Sejarah dan Keutamaan Al Aqsha Serta Kewajiban Melindunginya (Bag. 1)

💥💦💥💦💥💦💥💦

📌Definisi Al Aqsha

Secara bahasa (etimologis)  Al Aqsha bermakna Al Ab’ad (yang paling jauh), maksimum, atau puncak.

Secara istilah (terminologis), berkata Imam Ibnu Hajar Al Asqalani Rahimahullah:

يَعْنِي مَسْجِد بَيْت الْمَقْدِس ، وَقِيلَ لَهُ الْأَقْصَى لِبُعْدِ الْمَسَافَة بَيْنه وَبَيْن الْكَعْبَة ، وَقِيلَ لِأَنَّهُ لَمْ يَكُنْ وَرَاءَهُ مَوْضِع عِبَادَة ، وَقِيلَ لِبُعْدِهِ عَنْ الْأَقْذَار وَالْخَبَائِث ، وَالْمَقْدِس الْمُطَهَّر عَنْ ذَلِكَ

Yakni masjid Baitul Maqdis, dikatakan pula baginya Al Aqsha, karena jauhnya jarak antara dia dengan Ka’bah. Dikatakan pula, karena dibelakangnya tidak ada tempat ibadah lainnya. Dikatakan juga, karena dia jauh dari kotoran dan kekejian, dan Al Maqdis merupakan pensuci dari hal itu. (Fathul Bari, 6/408. Darul Fikr. Lihat juga Imam Asy Syaukani, Fathul Qadir, 4/280. Mawqi Ruh Al Islam)

📌Masjid Tertua Kedua Setelah Masjidil Haram

Abu Dzar Radhiallahu Anhu bertanya kepada Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam:

يَا رَسُولَ اللَّهِ أَيُّ مَسْجِدٍ وُضِعَ فِي الْأَرْضِ أَوَّلَ قَالَ الْمَسْجِدُ الْحَرَامُ قَالَ قُلْتُ ثُمَّ أَيٌّ قَالَ الْمَسْجِدُ الْأَقْصَى قُلْتُ كَمْ كَانَ بَيْنَهُمَا قَالَ أَرْبَعُونَ سَنَةً

“Wahai Rasulullah, masjid apa yang dibangun pertama kali di muka bumi? Beliau menjawab: Masjidil Haram. Aku (Abu Dzar) berkata: lalu apa lagi? Beliau menjawab: Masjidi Aqsha. Aku bertanya lagi: berapa lama jarak keduanya? Beliau menjawab: empat puluh tahun. (HR. Bukhari No. 3186, Muslim No. 520, Ibnu Majah No. 753, Ibnu Hibban No. 1598, 6228, Al Baihaqi dalam As Sunan Al Kubra No. 4061, Ibnu Khuzaimah No. 787)

Yang dimaksud di bangun dalam hadits ini adalah fondasi dari kedua masjid itu. Sebab jika makna keduanya adalah masjid yang utuh, maka ada musykil. Berkata Imam Ibnul Jauzi:

فيه إشكال، لأن إبراهيم بنى الكعبة وسليمان بنى بيت المقدس وبينهما أكثر من ألف سنة انتهى

“Dalam hadits ini terdapat musykil, karena Ibrahim membangun Ka’bah dan Sulaiman membangun Baitul Maqdis, padahal  antara keduanya terpaut  jarak lebih dari seribu tahun. Selesai. (Fathul Bari, 6/408)

Ya, karena memang di beberapa riwayat shahih disebutkan bahwa Nabi Ibrahim membangun Kabah dan Nabi Sulaiman yang membangun Masjidil Aqsha. Maka, hadits di atas harus  dipahami bahwa yang dibangun saat itu adalah fondasinya.

Kemusykilan ini dijawab oleh Imam Ibnu  Al Jauzi dengan jawaban yang memuaskan. Katanya:

وجوابه أن الإشارة إلى أول البناء ووضع أساس المسجد وليس إبراهيم أول من بنى الكعبة ولا سليمان أول من بنى بيت المقدس، فقد روينا أن أول من بنى الكعبة آدم ثم انتشر ولده في الأرض، فجائز أن يكون بعضهم قد وضع بيت المقدس ثم بنى إبراهيم الكعبة بنص القرآن

“Jawabannya adalah bahwa isyaratnya menunjukkan yang dibangun adalah fondasinya masjid, Ibrahim bukanlah yang pertama membangun Kabah, dan Sulaiman bukanlah yang pertama kali membangun Baitul Maqdis. Kami telah meriwayatkan bahwa yang pertama kali membangun Kabah adalah Adam, kemudian anak-anaknya menyebar di muka bumi. Maka, boleh saja sebagian mereka membangun Baitul Maqdis, kemudian Ibrahim yang membangun Ka’bah menurut Nash Al Quran.  (Ibid)

Imam Al Qurthubi Rahimahullah juga mengatakan hal yang sama:

وكذا قال القرطبي: إن الحديث لا يدل على أن إبراهيم وسليمان لما بنيا المسجدين ابتدا وضعهما لهما، بل ذلك تجديد لما كان أسسه غيرهما

Demikian juga yang dikatakan oleh Al Qurthubi: sesungguhnya hadits ini tidaklah menunjukkan bahwa Ibrahim dan Sulaiman ketika  mereka berdua membangun dua masjid sebagai yang mengawali, tetapi mereka hanya memperbarui apa-apa yang telah difondasikan oleh selain mereka berdua. (Ibid)

Bersambung …

🌺☘🌷🌸🌾🌻🌴🍃

✏ Farid Nu’man Hasan

Serial Sejarah dan Keutamaan Al Aqsha Serta Kewajiban Melindunginya

Sejarah dan Keutamaan Al Aqsha Serta Kewajiban Melindunginya (Bag. 1)

Sejarah dan Keutamaan Al Aqsha Serta Kewajiban Melindunginya (Bag. 2)

Sejarah dan Keutamaan Al Aqsha Serta Kewajiban Melindunginya (Bag. 3)

Sejarah dan Keutamaan Al Aqsha Serta Kewajiban Melindunginya (Bag. 4)

Sejarah dan Keutamaan Al Aqsha Serta Kewajiban Melindunginya (Bag. 5)

Bolehkah Wanita Haid Memotong Kuku dan Rambut?

💥💦💥💦💥💦

📨 PERTANYAAN:

Assalamualaikum
Ustadz saya mau tanya
Apa alasan wanita yg sedang haid tidak boleh memotong kuku dan rambut? Dan mengapa pembalut us dicuci dulu sebelum dibuang, apakah ada alsan spritualnya?
Terimakasih

📬 JAWABAN

Wa ‘alaikumussalam wa Rahmatullah wa Barakatuh.
Bismillah wal Hamdulillah wash Shalatu was Salamu ‘Ala Rasulillah wa ba’d:

Di beberapa kitab para ulama memang ada anjuran untuk tidak memotong rambut dan kuku ketika haid atau junub, seperti Imam Al Ghazali dalam Ihya ‘Ulumuddin-nya. Sehingga hal ini menjadi keyakinan sebagian kaum muslimin.

Sebenarnya, hal ini tidak memiliki dasar dalam Al Quran, As Sunnah, dan ijma’. Baik secara global dan terpeinci, langsung dan tidak langsung, tersurat dan tersirat. Oleh karena itu pada dasarnya tidak apa-apa, tidak masalah memotong rambut dan kuku baik yang haid dan junub.

Hal ini merupakan bara’atul ashliyah, kembali kepada hulum asal, bahwa segala hal boleh-boleh saja selama tidak ada dalil khusus yang melarangnya dari pembuat syariat.

Rasulullah ﷺ bersabda:

الحلال ما أحل الله في كتابه والحرام ما حرم الله في كتابه وما سكت عنه فهو مما عفا عنه

“Yang halal adalah apa yang Allah halalkan dalam kitabNya, yang haram adalah yang Allah haramkan dalam kitabNya, dan apa saja yang di diamkanNya, maka itu termasuk yang dimaafkan.”
(HR. At Tirmidzi No. 1726, katanya: hadits gharib. Ibnu Majah No. 3367, Ath Thabarani dalam Al Mu’jam Al Kabir No. 6124. Syaikh Al Albani mengatakan: hasan. Lihat Shahih wa Dhaif Sunan At Tirmidzi No. 1726. Juga dihasankan oleh Syaikh Baari’ ‘Irfan Taufiq dalam Shahih Kunuz As sunnah An Nabawiyah, Bab Al Halal wal Haram wal Manhi ‘Anhu, No. 1)

Kaidah ini memiliki makna yang sangat besar dalam kehidupan manusia. Mereka dibebaskan untuk melakukan apa saja dalam hidupnya baik dalam perdagangan, politik, pendidikan, militer, keluarga, penampilan, dan semisalnya, selama tidak ada dalil yang mengharamkan, melarang, dan mencelanya, maka selama itu pula boleh-boleh saja untuk dilakukan. Ini berlaku untuk urusan duniawi mereka. Tak seorang pun berhak melarang dan mencegah tanpa dalil syara’ yang menerangkan larangan tersebut.

Oleh karena itu, Imam Muhammad  At Tamimi Rahimahullah sebagai berikut menjelaskan kaidah itu:

أن كل شيء سكت عنه الشارع فهو عفو لا يحل لأحد أن يحرمه أو يوجبه أو يستحبه أو يكرهه

“Sesungguhnya segala sesuatu yang didiamkan oleh Syari’ (pembuat Syariat) maka hal itu dimaafkan, dan tidak boleh bagi seorang pun untuk mengharamkan, atau mewajibkan, atau menyunnahkan, atau memakruhkan.” (Imam Muhammad At Tamimi,  Arba’u Qawaid Taduru al Ahkam ‘Alaiha, Hal. 3. Maktabah Al Misykah)

Imam Ibnul Qayyim Rahimahullah mengatakan:

وهو سبحانه لو سكت عن إباحة ذلك وتحريمه لكان ذلك عفوا لا يجوز الحكم بتحريمه وإبطاله فإن الحلال ما أحله الله والحرام ما حرمه وما سكت عنه فهو عفو فكل شرط وعقد ومعاملة سكت عنها فإنه لا يجوز القول بتحريمها فإنه سكت عنها رحمة منه من غير نسيان وإهمال

Dia –Subhanahu wa Ta’ala- seandainya mendiamkan tentang kebolehan dan keharaman sesuatu, tetapi memaafkan hal itu, maka tidak boleh menghukuminya dengan haram dan membatalkannya, karena halal adalah apa-apa yang Allah halalkan, dan haram adalah apa-apa yang Allah haramkan, dan apa-apa yang Dia diamkan maka itu dimaafkan. Jadi, semua syarat, perjanjian, dan muamalah yang didiamkan oleh syariat, maka tidak boleh mengatakannya haram, karena mendiamkan hal itu merupakan kasih sayang dariNya, bukan karena lupa dan membiarkannya. (I’lamul Muwaqi’in, 1/344-345)

📘 Pandangan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Rahimahullah

Tertulis dalam Majmu’ Al Fatawa-nya:

وَسُئِلَ: عَنْ الرَّجُلِ إذَا كَانَ جُنُبًا وَقَصَّ ظُفْرَهُ أَوْ شَارِبَهُ أَوْ مَشَطَ رَأْسَهُ هَلْ عَلَيْهِ شَيْءٌ فِي ذَلِكَ؟ فَقَدْ أَشَارَ بَعْضُهُمْ إلَى هَذَا وَقَالَ: إذَا قَصَّ الْجُنُبُ شَعْرَهُ أَوْ ظُفْرَهُ فَإِنَّهُ تَعُودُ إلَيْهِ أَجْزَاؤُهُ فِي الْآخِرَةِ فَيَقُومُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَعَلَيْهِ قِسْطٌ مِنْ الْجَنَابَةِ بِحَسَبِ مَا نَقَصَ مِنْ ذَلِك

َ وَعَلَى كُلِّ شَعْرَةٍ قِسْطٌ مِنْ الْجَنَابَةِ: فَهَلْ ذَلِكَ كَذَلِكَ أَمْ لَا؟
فَأَجَابَ
قَدْ ثَبَتَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ حَدِيثِ حُذَيْفَةَ وَمِنْ حَدِيثِ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا {: أَنَّهُ لَمَّا ذَكَرَ لَهُ الْجُنُبَ قَالَ: إنَّ الْمُؤْمِنَ لَا يَنْجُسُ} . وَفِي صَحِيحِ الْحَاكِمِ: {حَيًّا وَلَا مَيِّتًا} . وَمَا أَعْلَمُ عَلَى كَرَاهِيَةِ إزَالَةِ شَعْرِ الْجُنُبِ وَظُفْرِهِ دَلِيلًا شَرْعِيًّا بَلْ قَدْ {قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِلَّذِي أَسْلَمَ: أَلْقِ عَنْك شَعْرَ الْكُفْرِ وَاخْتَتِنْ} فَأَمَرَ الَّذِي أَسْلَمَ أَنْ يَغْتَسِلَ وَلَمْ يَأْمُرْهُ بِتَأْخِيرِ الِاخْتِتَانِ. وَإِزَالَةِ الشَّعْرِ عَنْ الِاغْتِسَالِ فَإِطْلَاقُ كَلَامِهِ يَقْتَضِي جَوَازَ الْأَمْرَيْنِ. وَكَذَلِكَ تُؤْمَرُ الْحَائِضُ بِالِامْتِشَاطِ فِي غُسْلِهَا مَعَ أَنَّ الِامْتِشَاطَ يَذْهَبُ بِبَعْضِ الشَّعْرِ. وَاَللَّهُ أَعْلَمُ.

Ditanyakan:

Tentang seorang laki-laki yang junub dia memotong kukunya, atau kumisnya, atau menyisir kepalanya apakah dia terkena suatu hukum? Sebagian orang telah mengisyaratkan hal   demikian dan mengatakan: “Jika seorang junub memotong rambut atau kukunya maka pada hari akhirat nanti bagian-bagian yang dipotong itu akan kembali kepadanya dan akan menuntutnya untuk dimandikan, apakah memang demikian?”

Jawaban:

Telah shahih dari Nabi ﷺ yang diriwayatkan dari Hudzaifah dan Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhuma,  yaitu ketika ditanyakan kepadanya tentang status orang junub, maka Beliau ﷺ bersabda: “Seorang mu’min itu tidak najis.” Dalam riwayat yang Shahih dari Al Hakim: “Baik keadaan hidup dan matinya”

Saya tidak dapatkan dalil syar’i yang memakruhkan memotong rambut dan kuku bagi orang yang junub.  Justru Nabi ﷺ  memerintahkan orang yang masuk islam, “Hilangkan darimu rambut kekufuran dan berkhitanlah.” Beliau juga memerintahkan orang yang masuk Islam untuk mandi. Dan beliau tidak memerintahkan agar potong rambut dan khitannya dilakukan setelah mandi. Tidak adanya perintah, menunjukkan bolehnya potong kuku dan berkhitan sebelum mandi. Begitu pula diperintahkannya (oleh Nabi) kepada  wanita haid untuk menyisir rambutnya padahal menyisir rambut akan merontokan sebagian rambutnya. Wallahu A’lam.” (Majmu’ Al Fatawa, 21/121)

Ada pun mencuci darah dari pembalut sebelum dibuang, hanyalah kepentingan kebersihan dan sanitasi semata.

Wallahu A’lam

🌺🍃☘🌷🌸🌾🌴

✏ Farid Nu’man Hasan

Tafsir Surat Al Mulk (Bagian 15)

📂 Adzab yang Dinantikan Akhirnya Datang

📌 Teks Ayat

فَلَمَّا رَأَوْهُ زُلْفَةً سِيئَتْ وُجُوهُ الَّذِينَ كَفَرُوا وَقِيلَ هَذَا الَّذِي كُنْتُمْ بِهِ تَدَّعُونَ (27)

Maka ketika mereka melihat azab ( pada hari kiamat) sudah dekat, wajah orang-orang kafir itu menjadi muram. Dan dikatakan (kepada mereka), “Inilah (azab) yang dahulu kamu memintanya.”

📌 Tinjauan Bahasa

زُلْفَةً

semakin dekat.

وُجُوهُ

Wajah-wajah

📌 Kandungan Ayat

Ketika kiamat datang, orang-orang kafir pun menyaksikannya. Mereka akan melihat bahwa apa yang dulu pernah dijanjikan benar-benar akan terjadi. Kiamat pasti datang, walaupun dirasa masih lama waktunya. Ketika kiamat itu benar-benar terjadi, jadilah muram wajah-wajah mereka (orang-orang kafir). Mereka akan tahu bahwa di hari itu kejelekan akan menimpa mereka. (Tafsir Ibnu Katsir, 8/182)

هَذَا الَّذِي كُنْتُمْ بِهِ تَدَّعُونَ

Dan dikatakan (kepada mereka) inilah (azab) yang dahulunya kamu selalu meminta-mintanya”.

Selanjutnya Allah memerintahkan kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk mengatakan kepada orang-orang musyrik yang menentang nikmat-nikmat Allah.

Imam An Nasafi menyebutkan dalam tafsirnya:

{سِيئَتْ وُجُوهُ الذين كَفَرُواْ}

أي ساءت رؤية الوعد وجوههم بأن علتها الكآبة والمساءة وغشيتها الفترة والسواد

Wajah-wajah kaum kafir muram ketika melihat janji Allah, karena kecemasan yang melingkupi mereka dalam kelemahan dan suram ( Tafsir An Nasafi,3/517)

قُلْ أَرَأَيْتُمْ إِنْ أَهْلَكَنِيَ اللَّهُ وَمَنْ مَعِيَ أَوْ رَحِمَنَا فَمَنْ يُجِيرُ الْكَافِرِينَ مِنْ عَذَابٍ أَلِيمٍ

Katakanlah: “Terangkanlah kepadaku jika Allah mematikan aku dan orang-orang yang bersama dengan aku atau memberi rahmat kepada kami, (maka kami akan masuk surga), tetapi siapakah yang dapat melindungi orang-orang yang kafir dari siksa yang pedih?” (QS. Al Mulk: 28).

Yang dapat melindungi mereka dari siksa yang pedih adalah dengan bertaubat dan kembali pada agama Allah yang benar. Namun ketika adzab tersebut sudah menghampiri mereka di hari kiamat kelak, tentu saja taubat tidak berguna, dan sesal tiada arti.

🌺🌸🍃🌹🍀🌾🌴🌾

✏ Fauzan Sugiono

Serial Tafsir Surat Al Mulk:

Tafsir Surat Al Mulk ( Bagian 1) Gambaran Umum Surat Al Mulk

Tafsir Surat Al Mulk ( Bagian 2)

Tafsir Surat Al Mulk ( Bagian 3) Amal Terbaik

Tafsir Surat Al Mulk ( Bagian 4) Allah Menciptakan Tujuh Langit Berlapis-lapis

Tafsir Surat Al Mulk ( Bagian 5) Bintang dilangit dijadikan Allah alat pelempar syetan

Tafsir Surat Al Mulk ( Bagian 6) ILUSTRASI MURKA NERAKA KEPADA ORANG-ORANG KAFIR

Tafsir Surat Al Mulk ( Bagian 7) PENYESALAN ORANG-ORANG KAFIR

Tafsir Surat Al Mulk ( Bagian 8) ALLAH MENGETAHUI YANG TERSEMBUYI DAN NYATA

Tafsir Surat Al Mulk ( Bagian 9) ALLAH MAHA PEMBERI RASA AMAN

Tafsir Surat Al Mulk ( Bagian 10) DESKRIPSI KEKUASAAN ALLAH PADA SEEKOR BURUNG

Tafsir Surat Al Mulk ( Bagian 11) ALLAH MAHA PENOLONG, ALLAH PEMBERI REZEKI

Tafsir Surat Al Mulk ( Bagian 12) Perumpamaan Orang Yang Mendapat Petunjuk

Tafsir Surat Al Mulk ( Bagian 13) Nikmat Pendengaran, Penglihatan dan Hati Nurani

Tafsir Surat Al Mulk ( Bagian 14) Hanya Allah Yang Maha Tahu Kapan Datangnya Hari Kiamat

Tafsir Surat Al Mulk ( Bagian 15) Adzab yang Dinantikan Akhirnya Datang

Tafsir Surat Al Mulk ( Bagian 16) Allah Maha Mematikan dan Memberi Rahmat, Tawakal Hanya Kepada-Nya, serta Dia Maha Pemberi Nikmat air

Gerhana Tertutup Awan, Apakah Tetap Dilaksanakan Sholat?

Syarat shalat gerhana adalah jika terjadi gerhana, secara de facto memang terjadi di langit sana

📌 Apakah harus kelihatan? Menurut hadits shahih Muslim memang seperti itu, tapi juga tidak ada hadits “jika tertutup awan atau mendung maka jangan shalat ..” atau “sempurnakan mungkin gerhananya besok ..”

📌 Zaman itu pakai penglihatan karena itulah satu-satunya cara untuk mengetetahui gerhana atau tidak, ini yang mesti disadari betul

📌 Saat ini sudah ada ahlinya apakah gerhana terjadi atau tidak

📌bahkan mereka sudah tahu kadar berapa persen gerhana di sebuah daerah, yaitu lembaga semacam BMKG

📌 mereka sudah mengumumkan daerah yang mengalami gerhana karena mereka melihatnya, dan ini sudah pekerjaan mereka puluhan tahun lamanya, dan tidak ada gejolak ketika menjadikannya sebagai shalat gerhana sejak lama

📌Walau kita -orang biasa-  tidak melihatnya di hari H, tapi BMKG sudah melihatnya dengan alat-alat mereka

📌Maka, itu sudah mencukupi, sebab penglihatan 1 org adil dan terpercaya sudah cukup, apalagi lebih satu pakar yang melihatnya.

📌Apakah gerhana harus dilihat seluruh manusia? Tidak demikian, penglihatan para pakar sudah cukup.

📌 Fatwa Syaikh Utsaimin benar, dia mensyaratkan penglihatan

📌Fatwa itu sudah cocok dengan apa yang sedang terjadi bahwa gerhana terjadi dan terlihat oleh orang-orang terpercaya, dengan ilmu dan alat-alat mereka, secara de facto dan de jure memang terjadi

📌 Nama daerah tidak disebut maka ikuti daerah paling dekat, sebab tidak mungkin jakarta terjadi gerhana lalu bandung juga, tapi bekasi tidak terjadi.

📌 Pendapat dan fatwa seorang ulama bisa diterima bisa ditolak kecuali Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam

Wallahu  a’lam

☘🌺🌻🌴🍃🌾🌷🌸

✏ Farid Nu’man Hasan

scroll to top