Bolehkah Daging Qurban Diberikan Kepada Non Muslim?

💢💢💢💢💢💢

Bagi kafir yang bukan harbiy, seperti non muslim yang mau hidup berdampingan dengan muslim secara damai, maka para ulama membolehkan memberikan daging qurban buat mereka.

Hal ini berdasarkan riwayat berikut:

وعَنْ مُجَاهِدٍ : ” أَنَّ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عَمْرٍو ذُبِحَتْ لَهُ شَاةٌ فِي أَهْلِهِ ، فَلَمَّا جَاءَ قَالَ: أَهْدَيْتُمْ لِجَارِنَا الْيَهُودِيِّ ؟ ، أَهْدَيْتُمْ لِجَارِنَا الْيَهُودِيِّ ، سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ : ( مَا زَالَ جِبْرِيلُ يُوصِينِي بِالْجَارِ حَتَّى ظَنَنْتُ أَنَّهُ سَيُوَرِّثُهُ )

Dari Mujahid, bahwa Abdullah bin Amr menyembelih kambing untuk keluarganya. Ketika beliau datang bertanya, “Apakah anda telah memberikan hadiah kepada tetangga kita yang Yahudi? Apakah anda telah memberikan hadiah kepada tetangga kita yang Yahudi? Saya mendengar Rasulullah sallallahu’alaihi wa sallam bersabda:

“Jibril senantiasa mewasiatkan kepadaku untuk tetangga, sampai saya menyangka dia akan mewarisinya.” (HR. At Tirmizi No. 1943, dinyatakan shahih oleh Al Albany)

Ditambah lagi Allah Ta’ala memang tidak melarang kita berbuat baik dan adil kepada non muslim yang tidak memerangi dan mengusir kita.

Allah Ta’ala berfirman:

( لَا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُمْ مِنْ دِيَارِكُمْ أَنْ تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوا إِلَيْهِمْ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ)

“Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan Berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang Berlaku adil.” (QS. Al Mumtahanah: 8)

Memberikan mereka daging qurban adalah salah satu berbuat baik yang Allah Ta’ala izinkan bagi kita, sebagaimana bolehnya memberikan sedekah sunah lainnya kepada mereka.

Imam Ibnu Qudamah Rahimahullah berkata:

وَيَجُوزُ أَنْ يُطْعِمَ مِنْهَا كَافِرًا ، … ؛ لِأَنَّهُ صَدَقَةُ تَطَوُّعٍ ، فَجَازَ إطْعَامُهَا الذِّمِّيَّ وَالْأَسِيرَ، كَسَائِرِ صَدَقَةِ التَّطَوُّعِ

Diperbolehkan memberi makanan dari (daging kurban) kepada orang kafir. Karena ia adalah sedekah sunnah. Maka diperbolehkan memberikan makanan kepada orang kafir Dzimmi (dalam perlindungan Negara Islam), tawanan sebagaimana sedekah sunnah lainnya.” (Al Mugni, 9/450).

Dalil lainnya, perhatikan ayat berikut:

لَيْسَ عَلَيْكَ هُدَاهُمْ وَلَكِنَّ اللَّهَ يَهْدِي مَنْ يَشَاءُ وَمَا تُنْفِقُوا مِنْ خَيْرٍ فَلِأَنْفُسِكُمْ وَمَا تُنْفِقُونَ إِلَّا ابْتِغَاءَ وَجْهِ اللَّهِ وَمَا تُنْفِقُوا مِنْ خَيْرٍ يُوَفَّ إِلَيْكُمْ وَأَنْتُمْ لَا تُظْلَمُونَ

Bukanlah kewajibanmu menjadikan mereka mendapat petunjuk, akan tetapi Allah-lah yang memberi petunjuk (memberi taufiq) siapa yang dikehendaki-Nya. _Dan apa saja harta yang baik yang kamu nafkahkan (di jalan allah), maka pahalanya itu untuk kamu sendiri. Dan janganlah kamu membelanjakan sesuatu melainkan karena mencari keridhaan Allah. Dan apa saja harta yang baik yang kamu nafkahkan, niscaya kamu akan diberi pahalanya dengan cukup sedang kamu sedikitpun tidak akan dianiaya (dirugikan). (QS. Al Baqarah: 272)

Ayat ini turun berkenaan tentang kaum muslimin yang enggan bersedekah kepada keluarga mereka yang musyrik, adanya ayat ini merupakan koreksi atas sikap mereka itu. Ada beberapa versi tentang latar belakang turunnya ayat ini, tapi semuanya secara substansi sama, berawal dari keengganan mereka bersedekah kepada orang kafir. Saya angkat dua versi saja.

Pertama. Dari Ibnu Abbas Radhiallahu ‘Anhuma, katanya:

عن النبي صلى الله عليه وسلم: أنه كان يأمر بألا يتصَدق إلا على أهل الإسلام، حتى نزلت هذه الآية: { لَيْسَ عَلَيْكَ هُدَاهُمْ } إلى آخرها، فأمر بالصدقة بعدها على كل من سألك من كل دين

Dari Nabi ﷺ bahwa Beliau memerintahkan bersedekah hanya untuk orang Islam, sampai akhirnya turun ayat ini (Bukanlah kewajibanmu menjadikan mereka mendapat petunjuk) hingga  ujuang  ayat, maka Beliau setelah itu memerintahkan bersedekah  untuk siapa saja yang meminta dari semua agama. (Imam Ibnu Katsir, Tafsir Al Quran Al ‘Azhim, 1/704)

Kedua. Imam Al Qurthubi menyebutkan riwayat dari Said bin Jubeir secara mursal,  tentang sebab turunnya ayat ini, bahwa kaum muslimin dahulu bersedekah kepada kafir dzimmi,  padahal banyak  orang-orang faqir yang muslim, maka  Nabi ﷺ bersabda: (Janganlah bersedekah kecuali kepada yang seagama denganmu), maka turunlah ayat ini yang menyatakan bolehnya bersedekah kepada selain orang Islam. ( Tafsir Al Qurthubi, 3/319)

Masih ada beberapa versi lain dalam kitab para mufassir, yang menunjukkan bahwa turunnya ayat ini diawali sikap kaum muslimin yang enggan memberikan sedekah kepada orang kafir, maka turunnya ayat ini sebagai koreksi atas sikap mereka itu.

Imam Al Qurthubi menjelaskan dari para ulama, bahwa sedekah yang dimaksud adalah sedekah sunah, bukan sedekah yang wajib seperti zakat. Imam Ibnul Mundzir mengatakan bahwa telah ijma’ larangan memberikan zakat kepada mereka, ada pun Ibnu ‘Athiyah membolehkan jika diberikan kepada kafir dzimmi yang memiliki hubungan kekerabatan/kekeluargaan berdasarkan ayat di atas. Tapi pendapat ini tertolak karena bertabrakan dengan ijma’.  Sedangkan Imam Abu Hanifah membolehkan memberikan zakat fitri, tapi Imam Ibnu ‘Arabi mengatakan bahwa pendapat ini lemah  dan tidak memiliki dasar. (Lengkapnya Tafsir Al Qurthubi, 3/319)

Demikian. Wallahu A’lam

🌴🌷🍃🌵🌸🌱🌾🌹

✍ Farid Nu’man Hasan

Fiqih Shalat Gerhana (Bag. 3)

5⃣ Tata Cara Pelaksanaannya

Tata cara pelaksanaan shalat gerhana telah dijelaskan secara rinci dalam kitab Shahih Bukhari dan Shahih Muslim, sebagai berikut:

Dari ‘Aisyah Radhiallahu ‘Anha, katanya:

خَسَفَتْ الشَّمْسُ فِي حَيَاةِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَخَرَجَ إِلَى الْمَسْجِدِ فَصَفَّ النَّاسُ وَرَاءَهُ فَكَبَّرَ فَاقْتَرَأَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قِرَاءَةً طَوِيلَةً ثُمَّ كَبَّرَ فَرَكَعَ رُكُوعًا طَوِيلًا ثُمَّ قَالَ سَمِعَ اللَّهُ لِمَنْ حَمِدَهُ فَقَامَ وَلَمْ يَسْجُدْ وَقَرَأَ قِرَاءَةً طَوِيلَةً هِيَ أَدْنَى مِنْ الْقِرَاءَةِ الْأُولَى ثُمَّ كَبَّرَ وَرَكَعَ رُكُوعًا طَوِيلًا وَهُوَ أَدْنَى مِنْ الرُّكُوعِ الْأَوَّلِ ثُمَّ قَالَ سَمِعَ اللَّهُ لِمَنْ حَمِدَهُ رَبَّنَا وَلَكَ الْحَمْدُ ثُمَّ سَجَدَ ثُمَّ قَالَ فِي الرَّكْعَةِ الْآخِرَةِ مِثْلَ ذَلِكَ فَاسْتَكْمَلَ أَرْبَعَ رَكَعَاتٍ فِي أَرْبَعِ سَجَدَاتٍ وَانْجَلَتْ الشَّمْسُ قَبْلَ أَنْ يَنْصَرِفَ

Terjadi gerhana matahari pada saat hidup Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, Beliau keluar menuju masjid lalu dia berbaris bersama manusia di belakangnya, lalu Beliau bertakbir, lalu Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam membaca surat dengan panjang (lama), lalu beliau bertakbir dan ruku dengan ruku yang lama, lalu bangun dan berkata: samiallahu liman hamidah, lalu Beliau berdiri lagi tanpa sujud, lalu Beliau membaca lagi dengan panjang yang hampir mendekati panjangnya bacaan yang pertama, lalu Beliau takbir, lalu ruku dengan ruku yang lama yang hampir mendekati lamanya ruku yang pertama, lalu mengucapkan: samiallahu liman hamidah rabbana wa lakal hamdu, kemudian Beliau sujud. Kemudian dia berkata: pada rakaat terakhir dilakukan seperti itu juga maka sempurnalah empat kali ruku pada empat kali sujud. Lalu, matahari terbit sebelum Beliau pulang. 1)

Dalam hadits ini bisa dipahami:

📌 Shalat gerhana dilakukan oleh Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam di dalam masjid

📌 Shalat gerhana dilakukan secara berjamaah

📌 Shalat gerhana dilakukan sebanyak dua rakaat

📌 Rakaat pertama dua kali ruku, Rakaat kedua juga dua kali ruku, total empat kali ruku

📌 Tertibnya: takbiratul ihram, membaca Al Fatihah, membaca surat yang panjang, lalu ruku yang lama, bangun lagi, membaca Al Fatihah, membaca surat yang panjangnya hampir sama dengan yang pertama, lalu ruku yang lamanya hampir sama dengan ruku sebelumnya, setelah itu sujud seperti shalat biasa (lengkap dengan duduk di antara dua sujudnya), lalu bangun lagi dan melakukan hal yang sama dengan rakaat pertama, hingga salam.

📝 Tambahan:

Ada pun dalam riwayat lain, diceritakan bahwa sujudnya juga panjang. 2)

Dianjurkan imam mengucapkan “Ash Shalatu Jaami’ah”, boleh juga orang lain, untuk mengumpulkan manusia agar berkumpul di masjid, sebagaimana riwayat berikut:

Dari Abdullah bin Amr Radhiallahu Anhuma, katanya:

لَمَّا كَسَفَتْ الشَّمْسُ عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نُودِيَ إِنَّ الصَّلَاةَ جَامِعَةٌ

Ketika terjadi gerhana matahari pada masa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam telah diserukan bahwa sesungguhnya shalat ini berjamaah (Ash Shalatu Jaami’ah). 3)

Oleh karenanya, Syaikh Sayyid Sabiq berkata:

وينادى لها: (الصلاة جامعة)

Dan diserukan untuk shalat gerhana: Ash Shalatu Jaamiah! 4)

Demikian ini adalah tata cara shalat menurut jumhur ulama.

(Bersambung …)

📓📕📗📘📙📔📒

✒ Farid Nu’man Hasan


🌿🍃🌿🍃🌿🍃🌿🍃

[1] HR. Bukhari No. 1046, Muslim No. 901, 1, 3

[2] HR. Bukhari No. 3203

[3] HR. Bukhari 1045, menurut lafaz Imam Muslim No. 910, 20: nudiya bish shalati jaami’ah – diserukan dengan kalimat: Ash Shalatu Jaami’ah.

[4] Syaikh Sayyid Sabiq, Fiqhus Sunnah, 1/213

 

Memajang Kaligrafi di Rumah

💢💢💢💢💢💢💢

📨 PERTANYAAN:

Ustad mau tanya apa hukumnya memajang khaligrafi Alquran didalam rumah
A22

📬 JAWABAN

🍃🍃🍃🍃🍃🍃🍃

Bismillah wal Hamdulillah ..

Terjadi perbedaan pendapat ulama tentang menuliskan ayat Al Quran di dinding, atau lainnya. Perbedaan ini karena memang tidak ada nash khusus yang membahasnya. Hukumnya berangkat dari perspektif masing-masing pihak. Ada yang menganggap hal itu justru dapat merendahkan Al Quran, pakaian, atau terbawa ke tempat yang tidak pantas, dan sebagainya.

Imam An Nawawi Rahimahullah berkata:

مذهبنا أنه يكره نقش الحيطان والثياب بالقرآن وبأسماء الله تعالى قال عطاء لا بأس بكتب القرآن في قبلة المسجد وأما كتابة الحروز من القرآن فقال مالك لا بأس به إذا كان في قصبة أو جلد وخرز عليه وقال بعض أصحابنا إذا كتب في الخرز قرآنا مع غيره فليس بحرام ولكن الأولى تركه لكونه يحمل في حال الحدث وإذا كتب يصان بما قاله الإمام مالك رحمه الله وبهذا أفتى الشيخ أبو عمرو بن الصلاح رحمه الله

📌 Madzhab kami memakruhkan mengukir dinding dan pakaian dengan ayat-ayat Al Quran dan Asma Allah Ta’ala.

📌 Atha mengatakan tidak apa-apa menulis Al Quran di kiblat Masjid.

📌 Imam Malik mengatakan tidak apa-apa menulis beberapa huruf Al Quran pada bambu, kayu, atau kulit.

📌 Menurut sebagian sahabat kami (Syafi’iyah), jika ditulis Al Quran dan lainnya pada manik-manik, tidak haram tapi lebih utama ditinggalkan. Karena bisa terbawa ke tempat hadats.

📌 Jika ditulis juga, sebaiknya mengikuti nasihat Imam Malik Rahimahullah, dan dengan ini pula fatwa Abu Amr bin Shalih Rahimahullah.

(Selesai dari Imam An Nawawi dalam At Tibyan)

Yang jelas, hiasan dengan memajang Kaligrafi yang terbingkai, sebagai alternatif ornamen dan membangun suasana Islam di rumah adalah hal yang baik, selama diletakkan ditempat-tempat yang terhormat dan tidak kotor atau mengandung najis.

Wallahu a’lam

🌺☘🌻🍃🌿🌴🌾🌸

✍ Farid Nu’man Hasan

Kufur Nikmat Itu Menjatuhkan Kita!

💢💢💢💢💢💢

Syaikh Abdul Aziz Ath Tharifiy Hafizhahullah:

إذا رفعك الله فلا تغتر، فربما رفعك ليضعك، تُحفظ النعم بالشكر، وتضيع بالكفر  – عبد العزبز الطريفي

Jika Allah mengangkat kedudukanmu maka janganlah terpedaya, sebab bisa jadi engkau diangkat untuk jatuh, maka terjaganya nikmat itu dengan bersyukur dan dihilangkannya nikmat karena kufur terhadapnya.

📚 Aqwaalud Du’aat Al Mu’ashiriin

🌵🌴🌷🌸🌱🍃🌹🌾

✍ Farid Nu’man Hasan

scroll to top