Membaca Al Quran Sampai Mengganggu Ibadah Muslim Lainnya

💥💦💥💦💥💦

Diriwayatkan dari Al Bayadhi:

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَرَجَ عَلَى النَّاسِ وَهُمْ يُصَلُّونَ وَقَدْ عَلَتْ أَصْوَاتُهُمْ بِالْقِرَاءَةِ فَقَالَ إِنَّ الْمُصَلِّي يُنَاجِي رَبَّهُ عَزَّ وَجَلَّ فَلْيَنْظُرْ مَا يُنَاجِيهِ وَلَا يَجْهَرْ بَعْضُكُمْ عَلَى بَعْضٍ بِالْقُرْآنِ

“Bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam keluar menuju mesjid dan manusia sedang shalat, mereka meninggikan suara mereka dalam membaca Al Quran, maka Nabi bersabda: “Sesungguhnya orang yang shalat adalah orang sedang bermunajat dengan Rabb-nya ‘Azza wa Jalla maka konsentrasilah dengan munajatnya itu! Dan janganlah kalian saling mengeraskan suara dalam membaca Al Quran.” (HR. Ahmad No. 19022. Syaikh Syu’aib Al Arna-uth mengatakan: shahih. Ta’liq Musnad Ahmad No. 19022)

Dari Abu Said al Khudri Radhiallahu ‘Anhu:

اعْتَكَفَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي الْمَسْجِدِ فَسَمِعَهُمْ يَجْهَرُونَ بِالْقِرَاءَةِ فَكَشَفَ السِّتْرَ وَقَالَ أَلَا إِنَّ كُلَّكُمْ مُنَاجٍ رَبَّهُ فَلَا يُؤْذِيَنَّ بَعْضُكُمْ بَعْضًا وَلَا يَرْفَعْ بَعْضُكُمْ عَلَى بَعْضٍ فِي الْقِرَاءَةِ أَوْ قَالَ فِي الصَّلَاةِ

“Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam i’tikaf di masjid, beliau mendengar manusia mengeraskan suara ketika membaca Al Quran, maka dia membuka tirai dan bersabda: “ Ketahuilah sesungguhnya setiap kalian ini bermunajat kepada Rabbnya, maka jangan kalian saling mengganggu satu sama lain, dan jangan saling tinggikan suara kalian dalam membaca Al Quran atau di dalam shalat.” (HR. Abu Daud No. 1334, Ibnu Khuzaimah No. 1162, Abdurrazzaq dalam Al Mushannaf No. 4216, dll. Dishahihkan oleh Syaikh Al Albani, Syaikh Salim Husein Asad, Syaikh Syu’aib Al Arnauth)

Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah mengatakan:

يحرم رفع الصوت على وجه يشوش على المصلين ولو بقراءة القرآن. ويستثنى من ذلك درس العلم

“Diharamkan mengeraskan suara (dimasjid) hingga menyebabkan terganggunya orang shalat walau pun yang dibaca itu adalah Al Quran, dikecualikan bagi yang sedang proses belajar mengajar Al Quran.” (Fiqhus Sunnah, 1/251)

Wallahu a’lam

🍃🌴🌻🌸🌾🌺☘🌷

✏ Farid Nu’man Hasan

Makan Daging Qurban Sendiri

💢💢💢💢💢💢

📨 PERTANYAAN:

Aslkm. Ustadz, mohon pencerahannya.. apakah ketika memberikan hak mudhohi wajib dr hewan yg mudhohi qurbankan? Misalkan sapi mudhodi 1 apa harus diambil dr sapi tsb Atau ada kelonggaran boleh dr hewan qurban yg mana saja yg penting sesuai dgn jumlah hak nya? Jzk (08131722xxxx)

📬 JAWABAN

🍃🍃🍃🍃🍃🍃
Wa’alaikumussalam wa Rahmatullah wa barakatuh …

Ya dia boleh menerima dari hewan dia sendiri, sebagaimana ayat:

فَكُلُوا مِنْهَا وَأَطْعِمُوا الْبَائِسَ الْفَقِيرَ

“.. Maka makanlah sebahagian daripadanya dan (sebahagian lagi) berikanlah untuk dimakan orang-orang yang sengsara dan fakir.” (QS. Al Hajj (22): 28)

Ayat ini menunjukkan bahwa pemilik hewan Qurban berhak memakannya, lalu dibagikan untuk orang sengsara dan faqir, mereka adalah pihak yang lebih utama untuk mendapatkannya. Selain mereka pun boleh mendapatkannya, walau bukan prioritas.

Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah memaparkan cara pembagian sebagai berikut:

للمهدي أن يأكل من هديه الذي يباح له الاكل منه أي مقدار يشاء أن يأكله، بلا تحديد، وله كذلك أن يهدي أو يتصدق بما يراه. وقيل: يأكل النصف، ويتصدق بالنصف وقيل: يقسمه أثلاثا، فيأكل الثلث، ويهدي الثلث، ويتصدق بالثلث

“Si pemiliki hewan kurban dibolehkan makan bagian yang dibolehkan baginya sesuai keinginannya tanpa batas. DIa pun boleh menghadiahkan atau mensedekahkan sesuka hatinya. Ada pula yang mengatakan dia boleh memakannya setengah dan mensedekahkan setengah. Dan dikatakan: dibagi tiga bagian, untuknya adalah sepertiga, dihadiahkan sepertiga, dan disedekahkan sepertiga”. (Fiqhus Sunnah, 1/742-743)

Tapi, jika qurban wajib seperti qurban karena NADZAR tidak boleh baginya memakannya menurut sebagian ulama, namun boleh bagi sebagian lain.

Penjelasannya:

اما اذا وجبت الاضحية ففى حكم الاكل منها اختلاف الفقهاء

Ada pun jika qurban yang wajib, maka hukum memakannya para ulama berselisih pendapat. (Al Mausu’ah Al Fiqhiyah, 6/116)

Tapi, pendapat yang hati-hati adalah tidak memakannya. Jadi, yang boleh adalah yang qurban sunah saja.

Demikian. Wallahu a’lam

🌷🌴🌱🌸🍃🍄🌾🌹

✍ Farid Nu’man Hasan

Membicarakan Urusan Dunia Di Masjid

📖📖📖📖

Hal ini juga dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan para sahabatnya di masjid.

Dari Harb bin Simak, katanya:

قُلْتُ لِجَابِرِ بْنِ سَمُرَةَ أَكُنْتَ تُجَالِسُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ نَعَمْ كَثِيرًا كَانَ لَا يَقُومُ مِنْ مُصَلَّاهُ الَّذِي يُصَلِّي فِيهِ الصُّبْحَ أَوْ الْغَدَاةَ حَتَّى تَطْلُعَ الشَّمْسُ فَإِذَا طَلَعَتْ الشَّمْسُ قَامَ وَكَانُوا يَتَحَدَّثُونَ فَيَأْخُذُونَ فِي أَمْرِ الْجَاهِلِيَّةِ فَيَضْحَكُونَ وَيَتَبَسَّم

Saya berkata kepada Jabir bin Samurah: Apakah kau pernah bermajelis dengan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam? Beliau menjawab: “Ya, banyak. Beliau tidaklah bangun dari tempat shalatnya di waktu shalat subuh atau pagi sampai terbitnya matahari. Jika matahari telah terbit dia bangun. Dahulu mereka membicarakan peristiwa-peristiwa yang mereka alami ketika masih jahiliyah, lalu mereka tertawa dan tersenyum.” (HR. Muslim No. 670, Abu Daud No. 1294, Ahmad No. 20844, Ibnu Hibban No. 6259)

Imam An Nawawi Rahimahullah mengomentari hadits ini:

يَجُوزُ التَّحَدُّثُ بالْحَدِيثِ الْمُبَاحِ فِي الْمَسْجِدِ وَبِأُمُورِ الدُّنْيَا وَغَيْرِهَا مِنَ الْمُبَاحَاتِ وَإِنْ حَصَل فِيهَا ضَحِكٌ وَنَحْوُهُ مَا دَامَ مُبَاحًا

Dibolehkan berbicara dengan pembicaraan yang mubah di dalam masjid dan urusan dunia dan selainnya yang mubah, walaupun melahirkan tawa dan semisalnya selama berasal dari yang mubah. (Al Majmu’ Syarh Al Muhadzdzab, 2/180)

Sebenarnya para ulama khilafiyah, sebagaimana keterangan berikut:

فذهب الحنفية والمالكية والحنابلة إلى كراهة الكلام في المساجد بأمر من أمور الدنيا
قال الحنفية: والكلام المباح فيه مكروه يأكل الحسنات كما تأكل النار الحطب فإنه مكروه والكراهة تحريمية، لأن المساجد لم تبن له. وقال الحنابلة: ويكره أن يخوض في حديث الدنيا، ويشتغل بالطاعة من الصلاة والقراءة والذكر  وذهب الشافعية إلى جواز الكلام المباح في المسجد

Pendapat Hanafiyah, Malikiyah, dan Hanabilah bahwa makruh berbicara urusan dunia di masjid. Hanafiyah mengatakan: “Pembicaraan yang mubah di masjid adalah makruh, akan menghabiskan kebaikan-kebaikan sebagaimana api membakar kayu bakar, maka itu makruh tahrim, karena masjid tidak dibangun untuk itu. Hanabilah mengatakan: dimakruhkan ikut campur membicarakan dunia dan membuatnya sibuk dari melakukan ketaatan berupa shalat,  membaca Al Quran, dan berdzikir. Pendapat Syafi’iyah membolehkan berbicara yang mubah di masjid. .. (Al Mausu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah, 35/118)

Namun, pendapat Syafi’iyah lebih kuat berdasarkan hadits di atas. Hanya saja membiasakan diri membicarakan perkara dunia di masjid juga bukan hal yang patut. Oleh karenanya hendaknya ini tidak menjadi kebiasaan agar masjid tidak menjadi seolah kedai kopi, yang tidak memiliki kewibawaan dan kemuliaan.

Wallahu A’lam

🌾🌺🍂🍃🍀☘🌷🌸🍄🌼🌻🌿

✏ Farid Nu’man Hasan

Wudhu Pakai Kaus Kaki

💢💢💢💢💢

📨 PERTANYAAN:

السلام عليكم ورحمة الله وبركاته

Ust. Nu’ man, sy ingin
bertanya hal wudhu. Di tempat sy tinggal skrg, ada org yg selalu pakai kaos kaki sepanjang musim, dr musim dingin sampai musim panas lagi. Kaos kakinya hanya dibuka jika org tsb mau tidur. Dlm sehari semalam,saat org itu berwudhu, ia hanya mengelap kaos kakinya saja tanpa membuka si kaos kaki tadi. Saya menilai cara wudhu tsb kurang pas. Bagaimana mnrt ust?. Terima ksh sblmnya, Ust. Nu’man.

📬 JAWABAN

🍃🍃🍃🍃🍃

Wa’alaikumussalam wa Rahmatullah wa Barakatuh ..

Bismillah wal Hamdulillah ..

Dalam Sunnah yg shahih, kita tidak dapatkan dari petunjuk Nabi Shallallahu’Alaihi wa Sallam tentang wudhu menggunakan jaurab (kaus kaki).

Syaikh Muhammad Shalih Al Munajjid Hafizhahullah mengatakan:

لم يصح عن النبي صلى الله عليه وسلم شيء في المسح على الجوربين

Tidak ada yg shahih dari Nabi Shallallahu’Alaihi wa Sallam sedikit pun tentang mengusap kaos kaki (saat wudhu). (Selesai)

Tapi, yang ada dalam sunah adalah memakai khuf.

Dari Mughirah bin Syu’bah Radhiallahu ‘Anhu:

تَوَضَّأَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَمَسَحَ عَلَى الْخُفَّيْنِ وَالْعِمَامَةِ

Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam berwudhu dan mengusap khuf dan surbannya. (HR. at Tirmidzi No. 93, Shahih)

Apa perbedaan antara kaus kaki dan khuf?

Syaikh Muhammad Shalih Al Munajjid menjelaskan:

والفرق بين الجورب وبين الخف : أن الخف يكون مصنوعاً من الجلد ، أما الجورب فلا يكون من الجلد ، بل من الصوف أو الكتان ، أو القطن ، ونحو ذلك
وفي وقتنا الحاضر يصنع الجورب أيضاً من النايلون

Perbedaan antara kaus kaki dan khuf adalah khuf terbuat dari kulit, adapun jaurab bukan dari kulit, tapi dari wol, katun, dan semisalnya.
Di zaman kita sekarang kaus kaki dibuat juga dari Nilon. (Selesai)

Nah .., lantas apakah tidak boleh wudhu dalam keadaan pakai kaus kaki? Jawabnya adalah boleh, sebab itu dilakukan para sahabat Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.

Imam Ibnul Mundzir Rahimahullah berkata:

رُوِيَ إِبَاحَةُ الْمَسْحِ عَلَى الْجَوْرَبَيْنِ عَنْ تِسْعَةٍ مِنْ أَصْحَابِ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : عَلِيِّ بْنِ أَبِي طَالِبٍ ، وَعَمَّارِ بْنِ يَاسِرٍ ، وَأَبِي مَسْعُودِ ، وَأَنَسِ بْنِ مَالِكٍ ، وَابْنِ عُمَرَ ، وَالْبَرَاءِ بْنِ عَازِبٍ ، وَبِلَالٍ ، وَأَبِي أُمَامَةَ ، وَسَهْلِ بْنِ سَعْدٍ

Diriwayatkan bahwa dibolehkan mengusap kaus kaki, dari sembilan sahabat Rasulullah Shallallahu’Alaihi wa Sallam; Ali bin Abi Thalib, Ammar bin Yaasir, Abu Mas’ud, Anas bin Malik, Ibnu Umar, Al Bara bin ‘Aazib, Bilal, Abu Umamah, dan Sahl bin Sa’ad. (Al Awsath, 1/462)

Bahkan, kebolehan ini disebutkan Ijma’ (konsensus) para sahabat Nabi Shallallahu’Alaihi wa Sallam.

Imam Ibnu Qudamah Rahimahullah:

الصَّحَابَة رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ، مَسَحُوا عَلَى الْجَوَارِبِ ، وَلَمْ يَظْهَرْ لَهُمْ مُخَالِفٌ فِي عَصْرِهِمْ ، فَكَانَ إجْمَاعًا

Para sahabat Radhiyallahu ‘Anhum mereka mengusap kaus kaki, dan tidak ada yang menyelisihi mereka di zaman mereka, dan ini adalah Ijma’. (Al Mughni, 1/215)

Namun demikian bolehnya wudhu dengan mengenakan kaus kaki memiliki syarat.

1. Kaus kaki harus mirip dengan khuf yaitu tebal dan bisa dipakai jalan.

عامة من أجاز المسح على الجوربين من العلماء : اشترط للمسح عليهما أن يكونا ثخينين ، يمكن متابعة المشي فيهما

Umumnya ulama yang membolehkan memakai kaus kaki memberikan syarat hendaknya kaus kaki tersebut tebal dan memungkinkan dipakai untuk jalan kaki (tanpa sepatu, pen). (Al Mabsuth, 1/102, Al Majmu’, 1/483, Al Inshaf, 1/170)

2. Jika tipis dan basah ketika kena air (rembes), maka tidak boleh.

Imam Al Kasaniy berkata:

فَإِنْ كَانَا رَقِيقَيْنِ يَشِفَّانِ الْمَاءَ ، فلَا يَجُوزُ الْمَسْحُ عَلَيْهِمَا بِالْإِجْمَاعِ

Jika kaus kaki itu tipis dan nyerap air, maka tidak boleh membasuh kedua berdasarkan Ijma’. (Bada’i Ash Shana’i, 1/10)

Imam Ibnu Taimiyah Rahimahullah :

وَإِنْ كَانَ رَقِيقًا … لَمْ يُمْسَحْ عَلَيْهِ ؛ لِأَنَّ فِي مِثْلِهِ لَا يُمْشَى فِيهِ عَادَةً ، وَلَا يُحْتَاجُ إِلَى الْمَسْحِ عَلَيْهِ

Jika kaus kaki itu tipis .. tidak boleh diusap karena yang seperti itu biasanya tidak bisa dipakai jalan, dan tidak dibutuhkan mengusapnya. (Syarh ‘Umdah Al Fiqh, 1/251)

Jadi, jika kaus kaki yang dipakai tidak memenuhi syarat ini, maka tidak boleh dibasuh atasnya saat wudhu. Dia mesti melepaskan, lalu wudhu secara normal.

Wallahu a’lam

🍀🌷🌸🍃🎋☘🌹

✍ Farid Nu’man Hasan

 

scroll to top