Zakat Berupa Dana Pendidikan Kepada Anak Pembantu Rumah Tangga

💥💦💥💦💥💦

📨 PERTANYAAN:

Ustadz afwan mau tanya🙏

bgmn hukum sesorang yg menyalurkan zakat mal nya dlm bentuk dana pendidikan yg diberikan bulanan kpd anak ART (asisten/pembantu rumah tangga)nya yg yatim,anak ART ini ga serumah sm seseorang itu

📬 JAWABAN

Wa’alaikumussalam wa Rahmatullah .. Bismikkah wal Hamdulillah ..

Tidak ada apa-apa memberikan zakat kepada mustahiq, uangnya diwujudkan dalam bentuk dana bea siswa bagi fakir miskin atau Ibnu Sabil, tidak masalah. Bahkan Imam Ahmad bin Hambal, membolehkan diberikan dalam wujud barang-barang untuk usaha bagi si mustahiq. Zaman ini nisa direalisasikan dakam wujud pelatihan-pelatihan atau alat-alat kerja yang sangat dibutuhkan mereka, apalagi bagi mustahiq yang tidak pandai mengelola uang, yang bisa jadi dipakai untuk hal-hal yang sia-sia.

Wallahu a’lam

Tim Syariah Consulting Center, Depok

Tafsir Surat Al Mulk (Bagian 12)

📂 Perumpamaan Orang Yang Mendapat Petunjuk

📌 Nash Ayat 22

أَفَمَنْ يَمْشِي مُكِبًّا عَلَى وَجْهِهِ أَهْدَى أَمَّنْ يَمْشِي سَوِيًّا عَلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ (22)

TERJEMAH

Apakah orang yang merangkak dengan wajah tertelungkup yang lebih terpimpin (dalam kebenaran) ataukah orang yang berjalan tegap diatas jalan yang lurus?

Katakanlah,”Dialah yang menciptakan kamu, dan menjadikan pendengaran, penglihatan dan hati nurani bagi kamu, tetapi sedikit sekali kamu bersyukur.”(QS. AL Mulk:22-23)

📌 TINJAUAN BAHASA

Imam At Thabari menjelaskan dalam tafsirnya yang dimaksud dengan kalimat “Mukibban ‘Ala Wajhihi” adalah:

لا يبصر ما بين يديه، وما عن يمينه وشماله

Tidak dapat melihat apa yang ada didepan, samping kiri dan kanannya

(أَهْدَى) : أشدّ استقامة على الطريق

Sedangkan kalimat “Ahdaa’ maksudnya: Sangat lurus diatas jalan ( Tafsir At Thabari,23/515)

Pada ayat ke duapuluh ada kalimat pertanyaan (أَفَمَنْ يَمْشِي) dinamakan istifham inkari( kata pengingkaran) yang fungsinya untuk taubikh ( mencela) sifat sifat orang kafir yang menyimpang dari petunjuk Allah subhanahu wataala.” ( Shafwatu Tafasir,3/397)

📌 KANDUNGAN AYAT

Allah menggambarkan orang kafir seperti orang buta yang berjalan, dan orang beriman seperti orang yang mendapat arah petunjuk jalan dalam menempuh perjalalan.

Ad Dhahak berkata,” Allah memberikan permisalan bagi orang-orang kafir yang berjalan diatas muka bumi ini apakah mereka lebih utama, dibanding orang-orang mukmin yang mendapat petunjuk? ( Tafsir At Thabari, 23/516)

Qatadah berkata,”Orang-orang kafir kelak dikumpulkan pada hari kiamat bersama pelaku maksiat didunia, kondisi mereka berjalan dengan muka (wajah ) dibawah. Ada orang yang bertanya” Wahai Nabi,” Mengapa mereka berjalan dengan muka mereka”? NabiShalallahu Alaihi wa sallam menjawab,” Sungguh Dzat yang membuat mereka berjalan dengan kaki, lebih berkuasa membuat mereka berjalan dengan wajah”. ( Tafsir At Thabari,23/516)

Menurut Jalaludin As Suyuthi ayat ini merupakan permisalan, siapakah diatara orang-orang kafir dan orang-orang mukmin yang berada diatas petunjuk? ( Tafsir Jalalain,1/756)

Terkait dengan ayat ini, Syekh Nawawi Al Bantani menyebutkan dalam tafsirnya,” Lebih baik mana orang yang berjalan melalui tempat berkelok, tertatih setiap saat dan medan menyulitkan dari orang yang berjalan tegak diatas jalan lurus, tidak berbelok, tiada hambatan?

Katakanlah Dialah Allah yang membuatmu ada dan menciptakanmu dalam bentuk yang sebaik-baiknya, menjadikan pendengaran untuk mendengarkan ayat ayat Al Qur’an, penglihatan untuk melihat ayat-ayat ciptaan Allah, hati untuk berfikir tentang apa yang didengar dari Al Qur’an, namun sedikit sekali diantara kalian yang mau bersyukur.” (Tafsir Marah Labid, 2/548)

🌺🌸🍃🌹🍀🌾🌴🌾

✏ Fauzan Sugiono

Serial Tafsir Surat Al Mulk:

Tafsir Surat Al Mulk ( Bagian 1) Gambaran Umum Surat Al Mulk

Tafsir Surat Al Mulk ( Bagian 2)

Tafsir Surat Al Mulk ( Bagian 3) Amal Terbaik

Tafsir Surat Al Mulk ( Bagian 4) Allah Menciptakan Tujuh Langit Berlapis-lapis

Tafsir Surat Al Mulk ( Bagian 5) Bintang dilangit dijadikan Allah alat pelempar syetan

Tafsir Surat Al Mulk ( Bagian 6) ILUSTRASI MURKA NERAKA KEPADA ORANG-ORANG KAFIR

Tafsir Surat Al Mulk ( Bagian 7) PENYESALAN ORANG-ORANG KAFIR

Tafsir Surat Al Mulk ( Bagian 8) ALLAH MENGETAHUI YANG TERSEMBUYI DAN NYATA

Tafsir Surat Al Mulk ( Bagian 9) ALLAH MAHA PEMBERI RASA AMAN

Tafsir Surat Al Mulk ( Bagian 10) DESKRIPSI KEKUASAAN ALLAH PADA SEEKOR BURUNG

Tafsir Surat Al Mulk ( Bagian 11) ALLAH MAHA PENOLONG, ALLAH PEMBERI REZEKI

Tafsir Surat Al Mulk ( Bagian 12) Perumpamaan Orang Yang Mendapat Petunjuk

Tafsir Surat Al Mulk ( Bagian 13) Nikmat Pendengaran, Penglihatan dan Hati Nurani

Tafsir Surat Al Mulk ( Bagian 14) Hanya Allah Yang Maha Tahu Kapan Datangnya Hari Kiamat

Tafsir Surat Al Mulk ( Bagian 15) Adzab yang Dinantikan Akhirnya Datang

Tafsir Surat Al Mulk ( Bagian 16) Allah Maha Mematikan dan Memberi Rahmat, Tawakal Hanya Kepada-Nya, serta Dia Maha Pemberi Nikmat air

Pro Kontra Makan-Makan di Rumah Keluarga Si Mayit dan Menyikapinya

💢💢💢💢💢💢

Bagian ini sering diperselisihkan kaum muslimin, antara yang membolehkan dan melarangnya.

📚  Pihak Yang Melarang dan Dalilnya

Dari Jarir bin Abdillah Al Bajalli Radhiallahu ‘Anhu, katanya:

كُنَّا نَعُدُّ الِاجْتِمَاعَ إِلَى أَهْلِ الْمَيِّتِ وَصَنِيعَةَ الطَّعَامِ بَعْدَ دَفْنِهِ مِنَ النِّيَاحَةِ

Kami (para sahabat) memandang bahwa berkumpul di rumah keluarga si mayit, mereka menghidangkan makanan setelah penguburannya, adalah termasuk niyahah (meratap) –yakni terlarang. (HR. Ahmad No. 6905. Syaikh Syuaib Al Arnauth mengatakan: Shahih. Lihat Ta’liq Musnad Ahmad No. 6905)

Pernyataan ini menjadi dalil, bahwa pada masa sahabat Nabi ﷺ berkumpul di rumah mayit lalu makan-makan adalah perbuatan meratap dan itu terlarang.

Imam Asy Syafi’i Rahimahullah, beliau mengatakan dalam Al Umm:

وأكره المأتم وهى الجماعة وإن لم يكن لهم بكاء فإن ذلك يجدد الحزن

“Aku membenci ma’tam, yaitu berkumpul (di rumah keluarga si mayit), walaupun tidak ada tangisan, namun yang demikian itu memperbarui kesedihan.”  (Imam Asy Syafi’i,  Al Umm, 1/ 318. Darul Fikr)

Begitu pula kata Imam An Nawawi Rahimahullah dalam kitab Al Majmu’:

وأما اصلاح اهل الميت طعاما وجمع الناس عليه فلم ينقل فيه شئ وهو بدعة غير مستحبة هذا كلام صاحب الشامل ويستدل لهذا بحديث جرير بن عبد الله رضى الله عنه قال ” كنا نعد الاجتماع إلى أهل الميت وصنيعة الطعام بعد دفنه من النياحة

“Adapun penyediaan makanan oleh keluarga mayit dan berkumpulnya orang banyak di sana, adalah tidak ada dalil sama sekali, dan itu adalah bid’ah yang dibenci. Ini adalah ucapan pengarang Asy Syamil, dia berdalil hadits Jarir bin Abdullah Radhiallahu ‘Anhu: Kami menganggap bahwa berkumpul di rumah keluarga si mayit, mereka menghidangkan makanan setelah penguburannya, adalah termasuk niyahah (meretap) –yakni terlarang.”    (Imam An Nawawi, Al Majmu’ Syarah Al Muhadzab, 5/320. Darul Fikr)

Juga Imam Sayyid Al Bakr Ad Dimyathi Asy Syafi’i Rahimahullah, beliau berkata dalam I’anatuth Thalibin:

نعم، ما يفعله الناس من الاجتماع عند أهل الميت وصنع الطعام، من البدع المنكرة التي يثاب على منعها والي الامر، ثبت الله به قواعد الدين وأيد به الاسلام والمسلمين

Ya, apa yang dilakukan manusia, yakni berkumpul di rumah keluarga si mayit, dan dihidangkan makanan, merupakan bid’ah munkarah, yang akan diberi pahala bagi orang yang mencegahnya, dengannya Allah akan kukuhlah kaidah-kaidah agama, dan dengannya dapat mendukung Islam dan muslimin.”  (Imam Sayyid Al Bakr Ad Dimyathi Asy Syafi’i,   I’anatuth Thalibin, 2/165. Mawqi’ Ya’sub)

Beliau juga mengatakan:

وما اعتيد من جعل أهل الميت طعاما ليدعوا الناس إليه، بدعة مكروهة – كإجابتهم لذلك، لما صح عن جرير رضي الله عنه. كنا نعد الاجتماع إلى أهل الميت وصنعهم الطعام بعد دفنه من النياحة

Dan apa yang dibiasakan manusia tentang hidangan dari keluarga si mayit yang disediakan untuk para undangan, adalah bid’ah yang tidak disukai agama, sebagaimana datangnya para undangan ke acara itu, karena ada hadits shahih yang  diriwayatkan dari Jarir Radhiallahu ‘Anhu: Kami menganggap bahwa berkumpul di rumah keluarga si mayit, mereka menghidangkan makanan setelah penguburannya, adalah termasuk nihayah (meratap) –yakni terlarang.”   (Ibid)

Beliau juga mengatakan:

وفي البزاز: ويكره اتخاذ الطعام في اليوم الاول والثالث وبعد الاسبوع، ونقل الطعام إلى القبر في المواسم

“Dalam Kitab Al Bazaz: Dibenci menyediakan makanan pada hari pertama, tiga, dan setelah tujuh hari, dan juga mengirim makanan ke kuburan secara musiman.”  (Ibid, 2/166)

Sementara Imam Muhammad Al Khathib Asy Syarbini mengatakan dalam Mughni Muhtaj:

أَمَّا إصْلَاحُ أَهْلِ الْمَيِّتِ طَعَامًا وَجَمْعُ النَّاسِ عَلَيْهِ فَبِدْعَةٌ غَيْرُ مُسْتَحَبٍّ ، رَوَى أَحْمَدُ وَابْنُ مَاجَهْ بِإِسْنَادٍ صَحِيحٍ عَنْ جَرِيرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ : كُنَّا نَعُدُّ الِاجْتِمَاعَ عَلَى أَهْلِ الْمَيِّتِ وَصُنْعَهُمْ الطَّعَامَ النِّيَاحَةَ

Adapun menyediakan makanan oleh keluarga mayit dan berkumpulnya orang banyak di situ, adalah bid’ah yang tidak disukai. Imam Ahmad meriwayatkan secara shahih dari Jarir bin Abdulah Radhiallahu ‘Anhu: Kami menganggap bahwa berkumpul di rumah keluarga si mayit, mereka menghidangkan makanan setelah penguburannya, adalah termasuk niyahah (meratap) –yakni terlarang.”   (Imam Muhammad Al Khathib Asy Syarbini, Mughi Muhtaj Ila Ma’rifati Alfazh Al Minhaj,  4/369. Mawqi’ Al Islam)

Syaikh Muhammad bin Abdil Wahhab At Tamimi mengatakan bahwa membaca dan membawa Al Quran di kubur sebagaimana yang dilakukan sebagian manusia hari ini, mereka duduk selama tujuh hari dan menamakan itu sebagai kesungguhan, begitu pula berkumpul di rumah keluarga si mayit selama tujuh hari membaca Al Fatihah, dan mengangkat tangan untuk berdoa untuk si mayit, maka semua ini adalah bid’ah munkar yang diada-adakan, dan harus dihilangkan. (Syaikh Shalih Fauzan, At Tibyan Li Akhtha’i Ba’dhil Kitab, Hal. 171. Mawqi’ Ruh Al Islam)

Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah mengatakan:

قال النووي: قال الشافعي وأصحابه رحمهم الله: يكره الجلوس للتعزية
قالوا: ويعني بالجلوس أن يجتمع أهل الميت في بيت ليقصدهم من أراد التعزية، بل ينبغي أن ينصرفوا في حوائجهم.
ولافرق بين الرجال والنساء في كراهة الجلوس لها.
صرح به المحاملي ونقله عن نص الشافعي رضي الله عنه.
وهذه كراهة تنزيه إذا لم يكن معها محدث آخر، فإن ضم إليها أمر آخر من البدع المحرمة – كما هو الغالب منها في العادة – كان ذلك حراما من قبائح المحرمات، فإنه محدث وثبت في الحديث الصحيح ” أن كل محدثة بدعة، وكل بدعة ضلالة “. وذهب أحمد وكثير من علماء الاحناف إلى هذا الرأي.
وذهب المتقدمون من الاحناف إلى أنه لا بأس بالجلوس في غير المسجد ثلاثة أيام للتعزية، من غير ارتكاب محظور.
وما يفعله بعض الناس اليوم من الاجتماع للتعزية، وإقامة السرادقات، وفرش البسط، وصرف الاموال الطائلة من أجل المباهاة والمفاخرة من الامور المحدثة والبدع المنكرة التي يجب على المسلمين اجتنابها، ويحرم عليهم فعلها، لاسيما وأنه يقع فيها كثير مما يخالف هدي الكتاب ويناقض تعاليم السنة، ويسير وفق عادات الجاهلية، كالتغني بالقرآن وعدم التزام آداب التلاوة، وترك الانصات والتشاغل عنه بشرب الدخان وغيره.
ولم يقف الامر عند هذا الحد، بل تجاوزه عند كثير من ذوي الاهواء فلم يكتفوا بالايام الاول: جعلوا يوم الاربعين يوم تجدد لهذه المنكرات وإعادة لهذه البدع. وجعلوا ذكرى أولى بمناسبة مرور عام على الوفاة وذكرى ثانية، وهكذا مما لا يتفق مع عقل ولانقل.

“Berkata An Nawawi: Asy Syafi’i dan sahabat-sahabatnya Rahimahumullahmengatakan: dimakruhkan duduk-duduk ketika takziyah. Mereka mengatakan: yakni duduk berkumpul bersama keluarga si mayit di rumahnya dengan maksud takziyah, bahkan mereka menyediakan kebutuhan mereka (tamu). Dalam hal hukum duduk ini, tidak ada bedanya antara laki dan perempuan. Demikian yang diterangkan Al Muhamili dan kutipannya dari Asy Syafi’i Radhiallahu ‘Anhu .

Ini adalah makruh tanzih jika tidak dibarengi oleh hal-hal muhdats (baru) lainnya, dan jika di dalamnya mengandung perkara lainnya  berupa bid’ah yang diharamkan –sebagaimana umumnya  kebiasaan yang berlaku- maka hal itu adalah  termasuk keharaman yang buruk. Telah shahih  hadits:  Setiap yang baru adalah bid’ah, dan setiap bid’ah adalah sesat.

Pendapat inilah yang dipegang oleh madzhab Ahmad,  Hanafiyah, dan mayoritas ulama. Sedangkan kalangan Hanafiyah terdahulu membolehkan duduk selama tiga hari, selain di masjid, jika tidak dibarengi oleh hal-hal terlarang. Ada pun, yang dilakukan oleh sebagian manusia hari ini, mereka berkumpul untuk takziyah, memasang tenda, menggelar karpet di lantai, lalu menghabiskan uang demi memperlihatkan kehebatan dan berbangga-bangga, ini semua adalah hal muhdats (baru) dan bid’ah yang munkar, wajib bagi mereka menjauhinya, haram melakukannya, apalagi pada kenyataannya sering terjadi di dalamnya hal-hal yang bertentangan dengan petunjuk Al Quran dan ajaran As Sunnah, sehingga menyerupai  adat jahiliyah, seperti menyanyikan Al Quran, tidak memegang adab membaca Al Quran, tidak menyimaknya, tetapi sibuk minum atau menghisap rokok, dan lainnya.

Acara seperti ini tidak hanya terbatas demikian, bahkan kebanyakan ahlul hawa (pengikut hawa nafsu) meneruskannya tidak cukup pada hari pertama; mereka melakukannya pada hari ke empat puluh, saat itu mereka memperbarui kemungkaran dan mengulangi  bid’ah tersebut. Mereka juga mengenang seratus hari pertama dari wafatnya si mayit, dan juga seratus hari kedua. Demikianlah perbuatan yang tidak bisa dibenarkan oleh akal dan naql (dalil) ini.” Demikian perkataan Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah. (Fiqhus Sunnah, 1/564. Darul Kitab Al ‘Arabi)

Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baaz Rahimahullah mengatakan:

وأما صنع الطعام من أهل الميت للناس سواء كان ذلك من مال الورثة أو من ثلث الميت أو من شخص آخر فهذا لا يجوز؛ لأنه خلاف السنة ومن عمل الجاهلية كما تقدم، ولأن في ذلك زيادة تعب لهم على مصيبتهم وشغلا إلى شغلهم. وقد روى أحمد وابن ماجه بإسناد جيد عن جرير بن عبد الله البجلي – رضي الله عنه – أنه قال «كنا نعد الاجتماع إلى أهل الميت وصنعة الطعام بعد الدفن من النياحة  » . ولم يثبت عن رسول الله – صلى الله عليه وسلم – ولا عن أحد من أصحابه – رضي الله عنهم – ولا عن السلف الصالح إقامة حفل للميت مطلقا لا عند وفاته ولا بعد أسبوع ولا بعد أربعين يوما ولا بعد سنة من وفاته، بل ذلك بدعة يجب تركها وإنكارها والتوبة إلى الله منها لما فيها من الابتداع في الدين ومشابهة أهل الجاهلية

Ada keluarga si mayit yang membuatkan makanan, sama saja apakah itu dari harta warisan, atau sepertiga harta si mayit, atau dari orang lain, maka ini tidak boleh, karena itu menyelisihi sunah dan termasuk perbuatan jahilyah sebagaimana penjelasan yang lalu. Demikian itu dapat menambah rasa lelah dan kesibukan  bagi mereka setelah mendapatkan musibah. Imam Ahmad dan Imam Ibnu Majah telah meriwayatkan dengan sanad yang jayyid, dari Jarir bin Abdullah Al Bajalli Radhiallahu ‘Anhu bahwa dia berkata: “Kami menganggap berkumpul di keluarga mayit dan membuatkan makanan setelah penguburan termasuk perbuatan meratap.”  Serta tidak ada satu pun yang shahih dari Rasulullah ﷺ, tidak pula dari satu pun para sahabat Radhiallahu ‘Anhum, tidak pula dari salafush shalih tentang diadakannya acara ini secara mutlak, tidak ada ketika wafatnya, tidak pula sepekan setelahnya, empat hari dan setahun setelah kematiannya, justru itu adalah bid’ah yang wajib ditinggalkan dan dingkari, hendaknya taubat kepada Allah ﷻ darinya, karena itu merupakan mengada-ada dalam agama dan menyerupai orang jahiliyah. (Majmu’ Fatawa, 2/356- 357)

Tetapi bagi mereka tidak masalah jika makanan justru didatangkan oleh tetangganya atau sanak familinya untuk membantu kesulitan keluarga si mayit, yang seperti ini justru dianjurkan sebagaimana yang dilakukan para sahabat nabi kepada keluarga Ja’far bin Abi Thalib Radhiallahu ‘Anhu, ini masyhur dan sunah, serta tidak diperselisihkan hukumnya.

Dari Abdullah bin Ja’far, ketika tersebar berita wafatnya Ja’far bin Thalib Radhiallahu ‘Anhu, maka Nabi ﷺ bersabda:

اصْنَعُوا لأَهْلِ جَعْفَرٍ طَعَامًا، فَإِنَّهُ قَدْ جَاءَهُمْ مَا يَشْغَلُهُمْ

Buatkanlah makanan untuk keluarga Ja’far karena telah datang kepada mereka musibah yang menyibukkan mereka. (HR. At Tirmidzi No. 998, katanya: hasan. Ibnu Majah No. 1610. Dihasankan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahih wa Dhaif Sunan Ibni Majah No. 1610)

Syaikh Abdul Aziz bin Baaz mengatakan: “Fahadza huwa sunnah – perbuatan inilah yang sunah.” (Majmu’ Fatawa, 2/356)

Atau tidak apa-apa jika  tuan rumah memberikan minum atau makan untuk tamu atau saudara yang  jauh, bukan karena semata-mata dalam rangka takziyahnya, karena memang mereka adalah tamu jauh. Itu tidak mengapa, sebab biasanya, ada atau tidak ada musibah, secara alami kita akan memberikan jamuan kepada tamu jauh.

Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baaz Rahimahullah berkata:

س: هل يجوز حضور مجلس العزاء والجلوس معهم؟
ج: إذا حضر المسلم وعزى أهل الميت فذلك مستحب؛ لما فيه من الجبر لهم والتعزية، وإذا شرب عندهم فنجان قهوة أو شاي أو تطيب فلا بأس كعادة الناس مع زوارهم

Pertanyaan: “Bolehkah menghadiri majelis ta’ziyah dan duduk bersama mereka?”
Jawaban: “Jika seorang muslim hadir untuk menghibur keluarga si mayit maka ini mustahab (disukai/sunah), karena hal itu bisa memulihkan keadaan dan menghibur mereka, dan jika minum secangkir kopi, atau teh, diberikan wewangian, maka tidak apa-apa sebagaimana kebiasaan manusia dalam menyembut para peziarahnya. (Majmu’ Fatawa, 13/371)

Demikianlah dalil dan perkataan pihak yang melarang berkumpul dan makan-makan di rumah mayit, berserta para ulama yang melarangnya. Bagi mereka hal itu termasuk niyahah (meratap) yang dilarang syariat, dapat memperbarui kesedihan, dan merupakan muhdats (hal baru yang diada-adakan).

📚 Pihak Yang Membolehkan dan Dalilnya

Berikut ini dalil-dalil pihak yang membolehkan berkumpul dan makan-makan di rumah si mayit:

Pertama:

Dari ‘Aisyah Radhiallahu ‘Anha:

أَنَّهَا كَانَتْ إِذَا مَاتَ المَيِّتُ مِنْ أَهْلِهَا، فَاجْتَمَعَ لِذَلِكَ النِّسَاءُ، ثُمَّ تَفَرَّقْنَ إِلَّا أَهْلَهَا وَخَاصَّتَهَا، أَمَرَتْ بِبُرْمَةٍ مِنْ تَلْبِينَةٍ فَطُبِخَتْ، ثُمَّ صُنِعَ ثَرِيدٌ فَصُبَّتِ التَّلْبِينَةُ عَلَيْهَا، ثُمَّ قَالَتْ: كُلْنَ مِنْهَا، فَإِنِّي سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: «التَّلْبِينَةُ مُجِمَّةٌ لِفُؤَادِ المَرِيضِ، تَذْهَبُ بِبَعْضِ الحُزْنِ»

Bahwasanya jika ada salah seorang anggota keluarganya (‘Aisyah) wafat, maka berkumpullah  kaum wanita. Lalu mereka berpisah kecuali keluarga dan orang-orang tertentu, lalu Aisyah pun memerintahkan untuk  memasak talbinah (bubur tepung), lalu dibuatkan tsarid, lalu dia menuangkan talbinah itu di atasnya, lalu berkata: “Makanlah bubur ini! Sesungguhnya aku mendengar Rasulullah ﷺ bersabda: “Talbinah bisa menyegarkan hati orang yang sakit, dan menghilangkan sebagian kesedihan.” (HR. Muttafaq ‘Alaih)

Jadi, ‘Aisyah Radhiallahu ‘Anha, sebagai salah satu keluarga si mayit, Beliau membuatkan makanan untuk keluarga dan sebagian tamu khususnya.

Kedua:

Seorang laki-laki Anshar berkata:

خَرَجْنَا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي جَنَازَةٍ، فَرَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ عَلَى الْقَبْرِ يُوصِي الْحَافِرَ: «أَوْسِعْ مِنْ قِبَلِ رِجْلَيْهِ، أَوْسِعْ مِنْ قِبَلِ رَأْسِهِ»، فَلَمَّا رَجَعَ اسْتَقْبَلَهُ دَاعِي امْرَأَةٍ فَجَاءَ وَجِيءَ بِالطَّعَامِ فَوَضَعَ يَدَهُ، ثُمَّ وَضَعَ الْقَوْمُ، فَأَكَلُوا  …

Kami keluar bersama Nabi ﷺ mengantarkan jenazah, kemudian aku melihat Rasulullah ﷺ  di atas kubur berwasiat kepada penggalinya: “Perluaslah di sisi kedua kakinya, perluaslah sisi kepalanya.” Kemudian tatkala kembali, Beliau disambut utusan seorang wanita yang mengundang Rasulullah ﷺ untuk makan, kemudian Beliau datang dan makanan pun dihidangkan. Lalu Beliau metelakkan tangannya pada makanan kemudian orang-orang meletakkan tangannya pada makanan, lalu mereka makan. …. (HR. Abu Daud No. 3332, Dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahih wa Dhaif Sunan Abi Daud No. 3332)

Ketiga:

عن أحنف بن قيس: كنت أسمع عمر يقول لايدخل أحد من قريش في باب إلا دخل معه ناس فلا أدري ما تأويل قوله حتيطعن عمر فأمر صهيبا أن يصلى بالناس ثلاثا وأمر بأن يجعل للناس طعاماً فلما رجعوا من الجنازة جاءوا وقد وضعت الموائد فأمسك الناس عنها للحزن الذي همّ فيه فجاء العباس بن عبد المطلب فقال: ياأيها الناس قد مات رسول الله صلي الله عليه وسلم فأكلنا بعده وشربنا ومات أبوبكر فأكلنا بعده وشربنا أيها الناس كلوا من هذا الطعام فمد يده ومد الناس أيديهم فأكلوا فعرفت تأويل ذلك

Dari Ahnaf Bin Qais: Aku  pernah mendengar Umar Radhiallahu ‘Anhu berkata,  “Tidak akan masuk seseorang dari Quraisy ke dalam satu pintu kecuali orang-orang akan masuk bersamanya.

Aku  (Ahnaf) tidak mengerti apa maksud ucapan Umar  tersebut, sampai suatu hari Umar ditikam (yang membuatnya wafat). Lalu Umar memerintahkan Shuhaib untuk memimpin orang-orang shalat berjamaah selama tiga hari, dan memerintahkan untuk dihidangkan makanan bagi orang-orang.

Maka ketika orang-orang telah kembali dari (menguburkan) jenazah umar, mereka datang kembali  dan telah dihidangkan makanan (di rumah Umar). Lantas orang-orang menahan diri (dari  hidangan) karena kesedihan yangg sedang menimpa mereka.   Maka Abbas bin Abdul Muthalib datang seraya berkata, “Wahai manusia, telah wafat Rasulullah ﷺ dan kita makan dan minum (di rumah Rasulullah ﷺ)  setelah wafatnya. Dan telah wafat Abu Bakar  dan kita (juga) telah makan dan minum setelah wafatnya (di rumah Abu Bakar). Wahai manusia, makanlah makanan-makanan ini. Lalu Abbas mengulurkan tangannya dan orang2 (dari para sahabat Nabi) juga mengulurkan tangan mereka, lalu mereka makan. Maka, barulah aku (Ahnaf) mengerti apa arti  ucapan Umar itu.

(Imam Abu Bakar Al Bazzaz, Al Fawaid Asy Syahir No. 305, Imam Alauddin Muttaqi Al Hindi, Kanzul ‘Ummal No. 37305, Imam As Suyuthi, Al Jami’ Al Ahadits, No. 29163, Imam Muhammad bin Sa’ad, Thabaqat Al Kubra, Juz. 4, Hlm. 21, Imam Ibnu ‘Asakir, Tarikh Dimasyqi, Juz. 26, Hlm. 373, Imam Abu Bakar Al Baghdadi, Tarikh Baghdad No. 7641, Imam Al Bushiri, Al Ittihaf Al Khairah No. 2000, katanya: diriwayatkan oleh Ahmad bin Mani’ dalam sanadnya terdapat Zaid bin Ali bin Jud’an (seorang perawi yang dhaif, pen). Syaikh Muhammad Yusuf Al Kandahlawi,  Hayatush Shahabah,  Juz. 3, Hlm. 386)

Keempat:

Berkata Abu Nu’aim:

حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ مَالِكٍ، ثنا عَبْدُ اللهِ بْنُ أَحْمَدَ بْنِ حَنْبَلٍ، ثنا أَبِي، ثنا هَاشِمُ بْنُ الْقَاسِمِ، ثنا الْأَشْجَعِيُّ، عَنْ سُفْيَانَ، قَالَ: قَالَ طَاوُسٌ: «إِنَّ الْمَوْتَى يُفْتَنُونَ فِي قُبُورِهِمْ سَبْعًا، فَكَانُوا يَسْتَحِبُّونَ أَنْ يُطْعَمَ عَنْهُمْ تِلْكَ الْأَيَّامِ»

Berkata kepada kami Abu Bakr bin Malik, berkata kepada kami Abdullah bin Ahmad bin Hambal, berkata ayahku (Ahmad bin Hambal), berkata kepada kami Hasyim bin Al Qasim, berkata kepada kami Al Asyja’i, dari Sufyan, dia berkata: Berkata Thawus: “Sesungguhnya mayit akan mendapat ujian di kuburnya selama tujuh hari, maka mereka (para sahabat)  suka memberikan makanan pada hari-hari itu.” (Imam Abu Nu’aim, Hilyatul Auliya, 4/11)

Imam As Suyuthi mengatakan: isnadnya SHAHIH, dan hukumnya sebagai riwayat marfu’. (Ad Dibaj ‘Alash Shahih Muslim, 2/490)

Beliau juga menjelaskan dalam kitabnya yang lain: “Rijal (perawi) hadits ini shahih, Thawus adalah senior tabi’in. Menurut Abu Nu’aim, Thawus adalah  generasi pertama bagi penduduk Yaman. Abu Nu’aim pernah meriwayatkan bahwa Thawus berkata: “Aku pernah berjumpa dengan 500 para sahabat Rasulullah ﷺ. Sementara yang lain meriwayatkan bahwa Thawus mengatakan: “Aku pernah berjumpa dengan 700 syaikh dari generasi sahabat Rasulullah ﷺ .”  Ada pun Sufyan adalah Ats Tsauri, pernah berjumpa dengan Thawus. (Al Hawi Lil Fatawi, 2/216)

Bagi kelompok ini, riwayat-riwayat ini menjadi dasar yang jelas, tegas, dan shahih,  kebolehan bagi pihak keluarga memberikan makanan buat para tamu yang berta’ziyah. Mereka pun meniatkan itu sebagai sedekah, bukan untuk meratap. Bahkan Nabi ﷺ pernah makan-makan bersama mereka di rumah keluarga mayit setelah mengantarkan jenazah di kubur, sebagaimana riwayat Abu Daud di atas. Juga para sahabat nabi melakukannya sebagaimana atsar dari Imam As Suyuthi dan menurutnya shahih.

Imam As Suyuthi Rahimahullah mengatakan:

أَنَّ سُنَّةَ الْإِطْعَامِ سَبْعَةُ أَيَّامٍ، بَلَغَنِي أَنَّهَا مُسْتَمِرَّةٌ إِلَى الْآنَ بِمَكَّةَ وَالْمَدِينَةِ، فَالظَّاهِرُ أَنَّهَا لَمْ تُتْرَكْ مِنْ عَهْدِ الصَّحَابَةِ إِلَى الْآنَ، وَأَنَّهُمْ أَخَذُوهَا خَلَفًا عَنْ سَلَفٍ إِلَى الصَّدْرِ الْأَوَّلِ

Bahwasanya disunahkan memberikan makanan selama tujuh hari (di rumah mayit, pen), telah sampai kepadaku bahwa hal itu terus berlangsung sampai saat ini di Mekkah dan Madinah. Kenyataannya hal itu tidak pernah ditinggalkan sejak masa para sahabat Nabi ﷺ sampai saat ini (zaman Imam As Suyuthi), dan sesungguhnya generasi khalaf telah   mengambil dari generasi salaf sampai generasi awal Islam.  (Imam Jalaluddin As Suyuthi, Al Hawi Lil Fatawi, Juz. 2 Hlm. 234)

Apa yang dikatakan oleh Imam As Suyuthi ini berbeda dengan yang dikatakan oleh Syaikh Abdul Aziz bin Baaz yang menurutnya memberikan makanan (dalam artian makan-makan) kepada para pentakziah adalah perkara baru yang yang tidak pernah dilakukan oleh para salaf.

Namun, pihak yang membolehkan pun melarang jika masalah makanan ini menjadi tradisi yang dipaksakan hanya karena tidak enak dengan pembicaraan masyarakat. Atau untuk bermegah-megah, sehingga nilai takziahnya hilang berubah menjadi pesta. Jika seperti itu maka mereka sepakat kebid’ahannya, bahkan menjadi haram jika untuk meratap dan memuji keluarga secara berlebihan, sebagaimana yang difatwakan Imam Ibnu Hajar Rahimahullah.  (Lihat: http://www.nu.or.id/a,public-m,dinamic-s,detail-ids,10-id,37421-lang,id-c,ubudiyah-t,Hidangan+dan+Makanan+dalam+Upacara+Kematian++Ta%C3%A2%E2%82%AC%E2%84%A2ziyah+-.phpx)

So, ini khilaf para ulama, jangan pakai emosi, jangan pula mudah menyerang sesama muslim. Ambil yang kita yakini dan jangan ingkari yang lain.

Wallahu A’lam

🌿🌿🌿🌿

✏ Farid Nu’man Hasan

[Biografi Ulama Ahlus Sunnah] Imam Darul Hijrah, Imam Malik bin Anas Rahimahullah (Bag 2)

💢💢💢💢💢💢

4⃣ Guru-guru dan Murid-muridnya

Beliau mulai menuntut ilmu di usia sepuluh tahun, dan pada usia 21 tahun sudah memiliki majelis dan berfatwa, banyak ulama yang meriwayatkan hadits darinya saat itu. Pada usia masih muda, banyak penuntut ilmu dari berbagai penjuru mendatanginya pada akhir masa khalifah Abu Ja’far Al Manshur, juga setelah masa itu, semakin berjejal manusia mengunjunginya hingga masa Khalifah Harun Ar Rasyid, dan sampai Beliau wafat. (As Siyar, 7/154)

Beliau berguru kepada 900 orang, seperti yang diceritakan Imam An Nawawi berikut ini:

وقال الإمام أبو القاسم عبد الملك بن زيد بن ياسين الدولقى فى كتابه الرسالة المصنفة فى بيان سبل السنة المشرفة: أخذ مالك على تسعمائة شيخ، منهم ثلاثمائة من التابعين، وستمائة من تابيعهم ممن اختاره، وارتضى دينه، وفقهه، وقيامه بحق الرواية وشروطها، وخلصت الثقة به، وترك الرواية عن أهل دين وصلاح لا يعرفون الرواية. وأحوال مالك، رضى الله عنه، ومناقبه كثيرة مشهورة

Imam Abul Qasim Abdu Malik bin Zaid bin Yasin Ad Daulaqi berkata dalam kitabnya Ar Risalah Al Mushannafah fi Bayani Subulis Sunnah Al Musyarrafah: “Malik mengambil ilmu dari 900 orang guru, 300 dari generasi tabi’in, dan 600 dari generasi tabi’ut tabi’in. Guru yang dipilihnya adalah yang dia ridhai agamanya, ilmu fiqihnya, konsistensinya terhadap syarat-syarat dalam meriwayatkan hadits, mereka bisa dipercaya dalam meriwayatkannya, dan Malik meninggalkan riwayat orang yang punya hutang, dan dia suka memperbaiki riwayat-riwayat yang tidak dikenal. Keadaan Imam Malik Radhiallahu ‘Anhu dan kebaikan-kebaikannya sangat banyak dan terkenal. (Imam An Nawawi, Tahdzibul Asma wal Lughat, 2/93)

Sebagian gurunya, seperti yang jelaskan Imam An Nawawi:

سمع نافعًا مولى ابن عمر، ومحمد بن المنكدر، وأبا الزبير، والزهرى، وعبد الله بن دينار، وأبا حازم، وخلائق آخرين من التابعين

Beliau mengambil hadits dari Nafi’ –pelayan Ibnu Umar, Muhammad bin Al Munkadir, Abu Az Zubair, Az Zuhri, Abdullah bin Dinar, Abu Hazim, dan tabi’in lainnya. (Ibid, 2/89)

Bahkan, nama Beliau masuk dalam salah satu silsilatudz dzahab (rangkaian emas) dalam sanad hadits, yaitu dari Malik, dari Nafi’, dari Ibnu Umar. Jika ada hadits dengan sanad seperti ini, maka inilah sanad terbaik menurut sebagian ulama. Berkata Imam An Nawawi Rahimahullah:

قال البخارى: أصح الأسانيد مالك، عن نافع، عن ابن عمر. وفى هذه المسألة خلاف، وسبق مرات، فعلى هذا المذهب قال الإمام أبو منصور التميمى: أصحها الشافعى، عن مالك، عن نافع، عن ابن عمر، عن النبى – صلى الله عليه وسلم –

Berkata Al Bukhari: “Sanad yang paling shahih adalah Malik, dari Nafi’, dari Ibnu Umar. Dalam masalah ini terjadi perselisihan pendapat. Penjelasan masalah ini telah  berulang-ulang, bahwa dalam madzhab ini, berkata Imam Abu Manshur At Tamimi: “(Paling shahih adalah) Para sahabat Syafi’i, dari Malik, dari Nafi, dari Ibnu Umar, dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.” (Ibid, 2/89)

Imam An Nasa’i mengatakan: “Sahabat-sahabat Naafi’ yang paling kokoh ilmunya adalah Malik, lalu Ayyub, lalu ‘Ubaidullah bin Umar, lalu Umar bin Naafi’, lalu Yahya bin Sa’id, lalu Ibnu  ‘Aun, lalu Shalih bin Kaisan, lalu Musa bin ‘Uqbah, lalu sahabat-sahabatnya pada generasinya. (Ibid, 2/124)

Sedangkan murid-muridnya dan orang yang pernah mengambil riwayat darinya adalah Abdullah bin Naafi’ Ash Shaayigh, Muhammad bin Maslamah Al Makhzumi,  Al Asham, Abu Mush’ab, Yahya bin Yahya, Az Zuhri, Al Majisyun, Sa’ad bin Abdullah Al Mu’afiri, Asyhab, Ashbagh bin Al Faraj, Muhammad bin Al Qasim, Sahnun, Al Waqar, dan lainnya.  (Selengkapnya Lihat Thabaqat Al Fuqaha, karya Imam Abu Ishaq Asy Syirazi)

5⃣ Sanjungan Para Ulama Untuknya

Imam An Nawawi  berkata:

وقال الشافعى: إذا جاء الأثر، فمالك النجم. وقال الشافعى أيضًا: لولا مالك وسفيان، يعنى ابن عيينة، لذهب علم الحجاز، وكان مالك إذا شك فى شىء من الحديث تركه كله. وقال أيضًا: مالك معلمى، وعنه أخذنا العلم

Berkata Asy Syafi’i: “Jika datang sebuah atsar, maka Malik adalah bintangnya.” Beliau juga berkata: “Seandainya bukan karena Malik dan Sufyan (yakni Ibnu ‘Uyainah), maka lenyaplah ilmu di Hijaz, dahulu jika ada sesuatu  yang meragukan dari hadits maka dia tinggalkan semua.” Beliau berkata juga: “Malik adalah guruku, darinya aku mengambil ilmu.”

Harmalah mengatakan: “Asy Syafi’i tidak pernah mendahulukan seseorang pun di atas  Malik dalam masalah hadits.”

Wahb bin Khalid mengatakan: “Tidak ada di antara Timur dan Barat  seorang laki-laki yang se-amanah Imam Malik terhadap hadits Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.”  (Lihat semua dalam Tahdzibul Asma wal Lughat, 2/76)

Seorang Qari kota Madinah, yakni Ibnu Katsir (bukan Ibnu Katsir pengarang tafsir yang terkenal itu, pen), bercerita kepada Khalaf bin Umar: “Duduklah kamu wahai Khalaf, semalam aku bermimpi seolah ada yang berkata kepadaku, Ini Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, Beliau sedang duduk,  dan manusia berada di sekelilingnya, lalu mereka bertanya kepada Rasulullah: “Wahai Rasulullah, berikanlah perintah kepada kami!” Beliau menjawab: “Aku telah menyimpan harta berharga di bawah mimbar dengan jumlah yang banyak, lalu aku perintahkan Malik untuk membagikannya untuk kalian, maka pergilah kepadanya. Lalu manusia bubar dan mereka satu sama lain saling berkata: “Apa yang kamu lihat dari  perbuatan  Malik?” Sebagian menjawab: “Dia menjalankan perintah Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam kepadanya.”  Ketika ini disampaikan kepada Imam Malik, maka Imam Malik berpaling dan menangis, lalu Aku (Khalaf) meninggalkannya dalam keadaan seperti itu (menangis). (Ibid, 2/77, lihat juga As Siyar, 7/159)

Abdurrahman bin Al Mahdi berkata: “Imamnya manusia pada masanya ada empat; Sufyan Ats Tsauri di Kufah, Malik di Hiiaz, Al Auza’i di Syam, dan Hammad bin Zaid di Bashrah.” (Ibid)

Imam Syafi’i berkata: “Jika disebut nama para ulama, maka Malik adalah bintangnya.” Imam Sufyan bin ‘Uyainah berkata: “Malik adalah ulamanya Hijaz, dan dia adalah hujjah pada zamannya.” (As Siyar, 7/155)

Imam Syafi’i juga berkata:

“Tidak ada kitab di muka bumi ini yang lebih banyak benarnya dibanding kitab Al Muwaththa’.” Para ulama mengatakan bahwa ucapan Imam Asy Syafi’i ini ketika sebelum adanya kitab Shahih Bukhari dan Shahih Muslim, sebab para ulama telah sepakat keduanya adalah kitab paling shahih. (Tahdzibul Asma wal Lughat, 2/77)

6⃣ Kehati-hatiannya dan Rasa Hormatnya Terhadap Ilmu dan Hadits

Khalaf bin Umar bercerita, bahwa dia pernah mendengar Imam Malik berkata: “Aku tidak berani berfatwa sebelum bertanya dulu kepada yang lebih berilmu dariku. Apakah engkau melihat aku pantas untuk menjawabnya? Aku bertanya kepada Rabi’ah, kepada Yahya bin Sa’id, mereka memerintahkan aku untuk menjawabnya.” Aku (Khalaf bin Umar) berkata: “Seandainya mereka melarang kamu?” Beliau menjawab: “Aku cegah diriku, tidak selayaknya seseorang mengorbankan dirinya sampai dia bertanya dulu kepada orang yang lebih paham darinya.” (Ibid, 7/159)

Ismail bin Uwais berkata: aku bertanya kepada pamanku, Malik, tentang sebuah masalah, Beliau berkata: “Katakanlah,” lalu dia berwudhu, lalu duduk di atas kasur, dan berkata Laa Haula walaa quwwata illa billah, dan dia tidaklah berfatwa sampai dia mengatakan itu.” (Ibid, 7/161)

Ini menunjukkan kerendah hatian Imam Malik, sekaligus kehati-hatiannya dalam berfatwa.

Abu Salamah Al Khuza’i berkata:

كان مالك إذا أراد أن يخرج يُحَدِّث توضأ وضوءه للصلاة، ولبس أحسن ثيابه، ومشط لحيته، فقيل له فى ذلك، فقال: أوقر به حديث رسول الله – صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ –

Jika Imam Malik hendak keluar dan menyampaikan hadits, maka dia berwudhu seperti wudhunya shalat, memakai pakaian terbaik, dan menyisir jenggotnya, lalu ada yang bertanya tentang apa yang dilakukannya itu. Beliau menjawab: “Beginilah aku memuliakan hadits Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.” (Tahdzibul Asma wal Lughat, 2/76)

Habib Al Waraq  bertanya kepada Imam Malik tentang tiga orang laki-laki yang mana Imam Malik tidak mau meriwayatkan hadits darinya, Imam Malik menjawab:

يا حبيب، أدركت هذا المسجد وفيه سبعون شيخًا ممن أدرك أصحاب رسول الله – صلى الله عليه وسلم -، وروى عن التابعين، ولم نحمل الحديث إلا عن أهله

Wahai Habib, aku jumpai di masjid ini 70 orang syaikh yang pernah berjumpa dengan para sahabat Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam, dan meriwayatkan hadits dari tabi’in, tetapi kami tidaklah mengambil hadits kecuali dari yang memang ahlinya. (Ibid, 2/91)

Bisyr bin Umar Az Zahrani bertanya kepada Imam Malik tentang seorang laki-laki, Beliau menjawab: “Apakah kau lihat orang itu dalam kitabku?” Aku jawab: “Tidak”. Beliau berkata: “Seandainya dia tsiqah (bisa dipercaya) pastilah kau akan melihatnya ada dalam kitabku.”

Ali bin Al Madini berkata: “Tidaklah aku ketahui bahwa jika ada orang yang ditinggalkan haditsnya  oleh Malik, melainkan orang itu pasti haditsnya bermasalah.” (Imam Al Mizzi, Tahdzibul Kamal, 10/6-7)

Bersambung ..

🌷🍃🍄🌱🌾🌹🌴🌸

✍ Farid Nu’man Hasan

scroll to top