Jumroh di Hari-Hari Tasyriq Sebelum Fajar, TIDAK SAH Menurut Kesepakatan Ulama

💢💢💢💢💢💢💢

✍ Yang dimaksud adalah jumrah di tanggal 11, 12, 13 Zulhijjah. Dengan rincian;

📙Jika ingin jumroh di tanggal 11 Zulhijah maka baru sah jika dilakukan setelah subuh ditanggal 11

📘 begitu pula jika ingin tanggal 12 baru sah setelah subuh,.. begitu pula bagi yang 13 Zulhijjah.

📌 Ada pun maksud sebelum fajar, yaitu sebelum Fajar Shadiq, yaitu sebelum waktu subuh. Bukan sebelum zawal, ini dua istilah dan waktu yang berbeda. Zawal matahari artinya matahari telah tergelincir yaitu di waktu siang sudah masuk waktu Zuhur.

📌 Para ulama menjelaskan, bahwa TIDAK ADA KHILAFIYAH bahwa tidak sahnya lontar jumrah tgl 11 dilakukan sebelum Subuhnya, atau lontar untuk 12 dilakukan sebelum Subuhnya.

Syaikh Husamuddin ‘Afanah mengatakan dalam Kutaib beliau yang berjudul “Fatawa Syaadzah Tujizu Ramyal Jamaraat Lil Yaumi Tsaniy min Ayyamit Tasyriq fi Al Lailah As Saabiqah” – Fatwa Nyeleneh Yang Membolehkan Melempar Jumrah hari kedua Tasyriq (12 Zulhijjah) dilakukan Dimalam Hari Sebelumnya.

Beliau berkata:

قالوا لا بدَّ أن يكون الرميُ بعد الفجر، ولم يقلْ أحدٌ منهم فيما أعلم بجواز الرمي قبل الفجر

Mereka (Para ulama) mengatakan bahwa HARUS melempar itu dilakukan SETELAH FAJAR (ba’dal fajr), dan TIDAK ADA SEORANG PUN ULAMA YANG MEMBOLEHKANNYA SEBELUM FAJAR. (Selesai)

Begitu pula disampaikan para ulama lainnya:

السؤال
هل يجوز رمي الجمرات للمتعجل يوم 12 ذو الحجة قبل الفجر؟
الإجابــة

الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله وعلى آله وصحبه أما بعد:

فلا يجوز رمي الجمار في أيام التشريق -ومنها يوم التعجل- إلا بعد الزوال، وإلى هذا ذهب جمهور أهل العلم، وذهب أبو حنيفة في رواية عنه إلى جوازه قبل الزوال وبعد طلوع الشمس، كما في العناية شرح الهداية وغيرها من كتب الحنفية، وأما قبل الفجر فلم يقل به أحد فيما نعلم. والله أعلم.
الفتوى التالية الفتوى السابقة

Pertanyaan:

Bolehkah menyegerakan melontar jumroh tgl 12 Zulhijjah di lakukan SEBELUM FAJAR?

Jawaban:

Tidak boleh melontar jumroh di hari-hari tasyriq, kecuali setelah zawal. Inilah madzhab JUMHUR ulama.

Adapun Abu Hanifah membolehkan Sebelum Zawal dan SESUDAH TERBITNYA MATAHARI. Sebagaimana dalam Al ‘Inayah Syarh Al Hidayah, salah satu kitab Hanafiyah.

Adapun SEBELUM FAJAR, maka TIDAK ADA SATU PUN ULAMA YANG MENGATAKANNYA sejauh yang kami ketahui.

Wallahu A’lam

(Fatwa No. 15125)

Dalam fatwa yang lain jga disebutkan (No. 116545):

الرمي قبل طلوع الفجر أصلاً فلم يقل به أحدٌ من العلماء فيما نعلم، وعليه فإنه يلزمكم دمٌ لترك رمي الجمرات ذلك اليوم، لقول ابن عباسٍ رضي الله عنهما: من تركَ شيئاً من نسكه أو نسيه فعليه دم

Ada pun melempar jumroh sebelum TERBIT FAJAR, MAKA TIDAK ADA SATUPUN ULAMA YANG MENGATAKANNYA sejauh yang kami tahu, maka wajib baginya bayar DAM karena dia meninggalkan jumroh di hari itu. Ini berdasarkan perkataan Ibnu Abbas:

Barang siapa yg meninggalkan bagian dari manasiknya atau dia lupa maka wajib dam atasnya. (Selesai)

Demikian. Semoga bermanfaat.

Wallahul Muwafiq ila Aqwamith Thariq

🍃🍀🌷🎋🌸☘🌹

✍ Farid Nu’man Hasan

Nafar Awal dan Nafar Tsani: Sama-Sama Sunnah Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam

💢💢💢💢💢💢

Disebutkan dalam Sunan Abi Daud:

عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ يَعْمَرَ الدِّيلِيِّ قَالَ
أَتَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ بِعَرَفَةَ فَجَاءَ نَاسٌ أَوْ نَفَرٌ مِنْ أَهْلِ نَجْدٍ فَأَمَرُوا رَجُلًا فَنَادَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَيْفَ الْحَجُّ فَأَمَرَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَجُلًا فَنَادَى الْحَجُّ الْحَجُّ يَوْمُ عَرَفَةَ مَنْ جَاءَ قَبْلَ صَلَاةِ الصُّبْحِ مِنْ لَيْلَةِ جَمْعٍ فَتَمَّ حَجُّهُ أَيَّامُ مِنًى ثَلَاثَةٌ فَمَنْ تَعَجَّلَ فِي يَوْمَيْنِ فَلَا إِثْمَ عَلَيْهِ وَمَنْ تَأَخَّرَ فَلَا إِثْمَ عَلَيْهِ

Dari Abdurrahman bin Ya’mar Ad Dili, ia berkata:

Aku datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan beliau sedang di Arafah. Kemudian datang beberapa orang dari penduduk Najed, kemudian mereka memerintahkan seorang laki-laki untuk bertanya kepada Rasulullah Shallallahu wa’alaihi wa sallam: “Bagaimana berhaji itu?”

Kemudian Rasulullah Shallallahu wa’alaihi wa sallam memerintahkan seseorang agar mengumumkan:

“Haji adalah pada hari ‘Arafah, barang siapa yang datang sebelum shalat Subuh semenjak malam di Muzdalifah maka Hajinya telah sempurna, hari-hari di Mina ada tiga, barang siapa yang menyegerakan dalam dua hari (Nafar Awal) maka tidak ada dosa padanya dan barang siapa yang menunda (Nafar Tsani) maka tidak ada dosa baginya.

(HR. Abu Daud No. 1664, shahih)

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam merestui keduanya, dan keduanya sama-sama ada dalam sunnah qauliyah (Sunnah perkataan). Hanya saja Beliau Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam memilih Nafar Tsani untuk menghindar berdesakannya manusia pada saat itu (haji wada’), namun keduanya sama-sama boleh dilakukan.

Imam Abul Hasan Al Mawardi Rahimahullah berkata:

فَالنَّفْرُ الأولى فِي الْيَوْمِ الثَّانِيَ عَشَرَ وَالنَّفْرُ الثَّانِي فِي الْيَوْمِ الثَّالِثَ عَشَرَ فَإِنْ نَفَرَ فِي الْيَوْمِ الْأَوَّلِ كَانَ جَائِزًا وَسَقَطَ عَنْهُ الْمَبِيتُ بِمِنًى فِي لَيْلَتِهِ وَسَقَطَ عَنْهُ رَمْيُ الْجِمَارِ مِنْ غَدِهِ
وَأَصْلُ ذَلِكَ الْكِتَابُ وَالسُّنَّةُ وَإِجْمَاعُ الْأُمَّةِ 

Maka, Nafar pertama di hari ke 12 dan Nafar kedua di hari 13. Sesungguhnya Nafar Awal adalah boleh, dan gugurlah bermalam di Mina pada malam harinya dan gugurlah pula kewajiban jumroh keesokannya.

Dasar hal ini adalah Al Qur’an, As Sunnah, dan Ijma’ umat. (Al Hawi Al Kabir, 4/199)

Maka, siapa yang menjalankan Nafar Awal maka dia menjalankan Sunnah Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan yang menjalankan Nafar Tsani dia juga menjalankan Sunnah Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.

Kondisi-kondisi yang mengitarinyalah yang membuat mana yang mesti dipilih. Bagi jamaah haji yang masih muda, sehat, bisa jadi kuat berlama-lama di Mina sampai 13 Dzulhijjah (Nafar Tsani), bisa jadi ini lebih utama bagi mereka. Tapi, jika jamaah banyak yang sepuh, tidak kuat dengan cuaca, perjalanan jauh, sakit, hiruk pikuk, tentu Nafar Awal lebih pas bagi mereka untuk mencegah potensi madharatnya.

So, masalah ini pertimbangannya bukan hanya sisi Syara’, tapi juga variabel lainnya.

Wallahu a’lam wa Lillahil ‘Izzah

🍀☘🌹🌸🍃🎋🌷

✍ Farid Nu’man Hasan

Keadilan dan Ketegasan Khalifah Umar bin Khathab Radhiallahu ‘Anhu

▫▪▫▪

Syaikh Abu Bakar bin Jabir Al Jazairi Rahimahullah menceritakan:

Suatu ketika Umar bin Khathab sedang duduk, tiba-tiba datang seorang laki-laki dari Mesir. Laki-laki itu berkata: “Wahai Amirul Mu’minin, aku minta perlindungan kepadamu.” Berkata Umar: “Kau datang kepada orang yang akan melindungimu, … ada apa?”

Laki-laki itu menjawab: “Aku lomba balap Kuda melawan anaknya ‘Amr bin Al ‘Ash (Gubernur Mesir), aku mengalahkan dia, tapi dia memukulku dengan cambuknya, lalu dia berkata: “Aku anak orang mulia!” Lalu dia (anaknya ‘Amr) menyampaikan hal itu ke ‘Amr, ayahnya, dia takut aku akan melaporkan kepadamu maka aku dimasukan penjara, ketika aku sudah keluar maka aku sekarang melaporkannya kepadamu.”

Lalu Umar bin Khathab menulis surat untuk ‘Amr bin Al ‘Ash, yang bunyinya: “Jika datang musim haji, datanglah kamu kemari dan bawa anakmu si Fulan.” Lalu Umar berkata kepada orang Mesir itu: “Kamu tinggallah di sini sampai dia datang.”

Maka, ‘Amr datang untuk haji, maka ketika Umar sudah menunaikan haji, Beliau duduk bersama manusia, juga terdapat ‘Amr bin Al ‘Ash, dan anaknya ada di sampingnya.

Lalu orang Mesir itu berdiri, Umar melemparkan kepadanya tongkat, lalu dia (Orang Mesir) memukulnya (anak Amr) dan dia tidak menghentikannya sampai manusia memintanya untuk berhenti karena banyaknya pukulan itu.

Lalu Umar berkata: “Pukul anak terhormat itu!” Dia berkata: “Wahai Amirul Mu’min, aku sudah memenuhi keinginanku dan aku sudah terobati.” Lalu Umar berkata: “Letakkan tongkat itu di kepalanya ‘Amr yang botak itu!”

Dia berkata: “Wahai Amirul mu’min, aku sudah memukul orang yang memukulku.” Umar berkata: “Demi Allah, seandainya kamu mau lakukan maka tak seorang pun yang akan mencegahmu sampai kamu sendiri yang menghentikannya.”

Lalu Umar berkata kepada Amr bin Al Ash: “Wahai Amr, sejak kapan kamu memperbudak manusia? Padahal ibu mereka telah melahirkan mereka dalam keadaan bebas merdeka??”

🍀🌴🌹🍃🌸🌺🌷🌿🌻

📚 Syaikh Abu Bakar bin Jabir  Al Jazairi, Minhajul Muslim, Hal. 112, Cet. 4, 2012M-1433H. Maktabah Al ‘Ulum wal Hikam, Madinah

📓 Durus wa ‘Ibar

📌 Semua manusia di depan hukum adalah sama, tidak ada anak pejabat, atau pejabat itu sendiri, jika terbukti berbuat salah maka mesti dihukum.

📌 Jangan memanfaatkan kedudukan orang tua atau saudara yang memiliki kedudukan.

📌 Pentingnya keberadaan pemimpin yang shalih, adil, dan pemberani.

📌 Anjuran bagi para pemimpin untuk bersikap tegas kepada semua pelaku kezaliman.

📌 Anjuran menegakkan keadilan walau kepada pejabat tinggi.

🌀🌀🌀🌀

✏ Farid Nu’man Hasan

Mewakilkan Sebagian Manasik

💢💢💢💢💢💢

📨 PERTANYAAN:

Assalaamu’alaikum, Ustadz… Seorang teman yg sdg berhaji dia sdh thawaf ifadhah dan lontar jumrah di tgl 10 Dzulhijjah dan 11 Dzulhijjah. Namun krn kakinya sakit, dia tdk dpt lontar jumrah di tgl 12 Dzulhijjah (dia ambil nafar awwal). Apabila suaminya menggantikan melakukan lontar jumrah hanya utk tgl 12 Dzulhijjahnya, apakah teman saya tersebut tetap harus membayar dam? Mohon jawaban… jazaakallahu khair (08521671xxxx)

📬 JAWABAN

🍃🍃🍃🍃🍃🍃🍃
Wa’alaikumussalam wa Rahmatullah ..

Sah, dan tidak usah dam (denda), dam itu jika ada kewajiban yang tidak dilaksanakan.

Sedangkan kasus di atas, jumroh tetap dilaksanakan walau diwakilkan, tidak apa-apa.

Sebagaimana keterangan berikut:

قال ابن قدامة المقدسي الحنبلي: وإن مات عبد فعل بعض المناسك، فُعِلَ عنه ما بقي لأن ما جاز أن ينوب عنه في جميعه جاز في بعضه. انظر الكافي ج 1 ص: 386

فهذا الكلام يدل على جواز النيابة في الأركان عمن عجز عن الإتيان بها

Imam Ibnu Qudamah berkata: “Jika seseorang wafat dan dia tidak melaksanakan sebagian manasik. Maka sisanya bisa diwakilkan, sebab jika dibolehkan mewakilkan semua manasik begitupula terhadap sebagiannya.” (Al Kafi, 1/386)

Ucapan ini menunjukkan bolehnya perwakilan dalam menjalankan rukun-rukun haji yang tidak bisa dilakukan sendiri. (Selesai)

Demikian. Wallahu A’lam

🌴🌷🌱🌸🍃🌵🍄🌾

✍ Farid Nu’man Hasan

scroll to top