Shalat Gerhana, Haruskah Membaca Al Baqarah dan Ali Imran?

💥💦💥💦💥💦

📨 PERTANYAAN:

Asslmkm mau bertanya ke ustadz Farid terkait fiqih gerhana. Ada imam masjid saya yang bilang (seraya merujuk pada hadits Aisyah ra tentang fiqih gerhana ini) bahwa bacaan pada rakaat pertanma disunnahkan Albaqarah dan rakaat kedua Ali Imran. Padahal dalam pembahasan yg disampaikan Ustadz Farid, tidak ada sama sekali surat yg khusus dibacakan di sholat gerhana
kira2 apa ada dalil lain yang mensunnahkan Albaqarah dan Ali Imran di rakaat pertama dan kedua

📬 JAWABAN

Wa’alaikumussalam… Ya, tidak ada dalam keterangan As Sunnah kekhususannya, termasuk dalam hadits ‘Aisyah. Yang ada adalah faqra’a Rasulullah qira-atan thawiilah (lalu Rasulullah membaca dengan bacaan yang panjang). Tanpa disebutkan Al Baqarah dan Ali Imran. Mungkin itu tambahan atau contoh dari dia.

Jadi, silahkan mau baca Al Baqarah dirakaat pertama,  lalu yang kedua Ali Imran, atau apa saja. Disesuaikan dengan kemampuan jamaah mengikutinya.

Wallahu a’lam

☘🌻🌺🌴🍃🌷🌾🌸

✏ Farid Nu’man Hasan

Tafsir Surat Al Mulk (Bagian 13)

📂 Nikmat Pendengaran, Penglihatan dan Hati Nurani

📌 Teks Ayat

قُلْ هُوَ الَّذِي أَنْشَأَكُمْ وَجَعَلَ لَكُمُ السَّمْعَ وَالْأَبْصَارَ وَالْأَفْئِدَةَ قَلِيلًا مَا تَشْكُرُونَ (23) قُلْ هُوَ الَّذِي ذَرَأَكُمْ فِي الْأَرْضِ وَإِلَيْهِ تُحْشَرُونَ (24)

Terjemah

23- Katakanlah,”Dialah yang menciptakan kamu dan menjadikan pendengaran, penglihatan, dan      hati nurani bagi kamu, (tetapi) sedikit sekali kamu bersyukur.

24- Katakanlah,”Dialah yang menjadikan kamu berkembang biak dimuka bumi, dan hanya kepadanya kamu akan dikumpulkan ( QS. Al Mulk:23-24)

📌 Tinjauan Bahasa

السَّمْعَ

Pendengaran

وَالْأَبْصَارَ

Penglihatan

وَالْأَفْئِدَةَ

Hati nurani

قَلِيلًا مَا تَشْكُرُونَ

Sedikit sekali kamu bersyukur

📌 Kandungan Ayat

Setelah Allah menggambarkan sekian banyak nikmat yang telah diberika kepada manusia berupa, bumi serta isinya, kekuasaan Allah pada burung yang terbang, kemudian Allah mengungkap nikmat-Nya yang dekat dalam diri manusia. Kesempurnaan manusia berupa fisik yang dalam diri manusia adalah anugerah Allah kepada hamba-Nya, adakah diantara mereka semakin bersyukur atau kufur.

Para ulama berbeda pendapat tentang manakah yang lebih utama antara pendengaran atau penglihatan?

Ibnu Asyur menukil dalam tafsirnya:

وَفِي تَقْدِيمِ السَّمْعِ عَلَى الْبَصَرِ فِي مَوَاقِعِهِ مِنَ الْقُرْآنِ دَلِيلٌ عَلَى أَنَّهُ أَفْضَلُ فَائِدَةً لِصَاحِبِهِ مِنَ الْبَصَرِ فَإِنَّ التَّقْدِيمَ مُؤْذِنٌ بِأَهَمِّيَّةِ الْمُقَدَّمِ وَذَلِكَ لِأَنَّ السَّمْعَ آلَةٌ لِتَلَقِّي الْمَعَارِفِ الَّتِي بِهَا كَمَالُ الْعَقْلِ، وَهُوَ وَسِيلَةُ بُلُوغِ دَعْوَةِ الْأَنْبِيَاءِ إِلَى أَفْهَامِ الْأُمَمِ عَلَى وَجْهٍ أَكْمَلَ مِنْ بُلُوغِهَا بِوَاسِطَةِ الْبَصَرِ لَوْ فَقَدَ السَّمْعَ، وَلِأَنَّ السَّمْعَ تَرِدُ إِلَيْهِ الْأَصْوَاتُ الْمَسْمُوعَةُ مِنَ الْجِهَاتِ السِّتِّ بِدُونِ تَوَجُّهٍ، بِخِلَافِ الْبَصَرِ فَإِنَّهُ يَحْتَاجُ إِلَى التَّوَجُّهِ بِالِالْتِفَاتِ إِلَى الْجِهَاتِ غَيْرِ الْمُقَابِلَةِ.

Didahulukannya kalimat “ as sam’u (mendengar) dari “al basharu” (melihat) didalam Al Qur’an merupakan petunjuk bahwa pendengaran lebih utama dari penglihatan, penyebutan lebih awal terhadap sesuatu karena sesuatu tersebut memiliki urgensi, pendengaran adalah alat untuk menyerap pengetahuan yang merupakan unsur pembentuk kesempurnaan akal. Ia juga sarana sampainya dakwan nabi kepada pemahaman umat, dalam bentuk yang lebih sempurna dari sarana penglihatan, bila pendengaran hilang. Pendengaran pula dapat menyerap suara dari enam penjuru tanpa batas arah, sedangkan penglihatan, membutuhkan arah tertentu. ( Ibnu Asyur, at Tahrir wa Tanwir,1/258)

Ibnu Abbas dalam tafsirnya mengatakan,” Fungsi pendengaran, penglihatan dan hati nurani adalah untuk mengungkap dan mengikuti kebenaran dan petunjuk Allah, namun sedikit diantara manusia yang bersyukur, kebanyakan manusia tak pandai bersyukur atas nikmat Allah yang dirasa baik sedikit maupun banyak.”(Tafsir Ibnu Abbas,1/460)

Kekhususan tiga panca indera diatas ( pendengaran, pemglihatan dan hati) karena ketiganya merupakan sarana paling jelas untuk mendengar, melihat dan memahami kekuasaan Allah Subhanahu wataala, lalu mengapa orang-orang kafir dan orang-orang lalai itu enggan bersyukur?

(Muhammad Amin Alawi Al Harary,Hadaiq Ruh wa Raihan, 30/45)

🌺🌸🍃🌹🍀🌾🌴🌾

✏ Fauzan Sugiono

Serial Tafsir Surat Al Mulk:

Tafsir Surat Al Mulk ( Bagian 1) Gambaran Umum Surat Al Mulk

Tafsir Surat Al Mulk ( Bagian 2)

Tafsir Surat Al Mulk ( Bagian 3) Amal Terbaik

Tafsir Surat Al Mulk ( Bagian 4) Allah Menciptakan Tujuh Langit Berlapis-lapis

Tafsir Surat Al Mulk ( Bagian 5) Bintang dilangit dijadikan Allah alat pelempar syetan

Tafsir Surat Al Mulk ( Bagian 6) ILUSTRASI MURKA NERAKA KEPADA ORANG-ORANG KAFIR

Tafsir Surat Al Mulk ( Bagian 7) PENYESALAN ORANG-ORANG KAFIR

Tafsir Surat Al Mulk ( Bagian 8) ALLAH MENGETAHUI YANG TERSEMBUYI DAN NYATA

Tafsir Surat Al Mulk ( Bagian 9) ALLAH MAHA PEMBERI RASA AMAN

Tafsir Surat Al Mulk ( Bagian 10) DESKRIPSI KEKUASAAN ALLAH PADA SEEKOR BURUNG

Tafsir Surat Al Mulk ( Bagian 11) ALLAH MAHA PENOLONG, ALLAH PEMBERI REZEKI

Tafsir Surat Al Mulk ( Bagian 12) Perumpamaan Orang Yang Mendapat Petunjuk

Tafsir Surat Al Mulk ( Bagian 13) Nikmat Pendengaran, Penglihatan dan Hati Nurani

Tafsir Surat Al Mulk ( Bagian 14) Hanya Allah Yang Maha Tahu Kapan Datangnya Hari Kiamat

Tafsir Surat Al Mulk ( Bagian 15) Adzab yang Dinantikan Akhirnya Datang

Tafsir Surat Al Mulk ( Bagian 16) Allah Maha Mematikan dan Memberi Rahmat, Tawakal Hanya Kepada-Nya, serta Dia Maha Pemberi Nikmat air

Pro Kontra Membaca Al Quran Buat Mayit

💢💢💢💢💢💢

A. Para Imam Ahlus Sunnah Yang MEMBOLEHKAN Membaca Al Quran Untuk Mayit

1.  Abdullah bin Amru bin Al ‘Ash Radhiallahu ‘Anhuma

Beliau adalah seorang sahabat Nabi, ayahnya adalah  Amr bin Al ‘Ash, Gubernur Mesir pada masa Khalifah Umar. Dalam kitab Syarh Muntaha Al Iradat, disebutkan demikian:

وَعَنْ ابْنِ عَمْرٍو أَنَّهُ كَانَ يُسْتَحَبُّ إذَا دُفِنَ الْمَيِّتُ أَنْ يَقْرَأَ عِنْدَ رَأْسِهِ بِفَاتِحَةِ سُورَةِ الْبَقَرَةِ وَخَاتِمَتِهَا ، رَوَاهُ اللَّالَكَائِيُّ ، وَيُؤَيِّدُهُ عُمُومُ { اقْرَءُوا يس عَلَى مَوْتَاكُمْ }

Dari  Abdullah bin Amru, bahwa dia menganjurkan jika mayit dikuburkan hendaknya dibacakan pembuka  surat Al Baqarah, dan akhir surat Al Baqarah. Ini diriwayatkan oleh Imam Al Lalika’i. Hal ini dikuatkan oleh keumuman hadits: Bacalah Yasin kepada orang yang menghadapi sakaratul maut. (Imam Al Bahuti, Syarh Muntaha Al Iradat, 3/16. Mawqi’ Al Islam)

Hanya saja dalam kitab ini tidak disebutkan validitas riwayat tersebut, apakah shahih  dari Ibnu Amr?
Tetapi, ada riwayat dari Muhammad bin Al Jauhari, dia berkata, telah mengabarkan kepadaku  Mubasysyir, dari ayahnya, bahwa dia berwasiat jika dikuburkan maka hendaknya dibacakan surat Al Fatihah, Al Baqarah, dan sampai selesai membacanya. Aku mendengar bahwa Ibnu Amru juga mewasiatkan demikian.  (Imam Ibnu Qudamah, Al Mughni, 5/78)

Mubaysyir ini dinilai tsiqah (bisa dipercaya) oleh Imam Ahmad.

2.  Imam Asy Syafi’i Rahimahullah

Tercatat dalam kitab Riyadhushshalihin:

قال الشَّافِعِيُّ رَحِمهُ اللَّه: ويُسْتَحَبُّ أن يُقرَأَ عِنْدَهُ شيءٌ مِنَ القُرآنِ، وَإن خَتَمُوا القُرآن عِنْدهُ كانَ حَسن

Berkata Asy Syafi’i Rahimahullah: disukai membaca Al Quran di sisi kubur dan jika sampai khatam maka itu bagus. (Hal. 295, Muasasah Ar Risalah)

Kitab Riyadhushshalihin disusun sejak delapan Abad yang lalu, tidak ada yang meragukan  pernyataan ini, sampai akhirnya Syaikh Al Albani meragukannya,  sebab menurutnya dalam madzhab Asy Syafi’i yang masyhur justru tidak sampainya bacaan Al Quran untuk mayit.

Namun dalam kitab yang lain, yakni Al Qira’ah ‘Indal Qubur, karta Abu Bakar Al Khalal, terdapat riwayat pembolehan membaca Al Quran di kubur oleh Imam Asy Syafi’i.

Abu Bakar Al Khalal berkata:

أخبرني روح بن الفرج ، قال : سمعت الحسن بن الصباح الزعفراني ، يقول : « سألت الشافعي عن القراءة عند القبر فقال : لا بأس به »

Mengabarkan kepadaku Ruh bin Al Faraj, katanya: Aku mendengar Al Hasan bin Ash Shabaah Az Za’farani berkata: “Aku bertanya kepada Asy Syafi’i tentang membaca Al Quran di sisi kubur, Beliau menjawab: Tidak apa-apa.” (Lihat riwayat No. 6)

Nah, dari sini kita mendapatkan keterangan dari Imam Asy Syafi’i.

Pertama, Beliau menyatakan TIDAK SAMPAI pahala bacaan Al Quran buat mayit seperti yang dikisahkan Imam Ibnu Katsir, dan ini menjadi pendapat yang masyhur golongan Syafi’iyah.

Kedua, Beliau membolehkan membaca Al Quran di sisi kubur, bahkan jika sampai khatam itu adalah bagus. Sebagaimana dikatakan Imam Abu Bakar Al Khalal dan Imam An Nawawi.

Jika keduanya shahih dari Imam Asy Syafi’i, maka apakah memang baginya kedua hal ini berbeda? Mengirim pahala adalah satu hal, sedangkan membaca di sisi kubur adalah hal yang lain?  Yang satu tidak sampai pahalanya berdalil surat An Najm ayat 39, yang satu dibolehkan karena untuk mencari berkahnya Al Quran bagi mayit? Wallahu A’lam

3.  Imam Ahmad bin Hambal Rahimahullah

Imam Ibnu Qudamah Rahimahullah mengatakan dalam kitabnya, Syarhul Kabir:

وقال أحمد ويقرءون عند الميت إذا حضر ليخفف عنه بالقرآن يقرأ (يس) وأمر بقراءة فاتحة الكتاب

Berkata Ahmad: bahwa mereka membacakan Al Quran (surat Yasin) pada sisi mayit untuk meringankannya, dan juga diperintahkan membaca surat Al Fatihah. (Imam Ibnu Qudamah, Syarh Al Kabir, 2/305. Darul Kitab Al ‘Arabi).

Imam Al Bahuti juga mengatakan:

قَالَ أَحْمَدُ : الْمَيِّتُ يَصِلُ إلَيْهِ كُلُّ شَيْءٍ مِنْ الْخَيْرِ مِنْ صَدَقَةٍ أَوْ صَلَاةٍ أَوْ غَيْرِهِ لِلْأَخْبَارِ

Imam Ahmad mengatakan, bahwa  semua bentuk amal shalih dapat sampai kepada mayit baik berupa doa, sedekah, dan amal shalih lainnya, karena adanya riwayat tentang itu. (Syarh Muntaha Al Iradat, 3/16)

Imam Ibnu Qudamah mengatakan, diriwayatkan dari Imam Ahmad bin Hambal, beliau berkata: “Jika kalian memasuki kuburan maka bacalah ayat kursi tiga kali, qul huwallahu ahad, kemudian katakan: Allahumma inna fadhlahu li Ahlil Maqabir.” (Al Mughni, 5/78)

Dahulu Imam Ahmad membid’ahkan membaca Al Quran di kuburan, lalu dia meralat pendapatnya itu. Imam Ibnu Qudamah menceritakan perubahan pada Imam Ahmad tersebut, sebagai berikut:

Diceritakan, bahwa Imam Ahmad melarang Dharir untuk membaca Al Quran di kuburan, Imam Ahmad berkata:  “Membaca Al Quran di kuburan adalah bid’ah.”  Lalu Muhammad bin Qudamah Al jauhari bertanya kepadanya, “Wahai Abu Abdillah, apa pendapatmu tentang Mubasysyir Al Halabi?” Imam Ahmad menjawab: “Dia tsiqah (bisa dipercaya).”

Lalu Muhammad bin Al Jauhari berkata, telah mengabarkan kepadaku  Mubasysyir, dari ayahnya, bahwa dia berwasiat jika dikuburkan maka hendaknya dibacakan pembuka surat Al Baqarah, dan sampai selesai membacanya. Aku mendengar bahwa Ibnu Umar juga mewasiatkan demikian.  (Al Mughni, 5/78) berawal dari sinilah Imam Ahmad, meralat pendapatnya, yang tadinya membid’ahkan membaca Al Quran di kuburan, menjadi membolehkannya bahkan menganjurkannya.

4.  Imam Ibnu Taimiyah Rahimahullah

Tertulis dalam Majmu’ Al Fatawanya:

وسئل عن قراءة أهل البيت : تصل إليه ؟ والتسبيح والتحميد، والتهليل والتكبير، إذا أهداه إلى الميت يصل إليه ثوابها أم لا ؟
فأجاب :
يصل إلى الميت قراءة أهله، وتسبيحهم، وتكبيرهم، وسائر ذكرهم لله تعالى، إذا أهدوه إلى الميت، وصل إليه . والله أعلم .
وسئل : هل القراءة تصل إلى الميت من الولد أو لا على مذهب الشافعي ؟
فأجاب :
أما وصول ثواب العبادات البدنية كالقراءة، والصلاة، والصوم فمذهب أحمد، وأبي حنيفة، وطائفة من أصحاب مالك، والشافعي، إلى أنها تصل، وذهب أكثر أصحاب مالك، والشافعي، إلى أنها لا تصل . والله أعلم .

Beliau ditanya tentang membaca Al Quran ang dilakukan keluarga; apakah sampai kepada mayit? Begiju juga tasbih, tahmid, takbir, jika dihadiahkan olehnya untuk mayit , sampaikah pahalanya kepadanya atau tidak?
Beliau menjawab:
“Pahala bacaan Al Quran keluarganya itu sampai kepada mayit, dan tasbih mereka, takbir, serta semua bentuk dzikir mereka kepada Allah Ta’ala jika dia hadiahkan kepada mayit, maka sampai kepadana. Wallahu A’lam”
Beliau ditanya: menurut madzhab Syafi’I apakah pahala membaca Al Quran akan sampai kepada mayit dari anak atau tidak?
Beliau menjawab:
“Ada pun sampainya pahala ibadah-ibadah badaniah seperti membaca Al Quran, shalat, dan puasa, maka madzhab Ahmad, Abu Hanifah, segolongan sahabat Malik, Syafi’i, menatakan bahwa hal itu sampai pahalana. Sedangkan pendapat kebanyakan sahabat Malik, Syafi’I, mengatakan hal itu tidak sampai.” Wallahu A’lam   (Majmu’ Fatawa, 34/324. Darul Maktabah Al Hayah)

5.  Imam Ibnul Qayyim Al Jauziyah Rahimahullah

Dalam kitab Ar Ruh Beliau berkata:

وقد ذكر عن جماعة من السلف أنهم أوصوا أن يقرأ عند قبورهم وقت الدفن قال عبد الحق يروى أن عبد الله بن عمر أمر أن يقرأ عند قبره سورة البقرة وممن رأى ذلك المعلى بن عبد الرحمن وكان الامام أحمد ينكر ذلك أولا حيث لم يبلغه فيه أثر ثم رجع عن ذلك وقال الخلال في الجامع كتاب القراءة عند القبور اخبرنا العباس بن محمد الدورى حدثنا يحيى بن معين حدثنا مبشر الحلبى حدثني عبد الرحمن بن العلاء بن اللجلاج عن أبيه قال قال أبى إذا أنامت فضعنى في اللحد وقل بسم الله وعلى سنة رسول الله وسن على التراب سنا واقرأ عند رأسى بفاتحة البقرة فإنى سمعت عبد الله بن عمر يقول ذلك قال عباس الدورى سألت أحمد بن حنبل قلت تحفظ في القراءة على القبر شيئا فقال لا وسألت يحيى ابن معين فحدثنى بهذا الحديث قال الخلال وأخبرني الحسن بن أحمد الوراق حدثنى على بن موسى الحداد وكان صدوقا قال كنت مع أحمد بن حنبل ومحمد بن قدامة الجوهرى في جنازة فلما دفن الميت جلس رجل ضرير يقرأ عند القبر فقال له أحمد يا هذا إن القراءة عند القبر بدعة فلما خرجنا من المقابر قال محمد بن قدامة لأحمد بن حنبل يا أبا عبد الله ما تقول في مبشر الحلبي قال ثقة قال كتبت عنه شيئا قال نعم فأخبرني مبشر عن عبد الرحمن بن العلاء اللجلاج عن أبيه أنه أوصى إذا دفن أن يقرأ عند رأسه بفاتحة البقرة وخاتمتها وقال سمعت ابن عمر يوصي بذلك فقال له أحمد فارجع وقل للرجل يقرأ وقال الحسن بن الصباح الزعفراني سألت الشافعي عن القراءة عند القبر فقال لا بأس بها وذكر الخلال عن الشعبي قال كانت الأنصار إذا مات لهم الميت اختلفوا إلى قبره يقرءون عنده القرآن قال وأخبرني أبو يحيى الناقد قال سمعت الحسن بن الجروى يقول مررت على قبر أخت لي فقرأت عندها تبارك لما يذكر فيها فجاءني رجل فقال إنى رأيت أختك في المنام تقول جزى الله أبا على خيرا فقد انتفعت بما قرأ أخبرني الحسن بن الهيثم قال سمعت أبا بكر بن الأطروش ابن بنت أبي نصر بن التمار يقول كان رجل يجيء إلى قبر أمه يوم الجمعة فيقرأ سورة يس فجاء في بعض أيامه فقرأ سورة يس ثم قال اللهم إن كنت قسمت لهذه السورة ثوابا فاجعله في أهل هذه المقابر فلما كان يوم الجمعة التي تليها جاءت امرأة فقالت أنت فلان ابن فلانة قال نعم قالت إن بنتا لي ماتت فرأيتها في النوم جالسة على شفير قبرها فقلت ما أجلسك ها هنا فقالت إن فلان ابن فلانة جاء إلى قبر أمه فقرأ سورة يس وجعل ثوابها لأهل المقابر فأصابنا من روح ذلك أو غفر لنا أو نحو ذلك

“Pernah disebutkan sebagian para salaf, bahwa mereka mewasiatkan supaya dibacakan diatas kubur mereka di waktu penguburannya. Telah berkata Abdul Haq, diriwayatkan bahwa Abdullah bin Umar pernah menyuruh supaya diabacakan diatas kuburnya surah Al Baqarah. Pendapat ini dikuatkan oleh Mu’alla bin Hanbal, pada mulanya mengingkari pendapat ini karena masih belum menemui sesuatu dalil mengenainya, kemudian menarik balik pengingkarannya itu setelah jelas kepadanya bahwa pendapat itu betul.

Berkata Al Khallal di dalam kitabnya ‘Al-jami’ dalam Kitab Qira’an ‘Indal Qubur: Telah berkata kepadaku Al Abbas bin Muhammad Ad Dauri, berbicara kepadaku Yahya bin Ma’in, berbicara kepadaku Mubasyyir Al Halabi, berbicara kepadaku Abdurrahman bin Al-Ala’ bin Lajlaj, dari ayahnya, katanya : Ayahku telah berpesan kepadaku, kalau dia mati, maka kuburkanlah dia di dalam lahad, kemudian sebutkanlah : Dengan Nama Allah, dan atas agama Rasulullah ! Kemudian ratakanlah kubur itu dengan tanah, kemudian bacakanlah dikepalaku dengan pembukaan surat Al Baqarah, karena aku telah mendengar Abdullah bin Umar Radhiallahu ‘Anhu menyuruh membuat demikian. Berkata Al Abbas Ad Dauri kemudian : Aku pergi bertanya Ahmad bin Hanbal,  apakah dia  menghafal sesuatu tentang membaca diatas kubur. Maka katanya : Tidak ada ! kemudian aku bertanya pula Yahya bin Ma’in, maka dia telah menerangkan kepadaku bicara yang menganjurkan yang demikian.

Berkata Al Khallal, telah memberitahuku Al Hasan bin Ahmad Al Warraq, berbicara kepadaku Ali bin Musa Al-Haddad, dan dia adalah seorang yang berkata benar, katanya : Suatu saat saya bersama-sama Ahmad bin Hanbal dan Muhammad bin Qudamah Al Jauhari menghadiri suatu jenazah. Setelah selesai mayit itu dikuburkan, maka telah duduk seorang yang buta membaca sesuatu diatas kubur itu. Maka ia disangkal oleh Imam Ahmad, katanya : Wahai fulan ! Membaca sesuatu diatas kubur adalah bid’ah !   Ketika kita keluar dari pekuburan itu, berkata Muhammad bin Qudamah Al Jauhari kepada Imam Ahmad bin Hanbal : Wahai Abu Abdullah ! Apa pendapatmu tentang si Mubasysyir Al-Halabi ? Jawab Imam Ahmad : Dia seorang yang dipercayai. Berkata Muhammad bin Qudamah Al Jauhari seterusnya : Aku  telah menulis sesuatu darinya !  Imam Ahmad berkata : Ya ? Berkata Muhammad bin Qudamah : Telah memberitahuku Mubasysyir, dari Abdurrahman Bin Al Ala’ bin Lajlaj, dari ayahnya, bahwasanya ia berpesan, kalau dia dikuburkan nanti, hendaklah dibacakan dikepalanya ayat-ayat permulaan surat Al Baqarah, dan ayat-ayat penghabisannya, sambil katanya : Aku mendengar Abdullah bin Umar (Ibnu Umar) mewasiatkan orang yang membaca demikian itu.

Mendengar itu, maka Imam Ahmad bin Hanbal berkata kepada Muhammad bin Qudamah : Kalau begitu aku tarik penolakanku itu. Dan suruhlah orang buta itu membacakannya.

Berkata Al  Hasan bin As Sabbah Az Za’farani pula : Saya pernah menanyakan hal itu kepada Imam Syafi’i, kalau boleh dibacakan sesuatu diatas kubur orang, maka Jawabnya : Boleh, Tidak mengapa !

Al Khalal pun telah menyebutkan lagi dari As-sya’bi, katanya : Adalah Kaum Anshar, apabila mati seseorang diantara mereka, senantiasalah mereka mendatangi kuburnya untuk membacakan sesuatu dari Al-Qur’an.

Asy-sya’bi berkata, telah memberitahuku Abu Yahya An Naqid, katanya aku telah mendengar Al Hasan bin Al-Haruri berkata : Saya telah mendatangi kubur saudara perempuanku, lalu aku membacakan disitu Surat Tabarak (Al-Mulk), sebagaimana yang dianjurkan. Kemudian datang kepadaku seorang lelaki dan memberitahuku, katanya : Aku mimpikan saudara perempuanmu, dia berkata : Moga-moga Allah memberi balasan kepada Abu Ali (yakni si pembaca tadi) dengan segala yang baik. Sungguh aku mendapat manfaat yang banyak dari bacaannya itu.

Telah memberitahuku Al-Hasan bin Haitsam, katanya aku mendengar Abu Bakar Al Athrusy berkata : Ada seorang lelaki datang ke kubur ibunya pada hari jum’at, kemudian ia membaca surat Yasin disitu. Bercerita Abu Bakar seterusnya : Maka aku pun datang kekubur ibuku dan membaca surah Yasiin, kemudian aku mengangkat tangan : Ya Allah ! Ya Tuhanku ! Kalau memang Engkau memberi pahala lagi bagi orang yang membaca surat ini, maka jadikanlah pahala itu bagi sekalian ahli kubur ini !

Apabila tiba hari jum’at yang berikutnya, dia ditemui seorang wanita. Wanita itu bertanya : Apakah kau fulan anak si fulanah itu ? Jawab Abu Bakar : Ya ! Berkata wanita itu lagi : Puteriku telah meninggal dunia, lalu aku bermimpikan dia datang duduk diatas kuburnya. Maka aku bertanya : Mengapa kau duduk disini ? Jawabnya : Si fulan anak fulanah itu telah datang ke kubur ibunya seraya membacakan Surat Yasin, dan dijadikan pahalanya untuk ahli kuburan sekaliannya. Maka aku pun telah mendapat bahagian daripadanya, dan dosaku pun telah diampunkan karenanya.” (Imam Ibnu Qayyim Al Jauziyah, Ar Ruh, Hal. 5. Maktabah Al Misykah)

Demikian dari Imam Ibnul Qayyim. Sebagian ulama –seperti Syaikh Al Albani- menganggap bahwa kitab Ar Ruh adalah tidak benar dinisbatkan sebagai karya Imam Ibnul Qayyim, sekali pun benar, mestilah kitab ini dibuat olehnya ketika masih muda. Dengan kata lain, pendapat Beliau dalam Zaadul Ma’ad tentang bid’ahnya membaca Al Quran di kubur, telah merevisi pendapat yang ada dalam Ar Ruh. Sementara ulama lain mengatakan, benar bahwa Ar Ruh adalah karya Imam Ibnul Qayyim jika dilihat dari gaya penulisannya yang jelas khas dan cita rasa beliau, bagi yang terbiasa membaca karya-karyanya, hal ini akan mudah diketahui. Wallahu A’lam

6.  Imam Jalauddin As Suyuthi Rahimahullah

Beliau mengatakan:

أَنَّ سُنَّةَ الْإِطْعَامِ سَبْعَةُ أَيَّامٍ، بَلَغَنِي أَنَّهَا مُسْتَمِرَّةٌ إِلَى الْآنَ بِمَكَّةَ وَالْمَدِينَةِ، فَالظَّاهِرُ أَنَّهَا لَمْ تُتْرَكْ مِنْ عَهْدِ الصَّحَابَةِ إِلَى الْآنَ، وَأَنَّهُمْ أَخَذُوهَا خَلَفًا عَنْ سَلَفٍ إِلَى الصَّدْرِ الْأَوَّلِ. [وَرَأَيْتُ] فِي التَّوَارِيخِ كَثِيرًا فِي تَرَاجِمِ الْأَئِمَّةِ يَقُولُونَ: وَأَقَامَ النَّاسُ عَلَى قَبْرِهِ سَبْعَةَ أَيَّامٍ يَقْرَءُونَ الْقُرْآنَ، وَأَخْرَجَ الْحَافِظُ الْكَبِيرُ أَبُو الْقَاسِمِ بْنُ عَسَاكِرَ فِي كِتَابِهِ الْمُسَمَّى ” تَبْيِينُ كَذِبِ الْمُفْتَرِي فِيمَا نُسِبَ إِلَى الْإِمَامِ أَبِي الْحَسَنِ الْأَشْعَرِيِّ “: سَمِعْتُ الشَّيْخَ الْفَقِيهَ أَبَا الْفَتْحِ نَصْرَ اللَّهِ بْنَ مُحَمَّدِ بْنِ عَبْدِ الْقَوِيِّ الْمِصِّيصِيَّ يَقُولُ: تُوُفِّيَ الشَّيْخُ نَصْرُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ الْمَقْدِسِيُّ فِي يَوْمِ الثُّلَاثَاءِ التَّاسِعِ مِنَ الْمُحَرَّمِ سَنَةَ تِسْعِينَ وَأَرْبَعِمِائَةٍ بِدِمَشْقَ، وَأَقَمْنَا عَلَى قَبْرِهِ سَبْعَ لَيَالٍ نَقْرَأُ كُلَّ لَيْلَةٍ عِشْرِينَ خَتْمَةً.

Bahwasanya disunahkan memberikan makanan selama tujuh hari (di rumah mayit, pen), telah sampai kepadaku bahwa hal itu terus berlangsung sampai saat ini di Mekkah dan Madinah. Kenyataannya hal itu tidak pernah ditinggalkan sejak masa para sahabat Nabi ﷺ sampai saat ini (zaman Imam As Suyuthi), dan sesungguhnya generasi khalaf telah   mengambil dari generasi salaf sampai generasi awal Islam. Aku melihat dalam banyak kitab-kitab sejarah dan biografi para imam, bahwa mereka mengatakan: “Manusia menetap di kuburnya (para imam, pen) selama tujuh hari membaca Al Quran. Diriwayatkan oleh Al Hafizh Al Kabir Abul Qasim bin ‘Asakir dalam kitabnya yang bernama “Tabyin Kadzib Al Muftara” yang disandarkan sebagaikarya Imam Abul Hasan Al Asy’ari: “Aku mendengar Asy Syaikh Al Faqih Abul Fath Nashrullah bin Muhammad bin Abdul Qawwi Al Mishshishiy berkata: Telah wafat Asy Syaikh Nashr bin Ibrahim Al Maqdisiy di hari selasa, tanggal 9 Muharam, 490H di Damaskus, kamu menetap di kuburnya selama tujuh malam dan membaca Al Quran tiap malam sebanyak 20 kali khatam. (Imam Jalaluddin As Suyuthi, Al Hawi Lil Fatawi, Juz. 2 Hlm. 234)

Imam As Suyuthi juga menceritakan (dan ini sering dijadikan dalil tahlilan selama tujuh hari dan empat puluh hari oleh pihak yang mendukung tahlilan):

روى أحمد بن حنبل في الزهد وأبو نعيم في الحلية   عن طاوس أن الموتى يفتنون في قبورهم سبعا فكانوا يستحبون أن يطعموا عنهم تلك الأيام إسناده صحيح وله حكم الرفع وذكر بن جريج في مصنفه عن عبيد بن عمير أن المؤمن يفتن سبعا والمنافق أربعين صباحا وسنده صحيح أيضا

Imam Ahmad meriwayatkan dalam kitab Az Zuhd, Abu An Nu’aim dalam Al Hilyah, dari Thawus bahwasanya mayit akan mendapatkan ujian dikuburnya selama tujuh hari, maka para sahabat nabi menyukai untuk memberikan makan selama tujuh itu. Isandnya shahih dan hukumnya sebagai hadits marfu’. Ibnu Juraij dalam Mushannafnya menyebutkan dari ‘Ubaid bin ‘Amir bahwa seorang mu’min diuji selama tujuh hari sedangkan orang munafik diuji selama empat puluh hari. (Imam As Suyuthi, Ad Dibaj ‘Alash Shahih Muslim, Juz. 2, Hlm. 490. Atsar-atsar ini juga terdapat dalam kitabnya Imam Ibnul Jauzi, Shifatush Shafwah, Juz. 1, Hlm. 454)

7.  Imam Asy Syaukani Rahimahullah

Dalam kitab Nailul Authar-nya, Ketika membahas tentang hadits dari Ibnu Abbas, tentang pertanyaan seorang laki-laki, bahwa ibunya sudah meninggal apakah sedekah yang dilakukannya membawa manfaat buat ibunya? Rasulullah menjawab: ya. (HR. Bukhari, At Tirmidzi, Abu Daud, dan An Nasa’i)

Dalam menjelaskan hadits ini, dia mengatakan:

وَقَدْ اُخْتُلِفَ فِي غَيْرِ الصَّدَقَةِ مِنْ أَعْمَالِ الْبِرِّ هَلْ يَصِلُ إلَى الْمَيِّتِ ؟ فَذَهَبَتْ الْمُعْتَزِلَةُ إلَى أَنَّهُ لَا يَصِلُ إلَيْهِ شَيْءٌ وَاسْتَدَلُّوا بِعُمُومِ الْآيَةِ وَقَالَ فِي شَرْحِ الْكَنْزِ : إنَّ لِلْإِنْسَانِ أَنْ يَجْعَلَ ثَوَابَ عَمَلِهِ لِغَيْرِهِ صَلَاةً كَانَ أَوْ صَوْمًا أَوْ حَجًّا أَوْ صَدَقَةً أَوْ قِرَاءَةَ قُرْآنٍ أَوْ غَيْرَ ذَلِكَ مِنْ جَمِيعِ أَنْوَاعِ الْبِرِّ ، وَيَصِلُ ذَلِكَ إلَى الْمَيِّتِ وَيَنْفَعُهُ عِنْدَ أَهْلِ السُّنَّةِ انْتَهَى

Telah ada  perbedaan pendapat para ulama, apakah  ‘sampai atau tidak’ kepada mayit,  perihal amal kebaikan selain sedekah?   Golongan  mu’tazilah (rasionalis ekstrim) mengatakan, tidak sampai sedikit pun. Mereka beralasan dengan keumuman ayat (yakni An Najm: 39, pen).  Sementara, dalam Syarh Al Kanzi Ad  Daqaiq, disebutkan: bahwa manusia menjadikan amalnya sebagai pahala untuk orang selainnya, baik itu dari shalat, puasa, haji, sedekah, membaca Al Quran, dan semua amal kebaikan lainnya, mereka sampaikan hal itu kepada mayit, dan menurut Ahlus Sunnah hal itu bermanfaat bagi mayit tersebut. Selesai. (Imam Asy Syaukani, Nailul Authar, 4/92. Maktabah Ad Da’wah Al Islamiyah)

Imam Asy Syaukani telah memberikan dalil untuk masing-masing amal kebaikan yang bisa disampaikan kepada mayit, baik puasa, haji, sedekah, dan juga membaca Al Quran. (Ibid, 4/93)

8.  Al Imam Al Hafizh Fakhruddin Az Zaila’i Rahimahullah

Perlu diketahui, ayat yang dijadikan dalil oleh Imam Asy Syafi’i, menurut Ibnun Abbas telah dimansukh (dihapus). Dalam Tafsir Ibnu Jarir tentang An Najm ayat 39: “Manusia tidaklah mendapatkan kecuali apa yang diusahakannya.”  Disebutkan dari Ibnu Abbas bahwa ayat tersebut mansukh (dihapus, yang dihapus bukanlah teksnya, tetapi hukumnya, pen) oleh ayat lain yakni, “Dan orang-orang yang beriman, dan yang anak cucu mereka mengikuti mereka dalam keimanan, Kami hubungkan anak cucu mereka dengan mereka ..”  maka anak-anak akan dimasukkan ke dalam surga karena kebaikan yang dibuat bapak-bapaknya. (Imam Abu Ja’far bin Jarir Ath Thabari,  Jami’ul Bayan fi Ta’wilil Quran, 22/546-547)

Sementara dalam kitab Tabyin Al Haqaiq Syarh Kanzu Ad Daqaiq, disebutkan bahwa An Najm ayat 39 tersebut dikhususkan untuk kaum Nabi Musa dan Ibrahim, karena di dalam rangkaian ayat tersebut   diceritakan tentang  kitab suci mereka berdua, firmanNya: “Ataukah belum diberitakan kepadanya apa yang ada dalam lembaran- lembaran Musa? dan lembaran-lembaran Ibrahim yang selalu menyempurnakan janji?” (QS. An Najm (53): 36-37)
Ada juga yang mengatakan, maksud ayat tersebut (An Najm 39) adalah untuk orang kafir, sedangkan orang beriman, maka baginya juga mendapatkan manfaat usaha dari saudaranya. (Imam Fakhruddin Az Zaila’i, Tabyin Al Haqaiq Syarh Kanzu Ad Daqaiq, 5/132)

9.  Imam Ibnu Nujaim Al Hanafi  dan Imam Kamaluddin bin Al Hummam Rahimahumallah

ومنها ما رواه أبو داود “اقرءوا على موتاكم سورة يس” وحينئذ فتعين أن لا يكون قوله تعالى: {وَأَنْ لَيْسَ لِلْإِنْسَانِ إِلَّا مَا سَعَى} [النجم:39] على ظاهره، وفيه تأويلات أقربها ما اختاره المحقق ابن الهمام أنها مقيدة بما يهبه العامل يعني ليس للإنسان من سعي غيره نصيب إلا إذا وهبه له فحينئذ يكون له

“Di antaranya adalah apa yang diriwayatkan oleh Abu Daud: “Bacalah surat Yasin atas orang yang menghadapi kematian di antara kalian.” Saat itu tidaklah ayat: Manusia tidaklah mendapatkan kecuali apa yang diusahakannya (An Najm: 39) diartikan secara zhahir. Ayat ini memliki banyak takwil. Yang paling dekat dengan kebenaran adalah apa yang telah dipilih oleh Al Muhaqqiq Ibnu Al Hummam, bahwa ayat itu tidak termasuk  orang yang menghadiahkan amalnya. Artinya, tidaklah bagi manusia mendapatkan bagian selain apa yang diusahakannya, kecuali jika dia menghibahkan kepada orang lain, maka saat itu menjadi milik orang tersebut.” (Imam Ibnu Nujaim Al Hanafi, Al Bahrur Raiq Syarh Kanz Ad Daqaiq,  3/84. Dar Ihya At Turats)

Dalam kitab Fathul Qadir –nya Imam Ibnul Hummam, pada Bab Al Hajj ‘anil Ghair, setelah beliau  memaparkan hadits-hadits tentang amal shalih yang bisa dilakukan orang hidup dan bermanfaat untuk orang mati, seperti doa, haji, sedekah, dan terakhir dia menyebut hadits tentang membaca surat Yasin. Lalu beliau mengatakan, bahwa siapa saja yang berbuat amal kebaikan untuk orang lain maka dengannya Allah Ta’ala akan memberinya manfaat dan hal itu telah sampai secara mutawatir  (diceritakan banyak manusia dari zaman ke zaman yang tidak mungkin mereka sepakat untuk dusta, pen). (Imam Kamaluddin bin Al Hummam, Fathul Qadir, 6/134)

10.  Imam Ibnu Rusyd Al Maliki Rahimahullah

Imam Muhammad Al Kharrasyi mengatakan dalam kitabnya, Syarh Mukhtashar Khalil:

Dalam An Nawazil-nya, Ibnu Rusyd mengatakan: “Jika seseorang membaca Al Quran dan menjadikan pahalanya untuk mayit, maka hal itu dibolehkan. Si Mayit akan mendapatkan pahalanya, dan sampai juga kepadanya manfaatnya. Insya Allah Ta’ala.” (Imam Muhammad Al Kharrasyi, Syarh Mukhtashar  Khalil, 5/467)

11.  Imam Al Qarrafi Al Maliki Rahimahullah

Beliau mengatakan, “Yang nampak adalah bahwa bagi orang yang sudah wafat akan mendapat keberkahan dari membaca Al Quran, sebagaimana seseorang yang mendapatkan keberkahan karena bertetanggaan dengan orang shalih, maka hendaknya jangan sampai dibiarkan begitu saja mayat dari perkara membaca Al Quran dan  tahlil (membaca Laa Ilaha Illallah) yang dilakukan saat dikuburnya.” (Imam Ahmad An Nafrawi, Al Fawakih Ad Dawani, 3/283)

12.  Imam Ibnu Hajar Al Haitami Asy Syafi’i Rahimahullah

Dalam Tuhfatul Muhtaj fi Syarhil Minhaj beliau mengatakan –setelah mengutip hadits membaca Yasin untuk orang yang sedang sakaratul maut-  bahwa hendaknya diperdengarkan bacaan Al Quran bagi mayit agar mendapatkan keberkahannya sebagaimana orang hidup, jika diucapkan salam saja boleh, tentu membacakannya Al Quran adalah lebih utama. Mereka telah menerangkan bahwa dianjurkan bagi para peziarah dan pengantar untuk membacakan bagian dari Al Quran. (Imam Ibnu Hajar Al Haitami Al Makki, Tuhfatul Muhtaj fi Syarhil Minhaj, 10/371)

13.  Imam Syihabuddin Ar Ramli Asy Syafi’i Rahimahullah

Beliau membolehkan membaca Al Quran untuk mayit bahkan setelah dikuburkan, dan ada sebagian pengikut Syafi’i lainnya menyatakan itu sunah. (Imam Syihabuddin Ar ramli, Nihayatul Muhtaj, 2/428)

14.  Syaikh Hasanain Makhluf Rahimahullah (Mufti Mesir pada masanya)

Beliau  mengatakan –setelah memaparkan berbagai hadits tentang fadhilah Yasin dan analisa yang cukup panjang-  bahwa dibolehkan membaca  surat Yasin pada orang sakit untuk meringankannya, juga pada orang yang  mengalami sakaratul maut, dan boleh juga membacanya untuk orang yang sudah wafat dengan alasan untuk meringankannya. (Fatawa Al Azhar, 5/471)

15.  Syaikh ‘Athiyah Shaqr Rahimahullah (Mufti Mesir pada masanya)

Setelah beliau memaparkan hadits-hadits tentang pembacaan Yasin untuk orang wafat, beliau mengatakan bahwa para ulama berbeda pendapat tentang waktu pembacaannya. Ada yang mengatakan sebelum wafat (ketika sakaratul maut) demi meringankan keluarnya ruh, dan saat itu pun malaikat hadir  mendengarkannya untu menurunkan rahmat. Ada juga yang mengatakan dibaca setelah wafat, baik sebelum di kubur atau sesudah dikubur, sama saja. Dan dibolehkan membaca Yasin dengan menghadiahkan pahalanya, Insya Allah itu bermanfaat bagi mayit, dan surat Yasin memiliki keutamaan itu dan juga pengaruhnya. Sedangkan pendapat beliau sendiri, membaca surat Yasin adalah sama saja waktunya, baik ketika sakaratul maut atau setelah wafatnya. Malaikat ikut mendengarkannya, mayit mendapatkan faidahnya karena hadiah tersebut, dan si pembaca juga mendapatkan pahala, begitu pula pendengarnya akan mendapatkan pelajaran dan hikmah darinya. (Fatawa Al Azhar, 8/295)

Demikian, Pihak yang membolehkan.

B.  Para Imam Ahlus Sunnah Yang MELARANG Membaca Al Quran Untuk Mayit

1.  Imam Abu Hanifah Radhiallahu ‘Anhu dan sebagian pengikutnya

Syaikh Athiyah Shaqr mengatakan Imam Abu Hanifah dan Imam Malik memakruhkan membaca Al Quran di kubur, alasannya karena tak ada yang sah dari sunah tentang hal itu. (Fatawa Al Azhar, 7/458)

Namun, kami dapati dalam  kitab lain bahwa kalangan Hanafiyah terjadi perbedaan antara waktu makruhnya itu, berikut ini keterangannya:

تُكْرَهُ عِنْدَ الْحَنَفِيَّةِ قِرَاءَةُ الْقُرْآنِ عِنْدَ الْمَيِّتِ حَتَّى يُغَسَّل وَأَمَّا حَدِيثُ مَعْقِل بْنِ يَسَارٍ مَرْفُوعًا اقْرَءُوا سُورَةَ يس عَلَى مَوْتَاكُمْ   فَقَال ابْنُ حِبَّانَ : الْمُرَادُ بِهِ مَنْ حَضَرَهُ الْمَوْتُ ، وَيُؤَيِّدُهُ مَا أَخْرَجَهُ ابْنُ أَبِي الدُّنْيَا وَابْنُ مَرْدُوَيْهِ مَرْفُوعًا مَا مِنْ مَيِّتٍ يُقْرَأُ عِنْدَهُ يس إِلاَّ هَوَّنَ اللَّهُ عَلَيْهِ وَخَالَفَهُ بَعْضُ مُتَأَخِّرِي الْمُحَقِّقِينَ ، فَأَخَذَ بِظَاهِرِ الْخَبَرِ وَقَال : بَل يُقْرَأُ عَلَيْهِ بَعْدَ مَوْتِهِ وَهُوَ مُسَجًّى وَفِي الْمَسْأَلَةِ خِلاَفٌ عِنْدَ الْحَنَفِيَّةِ أَيْضًا . قَال ابْنُ عَابِدِينَ : الْحَاصِل أَنَّ الْمَيِّتَ إِنْ كَانَ مُحْدِثًا فَلاَ كَرَاهَةَ ، وَإِنْ كَانَ نَجِسًا كُرِهَ . وَالظَّاهِرُ أَنَّ هَذَا أَيْضًا إِذَا لَمْ يَكُنِ الْمَيِّتُ مُسَجًّى بِثَوْبٍ يَسْتُرُ جَمِيعَ بَدَنِهِ ، وَكَذَا يَنْبَغِي تَقْيِيدُ الْكَرَاهَةِ بِمَا إِذَا قَرَأَ جَهْرًا

“Dimakruhkan menurut Hanafiyah membaca Al Quran di sisi mayit sampai dia dimandikan. Ada pun hadits Ma’qil bin Yasar, secara marfu’: Bacalah surat Yasin atas orang yang mengalami sakaratul maut di antara kalian. Ibnu Hibban mengatakan maksudnya adalah bagi orang yang sedang menghadapi kematian. Hal ini didukung oleh riwayat Ibnu Abi Dunia dan Ibnu Mardawaih, secara marfu’: Tidaklah seorang mayit dibacakan di sisinya surat Yasin, melainkan Allah akan mudahkan baginya.  Sebagian peneliti muta’akhir (masa belakangan) berbeda dengannya, dengan mengambil makna zhahir dari khabar (hadits) itu, dengan berkata: “Bahkan dibacakan atasnya setelah wafatnya dan dia sudah dibungkus oleh kafan.” Ada pun tentang doa, kalangan Hanafiyah juga terjadi perbedaan pendapat. Berkata Ibnu ‘Abidin: “Kesimpulannya, sesungguhnya jika mayit itu  dalam kondisi hadats maka tidaklah makruh, jika dia bernajis maka makruh. Secara zhahir ini juga berlaku jika mayit belum dibungkus dengan kain yang menutup seluruh tubuhnya. Demikian juga pemakruhan dibatasi  jika membacanya secara Jahr (dikeraskan). (Al Mausu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah, 16/8. Mawqi’ Ruh Al Islam)

2.   Imam Malik Radhiallahu ‘Anhu dan sebagian pengikutnya

Syaikh Ibnu Abi Jamrah mengatakan bahwa Imam Malik memakruhkan membaca Al Quran di kuburan. (Syarh Mukhtashar Khalil, 5 /467)

Syaikh Wahbah Az Zuhaili Hafizhahullah mengatakan dalam Al Fiqhul Islami wa Adillatuhu:

قال المالكية: تكره القراءة عند الموت إن فعله استناناً كما يكره القراءة بعد الموت، وعلى القبر؛ لأنه ليس من عمل السلف

Berkata  kalangan Malikiyah: dimakruhkan membaca Al Quran baik ketika naza’ (sakaratul maut) jika dilakukan menjadi kebiasaan, sebagaimana makruh membacanya setelah wafat, begitu pula di kubur, karena hal itu tidak pernah dilakukan para salaf (orang terdahulu). (Syaikh Wahbah Az Zuhaili, Al Fiqhul Islami wa Adillatuhu, 2/599. Maktabah Misykah)

Disebutkan dalam Al Mausu’ah:

وَعِنْدَ الْمَالِكِيَّةِ يُكْرَهُ قِرَاءَةُ شَيْءٍ مِنَ الْقُرْآنِ مُطْلَقًا

“Menurut Malikiyah, dimakruhkan secara mutlak membaca apa pun dari Al Quran.” (Al Mausu’ah Al Fiqhiyyah Al Kuwaitiyah, 16/8. Wizarah Al Awqaf Asy Syu’un Al Islamiyah)

3.  Imam Asy Syafi’i Radhiallahu ‘Anhu dan Imam Ibnu Katsir Rahimahullah

Dalam Tafsir Al Quran Al ‘Azhim, Imam Ibnu Katsir berkata ketika menafsirkan Surat An Najm ayat 18:  “(yaitu) bahwasanya seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain.”

كما لا يحمل عليه وزر غيره، كذلك لا يحصل من الأجر إلا ما كسب هو لنفسه. ومن وهذه الآية الكريمة استنبط الشافعي، رحمه الله، ومن اتبعه أن القراءة لا يصل إهداء ثوابها إلى الموتى؛ لأنه ليس من عملهم ولا كسبهم؛ ولهذا لم يندب إليه رسول الله صلى الله عليه وسلم أمته ولا حثهم عليه، ولا أرشدهم إليه بنص ولا إيماء، ولم ينقل ذلك عن أحد من الصحابة، رضي الله عنهم، ولو كان خيرا لسبقونا إليه، وباب القربات يقتصر فيه على النصوص، ولا يتصرف فيه بأنواع الأقيسة والآراء، فأما الدعاء والصدقة فذاك مجمع على وصولهما، ومنصوص من الشارع عليهما

“Sebagaimana dia tidak memikul dosa orang lain, begitu pula pahala, ia hanya akan diperoleh melalui usahanya sendiri. Dari ayat yang mulia ini, Imam Asy Syafi’i Rahimahullah dan pengikutnya berpendapat bahwa pahala bacaan Al Quran tidaklah sampai kepada orang yang sudah wafat karena itu bukan amal mereka dan bukan usaha mereka. Oleh karena itu Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tidak pernah menganjurkannya dan tidak pernah memerintahkannya, dan tidak ada nash (teks agama) yang mengarahkan mereka ke sana, dan tidak ada riwayat dari seorang sahabat pun yang melakukannya, seandainya itu baik tentulah mereka akan mendahului kita dalam melakukannya. Bab masalah qurbah (mendekatkan diri kepada Allah) harus berdasarkan nash, bukan karena qiyas atau pendapat-pendapat. Sedangkan, mendoakan dan bersedekah, telah ijma’ (sepakat) bahwa keduanya akan sampai kepada mayit, karena keduanya memiliki dasar dalam syara’. (Imam Ibnu Katsir, Tafsir Al Quran Al ‘Azhim, Juz.7, Hal. 465. Dar Thayyibah Lin Nasyr wat Tauzi’. Cet. 2, 1999M-1420H)

Dari apa yang disampaikan Imam Ibnu Katsir ini ada beberapa point:

1.  Imam Asy Syafi’i dan pengikutnya menyatakan pahala membaca Al Quran tidaklah sampai sebagaimana dosa seseorang tidaklah dipikul oleh orang lain.

2.  Tidak ada anjuran dan perintah, dan tidak ada nash dari Rasulullah, tidak ada riwayat dari sahabat yang melakukannya. Seandainya baik, pasti mereka orang pertama yang akan melaksanakannya.

3.  Tidak boleh qiyas dalam perkara ibadah ritual.

4.  Doa dan bersedekah atas nama mayit adalah boleh menurut ijma’, karena memiliki dasar dalam syariat.
Ada kejanggalan,  ketika Imam An Nawawi mengatakan dalam Riyadhus Shalihin, bahwa Imam Asy Syafi’i mengatakan disunnahkan membaca Al Quran di sisi kubur, jika sampai khatam maka itu bagus.   (Imam An Nawawi, Riyadhus Shalihin, Hal. 117. Mawqi’ Al Warraq)

Namun yang masyhur (terkenal) dari Imam Asy Syafi’i dan pengikutnya adalah mereka menolak keyakinan sampainya pahala bacaan Al Quran ke mayit. Imam Asy Syaukani menyatakan keterangan sebagai berikut:

والمشهور من مذهب الشافعي وجماعة من أصحابه أنه لا يصل إلى الميت ثواب قراءة القرآن

“Yang masyhur dari madzhab Asy Syafi’i dan jamaah para sahabat-sahabatnya adalah bahwa pahala membaca Al Quran tidaklah sampai ke mayit.”

Asy Syaukani juga mengutip perkataan Imam Ibnu Nahwi, seorang ulama madzhab Asy Syafi’i, dalam kitab Syarhul Minhaj, sebagai berikut:

لا يصل إلى الميت عندنا ثواب القراءة على المشهور

“Yang masyhur menurut madzhab kami, pahala bacaan Al Quran tidaklah sampai ke mayit.” (Nailul Authar, 4/142. Maktabah Ad da’wah Al Islamiyah)

Disebutkan dalam Al Mausu’ah:

وَذَهَبَ الشَّافِعِيَّةُ إِلَى أَنَّهُ لاَ يُقْرَأُ عِنْدَ الْمَيِّتِ قَبْل الدَّفْنِ لِئَلاَّ تَشْغَلَهُمُ الْقِرَاءَةُ عَنْ تَعْجِيل تَجْهِيزِهِ

“Dan pendapat Syafi’iyah bahwa tidaklah dibaca Al Quran di sisi mayit sebelum dikubur, agar pembacaan itu tidaklah mengganggu kesibukan dalam menyegerakan pengurusan jenazah.”  (Al Mausu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah, 16/8. Mawqi’ Ruh Al Islam)

Dari keterangan para imam di atas, maka sangat berlebihan jika ada sebagian kalangan memberikan tudingan Wahhabi kepada muslim lainnya yang tidak mau membaca Al Quran untuk mayit. Apakah Imam Abu Hanifah, Imam Malik, dan Imam Asy Syafi’i adalah Wahabi karena mereka makruhkan hal itu? Bagaimana mungkin mereka disebut Wahabi,  padahal gerakan Wahabiyah baru ada hampir sepuluh Abad setelah zaman tiga imam ini!?

4.  Imam Ibnu Qayyim Al Jauziyah Rahimahullah

Beliau mengatakan:

وَكَانَ مِنْ هَدْيِهِ صَلّى اللّهُ عَلَيْهِ وَسَلّمَ تَعْزِيَةُ أَهْلِ الْمَيّتِ وَلَمْ يَكُنْ مِنْ هَدْيِهِ أَنْ يَجْتَمِعَ لِلْعَزَاءِ وَيَقْرَأَ لَهُ الْقُرْآنَ لَا عِنْدَ قَبْرِهِ وَلَا غَيْرِهِ وَكُلّ هَذَا بِدْعَةٌ حَادِثَةٌ مَكْرُوهَةٌ

“Di antara petunjuk Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam adalah bertakziah ke keluarga mayit. Dan, bukanlah petunjuk Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam berkumpul di rumah keluarga mayit untuk menghibur, lalu membaca Al Quran untuk si mayit baik di kuburnya, atau di tempat lain. Semua ini adalah bid’ah yang dibenci.” (Zaadul Ma’ad, 1/527. Muasasah Ar Risalah)

Namun, dalam kitab beliau yang lain yakni Ar Ruh, justru beliau membolehkan dan banyak meriwayatkan dari salaf tentang membaca Al Quran untuk mayit. Insya Allah akan kami ketengahkan juga.

5.  Imam Muhammad bin Abdul Wahhab At Tamimi Rahimahullah

Beliaulah yang disebut sebagai perintis gerakan Wahabi, walau beliau tidak pernah mengatakan hal itu dan tidak pernah meniatkan adanya gerakan atau faham Wahabi. Syaikh Shalih Fauzan Hafizhahullah mengutip darinya, sebagai berikut:

إن القراءة عند القبور، وحمل المصاحف إلى المقبور كما يفعله بعض الناس يجلسون سبعة أيام ويسمونها الشدة، وكذلك اجتماع الناس عند أهل الميت سبعة أيام ويقرءون فاتحة الكتاب، ويرفعون أيديهم بالدعاء للميت فكل هذا من البدع والمنكرات المحدثة التي يجب إزالتها، والحديث المروي في قراءة سورة يس في المقبرة لم يعز إلى شيء من كتب الحديث المعروفة، والظاهر عدم صحته، انتهى

“ Sesungguhnya  membaca dan membawa Al Quran di kubur sebagaimana yang dilakukan sebagian manusia hari ini, mereka duduk selama tujuh hari dan menamakan itu sebagai kesungguhan, begitu pula berkumpul di rumah keluarga si mayit selama tujuh hari membaca Al Fatihah, dan mengangkat tangan untuk berdoa untuk si mayit, maka semua ini adalah bid’ah munkar yang diada-adakan, dan harus dihilangkan. Ada pun periwayatan hadits tentang membaca Yasin di kuburan tidak ada yang kuat satu pun di antara kitab-kitab  hadits yang terkenal, secara zhahir menunjukkan itu tidaklah shahih.”  (Syaikh Shalih Fauzan, Al Bayan Li Akhtha’i Ba’dhil Kitab, Hal. 171. Mawqi’ Ruh Al Islam)

Hadits yang dimaksud adalah:

من زار قبر والديه كل جمعة ، فقرأ عندهما أو عنده ( يس ) غفر له بعدد كل آية أو حرف

“Barangsiapa yang menziarahi kubur dua orang tuanya setiap Jum’at, lalu dibacakan Yasin pada sisinya, maka akan diampunkan baginya setiap ayat atau huruf.”

Hadits ini palsu. Ibnu ‘Adi berkata: “Hadits ini batil dan tidak ada asalnya sanad ini.” Ad Daruquthni mengatakan: “Hadits ini palsu, oleh karena itu Ibnul Jauzi memasukkan hadits ini kedalam kitabnya Al Maudhu’at (hadits-hadits palsu).” (Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani, As Silsilah Adh Dha’ifah, 1/127/ 50)

6.  Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baaz Rahimahullah

Beliau berkata:

أما جلوس أهل الميت أو غيرهم يوما أو أكثر لقراءة القرآن وإهدائه إلى الميت فبدعة لا أصل لها في الشرع المطهر

Ada pun duduknya keluarga mayit atau selainnya, sehari atau lebih, untuk membaca Al Quran dan menghadiahkan pahalanya kepada mayit maka itu bid’ah, tidak ada sadarnya dalam syariat yang suci. (Majmu’ Fatawa Ibni Baaz, 13/397)

7.  Syaikh Shalih bin Abdullah Fauzan Hafizhahullah

Beliau berkata dalam kitab Al Mulakhash Al Fiqhi sebagai berikut:

أما من مات فأنه لا يقرأ عليه، فالقراءة على الميت بعد موته بدعة

“Ada pun bagi orang sudah wafat maka tidaklah dibacakan Al Quran, maka membacakan Al Quran untuk mayit sesudah wafatnya adalah bid’ah …”

Dia juga berkata:

فالقراءة على الميت عند الجنازة أو على القبر أو لروح الميت، كل هذا من البدع

“Maka, membaca Al Quran  atas mayit di sisi jenazah atau di kubur atau untuk arwah mayit, semua ini adalah bid’ah.” (Al Mulakhash Al Fiqhi, 1/296-297. Mawqi’ Ruh Al Islam)

8.  Syaikh Abdul Muhsin Al ‘Abbad Al Badr Hafizhahullah

Beliau mengatakan dalam Syarh Sunan Abi Daud:

وأما القراءة عند الأموات فلا تفعل لا بـ (يس) ولا غيرها؛ لأنه لم يثبت في ذلك شيء عن النبي صلى الله عليه وسلم

“Adapun membaca di sisi mayit, maka janganlah dilakukan, tidak dengan surat Yasin dan tidak pula dengan selainnya, sebab tak satu pun yang shahih dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tentang itu.” (Syaikh Abdul Muhsin Al ‘Abbad, Syarh Sunan Abi Daud No. 363. Maktabah Misykat)

Dan masih banyak lainnya.

Kesimpulan

Demikianlah perselisihan ini. Namun, masih ada jalan keluar yang bisa kita tempuh untuk keluar dari perselisihan ini, yakni semua ulama sepakat (ijma’) bahwa berdoa untuk sesama muslim, baik masih sehat, orang sakit, sakaratul maut, dan orang yang sudah meninggal adalah dibolehkan, sebagaimana yang sudah kami jelaskan. Maka, bagi yang tetap ingin mengirimkan pahala membaca Al Quran, sebaiknya ia lakukan dalam bentuk doa saja, setelah dia membaca Al Quran: “Ya Allah, jadikanlah bacaan Al Quranku tadi sebagai rahmat bagi si fulan, dan berikanlah pahalanya bagi si fulan.” Inilah cara yang ditempuh oleh sebagian ulama –seperti Imam Muhammad Al Kharrasyi,  Imam Ahmad An Nafrawi, Imam Abdul Karim As Salusi-  untuk menengahi dua arus pemikiran ini. Jadi,    membaca Al Quran tidak langsung diniatkan untuk si mayit, tapi ia berdoa kepada Allah Ta’ala semoga pahala bacaan Al Qurannya disampaikan untuk si mayit.

Dalam kitab Al Madkhal disebutkan bahwa barangsiapa yang ingin menyampaikan pahala bacaan Al Quran untuk mayit tanpa ada perselisihan pendapat, maka hendaknya dia menjadikannya sebagai doa, seperti: Allahuma awshil tsawaba Dzalik (Ya Allah, sampaikanlah pahala ini ..) (Syarh Mukhtashar Khalil, 5/468. Al Fawakih Ad Dawani, 3/283)

Terakhir, kami sampaikan pandangan bijak dari seorang ulama masa kini, Beliau tidak menyetujui membaca Al Quran untuk orang yang sudah wafat, tetapi pandangannya yang jernih dan sikapnya pun dewasa. Berikut ucapan Syaikh ‘Athiyah bin Muhammad Salim:

أما أن نذهب إلى الميت، أو إلى القبر ونقرؤها فبعض العلماء يقول: كان بعض السلف يحب أن يقرأ عنده يس، وبعضهم يحب أن تقرأ عنده سورة الرعد، وبعضهم سورة البقرة، كل ذلك من أقوال السلف ومن أفعالهم، فلا ينبغي الإنكار في ذلك إلى حد الخصومة، ولو أن إنساناً عرض وجهة نظره واكتفى بذلك فقد أدى ما عليه، لكن أن تؤدي إلى الخصومة والمنازعة والمدافعة فهذا ليس من سنة رسول الله صلى الله عليه وسلم في البيان، وفي الدعوة إلى الله أو إلى سنة رسول الله

“Adapun kami pergi menuju mayit, atau kubur, dan kami membaca Al Quran. Maka sebagian ulama mengatakan: “Dahulu kaum salaf menyukai membaca surat Yasin di samping mayit, sebagian lagi menyukai membaca surat Ar Ra’du, dan sebagian lain surat Al Baqarah. Semua ini merupakan ucapan dan perbuatan kaum salaf (terdahulu). Maka, tidak semestinya mengingkari hal itu hingga lahir kebencian. Seandainya manusia sudah menyampaikan pandangannya maka hal itu sudah cukup, dan dia telah menunaikan apa yang seharusnya. Tetapi jika demi melahirkan  permusuhan, perdebatan, dan  menyerang, maka ini bukanlah sunah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dalam memberikan penjelasan, dan bukan cara dakwah kepada Allah dan kepada sunah Rasulullah.” (Syaikh ‘Athiyah bin Muhammad Salim, Syarh Bulughul Maram, Hal. 113. Maktabah Misykah)

Wallahu A’lam

🌻🌺🌱☘💐🌿🌴🍃🌸

✍ Farid Nu’man Hasan

Sebagian Adab Menuntut Ilmu Syar’i

Berikut ini adalah sebagian adab-adab yang mesti diperhatikan setiap muslim yang senantiasa menyibukkan dirinya dalam ilmu pengetahuan, khususnya ilmu-ilmu agama,  baik dia seorang dosen, guru, pelajar,  mahasiswa, jamaah masjid, aktifis Islam, dan juga  manusia pada  umumnya.

1⃣ Menuntut Ilmu adalah bekal bagi kemakmuran dunia dan kebaikan akhirat, bukan bekal untuk berdebat dan kesombongan.

Dari Ibnu Umar Radhiallahu ‘Anhuma, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

Barangsiapa yang menuntut ilmu untuk mendebat orang bodoh, atau berbangga di depan ulama, atau mencari perhatian manusia kepadanya, maka dia di neraka.

(HR. Ibnu Majah No. 253. At Tirmidzi No. 2654. Dihasankan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahih wa Dhaif Sunan Ibni Majah No. 253, Shahih wa Dhaif Sunan At Tirmidzi No. 2654, Misykah Al Mashabih No. 225, 226, Shahihul Jami’ No. 6382)

Dari Jabir bin Abdullah Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

Janganlah kalian menuntut ilmu dengan maksud berbangga di depan ulama, mendebat orang bodoh, dan memilih-milih majelis. Barangsiapa yang melakukan itu maka dia di neraka, di neraka.

(HR. Ibnu Majah No. 254, Al Baihaqi, Syu’abul Iman, No. 1725, Ibnu Hibban No. 77, Al Hakim, Al Mustadrak ‘alash Shahihain, No. 290. Dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahih At Targhib wat Tarhib No. 102, dan Shahih wa Dhaif Sunan Ibni Majah No. 254)

2⃣ Ilmu Bukan Untuk Tujuan rendah Keduniaan, tetapi Mencari Ridha Allah Ta’ala.

Dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

Barangsiapa yang menuntut ilmu yang dengannya dia menginginkan wajah Allah, (tetapi) dia tidak mempelajarinya melainkan karena kekayaan dunia, maka dia tidak akan mendapatkan harumnya surga pada hari kiamat.

(HR. Abu Daud No. 3664, Ibnu Majah No. 252, Ibnu Hibban No. 78, Al Hakim, Al Mustadrak ‘Alash Shahihain, No. 288, katanya: shahih sesuai syarat Bukhari-Muslim. Syaikh Al Albani mengatakan shahih lighairih. Lihat Shahih Targhib wat Tarhib No. 105. Shahih wa Dhaif Sunan Abi Daud, No. 3664, Shahih wa Dhaif Sunan Ibni Majah, No. 252)

Dari Ubai bin Ka’ab Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam:

Barangsiapa diantara mereka beramal amalan akhirat dengan tujuan dunia, maka dia tidak mendapatkan bagian apa-apa di akhirat.

(HR. Ahmad No. 20275. Ibnu Hibban No. 405, Al Hakim, Al Mustadrak ‘Alash Shahihain No. 7862, katanya: sanadnya shahih. Imam Al Haitsami mengatakan: diriwayatkan oleh Ahmad dan anaknya dari berbagai jalur dan perawi dari Ahmad adalah shahih, Majma’ Az Zawaid 10/220. Darul Kutub Al Ilmiyah)

3⃣ Memurnikan Niat untuk Allah Ta’ala semata adalah Tujuan Utama

Dari Ibnu Umar Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

Barangsiapa yang menuntut ilmu untuk selain Allah atau dia maksudkan dengannya selain Allah, maka disediakan baginya kursi di neraka. (HR. At Tirmidzi No. 2655, katanya: hasan gharib. Ibnu Majah No. 258. Didhaifkan oleh Syaikh Al Albani dalam Dhaif Al Jami Ash Shaghir No. 5530, 5687)

4⃣ Jangan menyibukkan diri dalam perkara dan pertanyaan yang tidak produktif, tidak melahirkan ilmu, iman, dan amal shalih.

Bahkan perkara tersebut membawa kekesatan hati dan pikiran. Seperti menanyakan Ruyatul Hilal awal Ramadhan bagi orang yang tinggal di bulan bagaimana? Mendebatkan kelebihan sahabat nabi yang satu di atas yang lainnya, dan berlama-lama dalam menyibukkan diri dalam perkara khilafiyah padahal dia bukan ahlinya.
Allah Ta’ala berfirman:

Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya. (QS. Al Isra (17): 36)

Dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shalallahu Alaihi wa Sallam bersabda:

Di antara baiknya kualitas Islam seseorang adalah ia meninggalkan hal-hal yang tidak bermanfaat.

(HR. At Tirmidzi No. 2317, Ibnu Majah No. 3976, Ibnu Hibban No. 229,  Ahmad No. 1732, dari  Al Husein bin Ali, Syaikh Syu’aib Al Arna-uth mengatakan: hadits hasan lisyawahidih (hadits hasan karena beberapa penguatnya). Ath Thabarani dalam Al Mu’jam Ash Shaghir No. 884, dari Zaid bin Tsabit. Al Qudha’i dalam Musnad Asy Syihab No. 191. Syaikh Al Albani menshahihkan dalam Misykah Al Mashabih No. 4839 )

Dari Abu Hurairah Abdurrahman bin Sakhr Radhiallahu Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam:

Apa-apa yang saya larang untuk kalian, jauhilah. Apa-apa yang saya perintahkan untuk kalian, kerjakanlah semampu kalian. Sesungguhnya binasanya manusia sebelum kalian karena banyaknya pertanyaan mereka dan berselisihanya mereka terhadap nabi-nabi mereka. (HR. Bukhari No.  6858,  Muslim No. 1337,  Ibnu Majah No. 2, An Nasai No. 2619, At Tirmidzi No. 2679, Ibnu Hibban No. 2105, Ibnu Khuzaimah No. 2508, Ahmad No. 10531, Ath Thabarani dalam Al Awsath No. 8768, Al Baihaqi dalam As Sunannya No. 1693, 13368)

Al Imam Ibnu Daqiq Al Id Rahimahullah menjelaskan:

أراد: لا تكثروا السؤال فربما يكثر الجواب عليه فيضاهي ذلك قصة بني إسرائيل لما قيل لهم: “اذبحوا بقرة” فإنهم لو اقتصروا على ما يصدق عليه اللفظ وبادروا إلى ذبح أي بقرة كانت أجزأت عنهم لكن لما أكثروا السؤال وشددوا شدد عليهم وذموا على ذلك فخاف النبي صلى الله عليه وسلم مثل ذلك على أمته.

“Maksudnya ialah    janganlah kalian banyak bertanya sehingga  melahirkan beragam jawaban, ini menyerupai peristiwa yang terjadi pada bani Israil, tatkala mereka diperintahkan menyembelih seekor sapi betina yang seandainya mereka mengikuti perintah itu dan segera menyembelih sapi tersebut,  niscaya hal itu cukup bagi mereka dikatakan telah menaatinya. Tetapi, karena mereka banyak bertanya dan memberatkan diri sendiri, maka mereka akhirnya dipersulit dan dicela. Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam khawatir hal semacam ini terjadi pada umatnya. (Imam Ibnu Daqiq Al Id, Syarh Al Arbain An Nawawiyah, Hal. 58. Maktabah Misykah)

Al Imam Hasan Al Banna Rahimahullah mengatakan:

وكل مسألة لا ينبني عليها عمل فالخوض فيها من التكلف الذي نهينا عنه شرعا , ومن ذلك كثرة التفريعات للأحكام التي لم تقع , والخوض في معاني الآيات القرآنية الكريمة التي لم يصل إليها العلم بعد ، والكلام في المفاضلة بين الأصحاب رضوان الله عليهم وما شجر بينهم من خلاف , ولكل منهم فضل صحبته وجزاء نيته وفي التأول مندوحة

.Setiap masalah yang amal tidak dibangun di atasnya -sehingga menimbulkan perbincangan yang tidak perlu- adalah kegiatan yang dilarang secara syar’i. Misalnya memperbincangkan berbagai hukum tentang masalah yang tidak benar-benar terjadi, atau memperbincangkan makna ayat-ayat Al-Quran yang kandungan maknanya tidak dipahami oleh akal pikiran, atau memperbincangkan perihal perbandingan keutamaan dan perselisihan yang terjadi di antara para sahabat (padahal masing-masing dari mereka memiliki keutamaannya sebagai sahabat Nabi dan pahala niatnya) Dengan tawil (menafsiri baik perilaku para sahabat) kita terlepas dari persoalan. (Ushul Isyrin No. 9)

5⃣ Mengembalikan urusan dan kesulitannya dengan bertanya kepada Ahlinya.

Allah Ta’ala berfirman:

فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُون
َ

“Maka bertanyalah kepada Ahludz Dzikri jika kalian tidak mengetahui.” (QS. An Nahl (16): 43)

Siapakah Ahludz Dzikri yang dimaksud oleh ayat yang mulia ini?

Berkata Imam Al Qurthubi Rahimahullah dalam kitab tafsirnya:

وقال ابن عباس: أهل الذكر أهل القرآن وقيل: أهل العلم، والمعنى متقارب

Berkata Ibnu ‘Abbas: “Ahludz Dzikri adalah Ahlul Quran (Ahlinya Al Quran), dan dikatakan: Ahli Ilmu (ulama), makna keduanya berdekatan.” (Imam Al Qurthubi, Al Jami’ Li Ahkamil Quran, Juz. 10, Hal. 108, Ihya’ Ats Turats Al ‘Arabi, 1985M-1405H. Beirut-Libanon)

Dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

إِذَا وُسِّدَ الْأَمْرُ إِلَى غَيْرِ أَهْلِهِ فَانْتَظِرْ السَّاعَة

“Jika urusan dikembalikan kepada bukan ahlinya, maka tunggulah waktu kehancurannya.” (HR. Bukhari  No. 59, 6496. Ibnu Hibban No. 104, Ahmad No. 8729, Al Baghawi No. 4232)

Wallahu A’lam


🍃🌻 Hakikat Ilmu Adalah .. 🌻🍃

🐾🐾🐾🐾🐾🐾🐾

Imam Asy Syafi’i Rahimahullah mengatakan:

ليس العلم ما حُفِظَ، العلم ما نَفَع

Ilmu itu bukanlah apa-apa yang dihapal tapi apa-apa yang bermanfaat.

📚 Imam Al Baihaqi, Manaqib Asy Syafi’i, 2/149

☘🌸🌺🌴🍃🌷🌾🌻

🍃☘🌷🌻🌿🌺🌾🍀🌸🍄

✏ Farid Nu’man Hasan

scroll to top