Sujud Tilawah, Wajib atau Sunnah?

💢💢💢💢💢💢

📨 PERTANYAAN:

Assalamualaikum
Afwan! Ketika kita mendengar atao membaca surah sajadah ,apakah kita diwajibkan utk bersujud?
Terimakasih! (Ulfa)

📬 JAWABAN

🍃🍃🍃🍃🍃🍃

Wa’alaikumussalam warahmatullah wabarakatuh …

Bismillah wal Hamdulillah ..

Sujud tilawah saat membaca atau mendengar ayat sajadah adalah SUNNAH bukan kewajiban, menurut pendapat mayoritas ulama, kecuali Imam Abu Hanifah Radhiallahu ‘Anhu yang mewajibkannya.

Imam An Nawawi Rahimahullah menjelaskan:

قَوْلُهُ إِنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَقْرَأُ الْقُرْآنَ فَيَقْرَأُ سُورَةً فِيهَا سَجْدَةٌ فَيَسْجُدُ وَنَسْجُدُ مَعَهُ حَتَّى مَا يَجِدُ بَعْضُنَا مَوْضِعًا لِمَكَانِ جَبْهَتِهِ وَفِي رِوَايَةٍ فَيَمُرُّ بِالسَّجْدَةِ فَيَسْجُدُ بِنَا فِي غَيْرِ صَلَاةٍ فِيهِ إِثْبَاتُ سُجُودِالتِّلَاوَةِ وَقَدْ أَجْمَعَ الْعُلَمَاءُ عَلَيْهِ وَهُوَ عِنْدَنَا وَعِنْدَ الْجُمْهُورِ سُنَّةٌ لَيْسَ بِوَاجِبٍ وَعِنْدَ أَبِي حَنِيفَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ وَاجِبٌ لَيْسَ بِفَرْضٍ عَلَى اصْطِلَاحِهِ فِي الْفَرْقِ بَيْنَ الْوَاجِبِ وَالْفَرْضِ وَهُوَ سُنَّةٌ لِلْقَارِئِ وَالْمُسْتَمِعِ لَهُ

Perkataannya: “Sesungguhnya Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam membaca Al Quran yang di dalamnya ada ayat sajadah lalu Beliau sujud maka kami pun sujud bersamanya, sampai-sampai jidat sebagian kami tidak mendapatkan tempat untuk sujud.”

Dalam riwayat lain: “Beliau melewati ayat sajadah lalu sujud dengan kami di luar shalat.”

Dalam hadits ini terdapat ketetapan adanya sujud tilawah dan para ulama telah ijma’ atas hal itu. Bagi kami (Syafi’iyah) dan mayoritas ulama adalah SUNNAH, bukan wajib. Ada pun bagi Abu Hanifah Radhiallahu ‘Anhu itu adalah wajib, bukan fardhu, dalam istilah Beliau wajib dan fardhu itu berbeda. Kesunahan ini berlaku bagi pembaca dan pendengarnya.
( Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 5/74)

Demikian. Wallahu A’lam

🌿🍀🌸☘🌷🌹💐🍃
✍ Farid Nu’man Hasan

Adakah Zakat Barang Tidak Produktif?

💢💢💢💢💢💢💢💢

📋 Lampiran Fatwa Ulama:

💥 Tidak Ada Zakat Pada Tanah dan Bangunan Yang Tidak Produktif

Berikut ini kumpulan fatwa para imam zaman ini, tentang tidak adanya zakat tanah dan bangunan  yang tidak dimanfaatkan, baik dijual, disewakan, ditanami, dan semua bentuk bisnis lainnya. Ini adalah pendapat terkenal dari zaman ke zaman, bahkan boleh dikatakan telah ijma’ (konsensus) para ulama Islam.

1.  Fatwa Syaikh Abdul Karim bin Abdullah Al Khudhair

السؤال: اشترى رجل أرضاً يريد أن يبني عليها استثماراً بعد سنة من شرائها فهل يجب عليه فيها الزكاة في هذه السنة وما بعدها؟
الجواب:
أرض الاستثمار لا تجب الزكاة في عينها، اللهم إلا إذا اشتريت هذه الأرض بنية التجارة ليبيع هذه الأرض، أي: يُتاجر فيها، أما أن يقيم عليها مشروعاً يستغل فإن الزكاة في نتاجه، في أجرته، فيما يخرجه من غلة وما أشبه ذلك، أما أصل الأرض ليس عليها زكاة، هذا يريد أن يقيم عليها مشروعاً، فإذا أقام المشروع وأخذ المشروع في الإنتاج فالزكاة معروفة، فإذا أقام عليها مشروعاً سكنياً مثلاً وأجّر هذا المشروع فإن الزكاة في الأجرة وليست في الأرض، ولا في العمارة، إنما الزكاة في الأجرة، لو أقام عليها زراعة فالزكاة في ثمرتها، وهكذا، لكن لو أقام عليها محلاً تجارياً وملأه بالبضائع المعدة للتجارة فالزكاة

على البضائع، والمبنى لا زكاة عليه، الزكاة على البضائع تُقَوَّم كلما حال عليها الحول وتزكّى

Pertanyaan:

“Ada seseorang yang memberi tanah dan ia ingin membangun kebun di sana. Setelah satu tahun dari waktu pembeliannya, apakah ia harus mengeluarkan zakat dari tanah tersebut dan begitu pula tahun selanjutnya?”

Jawab:

Tanah yang dijadikan kebun tidak wajib untuk dizakati.
Kecuali jika tanah tersebut ingin dibisniskan. Adapun jika di tanah tersebut ditanam sesuatu, maka zakatnya adalah dari tanaman tersebut atau dari penjualannya yang merupakan hasil dari tanah tersebut. Jadi, tanah itu sendiri tidak ada zakatnya. Baru ada zakat, jika tanah tersebut dimanfaatkan. Jika pemanfaatn itu memiliki hasil, itulah yang dikenai zakat.  Jika tanah tersebut memiliki bangunan (misalnya), lalu ada keuntungan dari bangunan tersebut, maka zakat ditarik dari keuntungannya dan bukan ditarik dari tanah dan bukan pula ditarik dari kontruksi bangunan. Sekali lagi zakatnya ditarik dari hasil (keuntungan) tadi. Jika tanah tersebut terdapat tanaman, maka zakatnya ditarik dari hasil tanaman (yaitu buah, dll). Demikian seterusnya. Jika di atas tanah tersebut didirikan sesuatu yang diperdagangkan, maka zakatnya diambil dari hasil perdagangan barang tersebut. Sedangkan bangunannya tidak dikenai zakat apa-apa. Zakat hanya diambil dari keuntungan penjualan barang-barang dagangan yang ada. Ketika keuntungan tersebut telah bertahan satu tahun (haul), maka barulah dikeluarkan zakatnya.
(sumber: http://www.khudheir.com/text/4312)

2.  Syaikh muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin Rahimahullah

أما السؤال الثاني وهو الأرض التي اشتراها ليبني عليها بناء ولكنه لم يتمكن من البناء عليها لعدم وجود ما يبنيها به فإنه ليس فيها زكاة لأن العقارات التي لا تعد في البيع والشراء أي لا يريد التكسب ببيعها وشرائها ليس فيها زكاة لأنها من العروض والعروض لا تجب فيها الزكاة إلا إذا قصد بها الاتجار وعلى هذا فليس عليه زكاة في هذه الأرض ولو بقيت سنوات كما أنه ليس عليها زكاة إذا بناها أيضاً واستغلها لكن إذا استغلها فإن عليه الزكاة في أجرتها.

Adapun pertanyaan kedua, tanah yang dibeli untuk didirikan bangunan  di atasnya, maka dia tidak ada zakat karena tanah milik yang tidak dipersiapkan untuk dijualbelikan yaitu yang tidak diambil keuntungan dari jual belinya, tidaklah terkena zakat, karena itu termasuk  harta yang ditempati, dan harta seperti itu tidak wajib dizakatkan kecuali jika dimaksudkan untuk dijual, oleh karena itu tidak ada zakat atas tanah itu, walau pun keberadaannya bertahun-tahun lamanya, dan tidak pula ada zakat jika didirikan bangunan dan ditanamkan sesuatu di atasnya, tetapi jika ditanamkan sesuatu maka  zakatnya ada pada harga tanaman itu (jika dijual). (Fatawa Nur ‘Alad Darb, Az Zakah wash Shiyam, No. 199)

Dalam fatwanya yang lain:

س ـ أمتلك قطعة أرض ، ولا أستفيد منها ، وأتركها لوقت الحاجة ، فهل يجب علي أن أخرج زكاة عن هذه الأرض ؟ .. وإذا أخرجت الزكاة هل علي أن أقدر ثمنها في كل مرة ؟
ج ـ ليس عليك زكاة في هذه الأرض لأن العروض إنما تجب الزكاة في قيمتها ، إذا أعدت للتجارة ، والأرض والعقارات والسيارات والفرش ونحوها عروض لا تجب الزكاة في عينها ، فإن قصد بها المال أعني الدراهم بحيث تعد للبيع والشراء والاتجار ، وجبت الزكاة في قيمتها . وإن لم تعد كمثل سؤالك فإن هذه ليست فيها زكاة

Pertanyaan:

Saya mempunyai sebidang tanah, namun tidak menghasilkan apa-apa dan saya biarkan begitu saja.  Wajibkah saya mengeluarkan zakat tanah tersebut ? Jika dikeluarkan zakatnya, wajibkah saya memperhitungkan zakatnya ?

Jawaban:

Tanah seperti ini tidak wajib dizakati. Semua barang wajib dizakati saat diperdagangkan. Pada dasarnya tanah, berbagai tanah milik (‘aqarat), kendaraan atau barang-barang lainnya, maka semuannya termasuk harta pemilikan dan tidak wajib dizakati kecuali jika dimaksudkan memperoleh uang, yakni diperjualbelikan atau diperdagangkan. (Fatawa Islamiyah, 2/140. Disusun oleh Muhammad bin Abdul Aziz Al Musnad)

3.  Syaikh Muhammad Khaathir Rahimahullah (mufti Mesir pada zamannya)

Katanya:

لا تجب فى الأرض المعدة للبناء زكاة إلا إذا نوى التجارة بشأنها

Tanah yang dipersiapkan untuk didirikan bangunan tidak wajib dizakati, kecuali diniatkan untuk dibisniskan dengan mengembangkannya. (Fatawa Al Azhar, 1/157. Fatwa 15 Muharam 1398)

4.  Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baaz Rahimahullah (Mufti Arab Saudi pada zamannya)

س : إذا كان لدى الإنسان قطعة أرض ولا يستطيع بناءها ولا الاستفادة منها ، فهل تجب فيها الزكاة ؟
ج : إذا أعدها للبيع وجبت فيها الزكاة ، وإن لم يعدها للبيع أو تردد في ذلك ولم يجزم بشيء ، أو أعدها للتأجير فليس عليه
عنها زكاة ، كما نص على ذلك أهل العلم ؛ لما روى أبو داود رحمه الله عن سمرة بن جندب -رضي الله عنه- قال : « أمرنا رسول الله -صلى الله عليه وسلم- أن نخرج الصدقة مما نعده للبيع

Pertanyaan:

Jika manusia punya sebidang tanah dan dia tidak mampu mendirikan bangunan dan tidak pula bisa memanfaatkannya, apakah tanah itu wajib dizakati?

Jawaban:

Jika dia mempersiapkannya untuk dijual maka wajib dikelurkan zakat, jika tidak untuk dijual atau ragu-ragu dan belum pasti, atau  tidak untuk disewa, maka tidak ada kewajiban zakat atasnya. Sebagaimana ulama katakan tentang hal itu, karena telah diriwayatkan oleh Abu Daud Rahimahullah, dari Samurah bin Jundub Radhiallahu ‘Anhu, katanya: “Kami diperintah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam untuk mengeluarkan zakat dari apa-apa yang diperdagangkan.”    (Majalah Al Buhuts Al Islamiyah, 56/124)

Selesai. Wallahu A’lam

📓📕📗📘📙📔📒

✏ Farid Nu’man Hasan

[Biografi Imam Ahlus Sunnah] Imamul ‘Azham Abu Hanifah (Bag. 2)

💦💥💦💥💦💥💦💥

Akhlak dan Ibadahnya

Asad bin Amru berkata:

أن أبا حنيفة، رحمه الله، صلى العشاء والصبح بوضوء أربعين سنة

Bahwa Abu Hanifah Rahimahullah melakukan shalat isya dan subuh dengan sekali wudhu selama 40 tahun. (As Siyar, 6/399)

Al Qadhi Abu Yusuf menceritakan:

بينما أنا أمشي مع أبي حنيفة، إذ سمعت رجلا يقول لآخر: هذا أبو حنيفة لا ينام الليل. فقال أبو حنيفة: والله لا يتحدث عني بما لم أفعل. فكان يحيى الليل صلاة وتضرعا ودعاء

Ketika saya sedang berjalan bersama Abu Hanifah, saya mendengar seseorang berkata kepada yang lain: “Inilah Abu Hanifah, dia tidak pernah tidur malam.” Lalu Abu Hanifah berkata: “Demi Allah, Dia tidak membicarakan tentang aku dengan apa-apa yang aku tidak pernah lakukan.” Maka Beliau senantiasa menghidupkan malam dengan penuh kerendahan dan banyak berdoa. (Ibid)

Imam Abdullah bin Al Mubarak berkata:

ما رأيت رجلا أوقر في مجلسه، ولا أحسن سمتا وحلما من أبي حنيفة

Saya belum pernah melihat seorang laki-laki yang lebih berwibawa di majelisnya, dan tidak ada yang lebih bagus diam dan sabarnya dibanding Abu Hanifah. (Ibid, 6/400)

Al Mutsanna bin Raja’ berkata:

جعل أبو حنيفة على نفسه، إن حلف بالله صادقا، أن يتصدق بدينار. وكان إذا أنفق على عياله نفقة تصدق بمثلها

Abu Hanifah telah bersumpah kepada Allah dengan sebenar-benarnya bahwa dia akan bersedekah dengan dinar, yaitu jika dia telah membelanjakan sejumlah uangnya untuk keluarganya, maka dia akan menyedekahkan uang sebanyak itu pula. (Ibid)

Imam Adz Dzahabi menyebutkan berbagai pujian ulama tentang akhlak dan ibadahnya Imam Abu Hanifah:

وعن شريك قال: كان أبو حنيفة طويل الصمت، كثير العقل. وقال أبو عاصم النبيل: كان أبو حنيفة يسمى الوتد لكثرة صلاته. وروى بن إسحاق السمرقندي، عن القاضي أبي يوسف قال: كان أبو حنيفة يختم القرآن كل ليلة في ركعة. يحيى بن عبدالحميد الحماني، عن أبيه أنه صحب أبا حنيفة ستة أشهر، قال: فما رأيته صلى الغداة إلا بوضوء عشاء الآخرة، وكان يختم كل ليلة عند السحر.

Dari Syarik, dia berkata: “Imam Abu Hanifah  lama diamnya dan banyak akalnya (cerdas).” Berkata Abu ‘Ashim An Nail: “Abu Hanifah juga dinamakan Al Watid karena banyak shalatnya.” Ibnu Ishaq As Samarqandi meriwayatkan dari Al Qadhi Abu Yusuf: “Abu Hanifah mengkhatamkan Al Quran setiap malam dalam satu rakaat.” Yahya bin Abdul Hamid Al Himani, dari ayahnya bahwa Dia menemani Abu hanifah selama enam bulan, dia berkata: “Aku belum pernah melihatnya shalat subuh melainkan dengan wudhu shalat isya, dan dia senantiasa mengkhatamkan Al Quran setiap malam pada waktu sahur. (Ibid)

Diriwayatkan bahwa Imam Abu Hanifah telah mengkhatamkan Al Quran 7000 kali. (Ibid)

Imam Adz Dzahabi juga menceritakan:

عن القاسم بن معن، أن أبا حنيفة قام ليلة يردد قوله تعالى: (بل الساعة موعدهم والساعة أدهى وأمر) [ القمر: 46 ] ويبكي ويتضرع إلى الفجر

Dari Al Qasim bin Mu’in, bahwa Imam Abu Hanifah bangun untuk shalat malam dan mengulang-ulang firman Allah Ta’ala: (sebenarnya hari kiamat Itulah hari yang dijanjikan kepada mereka dan kiamat itu lebih dahsyat dan lebih pahit. (QS. Al Qamar: 46), lalu Beliau menangis dan tertunduk hingga fajar. (Ibid, 6/401)

Yazid bin Harun berkata:

ما رأيت أحدا أحلم من أبي حنيفة

Saya belum pernah melihat seorang pun yang lebih penyabar dibanding Abu Hanifah. (Ibid)

Sanjungan ulama terhadap ilmu dan kecerdasannya

Hayyan bin Musa Al Marwadzi berkata:

سئل ابن المبارك: مالك أفقه، أو أبو حنيفة ؟ قال: أبو حنيفة

Ibnul Mubarak ditanya: “Mana yang lebih faham tentang fiqih, Malik atau Abu Hanifah? Beliau berkata: Abu Hanifah.” (Ibid, 6/402)

Imam Yahya Al Qaththan berkata:

لا نكذب الله، ما سمعنا أحسن من رأي أبي حنيفة، وقد أخذنا بأكثر أقواله

Kami tidak membohongi Allah, kami belum pernah mendengar pendapat yang lebih baik dibanding pendapat Abu Hanifah, dan kami telah mengambil lebih banyak dari pendapatnya. (Ibid)

Disebutkan oleh Imam Adz Dzahabi:

وقال علي بن عاصم: لو وزن علم الامام أبي حنيفة بعلم أهل زمانه، لرجح عليهم
وقال حفص بن غياث: كلام أبي حنيفة في الفقه، أدق من الشعر، لا يعيبه إلا جاهل
وقال جرير: قال لي مغيرة: جالس أبا حنيفة تفقه، فإن إبراهيم النخعي لو كان حيا لج

السه
وقال ابن المبارك: أبو حنيفة أفقه الناس. وقال الشافعي: الناس في الفقه عيال على أبي حنيفة

Berkata Ali bin ‘Ashim: “Seandainya ditimbang ilmu Imam Abu Hanifah dengan ilmu manusia yang hidup pada zamannya, niscaya ilmunya lebih berat dibanding mereka.”
Berkata Hafsh bin Ghiyats: “Perkataan Abu Hanifah dalam fiqih, lebih dalam dibanding syair, dan tidak ada yang meng-’aibkan dirinya melainkan orang bodoh.”
Jarir berkata: Mughirah berkata kepadaku: “Duduklah bersama Abu Hanifah niscaya kau  akan mengerti, sungguh seandainya Ibrahim An Nakha’i hidup niscaya dia (Ibrahim) akan duduk dihadapannya (untuk belajar).”

Ibnul Mubarak berkata: “Abu Hanifah adalah manusia paling paham tentang fiqih.”

Asy Syafi’i berkata: “Dalam fiqih, manusia (para ulama) adalah satu keluarga dengan Abu Hanifah.” (Ibid, 6/403)

Imam Asy Syafi’i berkata:

قيل لمالك: هل رأيت أبا حنيفة ؟ قال: نعم. رأيت رجلا لو كلمك في هذه السارية أن يجعلها ذهبا لقام بحجته

Ditanyakan kepada Imam Malik: “Apakah engkau pernah melihat Imam Abu Hanifah? Beliau berkata: “Ya, aku melihat seorang laki-laki yang jika dia mengatakan kepadamu bahwa dia ingin menjadikan tiang ini emas, maka itu akan terjadi karena hujjah yang dimilikinya.” (Ibid, 6/399)

Imam Abdullah bin Al Mubarak berkata:

لولا أن الله أعانني بأبي حنيفة وسفيان، كنت كسائر الناس

Kalau bukan pertolongan Allah kepadaku melalui  Abu Hanifah dan Sufyan Ats Tsauri, niscaya aku sama saja dengan kebanyakan manusia (awam). (Ibid, 6/398)

Beliau juga berkata:

إن كان الأثر قد عرف واحتيج إلى الرأي فرأي مالك وسفيان وأبي حنيفة وأبو حنيفة أحسنهم وأدقهم فطنة وأغوصهم على الفقه وهو أفقه الثلاثة

Walau pun atsar sudah diketahui, berhujahlah dengan pendapat juga yaitu pendapat Malik, Sufyan, dan Abu Hanifah. Pendapat Abu Hanifah adalah terbaik diantara mereka, lebih detil kecerdasannya, lebih dalam fiqihnya, dan  dia lebih faqih di antara bertiga itu. (Akhbar Abi Hanifah, hal. 84)

Muhammad bin Bisyr berkata: Aku pernah bergantian mengunjungi Sufyan Ats Tsauri dan Abu Hanifah. Ketika aku mendatangi Abu Hanifah dia bertanya: “Dari mana kamu?” Aku jawab: “Aku datang dari sisi Sufyan Ats Tsauri.” Abu Hanifah menjawab: “Engkau datang dari sisi seorang laki-laki yang sendainya ‘Alqamah dan Al Aswad melihat semisal orang itu (maksudnya Sufyan), maka mereka berdua akan berhujjah dengannya.” Lalu aku mendatangi Sufyan Ats Tsauri, dia bertanya: “Dari mana kamu?” Aku jawab: “Aku datang dari sisi Abu Hanifah.” Sufyan menjawab: “Engkau datang dari sisi seorang  yang paling faqih di antara penduduk bumi.” (Tarikh Baghdad, 15/459)

Syadad bin Hakim berkata:

ما رأيت أعلم من أبي حنيفة

Aku belum pernah melihat orang yang lebih berilmu dibanding Abu Hanifah. (Ath Thabaqat As Sunniyah fi Tarajim Al Hanafiyah, Hal. 29)

Abdullah bin Daud pernah berkomentar tentang orang yang suka menggunjingkan Imam Abu Hanifah:

لايتكلم فِي أبي حنيفَة إِلَّا أحد رجلَيْنِ إِمَّا حَاسِد لعلمه وَإِمَّا جَاهِل بِالْعلمِ

Tidak ada yang menggunjingkan Abu Hanifah melainkan satu di antara dua laki-laki:  orang yang dengki terhadap ilmunya, dan orang yang bodoh terhadap keilmuannya. (Imam Al Husein bin Ali bin Muhammad Al Hanafi, Akhbar Abi Hanifah, Hal. 64)

Bisyar bin Qirath menceritakan tentang kedudukan Imam Abu Hanifah dan Imam Sufyan Ats Tsauri:

حججْت مَعَ أبي حنيفَة وسُفْيَان فَكَانَا إِذا نزلا منزلا أَو بَلْدَة اجْتمع عَلَيْهِمَا النَّاس وَقَالُوا فَقِيها الْعرَاق فَكَانَ سُفْيَان يقدم أَبَا حنيفَة وَيَمْشي خَلفه وَإِذا سُئِلَ عَن مَسْأَلَة وأبوحنيفة حَاضر لم يجب حَتَّى يكون أَبُو حنيفَة هُوَ الَّذِي يُجيب

Aku haji bersama Abu Hanifah dan Sufyan, jika mereka berdua berhenti di sebuah tempat atau negeri manusia berkumpul mengelilingi mereka, mereka bilang: “Ahli Fiqihnya Irak (maksudnya Abu Hanifah).” Sufyan lebih mendahulukan Abu Hanifah, dia berjalan di belakangnya dan jika dia ditanya sebuah masalah dan hadir di situ Abu Hanifah, dia tidak akan menjawabnya sampai Abu Hanifah-lah yang menjawabnya. (Ibid, Hal. 73)

Bersambung ….

🍃🌴🌺☘🌷🌸🌾🌻

✏ Farid Nu’man Hasan

Serial Biografi Imam Abu Hanifah

[Biografi Imam Ahlus Sunnah] Imamul ‘Azham Abu Hanifah (Bag. 1)

[Biografi Imam Ahlus Sunnah] Imamul ‘Azham Abu Hanifah (Bag. 2)

[Biografi Imam Ahlus Sunnah] Imamul ‘Azham Abu Hanifah (Bag. 3)

Serial Fatwa Ulama Tentang Bom Syahid (Bag. 2)

💢💢💢💢💢💢💢

Berikut ini adalah fatwa para ulama tentang legalitas bom syahid di negeri perang untuk membunuh musuh. Fatwa ini sudah dikeluarkan puluhan tahun lalu.
Sebagian orang mengingkari fatwa ini bahkan menjelek-jelekkannya, jelas itu adalah adab yang buruk. Sebagian orang lagi menyalahgunakan fatwa ini untuk membom di sembarang tempat, sehingga membunuh sesama muslim, ini juga sangat buruk dan konyol.

Yang benar adalah fatwa ini hanya terbatas di negeri-negeri perang dengan musuh yang pasti dan jelas, seperti penjajah Yahudi di Palestina.

2⃣ Fatwa Syaikh Sulaiman bin Mani’ Hafizhahullah (Ulama Saudi Arabia, anggota Hai’ah Kibaril Ulama)

Beliau ditanya tentang aksi ‘intihariyah’- mengorbankan diri sendiri- ketika melawan musuh Islam dalam jihad apakah itu mati syahid?

Beliau menjawab:

الحمد لله, لا شك أن العمليات الانتحارية في سبيل الله ضد أعداء الله ورسوله وأعداء المسلمين قربة كريمة يتقرب بها المسلم إلى ربه, ولا شك أنها من أفضل أبواب الجهاد في سبيل الله, ومن استشهد في مثل هذه العمليات فهو شهيد إن شاء الله. ولنا من التاريخ الإسلامي في عهد النبوة وفي عهد الخلفاء الراشدين ومن بعدهم مجموعة من صور الجهاد في سبيل الله, ومن أبرز صور جهاد البطولة والشجاعة النابعة من الإيمان بالله وبما أعده سبحانه للشهداء ما في قتال المرتدين وفي طليعتهم مسيلمة الكذاب وقومه, فقد كان لبعض جيوش الإسلام في هذه المعركة عمليات انتحارية في سبيل افتتاح حديقة مسيلمة (حصنه المتين). ولكن ينبغي للمسلم المجاهد أن يحسن نيته في جهاده وأن يكون جهاده في سبيل الله فقط, وألا يلقي بنفسه إلى التهلكة في عملية يغلب على ظنه عدم انتفاعه منها……

“Alhamdulillah, tidak ragu lagi sesungguhnya aksi mengorbankan diri pada jihad fi sabilillah melawan musuh-musuh Allah dan RasulNya dan musuh kaum muslimin, merupakan upaya qurbah (pendekatan) yang mulia bagi seorang muslim kepada Rabbnya dan tidak ragu  pula bahwa itu merupakan di antara pintu jihad fi sabilillah yang paling utama, barang siapa yang mencari syahid dengan aksi ini maka itu adalah mati syahid Insya Allah.

Dalam sejarah Islam baik pada masa kenabian, Khulafa’ur Rasyidin, dan yang mengikuti mereka, kita memiliki kumpulan gambaran jihad fi sabilillah, yang paling menonjol di antara gambaran jihad kepahlawan dan keberanian karena iman kepada Allah Ta’ala dan apa-apa yang telah dijanjikanNya untuk para syuhada, adalah ketika memerangi kaum murtadin yang dipelopori oleh Musailamah Al Kadzdzab dan pengikutnya. Pada peperangan tersebut pasukan Islam membuka benteng pertahanannya yang sangat kuat.

Tetapi hendaknya seorang mujahid memperbaiki niatnya, dia hanya menjadikan jihad fi sabilillah adalah satu-satunya niat dan hendaknya jangan melakukan aksi menjerumuskan diri dalam kebinasaan yang tidak membawa manfaat dan janganlah melakukan takwil untuk keluar (memisahkan diri) dari pemerintahan Islam, dan seseungguhnya mendakwahi mereka bukanlah itu,  melainkan dengan menasehati mereka dengan  hikmah dan pelajaran yang baik, dan komitmen dengan adab memberikan nasihat. Wallahul Musta’an….” ( Al Fatawa An Nadiyyah fil ‘Amaliyat Alisytisyhadiyah, Hal. 13)

Bersambung …

🍃🌸🌴🌵🌱🌾🌹🍄

✍ Farid Nu’man Hasan

Serial Fatwa Ulama Tentang Bom Syahid

Serial Fatwa Ulama Tentang Bom Syahid (Bag. 1)

Serial Fatwa Ulama Tentang Bom Syahid (Bag. 2)

Serial Fatwa Ulama Tentang Bom Syahid (Bag. 3)

scroll to top