Hadits: “Berjihad Melawan Hawa Nafsu adalah Jihad Paling Besar

💥💦💥💦💥💦💥

🌾 Kita kembali dari jihad kecil menuju jihad besar.🌾

Ini hadits, walau tidak secara langsung berhubungan dengan puasa atau Ramadhan, namun amat sering dibaca ketika bulan Ramadhan. Hadits itu berbunyi:

رجعنا من الجهاد الأصغر إلى الجهاد الأكبرقالوا: وما الجهاد الأكبر؟ قال: جهاد القلب

“Kita kembali dari Jihad kecil menuju jihad besar.” Mereka bertanya: “Apakah jihad paling besar itu?” Beliau bersabda: “Jihad hati.”

Berkata Imam Zainuddin Al ‘Iraqi:

أخرجه البيهقي في الزهد من حديث جابر وقال : هذا إسناد فيه ضعف

Diriwayatkan oleh Al Baihaqi dalam kitab az Zuhd dari hadits Jabir, dia berkata: “Di dalam sanadnya dha’if.” (Imam Al ‘Iraqi, Takhrijul Ahadits Al Ihya’, No. 2567)

Begitu pula disebutkan dalam Tadzkirah Al Maudhuat, bahwa hadits ini dhaif. ( Al Allamah Muhammad Thahir bin Ali Al Hindi Al Fatani, Tadzkirah Al Maudhuat, Hal. 191)
Al Hafizh Ibnu Hajar mengatakan dalam Tasdidul Qaus bahwa ini adalah ucapan Ibrahim bin Abi Ablah seorang tabiin, sebagaimana dikatakan Imam An Nasai dalam Al Kuna. (Imam As Suyuthi, Ad Durar Muntatsirah fil Ahadits Musytahirah, Hal. 11. Mawqi Al Warraq. Imam Al Ajluni, Kasyful Khafa, No. 1362. Darul Kutub Al Ilmiyah)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah memberikan komentar terhadap hadits itu sebagai berikut:

فَلَا أَصْلَ لَهُ وَلَمْ يَرْوِهِ أَحَدٌ مِنْ أَهْلِ الْمَعْرِفَةِ بِأَقْوَالِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَفْعَالِهِ وَجِهَادُ الْكُفَّارِ مِنْ أَعْظَمِ الْأَعْمَالِ ؛ بَلْ هُوَ أَفْضَلُ مَا تَطَوَّعَ بِهِ الْإِنْسَانُ قَالَ اللَّهُ تَعَالَى : { لَا يَسْتَوِي الْقَاعِدُونَ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ غَيْرُ أُولِي الضَّرَرِ وَالْمُجَاهِدُونَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ بِأَمْوَالِهِمْ وَأَنْفُسِهِمْ فَضَّلَ اللَّهُ الْمُجَاهِدِينَ بِأَمْوَالِهِمْ وَأَنْفُسِهِمْ عَلَى الْقَاعِدِينَ دَرَجَةً وَكُلًّا وَعَدَ اللَّهُ الْحُسْنَى وَفَضَّلَ اللَّهُ الْمُجَاهِدِينَ عَلَى الْقَاعِدِينَ أَجْرًا عَظِيمًا }

“Tidak ada dasarnya, dan tidak diriwayatkan oleh seorang pun ahli ma’rifah (ulama) sebagai ucapan dan perbuatan Nabi Shallallahu Alahi wa Sallam. Dan, jihad melawan orang kafir termasuk amal yang paling agung, bahkan dia adalah tathawwu (anjuran) yang paling utama bagi manusia. Allah Taala berfirman: Tidaklah sama orang-orang beriman yang duduk (tidak pergi jihad) tanpa memiliki udzur (alasan yang benar), dibanding orang-orang yang berjihad dengan harta dan jiwanya. Allah mengutamakan satu derajat bagi orang-orang yang berjihad dengan harta dan jiwanya di atas orang-orang yang duduk saja. Kepada masing-masing mereka Allah menjajnjikan pahala yang baik (surga) dan Allah melebihkan orang-orang yang berjihad atas orang-orang yang duduk dengan pahala yang besar. (QS. An Nisa: 95). (Majmu Fatawa, 2/487. Mawqi Al Islam)

Imam Al Iraqi mengatakan bahwa hadits ini diriwayatkan oleh Imam Al Baihaqi dalam kitab Az Zuhd, namun setelah dicek ke kitab Zuhd Al Kabir-nya Imam Al Baihaqi, ternyata tidak ada hadits dengan redaksi seperti di atas (Kita kembali dari jihad kecil menuju jihad besar). Tetapi yang ada adalah:

قدمتم خير مقدم من الجهاد الأصغر إلى الجهاد الأكبر . قالوا : وما الجهاد الأكبر ؟ قال : مجاهدة العبد هواه

“Kalian datang dengan sebaik-baik kedatangan, kalian datang dari jihad kecil menuju jihad besar.” Mereka bertanya: “Apakah jihda besar itu?” Beliau bersabda: Mujahadahnya seorang hamba terhadap hawa nafsunya. (HR. Al Baihaqi, Zuhd Al Kabir, No. 384, hadits dari Jabir bin Abdullah. Al Baihaqi mengatakan: sanadnya Dhaif . Imam Khathib Baghdadi, Tarikh Baghdad, 6/171. Lihat Alauddin Muttaqi Al Hindi, Kanzul Ummal, No. 11260)

Hadits ini juga dhaif, bahkan dengan kedhaifan yang parah. Lantaran dalam sanadnya terdapat beberapa perawi yang dhaif. Yakni Isa bin Ibrahim, Yahya bin Ya’la, dan Laits bin Abi Sulaim.

Tentang Isa bin Ibrahim ini, dia adalah Isa bin Ibrahim bin Siyar, disebut juga Ibnu Dinar Asy Syairi Abu Ishaq, disebut juga Abu Umar, ada juga yang mengatakan Abu Yahya Al Bashri, lebih dikenal dengan Al Barki. (Tahdzibut Tahdzib, 8/183). Disebutkan tentang dia : shaduq lahu awham (jujur tetapi ada keraguan). (Al Hafizh Ibnu Hajar, Taqribut Tahdzib, 1/768. Al Hafizh Adz Dzahabi, Mizanul Itidal, 3/310). Abu Hatim mengatakan: shaduq (jujur). An Nasa’i mengatakan: tidak apa-apa. (Mizanul Itidal, 3/310)

Sementara Yahya bin Yala, dia adalah Yahya bin Yala Al Aslami Al Qathuwani Al Kufi. Imam Ibnu Main ditanya tentang dia, katanya: bukan apa-apa. Al Bukhari mengatakan: mudhtharibul hadits (haditsnya guncang). Abu Hatim mengatakan: dhaiful hadits laisa bil qawwi (haditsnya lemah dan tidak kuat). Ibnu Abi mengatakan, dia adalah orang Kufah dan Syiah. (Al Hafizh Ibnu Hajar, Tahdzbut Tahdzib, 11/266. Lihat juga Mizanul Itidal, 4/415)

Ada pun tentang Laits bin Abi Sulaim, Imam Ahmad berkata tentangnya: sangat lemah dan banyak kesalahan. Yahya bin Main mengatakan: dhaif. (Imam Ibnu Hibban, Al Majruhin, 2/232). Sufyan bin Uyainah mendhaifkannya, sedangkan Abu Zurah ditanya tentang Laits ini, katanya: haditsnya lemah dan tidak bisa berhujjah dengan haditsnya. (Tahdzibut Tahdzib, 8/418)

Maka, jelaslah sudah kelemahan hadits ini, dengan kelemahan yang sangat. Dan, Syaikh Al Albani mengatakannya sebagai hadits munkar. (As Silsilah Adh Dhaifah, No. 2460).

Wallahu Alam

📚Catatan:

Walau hadits-hadits di atas lemah, bahkan tidak ada dasarnya. Islam mengakui bahwa jihad terhadap hawa nafsu memang ada. Dari Fadhalah bin ‘Ubaid, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

المجاهد من جاهد نفسه

“Mujahid adalah orang yang berjihad terhadap hawa nafsunya.” (HR. At Tirmidzi No. 1621, katanya: hasan shahih. Abu Daud No. 1258)

Hadits ini shahih. (Misykah Al Mashabih No. 3823. As Silsilah Ash Shahihah No. 549. Shahih wa Dhaif Sunan Abi Daud No. 1258)

Perlu diketahui, kelemahan hadits-hadits tentang jihad melawan hawa nafsu yang kita bahas lalu (bahkan tidak ada dasarnya), tidak berarti mengurangi derajat jihad melawan hawa nafsu. Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Rahimahullah:

وَلَا رَيْبَ أَنَّ مُجَاهَدَةَ النَّفْسِ مَأْمُورٌ بِهَا وَكَذَلِكَ قَهْرُ الْهَوَى وَالشَّهْوَةِ كَمَا ثَبَتَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ : { الْمُجَاهِدُ مَنْ جَاهَدَ نَفْسَهُ فِي ذَاتِ اللَّهِ وَالْكَيِّسُ مَنْ دَانَ نَفْسَهُ وَعَمِلَ لِمَا بَعْدَ الْمَوْتِ وَالْعَاجِزُ مَنْ أَتْبَعَ نَفْسَهُ هَوَاهَا وَتَمَنَّى عَلَى اللَّهِ } لَكِنْ الْمُسْلِمَ الْمُتَّبِعَ لِشَرِيعَةِ الْإِسْلَامِ هُوَ الْمُحَرِّمُ مَا حَرَّمَهُ اللَّهُ وَرَسُولُهُ فَلَا يُحَرِّمُ الْحَلَالَ وَلَا يُسْرِفُ فِي تَنَاوُلِهِ ؛ بَلْ يَتَنَاوَلُ مَا يَحْتَاجُ إلَيْهِ مِنْ طَعَامٍ أَوْ لِبَاسٍ أَوْ نِكَاحٍ وَيَقْتَصِدُ فِي ذَلِكَ وَيَقْتَصِدُ فِي الْعِبَادَةِ ؛ فَلَا يُحَمِّلُ نَفْسَهُ مَا لَا تُطِيقُ

“Tidak diragukan bahwa berjihad mengendalikan diri adalah diperintahkan, begitu pula menguasai hawa nafsu dan syahwat. Sebagaimana telah tsabit (kuat) dari Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bahwa dia bersabda:

Mujahid adalah orang yang berjihad melawan nafsunya di jalan Allah, dan orang pintar adalah orang mampu menguasai dirinya dan berbuat untuk hari setelah kematiannya, dan orang lemah adalah orang yang jiwanya mengikuti hawa nafsunya, dan berangan-angan kepada Allah.

Tetapi seorang muslim hanya mengikuti syariat Islam, dia mengharamkan apa yang Allah dan RasulNya haramkan, dia tidak mengharamkan yang halal dan tidak berlebihan dalam menikmatinya, tetapi dia menggunakannya sesuai kebutuhan saja baik berupa makanan, nikah, dia sederhana dalam hal itu, dan sederhana pula dalam hal ibadah, dia tidak membebani dirinya dengan apa-apa yang tidak dia mampu. (Imam Ibnu Taimiyah, Majmu Fatawa, 3/302)

Bahkan seorang ulama mujahid, perawi hadits terpercaya, Imam Abdullah bin Mubarak mengomentari ayat:

وَجَاهِدُوا فِي اللّهِ حَقّ جِهَادِه

“Berjihadlah kalian di jalan Allah dengan sebenar-benarnya jihad.”

Beliau berkata:

هُوَ مُجَاهَدَةُ النّفْسِ وَالْهَوَى

“Itu adalah berjihad terhadap jiwa dan hawa nafsu.” (Imam Ibnu Qayyim, Zaadul Ma’ad, 3/8. Muasasah Ar Risalah).

Imam Ibnul Qayyim sendiri telah membahas panjang masalah ini, dan dia membuat maratibul jihad (urutan jihad) bahwa jihad ada empat urutan, yakni jihad terhadap hawa nafsu, jihad melawan syetan, jihad melawan orang kafir dan jihad melawan orang munafik. Jihad terhadap hawa nafsu juga terbagi atas empat, yakni: Pertama, jihad untuk mempelajari petunjuk dan agama yang benar. Kedua, jihad mengamalkan ilmu tersebut. Ketiga, jihad mendakwahkan dan mengajarkan ilmu tersebut agar tidak termasuk orang yang menyembunyikan ilmu. Keempat, jihad bersabar ketika mendakwahkannya atas segala bentuk kesulitan dan peneritaan yang akan menimpanya. (Ibid, 3/9) selesai.

Ada pun riwayat yang shahih tentang jihad yang paling afdhal adalah sebagai berikut, dari Abu Said Al Khudri, bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda:

أَفْضَلُ الْجِهَادِ كَلِمَةُ عَدْلٍ عِنْدَ سُلْطَانٍ جَائِرٍ أَوْ أَمِيرٍ جَائِرٍ

“Jihad paling utama adalah mengutarakan perkataan yang adil di depan penguasa yang zalim atau pemimpin yang zalim.” (HR. Abu Daud No. 4344. At Tirmidzi No. 2265, katanya: hasan gharib. Ahmad No. 10716, dalam lafaz Ahmad tertulis: Kalimatul haq ..(perkataan yang benar). Ibnu Majah No. 4011)

Hadits ini shahih. (Misykah Al Mashabih, No. 3705. As Silsilah Ash Shahihah, No. 491. Shahih wa Dhaif Sunan Abi Daud No. 4344)

Sedangkan jihad paling utama bagi wanita adalah haji yang mabrur. Dari Aisyah Radhiallahu Anha, katanya:

يَا رَسُولَ اللَّهِ نَرَى الْجِهَادَ أَفْضَلَ الْعَمَلِ أَفَلَا نُجَاهِدُ قَالَ لَا لَكِنَّ أَفْضَلَ الْجِهَادِ حَجٌّ مَبْرُورٌ

“Ya Rasulullah, kami melihat jihad adalah amal yang paling utama, apakah kami juga boleh berjihad?” Nabi bersabda: “Tidak, tetapi sebaik-baiknya jihad adalah haji yang mabrur.” (HR. Bukhari No. 1448, 1762, 2632, 2720, 2721)

Wallahu A’lam

🍃🌻🌸🌾🌺☘🌴🌷

✏ Farid Nu’man Hasan

Manajemen Prasangka (Bag 2)

🏹🏹🏹🏹🏹🏹

📘 Ayat- Ayat Berkenaan dengan Zhan

Allah ﷻ berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيرًا مِنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ

Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan prasangka, karena sebagian dari prasangka itu dosa. (QS. Al Hujurat: 12)

Ayat ini tegas melarang banyak prasangka, padahal tidak semua prasangka itu buruk. Ini demi kehati-hatian agar tidak terjerumus dalam zhan yang buruk.

Imam Ibnu Katsir Rahimahullah berkata:

يقول تعالى ناهيا عباده المؤمنين عن كثير من الظن، وهو التهمة والتخون للأهل والأقارب والناس في غير محله؛ لأن بعض ذلك يكون إثما محضا، فليجتنب كثير منه احتياطا

Allah ﷻ berfirman bagi hamba-hambanya yang beriman, tentang larangan banyak prasangka, yaitu tuduhan kepada keluarga, kerabat, dan orang lain bukan pada tematnya. Sebab sebagian dari zhan itu melahirkan dosa, maka hendaknya menjauhi kebanyakan hal itu sebagai kehati-hatian. (Tafsir Al Quran Al ‘Azhim, 7/377)

Syaikh Wahbah Az Zuhaili Rahimahullah menjelaskan macam-macam zhan:

….فبعض الظن واجب الاتباع كالاجتهاد في الأحكام العملية وحسن الظن باللّه، وبعضه حرام كالظن في الإلهيات والنبوات، أو عند مصادمة الدليل القاطع، وظن السوء بالمؤمنين، وبعضه مباح كالظن في الأمور المعاشية

Maka, sebagian prasangka itu justru wajib untuk diikuti, seperti ketika ijtihad dalam menuntukan hukum perbuatan dan husnuzhzhan kepada Allah. Sebagian lagi diharamkan, seperti prasangka dalam urusan ketuhanan, kenabian, atau ketika bertentangan dengan dalil pasti, dan buruk sangka kepada kaum mu’minin, dan sebagian lagi ada zhan yang dibolehkan seperti prasangka dalam urusan-urusan dunia. (Al Munir, 26/247)

Kemudian … dalam ayat yang lain:

وَإِنَّ الظَّنَّ لاَ يُغْنِى مِنَ الْحَقِّ شَيْئاً

Sesungguhnya persangkaan itu tidak sedikitpun berguna untuk mencapai kebenaran. (QS. Yunus: 36)

Ayat ini menunjukkan bahwa zhan itu tidak layak dijadikan dasar sebuah sikap, sebab dia tidak membawa kepada kebenaran dan keyakinan, melain hanya keraguan. Ayat ini menceritakan tentang perilaku musyrikin Arab saat itu yang menyangka berhala-berhala sembahan mereka sebagai sarana mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala.

Imam Ibnul Jauzi Rahimahullah berkata:

وما يتبع أكثر هؤلاء المشركين في جعلهم الأصنام آلهة واعتقادهم بأنها تقرِّب إلى الله إلا تخرصًا وظنًا، وهو لا يغني من اليقين شيئًا. إن الله عليم بما يفعل هؤلاء المشركون من الكفر والتكذيب

Kebanyakan kaum musyrikin itu menjadikan berhala-berhala sebagai Tuhan-Tuhan, dan menurut keyakinan mereka hal itu bisa mendekatkan diri kepada Allah, hanya karena zhan semata, dan itu tidak cukup mendatangkan keyakinan sedikit pun. Allah Ta’ala Maha Tahu perbuatan kufur dan dusta kaum musyrikin itu. (Zaadul Masir, 3/408)

Bersambung …

🍃🌴🌻☘🌷🌺🌸🌾

✏ Farid Nu’man Hasan

Shalat Dhuha Berjamaah

💢💢💢💢💢💢

📨 PERTANYAAN:

Assalamualaikum. Mhn pencerahannya ustadz. Di Madarasah kami ada program pembiasaan utk siswa yaitu sholat duha. Jdi, pelaksanaan slma ini kami lakukan berjamaah. Dimana gurunya sbgai imam. Krna anak2 blm bsa di lepas utk sholat duha sendiri. Krna kacau anak2? Apakah yg kami lakukan itu sebagai bntuk pembelajaran dan pembiasaan kpda siswa tdk apa2? (08122223xxxx)

📬 JAWABAN

🍃🍃🍃🍃🍃

Wa’alaikumussalam wa Rahmatullah ..

Dhuha berjamaah boleh, tapi bukan sunah. Dhuhanya sendiri Sunnah, tp berjamaahnya hanya boleh. Buat mendidik bagus saja.

Imam Ibnu Qudamah Rahimahullah berkata;

يجوز التطوع جماعة وفرادى ; لأن النبي صلى الله عليه وسلم فعل الأمرين كليهما , وكان أكثر تطوعه منفردا

Bolehnya shalat sunah secara berjamaah dan sendiri, karena Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam melakukan keduanya, hanya saja lebih banyak sendiri. (Al Mughni, 1/442)

Imam An Nawawi Rahimahullah berkata:

وأما باقي النوافل كالسنن الراتبة مع الفرائض والضحى والنوافل المطلقة فلا تشرع فيها الجماعة , أي لا تستحب , لكن لو صلاها جماعة جاز , ولا يقال : إنه مكروه وقد نص الشافعي رحمه الله على أنه لا بأس بالجماعة في النافلة ، ودليل جوازها جماعة أحاديث كثيرة في الصحيح

Ada pun shalat sunnah lainnya, seperti shalat rawatib, dhuha, dan shalat sunnah muthlaq, tidak syariatkan berjamaah yaitu tidak Sunnah, tetapi jika shalatnya berjamaah maka itu boleh. Hal itu tidaklah dikatakan makruh. Perkataan Imam Asy Syafi’iy Rahimahullah yang menyebutkan berjamaah shalat Sunnah tidak apa-apa. Dalil kebolehannya adalah begitu banyak hadits-hadits shahih yang menyebutkannya. (Al Majmu’ Syarh Al Muhadzdzab, 3/54)

Demikian. Wallahu a’lam

🌴🌱🌷🌸🍃🌵🌾🍄

🌾 Farid Nu’man Hasan

Pembahasan Seputar Shalat Tahiyatul Masjid

🐾🐾🐾🐾🐾🐾🐾

Dari Abu Qatadah Radhiallahu ’Anhu, bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

إِذَا دَخَلَ أَحَدُكُمْ الْمَسْجِدَ فَلْيَرْكَعْ رَكْعَتَيْنِ قَبْلَ أَنْ يَجْلِسَ

Jika salah seorang kalian masuk ke masjid maka hendaknya dia shalat dua rakaat sebelum dia duduk. (HR. Bukhari No. 444, Muslim (69) (714), At Tirmidzi No. 316, An Nasa’i dalam As Sunan Al Kubra No. 809, Ahmad No. 22576, 22582, 22631, Malik dalam Al Muwaththa’ No. 275, dll)

Imam At Tirmidzi Rahimahullah berkata:

وَالْعَمَلُ عَلَى هَذَا الْحَدِيثِ عِنْدَ أَصْحَابِنَا اسْتَحَبُّوا إِذَا دَخَلَ الرَّجُلُ الْمَسْجِدَ أَنْ لَا يَجْلِسَ حَتَّى يُصَلِّيَ رَكْعَتَيْنِ إِلَّا أَنْ يَكُونَ لَهُ عُذْرٌ

Para sahabat kami mengamalkan hadits ini, menurut mereka sunnah bagi seorang yang masuk ke masjid untuk tidak duduk dulu sampai dia menunaikan shalat dua rakaat, kecuali dia memiliki ‘udzur. (Lihat Sunan At Timridzi No. 316)

Imam Malik Radhiallahu ‘Anhu, mengutip dari Imam Muhammad bin Hasan Radihiallahu ‘Anhu:

هذا تطوع وهو حسن وليس بواجب

“Ini sunah dan bagus, bukan wajib.” (Al Muwaththa No. 275)

Berkata Dr. Taqiyuddin An Nadwi –pentahqiq kitab Al Muwaththa’:

هو أمر ندب بالإجماع سوى أهل الظاهر فقالوا بالوجوب

“Ini adalah perkara sunah menurut ijma’, kecuali menurut kelompok Ahli Zhahir (tekstualist) , mereka mengatakan wajib.”

Lalu beliau mengomentari ucapan Imam Muhammad bin Hasan, “ … bukan wajib “:

وليس بواجب لأن النبي صلى الله عليه و سلم رأى رجلا يتخطى رقاب الناس فأمره بالجلوس ولم يأمره بالصلاة كذا ذكره الطحاوي . وقال زيد بن أسلم : كان الصحابة يدخلون المسجد ثم يخرجون ولا يصلون وقال : رأيت ابن عمر يفعله وكذا سالم ابنه وكان القاسم بن محمد يدخل المسجد فيجلس ولا يصلي ذكره الزرقاني

“Bukan wajib ..” karena Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam pernah melihat seorang laki-laki yang melangkahi punggung manusia, lalu Beliau memerintahkan laki-laki itu untuk duduk, dan dia tidak memerintahkannya untuk shalat. Demikian disebutkan oleh Ath Thahawi. Zaid bin Aslam mengatakan: “Dahulu para sahabat memasuki masjid kemudian keluar lagi dan mereka tidak shalat.” Dia (Zaid) berkata: “Aku melihat Ibnu Umar melakukannya, demikian juga Salim – anaknya-, dan juga Al Qasim bin Muhammad memasuki masjid dia duduk dan tidak shalat. Ini disebutkan oleh Az Zarqani. (Lihat Al Muwaththa’ No. 275, Catatan kaki No. 10. Cet. 1. 1413H. Darul Qalam, Damaskus)

🌻 Kepada siapakah Tahiyatul Masjid Disunnahkan?

Tahiyatul masjid disunnahkan bagi yang masuk ke masjid dalam keadaan berwudhu, sebagain ulama menambahkan: serta bermaksud duduk di dalamnya, bukan sekedar lewat. Sebagian lain mengatakan walaupun cuma lewat, tetap sunah.

Tertulis dalam Al Mausu’ah sebagai berikut:

يَرَى جُمْهُورُ الْفُقَهَاءِ أَنَّهُ يُسَنُّ لِكُل مَنْ يَدْخُل مَسْجِدًا غَيْرَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ – يُرِيدُ الْجُلُوسَ بِهِ لاَ الْمُرُورَ فِيهِ ، وَكَانَ مُتَوَضِّئًا – أَنْ يُصَلِّيَ رَكْعَتَيْنِ أَوْ أَكْثَرَ قَبْل الْجُلُوسِ . وَالأَْصْل فِيهِ حَدِيثٌ رَوَاهُ أَبُو قَتَادَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ : أَنَّ رَسُول اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَال : إِذَا دَخَل أَحَدُكُمُ الْمَسْجِدَ فَلاَ يَجْلِسْ حَتَّى يَرْكَعَ رَكْعَتَيْنِ وَمَنْ لَمْ يَتَمَكَّنْ مِنْهُمَا لِحَدَثٍ أَوْ غَيْرِهِ يَقُول نَدْبًا : سُبْحَانَ اللَّهِ ، وَالْحَمْدُ لِلَّهِ ، وَلاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ ، وَاللَّهُ أَكْبَرُ ، وَلاَ حَوْل وَلاَ قُوَّةَ إِلاَّ بِاللَّهِ الْعَلِيِّ الْعَظِيمِ . فَإِنَّهَا تَعْدِل رَكْعَتَيْنِ كَمَا فِي الأَْذْكَارِ

Mayoritas ahli fiqih berpendapat bahwa disunnahkan bagi siapa saja yang masuk ke dalam masjid selain masjidil haram –yang berkehendak duduk bukan cuma lewat dan dia dalam keadaan berwudhu- untuk shalat dua rakaat atau lebih sebelum duduk. Dasarnya adalah hadits diriwayatkan Abu Qatadah Radhiallahu ‘Anhu: bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: Jika salah seorang kalian masuk ke masjid maka hendaknya dia shalat dua rakaat sebelum dia duduk. Dan, siapa saja yang terhalang melakukan keduanya (shalat dan duduk) disebabkan hadats atau selainnya, disunahkan mengucapkan: Subhanallah wal hamdulillah wa laailaha illallah wallahu akbar wa laa haulaa wa laa quwwata illa billahil ‘Aliyyil ‘Azhim. Sesungguhnya itu sebanding dengan dua rakaat tersebut sebagaimana disebutkan dalam Al Adzkar. (Al Mausu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah, 10/305)

🌸 Walaupun Sudah Duduk Tetap Sunah

Di antara kita mungkin pernah lupa tahiyatul masjid, lalu langsung duduk. Sering kali hal itu membuat sebagian kita ragu-ragu; bolehkah tahiyatul masjid dilakukan padahal kita sudah duduk?

Jawabnya: boleh, dan tetap sunah. Diriwayatkan oleh Imam Ibnu Hibban dalam kitab Shahihnya, dari Abu Dzar Al Ghifari Radhiallahu ‘Anhu katanya:

دخلت المسجد فإذا رسول الله صلى الله عليه وسلم جالس وحده قال يا أبا ذر إن للمسجد تحية وإن تحيته ركعتان فقم فاركعهما قال فقمت فركعتهما

Saya masuk ke masjid ketika Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam sedang duduk sendirian. Beliau bersabda: “Wahai Abu Dzar, sesungguhnya untuk masjid itu sambutannya, sambutan bagi masjid adalah shalat dua rakaat. Maka bangunlah dan shalatlah dua rakaat!” Abu Dzar berkata: “Maka saya bangun dan shalat dua rakaat.” (HR. Ibnu Hibban No. 361)

Hadits ini sangat lemah, lantaran dalam sanadnya terdapat Ibrahim bin Hisyam bin Yahya bin Yahya Al Ghathafani . Imam Abu Zur’ah mengatakan tentang dia: Kadzdzaab (pembohong). (Imam Ibnul Jauzi, Adh Dhu’afa wal Matrukin No. 133. Darul Kutub Al ‘Ilmiyah)

Imam Abu Hatim dan lainnya mengatakan: laisa bitsiqah (bukan orang yang bisa dipercaya). (Imam Adz Dzahabi, Al Mughni fi Adh Dhu’afa no. 201)

Imam Abu hatim juga mengatakan tentang Ibrahim bin Hisyam: Kadzdzaab (pembohong). Lalu Ali bin Al Husain bin Al Junaid berkata: “Abu Hatim benar, hendaknya jangan mengambil hadits darinya (Ibrahim bin Hisyam).” (Imam Adz Dzahabi, Mizanul I’tidal No. 244)

Namun dalam riwayat lain, diriwayatkan secara shahih dari Jabir bin Abdullah Radhiallahu ‘Anhu, katanya:

جَاءَ رَجُلٌ وَالنَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَخْطُبُ النَّاسَ يَوْمَ الْجُمُعَةِ فَقَالَ أَصَلَّيْتَ يَا فُلَانُ قَالَ لَا قَالَ قُمْ فَارْكَعْ رَكْعَتَيْنِ

Datang seorang laki-laki dan Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam sedang berkhutbah di hadapan manusia pada hari Jumat. Beliau bersabda: “Wahai fulan, apakah engkau sudah shalat?” orang itu menjawab: “Tidak.” Beliau bersabda: “Bangunlah dan shalatlah dua rakaat.” (HR. Bukhari No. 930, dan Muslim No. 875)

Perkataan Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam: “Bangunlah ..” menunjukkan bahwa sebelumnya orang tersebut telah duduk lebih dahulu.

Oleh karena itu para ulama mengatakan bahwa terlanjur “duduk” tidaklah membuat kesunahan tahiyatul masjid menjadi gugur.

(Syaikh Wahbah Az Zuhaili, Al Fiqh Al Islami wa Adillatuhu, 2/228)

🌷🌾🍃🌿🌸🌳🌺🌹☘

✏ Farid Nu’man Hasan

scroll to top