Fiqih Shalat Gerhana (Bag. 1)

💦💥💦💥💦💥

Kusuful Qamar (Gerhana Bulan) dan Khusufusy Syams (Gerhana Matahari) adalah dua tanda-tanda kebesaran Allah Ta’ala yang dikehendakiNya terjadi dalam kehidupan dunia. Keduanya tidak terkait dengan mitos dan khurafat tertentu. Keduanya dan hal apa pun yang terjadi pada benda-benda langit- adalah terjadi sesuai dengan iradah dan qudrahNya atas mereka.

Allah Ta’ala berfirman:

الشَّمْسُ وَالْقَمَرُ بِحُسْبَانٍ (5) وَالنَّجْمُ وَالشَّجَرُ يَسْجُدَانِ (6) وَالسَّمَاءَ رَفَعَهَا وَوَضَعَ الْمِيزَانَ (7) أَلَّا تَطْغَوْا فِي الْمِيزَانِ (8)

Matahari dan bulan (beredar) menurut perhitungan dan tumbuh-tumbuhan dan pohon-pohonan Kedua-duanya tunduk kepada nya dan Allah telah meninggikan langit dan Dia meletakkan neraca (keadilan), supaya kamu jangan melampaui batas tentang neraca itu. (QS. Ar Rahman: 5-8)

Islam telah memberikan bimbingan bagi umatnya tentang apa yang mesti mereka perbuat jika datang peristiwa gerhana. Peristiwa ini bukan sekedar menjadi pengalaman alamiah semata, dan sekedar untuk bersenang-senang melihat gerhana, tetapi dikembalikan kepada upaya dan sarana pengabdian kepada yang menciptakan terjadinya gerhana.

1⃣ Ta’rif (Definisi)

Apakah yang dimaksud dengan Kusuful Qamar dan Khusufusy Syams?

Imam An Nawawi Rahimahullah menjelaskan:

وجمهور أهل اللغة وغيرهم على أن الخسوف والكسوف يكون لذهاب ضوئهما كله و يكون لذهاب بعضه

Menurut mayoritas ahli bahasa dan selain mereka, bahwa khusuf dan kusuf itu terjadi karena hilangnya cahaya keduanya (matahari dan bulan) secara keseluruhan, dan karena juga hilangnya sebagiannya. 1)

2⃣ Masyru’-nya Shalat Gerhana

Kesunahan shalat gerhana telah menjadi kesepakatan dari masa ke masa, sebab begitu banyak riwayat yang menyebutkannya, baik untuk dilakukan oleh kaum laki-laki dan wanita, dan afdhalnya dilakukan secara berjamaah.

Khadimus Sunnah, Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah menjelaskan:

اتفق العلماء على أن صلاة الكسوف سنة مؤكدة في حق الرجال والنساء، وأن الافضل أن تصلى في جماعة وإن كانت الجماعة ليست شرطا فيها

Para ulama telah sepakat, bahwasanya shalat gerhana adalah sunah muakadah (sunah yang ditekankan) bagi kaum laki-laki dan wanita, dan afdhalnya dilakukan secara berjamaah, hanya saja berjamaah itu bukan syarat sahnya shalat gerhana. 2)

Imam An Nawawi Rahimahullah juga menjelaskan:

وأجمع العلماء على أنها سنة ومذهب مالك والشافعي وأحمد وجمهور العلماء أنه يسن فعلها جماعة وقال العراقيون فرادى

Ulama telah ijma’ bahwa shalat gerhana adalah sunah, dan madzhab Malik, Syafi’i, Ahmad, dan mayoritas ulama bahwa shalat tersebut disunahkan dilakukan dengan cara berjamaah. Sedangkan ‘Iraqiyin (para ulama Iraq, yakni Abu Hanifah dan sahabat-sahabatnya, pen) berpendapat dilakukan sendiri saja. 3)

Artinya, tidak mengapa dilakukan sendiri, namun menghidupkan sunah yakni berjamaah- adalah lebih utama, sebab begitulah yang dilakukan oleh Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersama para sahabatnya, dan ini menjadi pegangan umumnya fuqaha.

3⃣ Dalil Pensyariatannya

Di sini akan di sebutkan satu saja dari sekian banyak dan model penceritaan shalat gerhana, yakni dari ‘Aisyah Radhiallahu ‘Anha menceritakan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

إِنَّ الشَّمْسَ وَالْقَمَرَ آيَتَانِ مِنْ آيَاتِ اللَّهِ لَا يَخْسِفَانِ لِمَوْتِ أَحَدٍ وَلَا لِحَيَاتِهِ فَإِذَا رَأَيْتُمْ ذَلِكَ فَادْعُوا اللَّهَ وَكَبِّرُوا وَصَلُّوا وَتَصَدَّقُوا

Sesungguhnya (gerhana) matahari dan bulan adalah dua tanda di antara tanda-tanda kebesaran Allah, keduanya terjadi bukan karena wafatnya seseorang dan bukan pula lahirnya seseorang. Jika kalian menyaksikannya, maka berdoalah kepada Allah, bertakbirlah, shalat, dan bersedehkahlah. 4)

Inilah cara Islam, yakni berdoa, berdzikir (takbir), shalat, dan bersedekah, bukan mengaitkannya dengan mitos, tahayul, dan khurafat tertentu. Sabda nabi ini, sekaligus mengoreksi keyakinan sebagian manusia pada zaman itu yang mengaitkan terjadinya gerhana dengan wafatnya anak Beliau Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, yaitu Ibrahim.

(Bersambung …)

📓📔📒📗📘📕📙

✒ Farid Nu’man Hasan


🍃🌿🍃🌿🍃🌿🍃

[1] Imam An Nawawi, AlMinhaj Syarh Shahih Muslim, 6/198
[2] Syaikh Sayyid Sabiq, Fiqhus Sunnah, 1/213
[3] Imam An Nawawi, Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 6/198
[4] HR. Bukhari No. 1044, 1046, Muslim No. 901

 

Badal Umrah

💢💢💢💢💢💢💢

📨 PERTANYAAN:

Pak Ust, kalau badal haji kan saya sering dengar, kata tema saya juga ada badal umrah .. Emang ada? Jzkllh

📬 JAWABAN

🍃🍃🍃🍃🍃

Bismillah wal Hamdulillah wash Shalatu was Salamu ‘ala Rasulillah wa ba’d:

Sebagian ulama mengatakan umrah adalah haji juga yaitu haji kecil, seperti yang dikatakan ‘Atha, Asy Sya’biy, Mujahid, Abdullah bin Syadaad, dan Az Zuhri. (Tafsir Ath Thabari, 14/129-130)

Sehingga masalah badal umrah ini sama halnya dengan badal haji, karena kemiripannya.

Secara khusus, ada hadits yang memang menyebutkan badal umrah:

Dari Abu Razin Al ‘Uqailiy, dia mendatangi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam lalu bertanya:

يا رسول الله إن أبي شيخ كبير لا يستطيع الحج و لا العمرة و لا الظعن : قال ( حج عن أبيك واعتمر )

Wahai Rasulullah, ayahku sudah sangat tua, tidak mampu haji, umrah, dan perjalanan. Beliau bersabda: “Hajidan umrahlah untuk ayahmu.”

(HR. Ibnu Majah No. 2906, At Tirmidzi No. 930, An Nasa’i No. 2637, Al Baihaqi, As Sunan Al Kubra No. 8895, dll. Imam At Tirmidzi mengatakan: hasan shahih. Dishahihkan pula oleh Imam Al Hakim, dalam Al Mustadrak, 1/481, dan disepakati oleh Imam Adz Dzahabi)

Namun pembolehannya ini terikat syarat, yaitu:

1. Yang dibadalkan memang sudah wafat, atau fisik tidak memungkinkan, bukan karena menghindari antrean haji.

2. Yang membadalkan sudah haji atau umrah juga, inilah pendapat mayoritas ulama.

Berkata Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah:

شرط الحج عن الغير يشترط فيمن يحج عن غيره، أن يكون قد سبق له الحج عن نفسه

“Disyaratkan bagi orang yang menghajikan orang lain, bahwa dia harus sudah haji untuk dirinya dulu.” (Ibid, 1/638)

Hal ini berdasarkan pada hadits berikut:

عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سَمِعَ رَجُلًا يَقُولُ لَبَّيْكَ عَنْ شُبْرُمَةَ قَالَ مَنْ شُبْرُمَةُ قَالَ أَخٌ لِي أَوْ قَرِيبٌ لِي قَالَ حَجَجْتَ عَنْ نَفْسِكَ قَالَ لَا قَالَ حُجَّ عَن نَفْسِكَ ثُمَّ حُجَّ عَنْ شُبْرُمَةَ

Dari Ibnu Abbas, bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mendengar seorang laki-laki berkata: “Labbaika dari Syubrumah.” Rasulullah bertanya: :”Siapa Syubrumah?” laki-laki itu menjawab: “Dia adalah saudara bagiku, atau teman dekat saya.” Nabi bersabda: “Engkau sudah berhaji?” Laki-laki itu menjawab: “Belum.” Nabi bersabda: “Berhajilah untuk dirimu dahulu kemudian berhajilah untuk Syubrumah.” (HR. Abu Daud No. 1813, Imam Al Baihaqi mengatakan: isnadnya shahih. Lihat Al Muharar fil Hadits, No. 665)

Hadits ini menjadi pegangan mayoritas ulama, bahwa orang yang ingin mewakilkan haji orang lain, di harus sudah berhaji untuk dirinya dahulu.

Berkata Imam Abu Thayyib Rahimahullah:

وَظَاهِر الْحَدِيث أَنَّهُ لَا يَجُوز لِمَنْ لَمْ يَحُجّ عَنْ نَفْسه أَنْ يَحُجّ عَنْ غَيْره وَسَوَاء كَانَ مُسْتَطِيعًا أَوْ غَيْر مُسْتَطِيع لِأَنَّ النَّبِيّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَآله وَسَلَّمَ لَمْ يَسْتَفْصِل هَذَا الرَّجُل الَّذِي سَمِعَهُ يُلَبِّي عَنْ شُبْرُمَةَ ، وَهُوَ يَنْزِل مَنْزِلَة الْعُمُوم ، وَإِلَى ذَلِكَ ذَهَبَ الشَّافِعِيّ . وَقَالَ الثَّوْرِيّ : إِنَّهُ يُجْزِئُ حَجّ مَنْ لَمْ يَحُجّ عَنْ نَفْسه مَا لَمْ يَتَضَيَّقْ عَلَيْهِ

Menurut zhahir hadits ini, tidak dibolehkan orang yang belum menunaikan haji untuk diri sendiri menghajikan untuk orang lain. Sama saja, apakah orang tersebut mampu atau tidak mampu, sebab Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tidak merinci keadaan laki-laki yang telah beliau dengar menjawab panggilan dari Syubrumah, sehingga hal itu menunjukkan keadaan yang umum, Inilah madzhab Asy Syafi’i. Sementara Ats Tsauri berkata: “Bahwa boleh saja orang yang belum haji, dia menghajikan orang lain selama tidak menyulitkannya.” (‘Aunul Ma’bud, 5/174)

Sementara dalam madzhab Syafi’iy disebutkan:

وَقَالَ الشَّافِعِيَّةُ: تَجُوزُ النِّيَابَةُ فِي أَدَاءِ الْعُمْرَةِ عَنْ الْغَيْرِ إذَا كَانَ مَيِّتًا أَوْ عَاجِزًا عَنْ أَدَائِهَا بِنَفْسِهِ

Dibolehkan mewakili pelaksanaan umrah untuk orang lain, baik untuk yang sudah wafat atau orang sudah lemah menunaikan sendiri. (Al Mausu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah)

Demikian. Wallahu A’lam

▪▫▪▫▪▫

✍ Farid Nu’man Hasan

Tafsir Surat Al-Ikhlas (Bag. 3)

💢💢💢💢💢

اللَّهُ الصَّمَدُ

Allah, Tuhan yang bergantung kepada-Nya Segala Sesuatu

Ajaran agama Islam meyakini akidah dalam mengenal Allah dengan keyakinan paripurna. Teguh memegang pendirian bahwa Allah sajalah tempat memohon segala kebutuhan dan memanjatkan doa. Tak ada makluk manapun kecuali bergantung kepada Allah semua kebutuhan dan permasalahannya. Sehingga bagi seorang muslim yang yakin kepada Allah, masalah yang besar akan menjadi kecil, karena ada Allah yang Maha Menyelesaikan masalah.

Sementara orang yang lemah keyakinannya kepada Allah, masalah kecil akan terasa besar dan berat, karena ia kehilangan Allah yang Maha Menyelasikan persoalan.

📘 Pendapat Para Ulama Mufassirin

▪ Menurut Imam Al Bukhari

Imam Al Bukhari memaknai kata Ash Shamad seperti disebutkan dalam hadits Qudsi bersumber dari Abu Hurairah:

وَأَنَا الصَّمَدُ الَّذِي لَمْ أَلِدْ وَلَمْ أُولَدْ، وَلَمْ يَكُنْ لِي كُفُؤًا أَحَدٌ

“Aku-lah Ash Shamad, Yang Tak beranak dan tak diperanakkan, dan tak seorangpun setara dengan-Ku” (Shahih Bukhari, no. 4975)

Syaikh Wahbah Az-Zuhaily menyebutkan dalam tafsirnya:

وهو السيد الذي قد كمل في سؤدده، والشريف الذي قد كمل في شرفه، والعظيم الذي قد كمل في عظمته، والحليم الذي قد كمل في حلمه، والعليم الذي قد كمل في علمه، والحكيم الذي قد كمل في حكمته…

Dia (Allah) penguasa yang Maha Sempurna dalam kekuasaan-Nya, Maha Mulia yang Maha sempurna dalam Kemuliaan-Nya, Maha Agung yang sempurna dalam Keagungan-Nya, Maha Pemaaf, yang Sempurna dalam Memaafkan, Maha Mengetahui yang sempurna dalam Ilmu-Nya, Maha Adil yang Sempurna dalam Keadilan-Nya. (Wahbah az-Zuhaily, Tafsir Al Munir, (Damaskus: Dar Fikr Al Muashir, 1418, 30/456)

Al Qurthubi menyebutkan dalam tafsirnya beberapa pendapat diantaranya:

▪ Abu Hurairah, beliau memaknai ‘Ash Shamad,

إِنَّهُ الْمُسْتَغْنِي عَنْ كُلِّ أَحَدٍ، وَالْمُحْتَاجُ إِلَيْهِ كُلُّ أَحَدٍ

Dia Allah tak membutuhkan pihak manapun, dan semua pihak membutuhkan Allah.

▪ Menurut As Sudy

إِنَّهُ: الْمَقْصُودُ فِي الرَّغَائِبِ، وَالْمُسْتَعَانُ بِهِ فِي الْمَصَائِبِ

Dia-lah tempat mengadu dalam keinginan, dan tempat berlindung dalam segala musibah.

▪ Menurut Husain bin Fadhl

إِنَّهُ: الَّذِي يَفْعَلُ مَا يَشَاءُ وَيَحْكُمُ مَا يُرِيدُ

Dia-lah Allah yang Maha Melakukan apa saja sekendak-Nya, dan menghukumi sesuai dengan kehendak-Nya.

▪ Menurut Al Muqathil

إِنَّهُ: الْكَامِلُ الَّذِي لَا عَيْبَ فِيهِ

Dia-lah Allah yang Maha Sempurna yang sama sekali tak memiliki aib.

(Tafsir Al Qurthubi, 20/246)

▪ Menurut Ibnu Abbas

السَّيِّد الَّذِي قد انْتهى سؤدده وَاحْتَاجَ إِلَيْهِ الْخَلَائق وَيُقَال الصَّمد الَّذِي لَا يَأْكُل وَلَا يشرب وَيُقَال الصَّمد الَّذِي لَيْسَ بأجوف وَيُقَال الصَّمد الصافي بِلَا عيب وَيُقَال الصَّمد الدَّائِم وَيُقَال الصَّمد الْبَاقِي وَيُقَال الصَّمد الْكَافِي

Ash Shamad adalah Penguasa yang paripurna dalam kekuasaannya, setiap makhluk membutuhkan-Nya, ash Shamad juga berarti Yang tidak makan dan tidak minum, Ash Shamad juga berarti Dzat yang tak berongga, Ash Shamad juga berarti jernih tak beraib, Ash Shamad berarti berkelanjutan, Ash Shamad berarti kekal, Cukup. (Tanwirul Miqbas, Tafsir Ibn Abbas, 1/522)

▪ Menurut Sayid At Thantawi

اللَّهُ الصَّمَدُ أى: الله- تعالى- هو الذي يصمد إليه الخلق في حوائجهم، ويقصدونه وحده بالسؤال والطلب … مأخوذ من قولهم صمد فلان إلى فلان. بمعنى توجه إليه بطلب العون والمساعدة

Allahus shamad,” Dia-lah Allah tempat bergantung segala kebutuhan makhluk, Dia-lah satu-satunya tempat meminta dan memohon, berasal dari kalimat,” Shamada Fulan Ila Fulan artinya,” Tertuju kepada-Nya segala perlindungan dan pertolongan”. (Tafsir Ath Thanthawi, 15/550)

📙 Keutamaan Lafadz Ash Shamad

ما رواه بريدة بن الحٌصَيب رضي الله عنه حيث قال: سمع النبي صلى الله عليه وسلم رجلاً يقول:  اللهم إني أسألك بأني أشهد أنك أنت الله الذي لا إله إلا أنت، الأحد الصمد، الذي لم يلد ولم يولد، ولم يكن له كفواً أحد، فقال: قد سأل الله باسمه الأعظم، الذي إذا سئل به أعطى، وإذا دعي به أجاب

Apa yang diriwayatkan dari Buraidah bin Al-Hushaib Radhiyallahu ‘anhu ia berkata,”Nabi Shalallah Alaihi Wasallam mendengar seseorang yang berdoa,” Ya Allah aku memohon kepadaMu bahwa aku bersaksi, Engkau adalah Allah yang tiada Illah melainkan Engkau, Maha Esa, Yang Bergantung semua mahkluk kepada-Mu, tiada beranak dan diperanakkan, tiada yang setara dengan-Mu, nabi bersabda,” ia telah berdoa dengan nama Allah yang Maha Agung, jika diminta Allah akan beri, jika diseru maka Dia akan menjawab doa”.
(HR Abu Daud no. 1493, At Tirmizi no. 3475, Ibnu Majah no. 3847, Ahmad 5/35o, Ibnu Hibban, No. 3/173, An Nasa’i dalam Sunan Al Kubra, 4/395, Al Hakim, 1/684)

Menurut Imam Al Hakim shahih sesuai syarat Syaikhain dan dishahihkan oleh Al Albani dalam Shahih At Tirmizi

والله أعلم

🍃🌸☘🎋🌹🍀🌷

✍ Ust Fauzan Sugiono, MA

Serial Tafsir Surat Al-Ikhlas
Tafsir Surat Al-Ikhlas (Bag. 1)

Tafsir Surat Al-Ikhlas (Bag. 2)

Tafsir Surat Al-Ikhlas (Bag. 3)

Tafsir Surat Al Ikhlas (Bag.4)

Cerai Dalam Keadaan Marah

💢💢💢💢💢💢💢

Cerai dalam marah ada dua keadaan, yaitu:

1⃣ Marah yang sudah sangat, sampai dia tidak menyadari apa yang terjadi, apa yang terucap, akalnya tertutup, sehingga dia mengucap tanpa kehendak.

Untuk yang seperti ini mayoritas ulama mengatakan cerai TIDAK SAH, sebab saat itu akalnya tertutup sama dengan orang gila atau mabuk.

Inilah pendapat mayoritas ulama seperti Utsman, Ibnu Abbas, Thawus, Atha’, Abu Tsa’tsa, Umar bin Abdul Aziz, Al Qasim bin Muhammad, Al Laits bin Sa’ad, Rabi’ah, Al Muzani Al Bukhari, Ahmad, Ibnu Taimiyah (beliau mengistilahkan dengan talak bid’ah), Ibnul Qayyim, dan lainnya.

Dalilnya adalah:

انمال الاعمال بالنيات و انما لكل امرء ما نوى

Sesungguhnya amal itu berdasarkan niatnya dan setiap manusia akan mendapatkan balasan sesuai apa yang diniatkanya. (HR. Muttafaq Alaih)

Dan juga kaidah:

الامور بمقاصدها

Nilai perbuatan itu tergantung maksud-maksudnya. (Al Asybah wan Nazhair, Hal. 8)

Sedangkan ulama lain mengatakan TETAP SAH cerai dalam keadaan marah seperti ini, mereka adalah Hasan Al Bashri, Sa’id bin Al Musayyab, Az Zuhri, Abu Hanifah, Malik, Asy Syafi’i, dan lainnya.

Alasannya adalah:

ثَلاَثٌ جِدُّهُنَّ جِدٌّ وَهَزْلُهُنَّ جِدٌّ النِّكَاحُ وَالطَّلاَقُ وَالرَّجْعَةُ

“Tiga perkara yang serius dan bercandanya sama-sama dianggap serius: nikah, cerai, dan rujuk”. (HR. Abu Daud, At Tirmidzi, dll)

Bercanda, biasanya tidak dibarengi kehendak secara hakiki, tapi dalam hadits ini hal itu tetap dianggap serius. Ini setara dengan marah yang luar biasa tadi, walau tidak diiringi kehendak tapi tapi SAH selama bahasanya memang lugas.

2⃣ Marah yang masih sadar atas apa yang terucap dan apa yang terjadi.

Untuk jenis yang ini, tidak ada khilafiyah para ulama, bahwa ucapan cerai dalam keadaan marah yang masih bisa berpikir adalah SAH, selama memang ucapan shariih (tegas dan lugas).

Demikian. Wallahu A’lam

🌴🌷🌱🌸🍄🍃🌵🌾

✍ Farid Nu’man Hasan

scroll to top