Minum Air Saat Khathib Sedang Khutbah

💢💢💢💢💢💢

📨 PERTANYAAN:

Ustadz bagaimanakah hukum nya makmum minum air saat mendengarkan ceramah solat jumat. (08963069xxxx)

📬 JAWABAN

🍃🍃🍃🍃🍃🍃

Bismillah wal Hamdulillah …

Minum air saat khathib sedang khutbah diperselisihkan ulama.

Berikut ini keterangannya:

فالشرب أثناء الخطبة كرهه بعض أهل العلم إذا ترتب عليه صوت لأنه فعل يشبه مس الحصا الذي يعتبر من اللغو، وقال بعض أهل العلم لا بأس به إذا اشتد العطش لحصول عدم الخشوع حينئذ، وراجعي الفتوى رقم: 50299. وهذا إذا كان الشراب بجانب الشخص، أما الخروج لطلبه أثناء الخطبة فالأمر فيه أشد لما فيه من الانشغال عن سماع الخطبة خصوصا إذا انضاف إلى ذلك قطع الصفوف وتخطى رقاب الناس، ولا يخفى ما في ذلك من الأذية لهم

Minum saat khathib khutbah adalah makruh menurut sebagian ulama, jika sampai memunculkan suara sebab itu menyerupai memainkan krikil yang dikategorikan sebagai perbuatan sia-sia.

Ulama lain mengatakan tidak apa-apa jika memang sangat haus yang keadaan itu dapat menghilangkan kekhusyu’an saat itu.

Itu jika minumannya ada pada dirinya, ada pun jika dia keluar mencari air maka ini lebih parah lagi, dia akan sibuk dari mendengar khutbah, dan berjalan memutuskan shaf dan melangkah diantara pundak manusia, tidak ragu lagi ini mengganggu. (selesai)

Imam An Nawawi Rahimahullah menjelaskan dalam Al Majmu’ Syarh Al Muhadzdzab:

يستحب للقوم ان يقبلوا على الخطيب مستمعين ولا يشتغلوا بغيره حتى قال اصحابنا يكره لهم شرب الماء للتلذذ ولا بأس يشربه للعطش للقوم والخطيب
هذا مذهبنا قال ابن المنذر رخص في الشرب طاوس ومجاهد والشافعي ونهي عنه مالك والاوزاعي واحمد وقال الاوزاعي تبطل الجمعة إذا شرب والامام يخطب واختار ابن المنذر الجواز قال ولا اعلم حجة لمن منعه قال العبدرى قول الاوزاعي مخالف للاجماع

Disukai bagi jamaah menghadapkan dirinya kepada khathib dan mendengarkannya dan janganlah sibuk dengan selainnya. Sampai-sampai sahabat-sahabat kami (Syafi’iyyah) menyatakan makruhnya minum air untuk berlezat-lezat, tapi tidak apa-apa jika karena harus baik untuk jamaah dan khathib. Inilah madzhab kami.

Ibnul Mundzir mengatakan: “Thawus, Mujahid, Syafi’iy, telah memberikan keringanan tentang minum. Semetara Al Auza’i, Malik, Ahmad, melarangnya.

Al Auza’i mengatakan batal shalatJumatnya kalau dia minum air saat khathib berkhutbah. Imam Ibnul Mundzir sendiri memilih BOLEH.

Beliau berkata: “Aku tidak ketahui adanya hujjah yang melarangnya.” Al ‘Abdari berkata: “Pendapat Al Auza’i (yaitu batal shalat Jumatnya), telah menyelisihi Ijma’.”

(Selesai dari Iman An Nawawi Rahimahullah)

Jadi, Jika benar-benar haus tidak apa-apa. Jika bisa ditahan sebaiknya tidak usah.

Demikian. Wallahu a’lam

🌷🌴🌱🌸🍃🌵🍄🌾

✍ Farid Nu’man Hasan

Kebutuhan Manusia Terhadap Tobat

🐾🐾🐾🐾🐾🐾

Allah Ta’ala berfirman:

وَأَنِ اسْتَغْفِرُوا رَبَّكُمْ ثُمَّ تُوبُوا إِلَيْهِ يُمَتِّعْكُمْ مَتَاعًا حَسَنًا إِلَىٰ أَجَلٍ مُسَمًّى وَيُؤْتِ كُلَّ ذِي فَضْلٍ فَضْلَه

Dan hendaklah kamu meminta ampun kepada Tuhanmu dan bertaubat kepada-Nya. (Jika kamu mengerjakan yang demikian), niscaya Dia akan memberi kenikmatan yang baik (terus menerus) kepadamu sampai kepada waktu yang telah ditentukan dan Dia akan memberikan kepada tiap-tiap orang yang mempunyai keutamaan (balasan) keutamaannya. (QS. Huud: 3)

Dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

وَاللَّهِ إِنِّي لَأَسْتَغْفِرُ اللَّهَ وَأَتُوبُ إِلَيْهِ فِي اليَوْمِ أَكْثَرَ مِنْ سَبْعِينَ مَرَّةً

Demi Allah, aku benar-benar beristighfar kepada Allah dan bertobat kepadaNya dalam sehari lebih dari 70 kali.
(HR. Bukhari No. 6307)

Dalam hadits lain:

وَإِنِّي لَأَسْتَغْفِرُ اللهَ، فِي الْيَوْمِ مِائَةَ مَرَّةٍ

Dan Aku beristighfar kepada Allah dalam sehari 100 kali. (HR. Muslim No. 2702)

Imam Mujahid berkata:

من لم يتب كل صباح ومساء فهو من الظالمين

Barang siapa yang tidak bertobat pagi dan petang maka dia termasuk orang-orang yang zalim. (Min Aqwaal As Salaf, Al Qismu Ar Raabi’)

Imam An Nawawi Rahimahullah berkata:

قَالَ العلماءُ: التَّوْبَةُ وَاجبَةٌ مِنْ كُلِّ ذَنْب, فإنْ كَانتِ المَعْصِيَةُ بَيْنَ العَبْدِ وبَيْنَ اللهِ تَعَالَى لاَ تَتَعلَّقُ بحقّ آدَمِيٍّ, فَلَهَا ثَلاثَةُ شُرُوط:
أحَدُها: أنْ يُقلِعَ عَنِ المَعصِيَةِ.
والثَّانِي: أَنْ يَنْدَمَ عَلَى فِعْلِهَا.
والثَّالثُ: أنْ يَعْزِمَ أَنْ لا يعُودَ إِلَيْهَا أَبَداً. فَإِنْ فُقِدَ أَحَدُ الثَّلاثَةِ لَمْ تَصِحَّ تَوبَتُهُ.
وإنْ كَانَتِ المَعْصِيةُ تَتَعَلقُ بآدَمِيٍّ فَشُرُوطُهَا أرْبَعَةٌ: هذِهِ الثَّلاثَةُ, وأنْ يَبْرَأ مِنْ حَقّ صَاحِبِها, فَإِنْ كَانَتْ مالاً أَوْ نَحْوَهُ رَدَّهُ إِلَيْه, وإنْ كَانَت حَدَّ قَذْفٍ ونَحْوَهُ مَكَّنَهُ مِنْهُ أَوْ طَلَبَ عَفْوَهُ, وإنْ كَانْت غِيبَةً استَحَلَّهُ مِنْهَا.

Berkata para ulama: bertobat itu wajib untuk semua dosa. Jika maksiatnya terkait kesalahan manusia kepada Allah, bukan terkait hak-hak manusia, maka ada TIGA syarat tobat:

1. Dia meninggalkannya
2. Dia menyesalinya
3. Bertekad tidak mengulanginya selamanya.

Jika satu saja tidak ada mahaktidak sah tobatnya.

Sedangkan jika maksiatnya tetkait dgn hak-hak manusia, maka syaratnya ada EMPAT, yaitu tiga yang sebelumnya, dan hendaknya dia mengembalikan hak saudaranya.

Jika terkait harta maka kembalikan kepada pemiliknya, jika dia menuduh maka hendaknya minta maaf, dan jika menggunjing maka minta dihalalkan atasnya. (Riyadhush shalihin, Bab At Taubah)

🌷🌿🌾🌸🌳🍁☘

✏ Farid Nu’man Hasan

Di Antara Manusia-Manusia Yang Celaka

⚡⚡⚡⚡⚡⚡⚡

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَغِمَ أَنْفُ رَجُلٍ ذُكِرْتُ عِنْدَهُ فَلَمْ يُصَلِّ عَلَيَّ وَرَغِمَ أَنْفُ رَجُلٍ دَخَلَ عَلَيْهِ رَمَضَانُ ثُمَّ انْسَلَخَ قَبْلَ أَنْ يُغْفَرَ لَهُ وَرَغِمَ أَنْفُ رَجُلٍ أَدْرَكَ عِنْدَهُ أَبَوَاهُ الْكِبَرَ فَلَمْ يُدْخِلَاهُ الْجَنَّةَ

Dari Abu Hurairah ia berkata; Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

1. Celakalah seseorang, aku disebut-sebut di depannya dan ia tidak mengucapkan shalawat kepadaku.

2. dan celakalah seseorang, Bulan Ramadhan menemuinya kemudian ia keluar sebelum ia mendapatkan ampunan,

3. dan celakalah seseorang yang kedua orang tuanya berusia lanjut namun kedua orangtuanya tidak dapat memasukkannya ke dalam Surga (karena baktinya kepada keduanya).”

📌📌📌📌📌📌📌📌

📚 Sunan At Tirmidzi No. 3468, Imam At Tirmidzi berkata: Hasan

🌻🌴🍃🌾🌸🌺☘🌷

✏ Farid Nu’man Hasan

Manajemen Prasangka (Bag 4)

💥💦💥💦💥💦

📌 Hubungan Antara Prasangka Dengan Syariah

Syariah tidak menganggap prasangka atau dugaan sebagai bukti dalam menetapkan hukum kepada manusia. Seperti; menduga berzina, menduga mencuri, menduga korupsi, semuanya menjadi tuduhan tidak ada nilai jika tanpa bukti, fakta, dan data, yang valid dan terang. Justru berpotensi menjadi fitnah.

Kita lihat hadits ini:

عنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا أَنَّ رَسُولَ اللهِ صلى الله عليه وسلم قَالَ: “لَوْ يُعْطَى النَّاسُ بِدعوَاهُمْ لادَّعَى رِجَالٌ أَمْوَال قَومٍ وَدِمَاءهُمْ، وَلَكِنِ البَينَةُ عَلَى المُدَّعِي، وَاليَمينُ عَلَى مَن أَنكَر” حديث حسن رواه البيهقي هكذا بعضه في الصحيحين

Dari Ibnu ‘Abbas Radhiallahu ‘Anhuma, bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

“Seandainya setiap pengaduan manusia diterima begitu saja, niscaya banyak orang yang mudah menumpahkan darah dan harta manusia, tapi hendaknya si penuduh membawakan bukti, sedangkan yang dituduh bersumpah untuk mengingkarinya. (HR. Bukhari No. 1711, Muslim No. 4552)

Maka, tidak dibenarkan menyebut bersalah, apalagi sampai menghukum, jika seseorang belum ada bukti kuat melakukan tindak kejahatan.

Contoh lain:

إِذَا وَجَدَ أَحَدُكُمْ فِي بَطْنِهِ شَيْئًا فَأَشْكَلَ عَلَيْهِ أَخَرَجَ مِنْهُ شَيْءٌ أَمْ لَا فَلَا يَخْرُجَنَّ مِنْ الْمَسْجِدِ حَتَّى يَسْمَعَ صَوْتًا أَوْ يَجِدَ رِيحًا

“Jika salah seorang kamu merasakan sesuatu di perutnya, dia sangsi apakah ada yang keluar atau tidak, maka jangan dulu keluar dari masjid sampai dia mendengar suara dan mencium bau.” (HR. Muslim No. 362, Al Baihaqi dalam As Sunan Al Kubra No. 569, Ibnu Khuzaimah No. 24, Ad Darimi No. 721, semua dari Abu Hurairah)

Hadits ini jelas menunjukkan bahwa dugaan itu bukan dasar untuk mengambil sikap, tapi mesti didasari keyakinan. Dalam hal ini adanya bau dan suara adalah rambu bagi datangnya keyakinan.

Tapi, yang terpenting adalah YAKIN itu sendiri, bukan bau atau suaranya. Menurut Imam An Nawawi, dalam Syarah Shahih Muslim-nya, Syaikh Sayyid Sabiq dalam Fiqhus Sunnah-nya menyebutkan bahwa terciumnya bau dan terdengarnya suara (kentut) bukanlah syarat. Yang terpenting adalah rasa yakin dari orang tersebut bahwa dia telah buang angin. Sebab, pada kenyataannya ada buang angin yang tidak bersuara dan tidak berbau. Dengan demikian, sebuah keputusan dibuat berdasarkan keyakinan, bukan dugaan atau keraguan. Keyakinan tidak bisa dianulir oleh keraguan.

Hal ini sesuai dengan kaidah:

اليقين لا يزال بالشك

Keyakinan tidak bisa dikalahkan oleh keraguan. (Imam As Suyuthi, Al Asybah wan Nazhair, Kaidah No. 12)

Ini juga bisa dipraktekkan dalam hal lain, seperti wudhu shalat zhuhur untuk shalat ashar, sudah batalkah? Maka ambil sikap yang paling yakin.

Demikian. Wallahu a’lam

Bersambung ….

🍃🌴🌻🌺☘🌷🌾🌸

✏ Farid Nu’man Hasan

scroll to top