Hadits Tentang Shalat Isyraq, Dhaifkah?

🐾🐾🐾🐾🐾🐾🐾

📨 PERTANYAAN:

Aulia Zu:
Assalamualaikummau nanya ttg hadits keutamaan shalat isyraq/syuruq/awal Dhuha ama ustadz Farid nu’man.
Ttg ke shahihan hadist, dan keutamaan shalatnya.
Makasih

📬 JAWABAN

🍃🍃🍃🍃

Wa ‘Alaikum Salam wa Rahmatullah wa Barakatuh. Bismillah wal Hamdulillah wash Shalatu was Salamu ‘Ala rasulillah wa ba’d:

Kepada saudara penanya, hadits yang dtanyakan itu ada beberapa jalan, yakni sebagai berikut:

Hadits Pertama:

Dari Anas bin Malik Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

من صلى الصبح في ثم قعد يذكر الله حتى تطلع الشمس ثم صلى جماعةركعتين كانت له كأجر حجة وعمرة قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : تامة تامة تامة

“Barangsiapa yang shalat subuh berjamaah lalu dia duduk untuk berdzikir kepada Allah hingga terbit matahari kemudian shalat dua rakaat maka dia seperti mendapatkan pahala haji dan umrah.” Anas berkata: Rasulullah bersabda: “Sempurna, sempurna, sempurna.”

Dikeluarkan oleh:

– Imam At Tirmidzi dalam Sunannya No. 586, katanya: hasan gharib.
– Imam Al Baghawi dalam Syarhus Sunnah No. 710

Sanad hadits ini: Abdullah bin Muawiyah Al Jumahi Al Bashri, Abdul Aziz bin Muslim, Abu Zhilal, Anas bin Malik.

1. Abdullah bin Muawiyah. Dia adalah Abdullah bin Muawiyah bin Musa bin Abi Ghalizh bin Mas’ud bin Umayyah bin Khalaf Al Jumahi. Kun-yahnya Abu Ja’far.

Siapa Dia? Imam Ibnu Hibban memasukkannya dalam kitab Ats Tsiqaat – orang-orang terpercaya. (No. 13862). Imam At Tirmidzi mengatakan: dia orang shalih. Abbas Al Anbari mengatakan: tulislah hadits darinya, dia terpercaya. Maslamah bin Qasim mengatakan: terpercaya. (Tahdzibut Tahdzib, 6/38-39). Imam Adz Dzahabi mengatakan: seorang imam, ahli hadits, jujur, musnid-nya kota Bashrah, usianya sampai 100 tahun. (Siyar A’lamin Nubala, 11/435)

2. Abdul Aziz bin Muslim. Dia adalah Abdul Aziz bin Muslim Al Qasmali Al Khurasani Al Bashri. Kun-yahnya Abu Zaid.

Imam Adz Dzahabi mengatakan: dia seorang imam, ahli ibadah, salah satu orang terpercaya. (Siyar A’lamin Nubala, 7/240). Imam Ibnu Hibban memasukkannya dalam kitab Ats Tsiqaat. (No. 9254). Yahya bin Ma’in mengatakan: laa ba’sa bihi – tidak ada masalah. Abu Hatim mengatakan: haditsnya bagus dan terpercaya. (Mizanul I’tidal, 2/635)

3. Abu Zhilal. Dia adalah Hilal bin Abi Suwaid Al Qasmali Al Bashri kawan dari Anas bin Malik

Siapakah Abu Zhilal? Imam At Tirmidzi bertanya kepada Imam Al Bukhari, katanya: “Dia muqaribul hadits (haditsnya mendekati shahih), namanya Al Hilal.” (Sunan At Tirmidzi No. 586). Segenap ulama mendhaifkannya, Yahya bin Ma’in mengatakan: dhaif, bukan apa-apa. An Nasa’i dan Al Azdi mengatakan: dhaif. Ibnu Hibban mengatakan: seorang syaikh yang lalai, tidak bisa dijadikan hujjah. Ya’qub bin Sufyan mengatakan: layyinul hadits – haditsnya lemah. Abu Ahmad Al Hakim mengatakan: bukan termasuk orang yang kokoh. (Tahdzibut Tahdzib, 11/85)

4. Anas bin Malik. Dia adalah sahabat nabi yang masyhur, dan mendengarkan hadits ini langsung dari nabi.

Nah, kepada para pembaca .. khususnya saudara penanya ….

Dari semua perawi yang ada, semuanya tsiqah kecuali Abu Zhilal yang didhaifkan umumnya para imam, kecuali Imam Bukhari yang menyebutnya muqaribul hadits. Inilah yang menyebabkan sanad hadits ini memiliki cacat menurut pihak MTA yang Sdr. penanya sebutkan.

Kenyataannya Imam At Tirmidzi tidak mendhaifkannya, dia menghasankannya, sebab hadits seperti ini ada dalam berbagai riwayat lain yang menjadi syawahid (saksi yang menguatkan). Telah ma’ruf bagi para peneliti hadits, bahwa sanad yang dhaif (lemah) bisa terangkat menjadi hasan bahkan shahih jika dikuatkan oleh hadits-hadits serupa di berbagai jalur lainnya. Inilah yang barangkali pihak MTA kurang memperhatikannya. Wallahu A’lam

Imam An Nawawi mengatakan:

بل ما كان ضعفه لضعف حفظ رايه الصدوق الأم

ين زال بمجيئه من وجه آخر وصار حسناً، وكذا إذا كان ضعفه بالإرسال زال بمجيئه من وجه آخر

Tetapi jika hadits dhaif itu kedhaifannya disebabkan adanya satu perawi yang lemah hapalannya tapi dia orang jujur dan amanah, lalu dikuatkan oleh jalur riwayat yang lain maka hadits itu menjadi hasan. Begitu pula jika kedhaifannya karena mursal (terputusnya sanad pada salah satu thabaqat – generasi perawi hadits, pen), maka dia juga gugur kedhaifannya jika ada hadits serupa dari jalur lainnya. (At Taqrib wat Taisir Lima’rifatis Sunan Al Basyir An Nadzir, Hal. 2)

Abu Zhilal bukanlah seorang pendusta dan bukan pemalsu hadits, tetapi dia orang yang lemah hapalannya, dan sanad hadits ini pun bersambung. Oleh karena itu, berkata Syaikh Abul Hasan Al Mubarkafuri Rahimahullah :

وإنما حسن الترمذي حديثه لشواهده، منها: حديث أبي أمامة عند الطبراني، قال المنذري في الترغيب، والهيثمي في مجمع الزوائد (ج10: ص104) : إسناده جيد، ومنها: حديث أبي أمامة، وعتبة بن عبد عند الطبراني أيضاً. قال المنذري: وبعض رواته مختلف فيه. قال: وللحديث شواهد كثيرة-انتهى

Sesungguhnya penghasanan At Tirmidzi terhadap hadits ini karena banyaknya riwayat yang menjadi penguat (syawahid), di antaranya hadits Abu Umamah yang diriwayatkan Ath Thabarani, yang oleh Al Mundziri dalam At Targhib dan Al Haitsami dalam Majma’ Az Zawaid (10/104) dikatakan: “Isnadnya jayyid, di antaranya hadits Umamah dan ‘Utbah bin Abd yang diriwayatkan Ath Thabarani juga. Al Mundziri mengatakan: “Sebagian perawinya diperselisihkan.” Dia katakan: “Hadits ini memiliki banyak syawaahid (saksi yang menguatkannya).” (Mir’ah Al Mafatih, 3/328)

Begitu pula dikatakan oleh Imam Abul ‘Ala Al Mubarkafuri Rahimahullah:

حَسَّنَهُ التِّرْمِذِيُّ فِي إِسْنَادِهِ أَبُو ظِلَالٍ وَهُوَ مُتَكَلَّمٌ فِيهِ لَكِنْ لَهُ شَوَاهِدُ فَمِنْهَا حَدِيثُ أَبِي أُمَامَةَ

Dihasankan oleh At Tirmidzi, dalam isnadnya terdapat Abu Zhilal, dia diperbincangkan keadaannya, tetapi hadits ini memiliki banyak penguat di antara hadits Abu Umamah. (Tuhfah Al Ahwadzi, 3/158)

Jadi, hadits di atas selain dihasankan oleh Imam At Tirmidzi, juga dihasankan oleh Imam An Nawawi. (Al Khulashah Al Ahkam, 1/470), lalu Imam Zainuddin Al ‘Iraqi juga turut menghasankannya. (Takhrijul Ihya, Hal. 396), Imam Al Baghawi juga mengikuti penghasanan At Tirmidzi. (Syarhus Sunnah No. 710), Dihasankan oleh Syaikh Abul Hasan Al Mubarkafuri (Mir’ah Al Mafatih, 3/328), juga oleh Imam Abul ‘Ala Al Mubarkafuri. (Tuhfah Al Ahwadzi, 3/158). Syaikh Al Albani juga menghasankannya. (Misykah Al Mashabih No. 971), dan menshahihkan dalam kitab lainnya. (Shahihul Jami’ No. 6346, Shahihut Targhib No. 464)

Tentang kehujjahan hadits hasan, Imam An Nawawi mengutip dari Imam Al Khathabi Rahimahullah:

ويقبله أكثر العلماء، ويستعمله عامة الفقهاء

Diterima oleh mayoritas ulama, dan dipakai oleh semua fuqaha (ahli fiqih). (At Taqrib, Hal. 2)

Maka hadits ini tidak hanya diakui oleh Syaikh Al Albani. Para ulama yang telah menghasankan dan menshahihkan hadits ini sangat banyak.

Hadits Kedua:

Inilah riwayat yang dimaksud oleh Syaikh Abul Hasan Al Mubarkafuri dijadikan sebagai penguat hadits Imam At Tirmidzi di atas.

Dari Abu Umamah Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

من صلى صلاة الغداة في جماعة ثم جلس يذكر الله حتى تطلع الشمس ثم قام فصلى ركعتين انقلب بأجر حجة وعمرة

“Barangsiapa yang shalat subuh berjamaah lalu kemudian dia duduk untuk berdzikir kepada Allah hingga terbitnya matahari, kemudian dia bangun mengerjakan shalat dua rakaat, maka dia mendapatkan pahala sebagaimana haji dan umrah.”

Dikeluarkan oleh:

– Imam Ath Thabarani dalam Al Mu’jam Al Kabir No. 7741, juga dalam Musnad Asy Syamiyyin No. 885.

– Alauddin Al Muttaqi Al Hindi dalam Kanzul ‘Ummal No. 3542.

Hadits ini sanadnya kuat, dan dapat dijadikan sebagai syahid bagi hadits di atas. Imam Al Haitsami mengatakan: “Sanadnya Jayyid.” (Majma’ Az Zawaid, 10/104, No. 16938). Imam Al Mundziri juga mengatakan sanadnya jayyid. (At Targhib wat Tarhib No. 467). Syaikh Al Albany mengatakan: “Hasan Shahih.” (Shahih At Targhib wat Tarhib, No. 467)

Hadits Ketiga:

Dari Abdullah bin Ghabir, bahwa Abu Umamah dan ‘Utbah bin Abd As Sulami Radhiallahu ‘Anhuma mengatakan, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

من صلى صلاة الصبح في جماعة ثم ثبت حتى يسبح لله سبحة الضحى كان له كأجر حاج ومعتمر تاما له حجه وعمرته

“Barangsiapa yang shalat subuh secara berjamaah kemudian dia berdiam (berdzikir) sampai datang waktu dhuha, maka dia akan mendapatkan ganjaran seperti haji dan umrah secara sempurna.”

Dikeluarkan oleh:

– Imam Ath Thabarbani, Al Mu’jam Al Kabir No. 317
– Imam Al Mundziri, At Targhib wat Tarhib No. 469

Imam Al Mundziri menguatkan hadits ini dengan mengatakan:

رواه الطبراني وبعض رواته مختلف فيه وللحديث شواهد كثيرة

Diriwayatkan oleh Ath Thabarani, sebagian perawinya masih diperselisihkan kekuatannya, namun hadits ini memiliki banyak syawaahid (berbagai penguat). (At Targhib wat Tarhib No. 469)

Begitu pula Imam Al Haitsami mengatakan:

فيه: الأحوص بن حكيم، وثقه العجلي وغيره، وضعفه جماعة، وبقية رجاله ثقات، وفي بعضهم خلاف لا يضر

Di dalam sanadnya terdapat Al Ahwash bin Hakim, dia ditsiqahkan oleh Al ‘Ajli dan lainnya, namun segolongan ulama mendhaifkannya, sedangkan para perawi lainnya adalah terpercaya, dan tentang sebagian mereka ada yang masih diperselisihkan tetapi tidak apa-apa. (Majma’ Az Zawaid, 10/104)

Syaikh Al Albani mengatakan hasan lighairih. (Shahih At Targhib wat Tarhib No. 469)

Selesai …………..

Dengan uraian ini, telah nampak bahwa hadits ini kuat dan maqbul (bisa diterima). Para ulama yang menegaskan ini begitu banyak, seperti:

– Imam At Tirmidzi
– Imam Al Baghawi
– Imam An Nawawi
– Imam Zainuddin Al ‘Iraqi
– Imam Nuruddin Al Haitsami
– Imam Al Mundziri
– Imam Abul ‘Ala Al Mubarkafuri
– Syaikh Abul Hasan Al Mubarkafuri
– Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani Rahimahumullah …

Maka, hadits ini tidak hanya dikuatkan oleh Syaikh Al Albani saja, melainkan juga oleh banyak para imamul muhadditsin dan ulama Islam lainnya.

Wallahu A’lam wa Shallallahu ‘Ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘Ala Aalihi wa Shahbih wa sallam

🌷🌾🌿🌻🌸🍃☘🍁

✏ Farid Nu’man Hasan

Hukum Panggilan “Haji”

💢💢💢💢💢💢💢

Panggilan haji, sudah berlangsung berabad-abad di banyak negeri muslim. Mereka tidak ada yang mengingkari satu sama lain.

Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu ‘Anhu:

ما رأى المسلمون حسنا فعند الله حسن

Apa yang dilihat baik oleh kaum muslimin, maka di sisi Allah juga baik. (HR. Al Hakim, shahih mauquf dari Ibnu Mas’ud)

Maka, penggelaran dan panggilan Haji bagi mereka yang aman hatinya, tidak bermaksud riya’, boleh saja .. tidak ada ayat Al Qur’an dan As Sunnah melarangnya. Dan Hujjah itu adalah Al Qur’an dan As Sunnah. Ada pun yang terlarang adalah bagi mereka yang memang bermaksud riya’ atas panggilan itu.

Kita simak penjelasan berikut:

فتلقيب الإنسان بما يحب مستحب شرعاً، أما بما يكره فمعصية، قال النووي رحمه الله تعالى في المجموع: اتفق العلماء على تحريم تلقيب الإنسان بما يكره سواء كان صفة له أو لأبيه أو لأمه، واتفقوا على جواز ذكره بذلك على جهة التعريف لمن لا يعرفه إلا بذلك، واتفقوا على استحباب اللقب الذي يحبه صاحبه، فمن ذلك أبو بكر الصديق اسمه عبد الله بن عثمان ولقبه عتيق، ومن ذلك أبو تراب لقب لعلي بن أبي طالب. انتهى.
ومن هذا يتبين جواز تلقيب من حج بالحاج إذا لم يخش منه عجب أو رياء

Pemberian panggilan gelar kpd manusia dgn apa yang disukainya adalah MUSTAHAB (Sunnah) menurut syariat, ada pun gelar dengan yang dibencinya adalah Maksiat.

Imam An Nawawi Rahimahullah menjelaskan dalam Al Majmuu’ :

“Mereka (para ulama) sepakat bahwa haramnya menggelari manusia dengan apa yang dibencinya, sama saja apakah sifat itu ada pada dirinya, ayahnya, atau ibunya.

Mereka juga sepakat BOLEHnya menggelari dengan tujuan agar dikenali dirinya dengan itu.

Mereka juga sepakat istihbab (sunah) menggelari dengan gelar yang disukai oleh pemiliknya. Misalnya: Abu Bakar As Shiddiq, nama aslinya Abdullah bin Utsman, digelari ‘atiiq. Begitu pula Ali bin Abi Thalib, digelari Abu Thurab.

Dari sini, jelaslah kebolehan gelar haji bagi jamaah haji, selama aman dari ‘ujub dan riya’. (Selesai dari Fatawa Islam web)

Maka, pada prinsipnya tidak masalah. Terpenting adalah bagaimana menjaga perilakunya setelah menyandang gelar haji, jangan sampai gelar atau panggilan itu hanyalah panggilan kosong tanpa makna.

Wallahu a’lam

🌴🌷🌱🌸🍃🌾🌵🌹🍄

✍ Farid Nu’man Hasan

Jumroh di Hari-Hari Tasyriq Sebelum Fajar, TIDAK SAH Menurut Kesepakatan Ulama

💢💢💢💢💢💢💢

✍ Yang dimaksud adalah jumrah di tanggal 11, 12, 13 Zulhijjah. Dengan rincian;

📙Jika ingin jumroh di tanggal 11 Zulhijah maka baru sah jika dilakukan setelah subuh ditanggal 11

📘 begitu pula jika ingin tanggal 12 baru sah setelah subuh,.. begitu pula bagi yang 13 Zulhijjah.

📌 Ada pun maksud sebelum fajar, yaitu sebelum Fajar Shadiq, yaitu sebelum waktu subuh. Bukan sebelum zawal, ini dua istilah dan waktu yang berbeda. Zawal matahari artinya matahari telah tergelincir yaitu di waktu siang sudah masuk waktu Zuhur.

📌 Para ulama menjelaskan, bahwa TIDAK ADA KHILAFIYAH bahwa tidak sahnya lontar jumrah tgl 11 dilakukan sebelum Subuhnya, atau lontar untuk 12 dilakukan sebelum Subuhnya.

Syaikh Husamuddin ‘Afanah mengatakan dalam Kutaib beliau yang berjudul “Fatawa Syaadzah Tujizu Ramyal Jamaraat Lil Yaumi Tsaniy min Ayyamit Tasyriq fi Al Lailah As Saabiqah” – Fatwa Nyeleneh Yang Membolehkan Melempar Jumrah hari kedua Tasyriq (12 Zulhijjah) dilakukan Dimalam Hari Sebelumnya.

Beliau berkata:

قالوا لا بدَّ أن يكون الرميُ بعد الفجر، ولم يقلْ أحدٌ منهم فيما أعلم بجواز الرمي قبل الفجر

Mereka (Para ulama) mengatakan bahwa HARUS melempar itu dilakukan SETELAH FAJAR (ba’dal fajr), dan TIDAK ADA SEORANG PUN ULAMA YANG MEMBOLEHKANNYA SEBELUM FAJAR. (Selesai)

Begitu pula disampaikan para ulama lainnya:

السؤال
هل يجوز رمي الجمرات للمتعجل يوم 12 ذو الحجة قبل الفجر؟
الإجابــة

الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله وعلى آله وصحبه أما بعد:

فلا يجوز رمي الجمار في أيام التشريق -ومنها يوم التعجل- إلا بعد الزوال، وإلى هذا ذهب جمهور أهل العلم، وذهب أبو حنيفة في رواية عنه إلى جوازه قبل الزوال وبعد طلوع الشمس، كما في العناية شرح الهداية وغيرها من كتب الحنفية، وأما قبل الفجر فلم يقل به أحد فيما نعلم. والله أعلم.
الفتوى التالية الفتوى السابقة

Pertanyaan:

Bolehkah menyegerakan melontar jumroh tgl 12 Zulhijjah di lakukan SEBELUM FAJAR?

Jawaban:

Tidak boleh melontar jumroh di hari-hari tasyriq, kecuali setelah zawal. Inilah madzhab JUMHUR ulama.

Adapun Abu Hanifah membolehkan Sebelum Zawal dan SESUDAH TERBITNYA MATAHARI. Sebagaimana dalam Al ‘Inayah Syarh Al Hidayah, salah satu kitab Hanafiyah.

Adapun SEBELUM FAJAR, maka TIDAK ADA SATU PUN ULAMA YANG MENGATAKANNYA sejauh yang kami ketahui.

Wallahu A’lam

(Fatwa No. 15125)

Dalam fatwa yang lain jga disebutkan (No. 116545):

الرمي قبل طلوع الفجر أصلاً فلم يقل به أحدٌ من العلماء فيما نعلم، وعليه فإنه يلزمكم دمٌ لترك رمي الجمرات ذلك اليوم، لقول ابن عباسٍ رضي الله عنهما: من تركَ شيئاً من نسكه أو نسيه فعليه دم

Ada pun melempar jumroh sebelum TERBIT FAJAR, MAKA TIDAK ADA SATUPUN ULAMA YANG MENGATAKANNYA sejauh yang kami tahu, maka wajib baginya bayar DAM karena dia meninggalkan jumroh di hari itu. Ini berdasarkan perkataan Ibnu Abbas:

Barang siapa yg meninggalkan bagian dari manasiknya atau dia lupa maka wajib dam atasnya. (Selesai)

Demikian. Semoga bermanfaat.

Wallahul Muwafiq ila Aqwamith Thariq

🍃🍀🌷🎋🌸☘🌹

✍ Farid Nu’man Hasan

Nafar Awal dan Nafar Tsani: Sama-Sama Sunnah Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam

💢💢💢💢💢💢

Disebutkan dalam Sunan Abi Daud:

عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ يَعْمَرَ الدِّيلِيِّ قَالَ
أَتَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ بِعَرَفَةَ فَجَاءَ نَاسٌ أَوْ نَفَرٌ مِنْ أَهْلِ نَجْدٍ فَأَمَرُوا رَجُلًا فَنَادَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَيْفَ الْحَجُّ فَأَمَرَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَجُلًا فَنَادَى الْحَجُّ الْحَجُّ يَوْمُ عَرَفَةَ مَنْ جَاءَ قَبْلَ صَلَاةِ الصُّبْحِ مِنْ لَيْلَةِ جَمْعٍ فَتَمَّ حَجُّهُ أَيَّامُ مِنًى ثَلَاثَةٌ فَمَنْ تَعَجَّلَ فِي يَوْمَيْنِ فَلَا إِثْمَ عَلَيْهِ وَمَنْ تَأَخَّرَ فَلَا إِثْمَ عَلَيْهِ

Dari Abdurrahman bin Ya’mar Ad Dili, ia berkata:

Aku datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan beliau sedang di Arafah. Kemudian datang beberapa orang dari penduduk Najed, kemudian mereka memerintahkan seorang laki-laki untuk bertanya kepada Rasulullah Shallallahu wa’alaihi wa sallam: “Bagaimana berhaji itu?”

Kemudian Rasulullah Shallallahu wa’alaihi wa sallam memerintahkan seseorang agar mengumumkan:

“Haji adalah pada hari ‘Arafah, barang siapa yang datang sebelum shalat Subuh semenjak malam di Muzdalifah maka Hajinya telah sempurna, hari-hari di Mina ada tiga, barang siapa yang menyegerakan dalam dua hari (Nafar Awal) maka tidak ada dosa padanya dan barang siapa yang menunda (Nafar Tsani) maka tidak ada dosa baginya.

(HR. Abu Daud No. 1664, shahih)

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam merestui keduanya, dan keduanya sama-sama ada dalam sunnah qauliyah (Sunnah perkataan). Hanya saja Beliau Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam memilih Nafar Tsani untuk menghindar berdesakannya manusia pada saat itu (haji wada’), namun keduanya sama-sama boleh dilakukan.

Imam Abul Hasan Al Mawardi Rahimahullah berkata:

فَالنَّفْرُ الأولى فِي الْيَوْمِ الثَّانِيَ عَشَرَ وَالنَّفْرُ الثَّانِي فِي الْيَوْمِ الثَّالِثَ عَشَرَ فَإِنْ نَفَرَ فِي الْيَوْمِ الْأَوَّلِ كَانَ جَائِزًا وَسَقَطَ عَنْهُ الْمَبِيتُ بِمِنًى فِي لَيْلَتِهِ وَسَقَطَ عَنْهُ رَمْيُ الْجِمَارِ مِنْ غَدِهِ
وَأَصْلُ ذَلِكَ الْكِتَابُ وَالسُّنَّةُ وَإِجْمَاعُ الْأُمَّةِ 

Maka, Nafar pertama di hari ke 12 dan Nafar kedua di hari 13. Sesungguhnya Nafar Awal adalah boleh, dan gugurlah bermalam di Mina pada malam harinya dan gugurlah pula kewajiban jumroh keesokannya.

Dasar hal ini adalah Al Qur’an, As Sunnah, dan Ijma’ umat. (Al Hawi Al Kabir, 4/199)

Maka, siapa yang menjalankan Nafar Awal maka dia menjalankan Sunnah Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan yang menjalankan Nafar Tsani dia juga menjalankan Sunnah Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.

Kondisi-kondisi yang mengitarinyalah yang membuat mana yang mesti dipilih. Bagi jamaah haji yang masih muda, sehat, bisa jadi kuat berlama-lama di Mina sampai 13 Dzulhijjah (Nafar Tsani), bisa jadi ini lebih utama bagi mereka. Tapi, jika jamaah banyak yang sepuh, tidak kuat dengan cuaca, perjalanan jauh, sakit, hiruk pikuk, tentu Nafar Awal lebih pas bagi mereka untuk mencegah potensi madharatnya.

So, masalah ini pertimbangannya bukan hanya sisi Syara’, tapi juga variabel lainnya.

Wallahu a’lam wa Lillahil ‘Izzah

🍀☘🌹🌸🍃🎋🌷

✍ Farid Nu’man Hasan

scroll to top