Sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui”. (QS. Ali Imran: 35)

Ayat lain:

وَقَالَ نِسْوَةٌ فِي الْمَدِينَةِ امْرَأَتُ الْعَزِيزِ تُرَاوِدُ فَتَاهَا عَنْ نَفْسِهِ قَدْ شَغَفَهَا حُبًّا إِنَّا لَنَرَاهَا فِي ضَلَالٍ مُبِينٍ

“Dan perempuan-perempuan di kota berkata, “ Istri al-Aziz menggoda dan merayu pelayannya untuk menundukkan dirinya, palayannya benar-benar membuatnya mabuk cinta. Kami pasti memandang dia dalam kesesatan yang nyata.” (QS. Yusuf: 30).

Demikian. Wallahu a’lam


💢💢💢💢💢💢💢💢

📨 PERTANYAAN:

Assalamu’alaykum Ustadz,
Afwan ada titipan pertanyaan,
Di dalam Islam, seorang wanita tidak boleh menambahkan nama suaminya di belakang namanya.
Nah, kalo ada kasus seorang ibu yang dipanggil dengan nama suaminya bagaimana Ustadz, misalnya karena suaminya bernama Teguh, trus dipanggil Bu Teguh?
Mohon penjelasannya Ustadz?
Syukron 🙏 (+62 813-9313-xxxx)

📬 JAWABAN

🍃🍃🍃🍃🍃🍃🍃🍃🍃

Wa’alaikumussalam wa Rahmatullah wa Barakatuh

Bismillahirrahmanirrahim..

Ada kebiasaan di sebagian masyarakat kita, menyandarkan nama belakang istri dengan nama suaminya, apakah ini terlarang?

Para ulama merinci hal tersebut, sebagai berikut.

1. Terlarang jika dimaksudkan mengubah nasab.

Misal, seorang wanita bernama Fatimah, nikah bersuamikan Ali, maka di masyarakat ia akan dipanggil ‘Fatimah Ali.’ Jika panggilan itu dimaksud perubahan nasab maka itu keliru, dan tidak boleh.

2. Jika maksudnya adalah sekedar identitas al ‘ilaqah az Zaujiyah (relasi pernikahan)

Maka ini TIDAK APA-APA. Dalam Al Quran, istrinya ‘Imran disebut dengan Imra-atu ‘Imran (Istrinya ‘Imran) (QS. Ali Imran: 35), juga Imra’atu al ‘Aziz (istrinya ‘Aziz) (QS. Yusuf: 51). Artinya, nama suami digandengkan setelah istri, sebagai hubungan pernikahan mereka. Kalau di Indonesia, biasanya disebut dengan Bu Imran atan Bu Aziz. Ini tidak masalah, ini bukan kaitan nasab.

Rasulullah ﷺ bersabda:

كُفْرٌ بِامْرِئٍ ادِّعَاءُ نَسَبٍ لَا يَعْرِفُهُ أَوْ جَحْدُهُ وَإِنْ دَقَّ

“Kufur hukumnya orang yang mengklaim nasab yang tidak diketahuinya, atau mengingkari nasab walau masih samar.” (HR. Ibnu Majah no. 2744, Syaikh Syu’aib al Arna’uth mengatakan: hasan)

Para ulama mengatakan, kecaman dalam hadits ini hanya berlaku bagi yang benar-benar bermaksud merubah nasab baik mengklaim sebuah nasab yang bukan nasabnya atau mengingkari nasab yang sebenarnya nasabnya sendiri. Ada pun jika penyandaran ‘bin’ kepada bukan ayahnya hanya sebagai ta’rif (pengenalan identitas), itu tidak apa-apa dan bukan masalah. Dahulu ada sahabat nabi bernama Al Miqdad bin Al Aswad Radhiallahu ‘Anhu, padahal ayahnya bukan Al Aswad, namun dengan nama itulah dia dikenal dan Rasulullah ﷺ pun tidak mengingkari nama tersebut.

Imam Ibnu Baththal Rahimahullah (w. 449 H) mengatakan -sebagaimana dikutip Imam Ibnu Hajar Rahimahullah (w. 852 H):

وَإِنَّمَا الْمُرَادُ بِهِ مَنْ تَحَوَّلَ عَنْ نَسَبِهِ لِأَبِيهِ إِلَى غَيْرِ أَبِيهِ عَالِمًا عَامِدًا مُخْتَارًا وَكَانُوا فِي الْجَاهِلِيَّةِ لَا يَسْتَنْكِرُونَ أَنْ يَتَبَنَّى الرَّجُلُ وَلَدَ غَيْرِهِ

Maksud hadits ini hanyalah tentang orang yang mengubah nasab dirinya pada ayahnya kepada selain ayahnya, dan dia tahu, sengaja, dan atas pilihannya sendiri. Di zaman jahiliyah mereka tidak mengingkari seseorang yang mem-bin-kan anak orang lain.

Beliau melanjutkan:

فَيُذْكَرُ بِهِ لِقَصْدِ التَّعْرِيفِ لَا لِقَصْدِ النَّسَبِ الْحَقِيقِيِّ كَالْمِقْدَادِ بْنِ الْأَسْوَدِ لَيْسَ الْأَسْوَدُ أَبَاهُ بَلْ تَبَنَّاهُ وَاسْمُ أَبِيهِ الْحَقِيقِيِّ عُمَرَ بْنُ ثَعْلَبَةَ

Maka, sebutan nama seperti itu dengan maksud identitas, bukan maksud nasab yang hakiki, seperti Al Miqdad bin Al Aswad, padahal ayahnya bukan Al Aswad, nama ayahnya adalah Umar bin Ts’alabah. (Fathul Bari, Jilid. 15, hal. 73)

Hanya saja identitas seperti ini tidaklah kuat, yang lebih kuat adalah disandarkan kepada ayah si istri. Sebab, ayahnya tidak pernah berubah, tidak ada mantan ayah, selamanya dia disandarkan ke ayahnya. Beda dengan suami, jika suaminya wafat, lalu istri nikah lagi dengan suami baru, tentu nanti nama suami yang lama pun berubah menjadi suami yang baru. Inilah masalahnya. Maka, lebih utama dan tepat jika tetap disandarkan dengan nama ayahnya walau sandaran nama suami tidak bermaksud nasab. Tentunya hal yang lebih utama yang lebih kita pilih.

Demikian. Wallahu A’lam

🌴🌱🌷🌸🍃🌵🍄🌾

✍ Farid Nu’man Hasan

Dunia Itu Terlaknat, Bagaimana Jalan Keluarnya?

💦💥💦💥💦💥💦💥

Dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda:

«أَلَا إِنَّ الدُّنْيَا مَلْعُونَةٌ مَلْعُونٌ مَا فِيهَا إِلَّا ذِكْرُ اللَّهِ وَمَا وَالَاهُ وَعَالِمٌ أَوْ مُتَعَلِّمٌ»

Ketahuilah .., sungguh dunia itu terlaknat dan terlaknat apa yang ada di dalamnya, kecuali:

– berdzikir kepada Allah
– orang yang mengikuti orang berdzikir
– orang berilmu (yg mengamalkan dan mengajarkan ilmunya, pen)
– orang yang menuntut ilmu

📚 Dikeluarkan oleh:

– Sunan At Tirmidzi No. 2322, Imam At Tirmidzi berkata: hasan gharib

– Sunan Ibni Majah No. 4112

– Ibnu Abi Ad Dunya dalam Az Zuhd, No. 7

Dihasankan oleh Syaikh Syuaib Al Arnauth, Syaikh Al Albani, dll.

📓📕📗📘📙📔📒

✏ Farid Nu’man Hasan

Syarah Hadits Arbain Nawawiyah (Bag. 6) – Lanjutan Hadits Kedua: Makna Islam, Iman, dan Ihsan

Tulisan Sebelumnya: Syarah Hadits Arbain Nawawiyah (Bag. 5) – Hadits Kedua: Makna Islam, Iman, dan Ihsan

🐾🐾🐾🐾🐾🐾🐾🐾

SYARAH HADITS KEDUA

وَقَالَ :

dan dia (malaikat yang menyerupai laki-laki, pen) berkata:

يَا مُحَمَّدُ أَخْبِرْنِي عَنِ الإِسْلاَم :

Ya Muhammad, beritahukan aku tentang Islam

فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم :

maka bersabdalah Rasulullah Shallallahu ’Alaihi wa Sallam

الإِسْلاَمُ أَنْ تَشْهَدَ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَ أَنَّ مُحَمَّدَاً رَسُولُ الله،وَتُقِيْمَ الصَّلاَة، وَتُؤْتِيَ
الزَّكَاةَ،وَتَصُوْمَ رَمَضَانَ، وَتَحُجَّ البيْتَ:

Islam adalah engkau bersaksi bahwa tidak ada Ilah (Tuhan yang disembah) selain Allah, dan bahwa Nabi Muhammad adalah utusan Allah, engkau mendirikan shalat, menunaikan zakat, puasa Ramadhan dan pergi haji ke baitullah.

Kalimat ini merupakan penegasan landasan operasional ajaran Islam. Kalimat syahadat merupakan intisari semua muatan ajaran Islam, dan ikrar yang membedakan Islam dan kafir. Dan, dia menjadi syarat dasar bagi benar dan diterimanya amal ibadah seorang hamba. Sebaik apa pun orang kafir, walau dia bersedekah untuk masjid dan ikut berjihad membantu kaum muslimin, maka semuanya sia-sia baginya di akhirat, karena dia belum berikrar atas hak ketuhanan Allah Ta’ala dan kebenaran kenabian Muhammad Shalalllahu ‘Alaihi wa Sallam dan risalah yang dibawanya. Bagi yang sudah mengucapkannya dengan sadar tanpa terpaksa, maka baginya terlindungi darah, kehormatan, dan hartanya. Maka, dia diperlakukan sebagai seorang muslim walapun melakukan dosa besar, selama tidak melakukan perbuatan syirik dan kekafiran yang jelas (kufrun bawwah).

Shalat di sini adalah gerakan dan ucapan tertentu dan pada waktu yang ditetapkan pula, dari takbiratul ihram hingga salam, yang disertai niat. Yang diwajibkan adalah lima kali sehari, kecuali menurut Imam Abu Hanifah yang menambahkan wajibnya witir pula, namun tak satu pun ulama yang mendukung pendapatnya ini seperti kata Imam Ibnul Mundzir. Bagi yang mengingkari kewajiban shalat fardhu maka dia kafir dan murtad, dan tak ada perbedaan pendapat dalam hal itu. Ada pun meninggalkannya karena kemalasan dan kelalaian tapi masih mengakui kewajibannya, maka para ulama berbeda pendapat antara yang mengkafirkan pelakunya seperti Imam Ahmad, dan –jika tidak mau tobat- mesti dibunuh, tidak dimandikan, tidak dishalatkan, dan tidak dikuburkan bersama kaum muslimin. Sementara yang lain masih mengakuinya sebagai Islam tapi sebagai pelaku dosa besar dan di dunia dinilai sebagai fasik, sebagaimana pendapat Imam Malik, Imam Syafi’i, dan Imam Abu Hanifah. Namun, secara hukum meninggalkan shalat adalah tindakan pidana (kriminal) yang juga mesti dibunuh jika tidak mau bertobat, inilah padangan Malik dan Syafi’i, sedangkan Abu Hanifah berpendapat dikucilkan hingga dia bertobat.

Zakat di sini adalah sedekah wajib yang dikeluarkan dari harta seorang muslim yang memiliki kelebihan hartanya dengan ukuran tertentu jika sudah mencapai nishabnya (batas minimal kepemilikan harta). Berfungsi untuk membersihkan harta dan membersihkan jiwa pelakunya, dan juga memiliki dimensi sosial. Yang mengingkarinya juga dihukumi kafir dan tidak ada perselisihan dalam hal itu. Ada pun yang menolak mengeluarkan zakat, tapi mengakui kewajibannya, maka menurut jumhur (mayortas) ulama dia adalah pelaku dosa besar. Dan, Abu Bakar Ash Shiddiq telah memerangi orang-orang yang tidak mau membayar zakat, walau mereka masih shalat. Beliau Radhiallahu ‘Anhu mengatakan:

أنا لاقاتل من فرق بين الصلاة والزكاة ، والله لاقاتلن من فرق بينهما حتى أجمعهما

“Saya benar-benar akan memerangi orang yang memisahkan antara shalat dan zakat, demi Allah benar-benar akan saya perangi orang yang memisahkan keduanya sampai mereka kembali menyatukannya.” (Imam Ibnu Abi Syaibah, Al Mushannaf, 6/14. Darul Fikr)

Puasa di sini adalah menahan diri (Al Imsak) dari hal-hal yang membatalkan puasa dari terbitnya fajar hingga tenggelamnya matahari pada bulan Ramadhan, yakni bulan antara sya’ban dan syawal. Sebanyak 29 hari atau digenapkan hingga 30 hari.

Dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

صوموا لرؤيته وأفطروا لرؤيته فإن غم عليكم فاقدروا ثلاثين

“Puasalah kalian karena melihatnya (hilal), dan berhari rayalah karena melihatnya, dan jika terhalang awan maka hitunglah sampai 30 hari.” (HR. An Nasa’i No. 2118 dan Ibnu Hibban No. 3442 dan 3443, dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahih wa Dhaif Sunan An Nasa’i No. 2118)

Meninggalkan puasa karena mengingkarinya maka kafir.

Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah berkata tentang orang yang mengingkari kewajibannya:

وأجمعت الامة: على وجوب صيام رمضان. وأنه أحد أركان الاسلام، التي علمت من الدين بالضرورة، وأن منكره كافر مرتد عن الاسلام

“Umat telah ijma’ (konsensus) atas wajibnya puasa Ramadhan. Dia merupakan salah satu rukun Islam yang telah diketahui secara pasti dari agama, yang mengingkarinya adalah kafir dan murtad dari Islam.” (Fiqhus Sunnah, 1/433. Darul Kitab Al ‘Arabi)

Ada pun meninggalkannya karena lalai dan malas, tapi masih mengakui kewajibannya, maka sebagian ulama ada yang yang menyatakan kafir dan boleh dibunuh. Hal ini berdasarkan riwayat dari Ibnu Abbas Radhiallahu ‘Anhuma, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

عرى الاسلام، وقواعد الدين ثلاثة، عليهن أسس الاسلام، من ترك واحدة منهن، فهو بها كافر حلال الدم: شهادة أن لا إله إلا الله، والصلاة المكتوبة، وصوم رمضان

Tali Islam dan kaidah-kaidah agama ada tiga, di atasnyalah agama Islam difondasikan, dan barangsiapa yang meninggalkannya satu saja, maka dia kafir dan darahnya halal ( untuk dibunuh), (yakni): Syahadat Laa Ilaaha Illallah, shalat wajib, dan puasa Ramadhan.” (HR. Abu Ya’ala dan Ad Dailami dishahihkan oleh Adz Dzahabi. Berkata Hammad bin Zaid: aku tidak mengetahui melainkan hadits ini telah dimarfu’kan kepada Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Al Haitsami mengatakan sanadnya hasan, Majma’ Az Zawaid, 1/48. Darul Kutub Al ‘Ilmiyah)

Berkata Imam Adz Dzahabi Rahimahullah:

وعند المؤمنين مقرر: أن من ترك صوم رمضان بلا مرض، أنه شر من الزاني، ومدمن الخمر، بل يشكون في إسلامه، ويظنون به الزندقة، والانحلال

“Bagi kaum mukminin telah menjadi ketetapan bahwa meninggalkan puasa Ramadhan padahal tidak sakit adalah lebih buruk dari pezina dan pemabuk, bahkan mereka meragukan keislamannya dan mencurigainya sebagai zindiq dan tanggal agamanya.” (Syaikh Sayyid Sabiq, Fiqhus Sunnah, 1/434. Lihat juga Imam Al Munawi, Faidhul Qadir, 4/410. Darul Kutub Al ‘Ilmiyah)

Namun, Sebagain besar ulama mengatakan bahwa dia masih muslim, tapi dia adalah pelaku dosa besar dan termasuk perbuatan yang keji. Ada pun hadits di atas, maka Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani telah mendhaifkannya, lantaran kelemahan beberapa perawinya, yakni ‘Amru bin Malik An Nukri, di mana tidak ada yang menilainya tsiqah kecuali Ibnu Hibban, itu pun masih ditambah dengan perkataan: “Dia suka melakukan kesalahan dan keanehan.”

Telah masyhur bahwa Imam Ibnu Hibban termasuk ulama hadits yang terlalu mudah mentsiqahkan seorang rawi, sampai-sampai orang yang majhul (tidak dikenal) pun ada yang dianggapnya tsiqah. Oleh karena itu, para ulama tidak mencukupkan diri dengan tautsiq yang dilakukan Imam Ibnu Hibban, mereka biasanya akan meneliti ulang.

Selain dia, rawi lainnya Ma’mal bin Ismail, adalah seorang yang shaduq (jujur) tetapi banyak kesalahan, sebagaimana dikatakan Imam Abu Hatim dan lainnya. Umumnya hadits darinya yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas hanyalah bernilai mauquf (sampai sahabat) saja.

Lalu, secara zhahir pun hadits ini bertentangan dengan hadits muttafaq ‘alaih: “Islam dibangun atas lima perkara …dst.” Bukan tiga perkara.

Maka dari itu, Syaikh Al Albani tidak meyakini adanya seorang ulama mu’tabar yang mengkafirkan orang yang meninggalkan puasa, kecuali jika dia menganggap halal perbuatan itu. (Lihat As Silsilah Adh Dhaifah No. 94)

Dengan kata lain, jika dia masih meyakini kewajibannya, tetapi dia meninggalkannya maka dia fasiq, jika Allah Ta’ala berkehendak maka di akhirat nanti Dia akan mengampuninya sesuai

kasih sayangNya, dan jika berkehendak maka Dia akan mengazabnya sesuai dengan keadilanNya, sejauh kadar dosanya. Inilah pendapat yang lebih mendekati kepada kebenaran. Wallahu A’lam

Allah Ta’ala juga berfirman:

“Sesungguhnya Allah tidak mengampuni dosa mempersekutukan (sesuatu) dengan Dia, dan Dia mengampuni dosa yang selain syirik bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan (sesuatu) dengan Allah, Maka Sesungguhnya ia telah tersesat sejauh-jauhnya.” (QS. An Nisa’ (4): 116)

Ada pun haji, secara fiqih maknanya adalah sebagai berikut:

هو قصد مكة، لان عبادة الطواف، والسعي والوقوف بعرفة، وسائر المناسك، استجابة لامر الله، وابتغاء مرضاته
وهو أحد أركان الخمسة، وفرض من الفرائض التي علمت من الدين بالضرورة
فلو أنكر وجوبه منكر كفر وارتد عن الاسلام

“Yaitu mengunjungi Mekkah untuk melaksanakan Ibadah, seperti thawaf, sa’i, wuquf di Arafah, dan seluruh manasik, sebagai pemenuhan kewajiban dari Allah, dan dalam rangka mencari ridha-Nya. Haji merupakan salah satu rukun Islam yang lima, kewajiban di antara kewajiban agama yang sudah diketahui secara pasti. Seandainya ada yang mengingkari kewajibannya, maka dia kafir dan telah murtad dari Islam.” (Fiqhus Sunnah, 1/625)

Kewajiban haji hanya sekali seumur hidup, sedangkan yang kedua kali dan seterusnya adalah sunah.

إِنِ اِسْتَطَعتَ إِليْهِ سَبِيْلاً :
jika engkau mampu menjalankannya

Kalimat ini menunjukkan bahwa istitha’ah (mampu) merupakan hal yang membuat seorang muslim wajib melaksanakan haji. Ketika dia belum ada kemampuan, baik finansial dan fisik, maka dia tidak wajib, serta tidak berdosa jika tidak melaksanakannya. Namun, dia dianjurkan untuk berupaya menjadi orang mampu secara normal. Ada pun berhutang untuk haji, maka telah ada riwayat sebagai berikut:

Dari Abdullah bin Abi Aufa Radhiallahu ‘Anhu, katanya:

سألته عن الرجل لم يحج ، أيستقرض للحج ؟ قال : « لا »

“Aku bertanya kepadanya, tentang seorang yang belum pergi haji, apakah dia berhutang saja untuk haji?” Beliau bersabda: “Tidak.” (HR. Asy Syafi’i, Min Kitabil Manasik, No. 460. Al Baihaqi, Ma’rifatus Sunan wal Atsar, Juz. 7, Hal. 363, No. 2788. Syamilah)

Imam Asy Syafi’i berkata tentang hadits ini:

ومن لم يكن في ماله سعة يحج بها من غير أن يستقرض فهو لا يجد السبيل

“Barangsiapa yang tidak memiliki kelapangan harta untuk haji, selain dengan hutang, maka dia tidak wajib untuk menunaikannya.” (Imam Asy Syafi’i, Al Umm, Juz. 1, Hal. 127. Asy Syamilah)

Namun, demikian para ulama tetap menilai hajinya sah, sebab status tidak wajib haji karena dia belum istitha’ah, bukan berarti tidak boleh haji. Ada pun larangan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam itu karena Beliau tidak mau memberatkan umatnya yang tidak mampu, itu bukan menunjukkan larangannya. Yang penting, ketika dia berhutang, dia harus dalam kondisi yakin bahwa dia bisa melunasi hutang atau tersebut pada masa selanjutnya.

Selanjutnya:

قَالَ: صَدَقْتَ :
dia (laki-laki tersebut) berkata: engkau benar

فَعَجِبْنَا لَهُ يَسْأَلُهُ وَيُصَدِّقُهُ:

Kami semua heran, dia yang bertanya dia pula yang membenarkan

Imam Ibnu Dadiq Al ‘Id menjelaskan bahwa keheranan mereka (para sahabat) lantaran biasanya apa-apa yang dibawa oleh Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tidaklah diketahui melalui orang yang mendatanginya, dan si penanya ini tidak pernah berjumpa dan tidak pernah mendengar dari nabi, tetapi si penanya ini justru dia membenarkan apa yang nabi katakan. Inilah yang membuat mereka heran. (Imam Ibnu Daqiq Al ‘Id, Syarh Al Arbain An Nawawiyah, Hal. 29)

Iman kepada para Rasul adalah membenarkan bahwa Allah-lah yang mengutus para rasul unuk mengeluarkan manusia dari kegelapan menuju cahaya. Dan, menetapkan hikmahNya Ta’ala bahwa mereka di utus sebagai pembawa kabar gembira (mubasyirin) dan peringatan (mundzirin). Wajib beriman kepada mereka secara keseluruhan, dan wajib beriman kepada mereka yang namanya telah Allah rinci; mereka adalah 25 orang yang telah Allah sebutkan dalam Al Quran. Wajib beriman pula bahwa milik Allah-lah para Nabi dan Rasul selain mereka, dan tidak ada yang mengetahui jumlah mereka kecuali Allah Ta’ala, dan tidak ada yang mengetahui nama-nama mereka kecuali Dia Jalla wa ‘Ala, sebagaimana wajib beriman bahwa Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam adalah yang paling utama dan penutup para nabi, dan bahwa risalah yang dibawanya adalah untuk semua, dan tidak ada nabi lagi setelahnya.

Iman kepada hari kebangkitan setelah kematian adalah meyakini secara pasti bahwa ada kehidupan kampung akhirat yang saat itu Allah Ta’ala membalas kebaikan orang yang berbuat baik, keburukan orang yang berbuat buruk, dan Dia mengampuni siapa saja yang dikehendakiNya, kecuali dosa syirik. Hari kebangkitan (Al Ba’ts) secara syara’ bermakna: kembalinya badan dan masuknya ruh ke dalamnya, mereka keluar dari kuburnya, seakan mereka adalah belalang yang berhamburan menyambut dengan cepat yang memanggilnya. Kita mohon kepada Allah ampunan dan keselamatan dunia dan akhirat.

Iman kepada qadar baik dan qadar buruk adalah membenarkan secara pasti bahwa semua kebaikan dan keburukan terjadi dengan ketetapan (qadha) Allah dan qadar (keputusan)Nya. Allah Ta’ala Maha mengetahui semua taqdir segala sesuatu dan waktu-waktunya yang azali sejak sebelum diwujudkannya, kemudian Dia menjadikannya dengan qudrahNya, serta kehendak yang sesuai dengan apa yang diketahuiNya, bahwa Dia telah menuliskannya dalam Lauh Mahfuzh sebelum terjadinya.
Selesai kutipan dari Syaikh Said bin Ali bin Wahf Al Qahthani. (Lihat Syarh Al ‘Aqidah Al Wasithiyah, Hal. 12-15. Cet. 2. Rabiul Awal 1411H. Muasasah Al Juraisi)

قَالَ: صَدَقْتَ :
dia (laki-laki tersebut) berkata: engkau benar

Al Imam Ibnu Ash Shalah Rahimahullah mengomentari semua kalimat di atas –sebagaimana dikutip oleh Imam An Nawawi:

هَذَا بَيَان لِأَصْلِ الْإِيمَان ، وَهُوَ التَّصْدِيق الْبَاطِن ، وَبَيَان لِأَصْلِ الْإِسْلَام وَهُوَ الِاسْتِسْلَام وَالِانْقِيَاد الظَّاهِر ، وَحُكْم الْإِسْلَام فِي الظَّاهِر ثَبَتَ بِالشَّهَادَتَيْنِ ، وَإِنَّمَا أَضَافَ إِلَيْهِمَا الصَّلَاة وَالزَّكَاة ، وَالْحَجّ ، وَالصَّوْم ، لِكَوْنِهَا أَظْهَرَ شَعَائِرِ الْإِسْلَامِ وَأَعْظَمِهَا وَبِقِيَامِهِ بِهَا يَتِمُّ اِسْتِسْلَامه ، وَتَرْكُهُ لَهَا يُشْعِرُ بِانْحِلَالِ قَيْدِ اِنْقِيَادِهِ أَوْ اِخْتِلَالِهِ

“Ini merupakan penjelasan bagi dasar keimanan yaitu membenarkan (At Tashdiq) dalam hati, dan merupakan penjelasan dasar keislaman yaitu ketundukan/patuh (Al Istislam) dan keterikatan zhahir, dan hukum Islam terhadap zhahirnya adalah menguatkannya dengan dua kalimat syahadat, dan bahwasanya keduanya dilanjutkan dengan shalat, zakat, haji, dan puasa sebagai wujud nyata dari tanda keIslaman dan keagungannya, dan menjalankan hal itu merupakan wujud kesempurnaan ketundukannya. Meninggalkannya merupakan tanda tipisnya ketudukannya atau cacatnya.” (Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 1/69. Mawqi’ Ruh Al Islam)

Bersambung …

Tulisan Berikutnya: Syarah Hadits Arbain Nawawiyah (Bag.7) – Lanjutan Hadits Kedua: Makna Islam, Iman, dan Ihsan

🍃🌻🌴☘🌷🌾🌸🌺

✏ Farid Nu’man Hasan

scroll to top