Hutang dan Perbedaan Nilai Uang

💥💦💥💦💥💦

📨 PERTANYAAN:

Saya Intan dari citayam mau bertanya tentang hutang piutang

kalau misal, dulu kakek kita punya utang 2.000.000. Nilai mata uang 2jt dl itu (thn 79 misalnya), bisa buat beli rumah..

Nah, baru mau diganti skrg… sdgkn mata uang 2jt skrg udah ga bs buat beli rumah.

Apakah wajar jika yg memberi hutang, meminta rumah sbg penggantian utang si kakek? atau harus dikembalikan 2.000.000 jg?

📬 JAWABAN

Wa’alaikumussalam wa rahmatullah ..

Untuk kasus seperti ini, tentu akan zalim hutang tahun 1979 Rp. 2.000.000, dipulangkan juga Rp. 2.000.000 pada tahun 2017. Karena perbedaan nilai dan kuasa uang itu yang berbeda antara tahun 1979 dan 2017.

Bagaimana caranya? Setarakanlah dengan emas. Th 1979, 2 juta itu dapat berapa gram emas, misalnya: dapat 200 gr emas.

Maka, 200 gr emas itu di tahun 2017, berapa harganya, maka sebesar itulah yang dibayarkan.

Wallahu a’lam

Tim Syariah Consulting Center, Depok

Tafsir Surat Al Mulk (Bagian 10)

📂DESKRIPSI KEKUASAAN ALLAH PADA SEEKOR BURUNG

📌 NASH AYAT

أَوَلَمْ يَرَوْا إِلَى الطَّيْرِ فَوْقَهُمْ صَافَّاتٍ وَيَقْبِضْنَ مَا يُمْسِكُهُنَّ إِلَّا الرَّحْمَنُ إِنَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ بَصِيرٌ (19)

Dan apakah mereka tidak memperhatikan burung-burung yang mengembangkan dan mengatupkan sayapnya di atas mereka? Tidak ada yang menahannya (di udara) selain Yang Maha Pemurah. Sesungguhnya Dia Maha Melihat segala sesuatu. (QS.Al Mulk: 19)

📌 TINJAUAN BAHASA

الطَّيْرِ

Burung

صَافَّاتٍ

Mengepakkan sayap

وَيَقْبِضْنَ

Mengatupkan sayap

📌 PESAN TERSIRAT DALAM AYAT

Burung-burung yang mengepakkan sayapnya, tiada yang menahan atau melepaskan kepakan sayapnya melainkan Ar Rahman, sedangkan orang-orang musyrik mengikari keberadaan Ar Rahman, mereka tak menyadari bahwa mereka hidup dalam naungan Allah yang Maha Rahman. Kasih sayang Allah begitu jelas, nampak nyata. Pada ayat ini Allah kekuasaan Allah terlihat pada burung yang terbang dengan mengepakkan sayap-Nya, kepakan yang teratur, terarah, tidak pernah saling bertabrakan antara satu sayap dan lainnya. Namun mengapa masih saja ada orang yang enggan menyembah Allah? Padahal jika mereka mau berfikir pada proses terbangnya seekor burung niscaya disana terdapat tanda-tanda Allah Maha Pengasih dan Penyayang. ( Al Jazairi, Aisar Tafasir, 401)

Dalam ayat lain Allah berfirman:

أَلَمْ يَرَوْا إِلَى الطَّيْرِ مُسَخَّرَاتٍ فِي جَوِّ السَّمَاءِ مَا يُمْسِكُهُنَّ إِلَّا اللَّهُ إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآيَاتٍ لِقَوْمٍ يُؤْمِنُونَ

Tidakkah mereka mengamati burung yang terbang di angkasa, Allah lah yang mengendalikannya. Di balik itu ada tanda-tanda kekuasaanNya bagi orang-orang yang beriman (QS.An-Nahl:79).

Kedua ayat berbeda diatas sama-sama berbicara tentang binatang ciptaan Allah yaitu burung     ( الطَّيرُ)

Ayat diatas juga menggunakan ungkapan yang sama yaitu

   أَوَلَمْ يَرَوْا

( tidakkah mereka melihat)

Melihat disini sebenarnya bukan hanya memperhatikan, namun lebih dari itu memperhatikan, meneliti dan mengambil hikmah dari penciptaan Allah atas makhluk-Nya. “ Melihat” Sebuah ungkapan jelas yang menunjukkan bahwa setiap orang bisa melihat fisik burung, anatomi dan keindahan bulu maupun suaranya. Apalagi para kolektor burung piaraan yang berharga sangat fantastis. Juga saat seekor burung terbang diangkasa dengan cepat, meluncur deras, menerkam mangsanya, seolah tak terpengaruh dengan gaya gravitasi bumi, sangat cepat dan lihai.

Hikmahnya adalah ada sebuah kekuatan Maha Besar Pengatur pergerakan burung-burung tersebut, yang terbang tinggi di angkasa, mengatur keseimbangannya sehingga bisa tetap melayang diudara tidak jatuh. Siapakah yang mengatur itu semua? Jawabnya adalah Allah Subhanahu wa taala.

Karena Allah Yang Maha Mengetahui bagaimana menciptakan Makhluk dan bagaimana mengaturnya (Tafsir An Nasafi, 3/515)

Seolah Allah juga ingin menggambarkan, sebagaimana Dia bisa membuat keadaan burung di udara sesuai dengan keinginan-Nya, seperti juga Dia bisa mengazab kaum kafir atas pembangkangan mereka. ( Tafsir Jalalain,1/756)

🌺🌸🍃🌹🍀🌾🌴🌾

✏ Fauzan Sugiono

Serial Tafsir Surat Al Mulk:

Tafsir Surat Al Mulk ( Bagian 1) Gambaran Umum Surat Al Mulk

Tafsir Surat Al Mulk ( Bagian 2)

Tafsir Surat Al Mulk ( Bagian 3) Amal Terbaik

Tafsir Surat Al Mulk ( Bagian 4) Allah Menciptakan Tujuh Langit Berlapis-lapis

Tafsir Surat Al Mulk ( Bagian 5) Bintang dilangit dijadikan Allah alat pelempar syetan

Tafsir Surat Al Mulk ( Bagian 6) ILUSTRASI MURKA NERAKA KEPADA ORANG-ORANG KAFIR

Tafsir Surat Al Mulk ( Bagian 7) PENYESALAN ORANG-ORANG KAFIR

Tafsir Surat Al Mulk ( Bagian 8) ALLAH MENGETAHUI YANG TERSEMBUYI DAN NYATA

Tafsir Surat Al Mulk ( Bagian 9) ALLAH MAHA PEMBERI RASA AMAN

Tafsir Surat Al Mulk ( Bagian 10) DESKRIPSI KEKUASAAN ALLAH PADA SEEKOR BURUNG

Tafsir Surat Al Mulk ( Bagian 11) ALLAH MAHA PENOLONG, ALLAH PEMBERI REZEKI

Tafsir Surat Al Mulk ( Bagian 12) Perumpamaan Orang Yang Mendapat Petunjuk

Tafsir Surat Al Mulk ( Bagian 13) Nikmat Pendengaran, Penglihatan dan Hati Nurani

Tafsir Surat Al Mulk ( Bagian 14) Hanya Allah Yang Maha Tahu Kapan Datangnya Hari Kiamat

Tafsir Surat Al Mulk ( Bagian 15) Adzab yang Dinantikan Akhirnya Datang

Tafsir Surat Al Mulk ( Bagian 16) Allah Maha Mematikan dan Memberi Rahmat, Tawakal Hanya Kepada-Nya, serta Dia Maha Pemberi Nikmat air

Hukum Kisah-Kisah Fiksi

Fatwa 1: Asy Syaikh Dr. Abdullah Al Faqih

السؤال
هل يحل في الإسلام تأليف الكتب الخيالية أم يعتبر هذا نوعاً من الكذب؟

الفتوى

الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله وعلى آله وصحبه أما بعد:

فقد ثبت عن النبي صلى الله عليه وسلم أنه قال: “حدثوا عن بني إسرائيل ولا حرج” رواه أحمد وأبو داود وغيرهما، وزاد ابن أبي شيبة في مصنفه: “فإنه كانت فيهم أعاجيب”.
وقد صحح الألباني هذه الزيادة
قال أهل العلم: وهذا دالٌّ على حل سماع تلك الأعاجيب للفرجة لا للحجة، أي لإزالة الهم عن النفس، لا للاحتجاج بها، والعمل بما فيها.

وبهذا الحديث استدل بعض أهل العلم على حل سماع الأعاجيب والفرائد من كل ما لا يتيقن كذبه بقصد الفرجة، وكذلك ما يتيقن كذبه، لكن قصد به ضرب الأمثال والمواعظ، وتعليم نحو الشجاعة، سواء كان على ألسنة آدميين أو حيوانات إذا كان لا يخفى ذلك على من يطالعها.
هكذا قال ابن حجر الهيثمي – رحمه الله – من الشافعية.
وذهب آخرون وهم علماء الحنفية إلى كراهة القصص الذي فيه تحديث الناس بما ليس له أصل معروف من أحاديث الأولين، أو الزيادة، أو النقص لتزيين القصص.
ولكن لم يجزم محققو المتأخرين منهم كابن عابدين بالكراهة إذا صاحب ذلك مقصد حسن، فقال ابن عابدين رحمه الله: (وهل يقال بجوازه إذا قصد به ضرب الأمثال ونحوها؟ يُحَرَّر).
والذي يظهر جواز تأليف الكتب التي تحتوي قصصاً خيالياً إذا كان القارئ يعلم ذلك، وكان المقصد منها حسناً كغرس بعض الفضائل، أو ضرب الأمثال للتعليم كمقامات الحريري مثلاً، والتي لم نطلع على إنكاره من أهل العلم مع اطلاعهم عليها، وعلمهم بحقيقتها، وأنها قصص خيالية لا أصل لها في الواقع.
والله أعلم.
المفتي: مركز الفتوى بإشراف د.عبدالله الفقيه

Pertanyaan:

Bolehkah dalam Islam menyusun buku tentang kisah-kisah fiksi ataukah mengambil pelajaran dari kisah jenis ini termasuk kebohongan?

Jawab:

Alhamdulillah Ash Shalatu was Salamu ‘ala Rasulillah wa ‘Ala aalihi wa shahbihi wa ba’d: Telah shahih dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam: “Ceritakan oleh kalian dari Bani Israil, tidak apa-apa.” Diriwayatkan oleh Ahmad, Abu Daud, dan lainnya. Ibnu Abi Syaibah menambahkan dalam Mushannaf-nya: “… sesungguhnya pada diri mereka ada hal-hal yang mengagumkan.”  Syaikh Al Albani menshahihkan tambahan ini.

Berkata para ulama: Ini adalah  dalil halalnya mendengarkan kisah mengagumkan tersebut jika untuk selingan saja, yaitu untuk menghilangkan rasa sedih dalam jiwa, bukan untuk dijadikan hujjah, bukan pula untuk diamalkan.

Dengan hadits ini pula, sebagian ulama berdalil halalnya mendengarkan hal-hal yang mengagumkan dan berharga, dari segala hal yang belum bisa dipastikan kedustaannya, dengan maksud untuk selingan. Begitu juga kisah yang diyakini kedustaannya (fiksi), tetapi dengan maksud sebagai tamtsil (perumpamaan) dan mau’izhah (pelajaran) saja, mengajarkan keberanian, sama saja apakah melalui lisan manusia atau hewan-hewan (fabel, pen), jika  memang   hal-hal tersebut (yakni pelajaran dan hikmah, pen) tidak tersembunyi dari yang membacanya.

Demikianlah yang dikatakan Imam Ibnu Hajar Al Haitsami Rahimahullah dari kalangan Syafi’iyah.

Ulama lain berpendapat, yaitu dari kalangan Hanafiyah, bahwa dimakruhkan kisah-kisah yang bercerita peristiwa manusia yang tidak memiliki dasar yang ma’ruf (dikenal) dari peristiwa-peristiwa  generasi awal, atau tambahan, atau pengurangannya, dengan tujuan untuk memperindah kisah tersebut.

Tetapi para ulama muhaqiq muta’akhirin (peneliti zaman sekarang) seperti Imam Ibnu ‘Abidin (bermadzhab Hanafi, pen) tidaklah memutuskan hal itu sebagai makruh, jika memiliki maksud yang baik.  Ibnu ‘Abidin Rahimahullah mengatakan: (Apakah dikatakan boleh jika maksudnya untuk perumpamaan dan semisalnya? Perlu diperiksa lagi)

Dan, pendapat yang nampak (benar) adalah bolehnya menulis buku-buku kisah fiksi jika si pembacanya mengetahui hal itu dan memiliki maksud yang baik, seperti menanamkan sifat-sifat yang utama, atau memberikan perumpamaan untuk memberikan pengajaran,  seperti kisah Al Maqamat  yang disusun oleh Al Haririy, yang kami tidak ketahui adanya ulama yang mengingkarinya, padahal mereka sudah mengkaji dan mengetahui hakikat kisah ini sebagai kisah fiksi yang tidak pernah terjadi
Wallahu A’lam. (Mufti: Asy Syaikh Dr. Abdullah Al Faqih. Sumber: Fatawa Asy Syabkah Al Islamiyah, No Fatwa. 13278. Tanggal: 12 Dzulqa’dah 1422H)

Fatwa 2: Asy Syaikh Abdullah bin Abdurrahman Al Jibrin

السؤال س: ما رأي فضيلتكم في القصص التي تطلب في المدرسة في مادة التعبير والتي تكون في غالبها قصصًا مكذوبة ولم تقع؟
الاجابـــة
إذا عرف الحاضرون أنها قصص خيالية ابتكرها الكاتب، أو القاص لشحذ أذهان الطلاب واجتذاب أفهامهم وضرب الأمثلة لهم فلا بأس بها فقد أقر العلماء القصص المؤلفة كما في مقامات بديع الزمان الهمذاني ومقامات الحريري ونحوها مع أنه يُفضل أن يبحث عن قصص واقعية يصوغها بعبارته ويظهر ما فيها من المعاني والفوائد. والله أعلم.

عبد الله بن عبد الرحمن الجبرين

Pertanyaan:

Apa pendapat Anda tentang kisah-kisah yang dipelajari di sekolah pada materi ta’bir yang biasanya menggunakan kisah-kisah fiksi yang tidak pernah terjadi?

Jawaban:

Jika yang hadir itu tahu bahwa itu adalah kisah fiksi, baik yang disampaikan oleh penulis atau pencerita, dengan maksud untuk menajamkan kecerdasan dan mengasah pemahaman para siswa, dan untuk memberikan perumpamaan bagi mereka, maka itu tidak mengapa. Para ulama telah menyetujui kisah-kisah yang telah dibukukan seperti Maqamat-nya Badi’uz Zaman Al Hamdzani dan Maqamat-nya Al Hariri dan yang semisalnya.

Namun, yang lebih utama adalah mencari kisah-kisah nyata yang diceritakan dengan bahasa sendiri lalu guru menyampaikan makna dan faidah yang terkandung  pada kisah tersebut. (Syaikh Abdullah bin Abdurrahman Al Jibrin)

Wa Shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala Aalihi wa Shahbihi wa sallam

☘

✏ Farid Nu’man Hasan

[Adab Pada Mata] Perintah Menundukkan Pandangan Dari Yang Diharamkan

Perintah ini berlaku bagi mu’min dan mi’minah. Sebagaimana tertera dalam ayat-ayat berikut:

قُلْ لِلْمُؤْمِنِينَ يَغُضُّوا مِنْ أَبْصَارِهِمْ وَيَحْفَظُوا فُرُوجَهُمْ ذَلِكَ أَزْكَى لَهُمْ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا يَصْنَعُونَ (30) وَقُلْ لِلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا مَا ظَهَرَ مِنْهَا  …..

Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandanganya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang mereka perbuat”. Katakanlah kepada wanita yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka Menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya…… 1)

Hendaknya laki-laki menahan pandangan dari melihat aurat wanita dan laki-laki, begitu pula wanita terhadap laki-laki dan wanita juga. Bukan hanya mata tapi juga hati, sebab Allah Ta’ala tidak menggunakan ‘ainun (mata), tetapi bashar (pandangan), yang bisa dilakukan oleh mata dan hati sekaligus.

Tentunya ini hanya berlaku kepada pandangan yang diharamkan, tetapi kepada istri atau suami sendiri sama sekali tidak masalah. Sebagian mufassir memaknai ayat: yaghuddu min abshaarihim (tundukan pandangan mereka) artinya sebagian pandangan, tidak semua pandangan itu terlarang. Sebab kata min dalam ayat ini menunjukkan tab’idhiyah (sebagian).

Imam Abul Faraj bin Al Jauzi Rahimahullah mengatakan:

لأنهم لم يؤمروا بالغض مطلقاً، وإنما أمروا بالغض عما لا يحلُّ

Karena mereka tidak diperintahkan menundukkan pandangan secara mutlak, mereka hanya diperintahkan menundukkan dari yang tidak halal. 2)

Ada pun pandangan terhadap wajah yang bukan istri atau mahram, jumhur ulama mengatakan tidak apa-apa selama tidak melahirkan fitnah, seperti lahirnya syahwat. Banyak sekali keterangan dari para ulama tentang hal ini, berikut kami kutip sebagaian kecil saja.

Imam Ibnu Hajar Rahimahullah mengutip dari Imam Ibnu Baththal Rahimahullah sebagai berikut:

قَالَ اِبْن بَطَّال : فِي الْحَدِيث الْأَمْر بِغَضِّ الْبَصَر خَشْيَة الْفِتْنَة ، وَمُقْتَضَاهُ أَنَّهُ إِذَا أُمِنَتْ الْفِتْنَة لَمْ يَمْتَنِع

“Berkata Ibnu Baththal: Dalam hadits ini terdapat petunjuk perintah untuk menundukkan pandangan karena dikhawatirkan fitnah dan segala akibatnya, tapi jika aman dari fitnah maka tidak dilarang memandang.”

Lalu beliau melanjutkan:

وَفِيهِ دَلِيل عَلَى أَنَّ نِسَاء الْمُؤْمِنِينَ لَيْسَ عَلَيْهِنَّ مِنْ الْحِجَاب مَا يَلْزَم أَزْوَاج النَّبِيّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، إِذْ لَوْ لَزِمَ ذَلِكَ جَمِيع النِّسَاء لَأَمَرَ النَّبِيّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْخَثْعَمِيَّة بِالِاسْتِتَارِ وَلَمَا صَرَفَ وَجْه الْفَضْل ، قَالَ : وَفِيهِ دَلِيل عَلَى أَنَّ سَتْر الْمَرْأَة وَجْههَا لَيْسَ فَرْضًا لِإِجْمَاعِهِمْ عَلَى أَنَّ لِلْمَرْأَةِ أَنْ تُبْدِي وَجْههَا فِي الصَّلَاة وَلَوْ رَآهُ الْغُرَبَاء

“Dalam hadits ini terdapat dalil bahwa bagi wanita mukmin tidaklah diwajibkan berhijab (wajahnya) sebagaimana lazimnya isteri-isteri Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Seandainya itu lazim bagi semua wanita, niscaya Nabi akan memerintahkan wanita Khats’amiyah itu untuk menutup wajahnya, tidak perlu memalingkan wajah Al Fadhl. Ini juga dalil bahwa bagi wanita, menutup wajah tidaklah wajib, karena menurut kesepakatan mereka (para ulama) bahwa wanita harus menampakkan wajahnya ketika shalat, walau dilihat oleh orang asing.”  3)

Imam Ibnu Abdil Bar Rahimahullah berkata:

وَجْهُ الْمَرْأَةِ وَكَفَّاهَا غَيْرُ عَوْرَةٍ وَجَائِزٌ أَنْ يَنْظُرَ ذَلِكَ مِنْهَا كُلُّ مَنْ نَظَرَ إلَيْهَا بِغَيْرِ رِيبَةٍ وَلَا مَكْرُوهٍ ، وَأَمَّا النَّظَرُ لِلشَّهْوَةِ فَحَرَامٌ وَلَوْ مِنْ فَوْقِ ثِيَابِهَا فَكَيْفَ بِالنَّظَرِ إلَى وَجْهِهَا ؟

“Wajah wanita dan dua telapak tangannya bukanlah aurat, dan boleh melihatnya,  bagi siapa pun yang melihatnya tanpa ada perasaan was-was, dan itu tidak dimakruhkan. Ada pun melihat dengan syahwat, maka haram walau hanya melihat pakaian luarnya, maka apalagi melihat wajahnya?” 4)

Imam Al Haththab berkata, dalam Mawahib Al Jalil :

وَذَلِكَ الْوَجْهُ وَالْكَفَّانِ عَلَى مَا قَالَهُ أَهْلُ التَّأْوِيلِ فَجَائِزٌ لِلرَّجُلِ أَنْ يَنْظُرَ إلَى ذَلِكَ مِنْ الْمَرْأَةِ عِنْدَ الْحَاجَةِ وَالضَّرُورَةِ

“Demikian pula wajah dan dua telapak tangan, seperti apa yang dikatakan ahli takwil, bahwa dibolehkan bagi laki-laki memandangnya ketika ada keperluan dan darurat.”  5)

Imam Al Kharrasyi berkata  dalam Syarh Mukhtashar Khalil:

وَالْمَعْنَى أَنَّ عَوْرَةَ الْحُرَّةِ مَعَ الرَّجُلِ الْأَجْنَبِيِّ جَمِيعُ بَدَنِهَا حَتَّى دَلَالِيّهَا وَقُصَّتُهَا مَا عَدَا الْوَجْهَ وَالْكَفَّيْنِ ظَاهِرَهُمَا وَبَاطِنَهُمَا فَيَجُوزُ النَّظَرُ لَهُمَا بِلَا لَذَّةٍ وَلَا خَشْيَةِ فِتْنَةٍ مِنْ غَيْرِ عُذْرٍ وَلَوْ شَابَّةً وَقَالَ مَالِكٌ تَأْكُلُ الْمَرْأَةُ مَعَ غَيْرِ ذِي مَحْرَمٍ وَمَعَ غُلَامِهَا وَقَدْ تَأْكُلُ مَعَ زَوْجِهَا وَغَيْرِه

“Maknanya adalah bahwa aurat wanita merdeka di depan laki-laki asing adalah adalah seluruh tubuhnya, kecuali wajah dan dua telapak tangan, baik bagian luar atau dalam. Maka, boleh melihatnya tanpa berlezat-lezat, dan tidak dikhawatiri lahirnya fitnah, boleh tanpa ada udzur walau pun masih muda. Imam Malik berkata: Wanita boleh makan bersama orang lain tanpa mahramnya namun ditemani oleh anaknya, dan dia makan bersama suaminya dan orang lain.” 6)

Hukum ini sama halnya dengan wanita melihat bagian tubuh laki-laki yang bukan aurat, tidak apa-apa selama tidak melahirkan fitnah. Dahulu ‘Aisyah Radhiallahu ‘Anha menyaksikan laki-laki Habasyah yang bermain pedang di masjid Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam ketika hari raya, dan itu dilakukan bersama Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam sampai ‘Aisyah Radhiallahu ‘Anha puas melihat permainan mereka.

Wallahu A’lam

📕📗📘📓📙📔📒

✏ Farid Nu’man Hasan


🍃🍃🍃🍃🍃🍃

[1] QS. An Nuur: 30-31
[2] Zaadul Masir, 3/289
[3] Fathul Bari, 11/10
[4] Imam Abu Abdillah bin Yusuf Al Abdari Al Mawwaq , At Tajj Al Iklil Li Mukhtashar  Khalil, 1/384
[5] Imam Syamsuddin Al Haththab Ar Ru’yani, Mawahib Al Jalil fi Syarh Mukhtashar Syaikh Al Khalil, 16/91
[6] Imam Al Kharrasyi, Syarh Mukhtashar Khalil, 3/ 201

scroll to top