Sejarah dan Keutamaan Al Aqsha Serta Kewajiban Melindunginya (Bag. 3)

💦💦💥💥💦💦💥💥

📌 Shalat Di Dalamnya Bernilai  Ratusan kali di masjid lain, kecuali Masjidil Haram dan Masjid An Nabawi

Sebenarnya ada beberapa riwayat yang berlainan berkenaan   keutamaan shalat di dalamnya, ada yang menyebut 1000 kali, 500 kali, dan 250 kali lebih utama dibanding masjid biasa.
Dari Abu Dzar Radhiallahu Anhu, ketika kami sedang berada di sisi Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, kami bertanya: Lebih utama mana, shalat di masjid Rasulullah atau di masjid Al Aqsha?”

Beliau  bersabda:

صلاة في مسجدي هذا أفضل من أربع صلوات فيه

“Shalat di masjidku ini lebih utama empat kali lipat dibanding shalat di dalam masjidil Aqsha.” (HR. Al Hakim 4/509. Katanya: isnadnya shahih, dan disepakati oleh Adz Dzahabi)

Ini menunjukkan, shalat di masjid Al Aqsha adalah ¼ kali nilainya shalat di Masjid Nabawi. Jika Masjid Nabawi bernilai 1000 kali shalat di masjid biasa, maka nilai shalat di masjid Al Aqsha adalah 250 kali shalat di masjid biasa.

Sementara dalam riwayat Maimunah disebutkan bahwa shalat di Masjid Al Aqsha sama dengan 1000 shalat di masjid biasa, ada pun dalam riwayat Abu Darda disebutkan 500 kali lipat. Syaikh Al Albani Rahimahullah mengatakan:

فيقال : إن الله سبحانه وتعالى جعل فضيلة الصلاة في الأقصى مائتين وخمسين صلاة أولا ثم أوصلها إلى الخمسمائة ثم إلى الألف فضلا منه تعالى على عباده ورحمة . والله تعالى أعلم بحقيقة الحال

“Maka disebutkan: Sesungguhnya Allah Ta’ala pada awalnya  menjadikan fadhilah shalat di Al Aqsha adalah 250 kali, kemudian menaikkannya menjadi 500 kali, kemudian menjadi 1000 kali, sebagai keutamaan dan rahmat dariNya untuk hamba-hambaNya. Allah Yang Maha Tahu  hakikat keadaannya. (Syaikh Al Albani, Ats tsamar Al Mustathab fi Fiqhis Sunnah wal Kitab, Hal. 549.  Cet. 1, Ghiras Lin Nasyr wat Tauzi)

📌Masjidil Aqsha dan Sekitarnya Adalah Diberkahi

Allah Taala berfirman:

سُبْحَانَ الذى أسرى بِعَبْدِهِ لَيْلاً مّنَ المسجد الحرام إلى المسجد الاقصى الذى بَارَكْنَا حَوْلَهُ لِنُرِيَهُ مِنْ ءاياتنا إنَّهُ هُوَ السميع البصير

“Maha suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Al Masjidil Haram ke Al Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha mendengar lagi Maha mengetahui. (QS. Al Isra (17): 1)

Berkata  Imam Ali Asy Syaukani Rahimahullah tentang makna telah Kami berkahi sekelilingnya:

بالثمار والأنهار والأنبياء والصالحين ، فقد بارك الله سبحانه حول المسجد الأقصى ببركات الدنيا والآخرة

“Dengan buah-buahan, sungai, para nabi dan shalihin, maka Allah Subhanahu wa Ta’ala telah memberikan keberkahan di sekitar masjid Al Aqsha dengan keberkahan dunia dan akhirat. (Imam Asy Syaukani, Fathul Qadir, 4/280. Mawqi Ruh Al Islam)

Bersambung …

🍃🌻🌴🌸🌾☘🌺🌷

✏ Farid Nu’man Hasan

Serial Sejarah dan Keutamaan Al Aqsha Serta Kewajiban Melindunginya

Sejarah dan Keutamaan Al Aqsha Serta Kewajiban Melindunginya (Bag. 1)

Sejarah dan Keutamaan Al Aqsha Serta Kewajiban Melindunginya (Bag. 2)

Sejarah dan Keutamaan Al Aqsha Serta Kewajiban Melindunginya (Bag. 3)

Sejarah dan Keutamaan Al Aqsha Serta Kewajiban Melindunginya (Bag. 4)

Sejarah dan Keutamaan Al Aqsha Serta Kewajiban Melindunginya (Bag. 5)

Doa Khusus Setelah Shalat Dhuha, Adakah?

💥💦💥💦💥💦

📨 PERTANYAAN:

Apakah doa shalat dhuha ini shahih ?

اَللهُمَّ اِنَّ الضُّحَآءَ ضُحَاءُكَ، وَالْبَهَاءَ بَهَاءُكَ، وَالْجَمَالَ جَمَالُكَ، وَالْقُوَّةَ قُوَّتُكَ، وَالْقُدْرَةَ قُدْرَتُكَ، وَالْعِصْمَةَ عِصْمَتُكَ. اَللهُمَّ اِنْ كَانَ رِزْقِى فِى السَّمَآءِ فَأَنْزِلْهُ وَاِنْ كَانَ فِى اْلاَرْضِ فَأَخْرِجْهُ وَاِنْ كَانَ مُعَسَّرًا فَيَسِّرْهُ وَاِنْ كَانَ حَرَامًا فَطَهِّرْهُ وَاِنْ كَانَ بَعِيْدًا فَقَرِّبْهُ بِحَقِّ ضُحَاءِكَ وَبَهَاءِكَ وَجَمَالِكَ وَقُوَّتِكَ وَقُدْرَتِكَ آتِنِىْ مَآاَتَيْتَ عِبَادَكَ الصَّالِحِيْنَ

(HB)

📬 JAWABAN

🍃🍃🍃🍃🍃🍃🍃

Wa’alaikumussalam warahmatullah ..

Tidak ada doa khusus setelah Shalat Dhuha dalam sunnah Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Tapi, doa di atas ada dalam kitab-kitab madzhab Syafi’i.

Intinya doa apa pun boleh-boleh saja secara mutlak, sesuai hajat kita, termasuk doa susunan sendiri, selama:

1. Tidak bertentangan dengan doa-doa ma’tsur

2. Dan tidak dianggap dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.

Para sahabat nabi juga berdoa sesuai hajat mereka masing- masing. Dan itu tertera dalam sumber-sumber shahih. Oleh karena itu mayoritas ulama membolehkan berdoa susunan sendiri namun lebih afdhal memang doa yang ma’tsur.

Syaikh Abdullah Al Faqih Hafizhahullah berkata:

فلا حرج على المسلم أن يدعو بدعاء يعبر فيه عن حاجته ورغبته أو كشف ضره، ولكنه إذا دعا بالأدعية المأثورة عن النبي صلى الله عليه وسلم أو غيره من الأنبياء كما جاء في القرآن الكريم أو السنة المطهرة كان أفضل، وعليه أن يختار من الأدعية ما يتناسب مع المقام الذي هو فيه أو الحاجة التي يطلبها، ولا مانع أن يجمع بين هذا وذلك ويركب من بينهما أدعية تعجبه وتناسب مقامه، فقد قال النبي صلى الله عليه وسلم: ثم يتخير من الدعاء أعجبه إليه فيدعوه . رواه البخاري

Tidak apa-apa bagi seorang muslim berdoa dengan kalimat yang di dalamnya tertera hajatnya, keinginannya, atau solusi atas kesulitannya. Tetapi, jika berdoa dengan doa-doa yang ma’tsur dari Nabi ﷺ atau dari para nabi lainnya, sebagaimana tertera dalam Al Quran, atau sunnah yang suci, maka itu lebih utama. Hendaknya dia memilih doa yang sesuai dengan keadaannya, kedudukannya, atau kebutuhan yang dia inginkan. Tidak terlarang baginya menggabungkan antara doa yang ini dan itu, dan mempraktekkan keduanya dengan doa-doa yang dia sukai dan sesuai posisinya.

Nabi ﷺ telah bersabda: “.. kemudian dia memilih doa yang ia sukai maka berdoalah kepadaNya.” (HR. Al Bukhari).

(Fatawa Asy Syabakah Al Islamiyah, 10/124)

Wallahu A’lam

🌴🍄🌷🌱🌸🍃🌵🌾

✍ Farid Nu’man Hasan

Mendulang Faidah Dari Surat Al Fatihah (Bag. 1)

💦💥💦💥💦💥

📕 Makna Al Fatihah

Imam Ibnu Katsir Rahimahullah berkata:

يقال لها: الفاتحة، أي فاتحة الكتاب خطا، وبها تفتح  القراءة في الصلاة

Disebut Al Fatihah yaitu sebagai pembuka Al Quran secara khath (tulisan), dan dengannya bacaan dalam shalat dimulai. 1]

📗 Nama lain surat Al Fatihah

1⃣ Ummul Kitab dan Ummul Quran

ويقال لها أيضا: أم الكتاب عند الجمهور، وكره أنس، والحسن وابن سيرين كرها تسميتها بذلك، قال الحسن وابن سيرين: إنما ذلك اللوح المحفوظ، وقال الحسن :الآيات المحكمات :هن أم الكتاب، ولذا كرها  -أيضا -أن يقال لها أم القرآن وقد ثبت في[الحديث]   الصحيح عند الترمذي وصححه عن أبي هريرة قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: ” الحمد لله أم القرآن وأم الكتاب والسبع المثاني والقرآن العظيم “

Dinamakan juga: Ummul Kitab menurut jumhur (mayoritas) ulama. Tetapi Anas, Al Hasan, dan Ibnu Sirin memakruhkan menamakan Al Fatihah dengan itu. Al Hasan dan Ibnu Sirin berkata: Ummul kitab itu adalah Al Lauh Al Mahfuzh. Al Hasan berkata: Ayat-ayat muhkamat itulah Ummul Kitab. Oleh karenanya dimakruhkan pula menamakannya dengan Ummul Quran. Namun, telah shahih dalam hadits At Tirmidzi, dari Abu Hurairah katanya: bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Alhamdulillah adalah Ummul Quran dan Ummul Kitab dan tujuh ayat yang berulang-ulang, serta Al Quran yang mulia.” 2]

2⃣ Al Hamdu, karena diawali kalimat Al Hamdulillah.

3⃣ Ash Shalah (shalat), disebutkan dalam hadits qudsi:

قَالَ اللَّهُ تَعَالَى قَسَمْتُ الصَّلَاةَ بَيْنِي وَبَيْنَ عَبْدِي نِصْفَيْنِ فَنِصْفُهَا لِي وَنِصْفُهَا لِعَبْدِي وَلِعَبْدِي مَا سَأَلَ

Allah Ta’ala berfirman: “Aku membagi Ash Shalah antara diriKu dan hambaKu setengah-setengah. Setengah untukKu dan sebagian lain untuk hambaKu, dan bagi hambaKu akan mendapatkan apa yang dia minta…. 3]

4⃣ Asy Syifa (Obat), disebutkan dalam hadits:

فاتحة الكتاب شفاء من كل سم

Fatihatul Kitab adalah obat dari setiap racun/penyakit. 4]

5⃣  Ar Ruqyah (jampi)

Dari Abu Said Al Khudri, Nabi bertanya; (min aina ‘alimtum annaha ruqyah?) “Dari mana kamu tahu bahwa dia ruqyah?” 5]

Dalam riwayat Al Bukhari: (Wa maa yudrika annaha ruqyah?)“Apakah kamu tidak tahu bahwa dia ruqyah?” 6]

Dalam riwayat Al Bukhari lainnya: (Wa maa yudrihi annaha ruqyah?) “Apakah dia tidak tahu bahwa itu ruqyah?”. 7]

6⃣ Asasul Quran (Dasarnya Al Quran)

وروى الشعبي عن ابن عباس أنه سماها: أساس القرآن، قال: فأساسها  بسم الله الرحمن الرحيم

Asy Sya’bi meriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa Beliau menamakn Al Fatihah: Asasul Quran, dia berkata asasnya Al Fatihah adalah bismillahirrahmanirrahim. 8]

7⃣ Al Waaqiyah (pelindung), Imam Sufyan bin ‘Uyainah menamakannya dengan Al Waaqiyah

8⃣ Al Kaafiyah (yang mencukupi), ini dinamakan oleh Yahya bin Abi Kastir.

لأنها تكفي عما عداها ولا يكفي ما سواها عنها، كما جاء في بعض الأحاديث المرسلة: ” أم القرآن عوض من غيرها، وليس غيرها عوضا عنها

Karena Al Fatihah dapat mencukupi apa-apa yang tidak dipenuhi oleh selainnya, adapun selainnya tidak bisa memenuhi apa-apa yang bisa dicukupinya. Sebagaimana  tertera dalam sebagian hadits mursal: “Ummul Quran adalah penebus bagi selainnya, sedangkan selainnya tidaklah bisa menebus baginya.” 9]

9⃣  Al Kanzu (Kekayaan), ini dinamakan oleh Az Zamakhsyari. 10]

(Bersambung …)

🍃🌴🌻🌺☘🌷🌾🍀🌿

✏ Farid Nu’man Hasan


🍃🌾🍃🌾🍃🌾🍃🌾

[1] Imam Ibnu Katsir, Tafsir Al Quran Al ‘Azhim, 1/101. Cet. 2, 1999H-1420M. Daruth Thayyibah
[2] Ibid
[3] HR. Muslim No. 395, Abu Daud No. 3121, Ibnu Majah No. 1448, An Nasa’i dalam As Sunan Al Kubra No.  10193
[4] HR. At Tirmidzi No. 2878, Al Hakim, Al Mustaarak, 2/259, Ad Darimi No. 337, Al Baihaqi, Syu’abul Iman No. 2277. Status: Dhaif, Lihat Dhaiful Jami’ No. 3951
[5] HR. Abu Daud No. 3418, 3900. Hadits ini shahih. Lihat Shahih wa Dhaif Sunan Abi Daud No. 3418, 3900
[6] HR. Bukhari 2156, At Tirmidzi No. 2064, Ahmad No. 10985
[7] HR. Bukhari No. 4721
[8] Imam Ibnu Katsir, Tafsir Al Quran Al ‘Azhim, 1/101
[9] Ibid
[10] Semua ini ada pada Tafsir Ibnu Katsir, Muqadimah tafsir surat Al Fatihah

 

Mencela ISRAEL= Mencela Nabi Ya’qub ‘Alahissalam?

Oleh: Farid Nu’man Hasan

Mukadimah

Ketika sedang panasnya kondisi timur tengah, akibat penyerangan negeri zionis Yahudi menyerang Gaza, dunia internasional mengutuk negara tersebut.Tentunya juga kaum muslimin, dan mereka lebih berhak untuk mengutuknya. Namun, ditengah panasnya kondisi saat itu, timbul pernyataan yang nampaknya melawan arus yang datangnya dari dalam tubuh umat Islam sendiri, mereka mengecam orang-orang yang ‘mengecam’ Israel, dengan alasan Israel adalah nama lain dari Nabi Ya’qub, maka mengecam Israel sama juga, paling tidak seolah-olah mengecam Nabi Ya’qub ‘Alaihissalam. Ini, bukan hanya sekali mereka seperti itu. Mulai dari penentangan terhadap boikot produk Israel dan Amerika. Mengecam aksi istisyhadiyah para mujahidin Palestina. Menjelek-jelekkan HAMAS, dan sekarang, mereka menentang dunia Islam  yang sedang mengecam ‘Israel’, karena Israel adalah Nabi Ya’qub ..!

Benarkah anggapan mereka ini?

Istilah ‘Israel’ Dahulu dan Sekarang

Israel adalah nama lain dari Nabi Ya’qub ‘Alaihissalam adalah BENAR. Hal ini telah disepakati oleh para Imam kaum muslimin dari zaman ke zaman.

Imam Ibnu Katsir berkata dalam tafsirnya:

{ ذُرِّيَّةَ مَنْ حَمَلْنَا مَعَ نُوحٍ إِنَّهُ كَانَ عَبْدًا شَكُورًا } [الإسراء: 3] فإسرائيل هو يعقوب عليه السلام، بدليل ما رواه أبو داود الطيالسي: حدثنا عبد الحميد بن بهرام، عن شهر بن حَوشب، قال: حدثني عبد الله بن عباس قال: حضرت عصابة من اليهود نبي الله صلى الله عليه وسلم فقال لهم: “هل تعلمون أن إسرائيل يعقوب؟”. قالوا: اللهم نعم. فقال النبي صلى الله عليه وسلم: “اللهم اشهد

Allah Ta’ala berfirman: (yaitu) anak cucu dari orang-orang yang Kami bawa bersama-sama Nuh. Sesungguhnya Dia adalah hamba (Allah) yang banyak bersyukur. (QS. Al Isra’ (17): 3). Maka, Israil, dia adalah Ya’qub ‘Alaihissalam. Dalilnya adalah telah diriwayatkan oleh Abu Daud Ath Thayalisi: telah berkata kepada kami Abdul Hamid bin Bahram dari Syahr bin Hausyab dia berkata: telah berkata kepadaku Abdullah bin Abbas dia berkata: “Sekelompok Yahudi telah hadir dihadapan Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.  Maka Nabi bertanya kepada mereka: “APakah kalian tahu bahwa Israil itu adalah Ya’qub?” Mereka menjawab: “Ya Allah, benar!” lalu Nabi bersabda: “Ya Allah Saksikanlah!” (Tafsir Al Quran Al ‘Azhim, 1/241)

Inilah fakta sejarah yang tidak bisa diingkari oleh siapa pun. Namun, kita juga melihat ada fakta sejarah di zaman modern, dan ini pun tidak bisa diingkari oleh siapa pun juga, bahwa ada sebuah Negara yang bernama ISRAEL sejak awal berdirinya, terlepas dari apa dibalik motivasi mereka menggunakan nama itu.

Hal ini sama halnya dengan dua orang yang berbeda tetapi memiliki nama yang sama. Misal,   adanya fakta sejarah bahwa  dahulu ada seorang nabi mulia dan menjadi penghulu para Nabi, dan dia dijuluki Al Amin. Belakangan, di zaman modern ada seorang koruptor bernama Al Amin juga,  sehingga  manusia saat ini menyebutnya: Al Amin sang koruptor!! Nah, siapakah Al Amin yang dimaksud oleh mereka ini? Apakah ini adalah Al Amin julukan Nabi mulia tersebut? Tentu bukan …., Al Amin di sini sesuai konteks dan maksud mereka adalah Al Amin yang telah melakukan kejahatan korupsi. Hal ini, sama sekali tidaklah salah menurut syariat.

Faktanya pula, para ulama hadits sering melakukan celaan kepada sebagian perawi hadits seperti sebutan Al Kadzdzab (pendusta), matrukul hadits (haditsnya ditinggalkan), munkarul hadits (haditsnya munkar) dan lainnya, …. Yang bisa jadi diantara nama perawi tersebut kebetulan sama dengan nama para nabi. Nah, apakah ini dengan mudahnya disimpulkan bahwa para ahli hadits telah mencela para nabi? Tentu tidak, bahkan menyimpulkan seperti  itu menunjukkan betapa kurang cerdasnya kita. Sebab yang mereka cela adalah para perusak hadits, yang -qadarallah- nama mereka sama dengan nama para nabi.

Selain itu, para ulama sering menggunakan istilah Israiliyat  untuk riwayat-riwayat yang dianggap berasal atau pengaruh dari ajaran Yahudi yang menyusup ke dalam kitab-kitab para ulama Islam. Mereka tidak menyebut riwayat Yahudiyat. Namun demikian, istilah Israiliyat ini oleh para ulama tidak ada yang mengartikan kisah yang berasal dari Nabi Ya’qub.

Oleh karena itu, ketika banyak manusia mencela Negara Israel lantaran kekejaman mereka terhadap umat Islam, dengan berbagai kecaman dan kalimat seperti, misal: Israel the Real Terorist, Go To Hell Israel,  dan lainnya. Hal ini tidak bisa disalahkan, sebab yang mereka maksud dari ucapan ini, -dan ini pun telah maklum dan masyhur- bahwa Israel ini adalah Nama Negara yang didirikan oleh Yahudi. Tak terpikir oleh mereka, juga oleh orang yang mendengarkannya, ketika mengucapkan kalimat itu adalah untuk mencela Nabi Ya’qub ‘Alaihissalam. Amatlah  simplistis  menyalahkan hal tersebut, hanya karena nama Israel –dahulu- adalah nama seorang Rasul yang mulia Nabi Ya’qub ‘Alaihissalam.

Menilai Sesuatu Tergantung Maksud dari Sesuatu Tersebut

Sesungguhnya para ahli ushul telah membuat kaidah agung, yang dijadikan salah satu variable untuk menentukan dan memutuskan bahwa satu perbuatan itu halal atau haram, benar atau salah. Imam Tajjuddin As Subki, dalam kitab Al Asybah wan Nazhair telah menulis kaidah yang kelima:

الأمور بمقاصدها

“Perkara dinilai tergantung maksud-maksudnya.” (Al Asybah wan Nazhair, 1/65. Darul Kutub Al ‘Ilmiyah)

Beliau –Rahimahullah- menyebutkan bahwa kaidah ini  didasari hadits nabi yang sangat masyhur yakni:

إنما الأعمال بالنيات وإنما لكل امرىء ما نوى

“Sesungguhnya, amal perbuatan tergantung niatnya, setiap orang akan mendapat balasan sesuai sesuai dengan apa yang diniatkannya.” (HR. Bukhari No. 1 dan Muslim No. 1907)

Hadits ini terdapat pelajaran yang penting bagi kita untuk menentukan nilai sebuah perbuatan. Jika ada seorang memotong ayam dengan tujuan memberikan makan kepada anak dan istri, sebagai bukti tanggungjawab seorang suami maka ini adalah perbuatan yang bisa dinilai ibadah. DI tempat lain, ada orang   yang memotong ayam dengan maksud untuk sesajen maka ini adalah syirik. Dua orang ini melakukan perbuatan yang sama, namun bernilai beda menurut syariat, lantaran niat dan maksudnya yang berbeda pula. Oleh karena itu, ketika ada orang mencela ISRAEL, dengan maksud adalah nama sebuah Negara penjajah nan kejam, bukan dimaksud nama seorang nabi, maka dia akan dinilai sesuai maksudnya itu.

Kata Innama dalam hadits ini sebagaimana dijelaskan oleh para pensyarah Al Arba’in An Nawawiyah, seperti Imam Ibnu Daqiq Al ‘Id, Syaikh Ismail Al Anshari, Syaikh Ibnu ‘Utsaimin, adalah berfungsi untuk pembatasan (Lil Hashr). Artinya, “Sesungguhnya amal itu hanyalah tergantung apa yang diniatkannya …” Sehingga, balasan yang diperolehnya terbatas pada apa yang diniatkannya, bukan selainnya.

Niat (An Niyah) –  kata Syaikh Ibnu ‘Utsaimin- adalah Al Qashdu (maksud). (Syaikh Ibnu ‘Utsaimin, Syarh Al Arba’in An Nawawiyah, Hal. 5. Mawqi’ Ruh Al Islam)

Syaikh Al ‘Allamah Mhammad Ismail Al Anshari berkata:

فمن نوى شيئا لم يحصل له غيره

“Maka, barangsiapa yang berniat sesuatu, maka tidaklah dia mendapatkan selain apa yang diniatkan itu.” (Syaikh Muhamamd Ismail Al Anshari, At Tuhfah Ar Rabbaniyah fi Syarh Al Arba’in An Nawawiyah, hadits No. 1. Maktabah Misyhkah)

Imam Abul Hasan Muhammad bin Abdil hadi As Sindi mengatakan:

أن ليس للفاعل من عمله إلا نيته أي الذي يرجع إليه من العمل نفعاً أو ضراً هي النية

“Bahwa, tidaklah bagi seorang pelaku perbuatan melainkan mendapat balasan sesuai niatnya, yaitu  tempat kembalinya nilai sebuah amal, baik manfaat atau mudharatnya adalah niatnya.” (Hasyiyah As Sindi ‘ala Shahih Al Bukhari, 1/7. Darul Fikr)

Maka, dari itu para ulama menetapkan bahwa seseorang yang sudah berniat untuk batal puasa, walau pun sampai maghrib dia belum makan minum sama sekali, dia dinilai telah batal puasanya, karena faktor niatnya itu sebagaimana yang diterangkan oleh Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah dalam Fiqhus Sunnah.

Ketetapan Hukum Dilihat Dari Pengertian Yang Faktual

Inilah yang harus dimengerti dengan baik, agar kita tidak terburu-buru memberikan vonis. Saya akan memberikan beberapa contoh. Kita mengetahui bahwa buah anggur adalah halal dan thayyib. Namun, ketika dia dirubah menjadi khamr, maka kita tidak menilainya ‘dahulu’ ketika masih anggur. Fiqih menilainya menurut apa yang ada saat ini, yakni dia adalah Khamr yakni haram.

Memelihara kucing, kura-kura atau biawak adalah boleh-boleh saja, tetapi ketika hewan-hewan ini disiram air keras, sehingga dia membeku dan berubah menjadi patung, maka hukumnya pun bukan ‘dahulu’ ketika masih menjadi hewan real. Hukumnya adalah hukum patung, karena itulah keadaan mereka saat sekarang, yakni haram memiliki patung makhluk bernyawa di rumah seorang muslim.

Begitu pula dalam hal ini, sejarah klasik menyebutkan bahwa Israel adalah nama lain dari Nabi Ya’qub ‘Alaihissalam, dan sampai saat ini pun kita mengakuinya. Namun, fakta hari ini terbentang begitu jelas, bahwa Israel yang ada saat ini adalah nama dari sebuah Negara yang ditempati oleh bangsa Yahudi. Dan pengertian inilah yang langsung terbetik manusia ketika mendengar kata ISRAEL. Maka, pengertian faktual inilah yang menjadi pertimbangan dan pengikat dalam menilainya. Sehingga, mencela Israel bukanlah berpengertian mencela Nabi Ya’qub, melainkan secara faktual adalah mencela Negara Zionis Yahudi bernama Israel.

Sebaiknya ..

Setelah kita mengetahui, bahwa secara syar’i tidak mengapa menyebut Israel  bagi sebuah Negara jahat dan penjajah itu, karena itulah yang faktual menurut dokumen modern dan yang difahami oleh seluruh manusia. Sebagaimana kita boleh memanggil seorang penjahat yang bernama  Muhammad dengan panggilan ‘Muhammad’ pula , karena memang itulah nama yang sesuai dengan akte, KTP, dan dokumen pribadinya yang dikenal oleh manusia.

Namun, demikian sebaiknya kita perkenalkan kepada masyarakat khususnya umat Islam, bahwa bangsa Zionis Yahudi tidaklah pantas menyandang nama Israel karena perilakunya yang teramat buruk.   Di sisi lain kita memperkenalkan, bahwa Israel adalah nama Nabi yang mulia, Ya’qub ‘Alaihissalam, yang coba untuk dirusak oleh sebuah negara yang mencatut namanya menjadi nama Negara tersebut.

Demikian. Wallahu A’lam

scroll to top