Syarah Hadits Arbain Nawawiyah (Bag. 17)

🐾🐾🐾🐾🐾🐾🐾

SYARAH HADITS KETIGA, lanjutan

Selanjutnya:

وَحَجِّ البِيْتِ

dan menunaikan haji ke baitullah ..

📚 Definisi Haji

Secara fiqih makna haji adalah sebagai berikut, sebagaimana yang diterangka oleh Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah:

هو قصد مكة، لان عبادة الطواف، والسعي والوقوف بعرفة، وسائر المناسك، استجابة لامر الله، وابتغاء مرضاته. وهو أحد أركان الخمسة، وفرض من الفرائض التي علمت من الدين بالضرورة.
فلو أنكر وجوبه منكر كفر وارتد عن الاسلام.

“Yaitu mengunjungi Mekkah untuk melaksanakan Ibadah, seperti thawaf, sa’i, wuquf di Arafah, dan seluruh manasik, sebagai pemenuhan kewajiban dari Allah, dan dalam rangka mencari ridha-Nya. Haji merupakan salah satu rukun Islam yang lima, kewajiban di antara kewajiban agama yang sudah diketahui secara pasti. Seandainya ada yang mengingkari kewajibannya, maka dia kafir dan telah murtad dari Islam.” (Fiqhus Sunnah, 1/625)

📌Haji Adalah Kewajiban Dari Allah Ta’ala

Hal ini harus diingat, agar kita menyikapinya selayaknya seorang budak yang sedang mengabdi kepada tuannya. Haji bukanlah kewajiban dari departemen agama, MUI, KUA, atau karena ikut-ikutan. Tetapi dia merupakan salah satu wujud totalitas pengabdian seorang makhluq kepada sang Khaliq. Maka, janganlah bermain-main dengan niat dan tujuan ketika melaksanakan haji, dan jangan pula membengkokkan tujuan utama kita pergi haji yakni mardhatillah (keridhaan Allah).

Allah Ta’ala berfirman:

إِنَّ أَوَّلَ بَيْتٍ وُضِعَ لِلنَّاسِ لَلَّذِي بِبَكَّةَ مُبَارَكًا وَهُدًى لِلْعَالَمِينَ (96) فِيهِ آَيَاتٌ بَيِّنَاتٌ مَقَامُ إِبْرَاهِيمَ وَمَنْ دَخَلَهُ كَانَ آَمِنًا وَلِلَّهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلًا وَمَنْ كَفَرَ فَإِنَّ اللَّهَ غَنِيٌّ عَنِ الْعَالَمِينَ (97)

“Sesungguhnya rumah yang mula-mula dibangun untuk (tempat beribadat) manusia, ialah Baitullah yang di Bakkah (Mekah) yang diberkahi dan menjadi petunjuk bagi semua manusia. Padanya terdapat tanda-tanda yang nyata, (di antaranya) maqam Ibrahim; Barangsiapa memasukinya (Baitullah itu) menjadi amanlah dia; mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, Yaitu (bagi) orang yang sanggup Mengadakan perjalanan ke Baitullah. Barangsiapa mengingkari (kewajiban haji), Maka Sesungguhnya Allah Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam.” (QS. Ali Imran n(3): 96-97)

Secara fiqih banyak manusia yang lulus melaksanakannya, karena mereka melaksanakan pelatihan manasik dan dibimbing ketika haji. Tetapi, masalah keikhlasan, benarnya tujuan, ketundukan hati, dan kekhusyu’an, semua ini adalah tanggungjawab pribadi kita, yang harus diupayakan masing-masing. Padahal inilah yang sangat penting. Buat apa jika haji sah secara fiqih saja, sah yang dilihat oleh kasat mata, tetapi Allah Ta’ala tidak menerimanya karena adanya penyimpangan niat dan tujuan. Ingat, … haji adalah pengabdian, ketundukkan, kerendahhatian, dan keikhlasan. Tanpa ini semua, maka haji kita telah kehilangan ruhnya. Bagaikan jasad tanpa nyawa.

Kita lihat sendiri, ada jamaah haji ketika pulang ke tanah air, justru dia mengeluh, marah, tidak suka, bahkan mengaku jera untuk pergi haji. Dengan alasan di sana kesulitan makan, manusia berdesak-desakkan, jauh dari asrama, cuaca yang tidak bersahabat, semua diceritakan ketika setibanya di tanah air, seakan dia menyesali apa yang dialaminya. Maka, nilai haji apa yang diharapkan dari jamaah haji seperti ini? Dia berharap surga, tapi tidak mau berkurban, tidak mau susah, tidak mau berpeluh, … apakah dikiranya haji adalah main-main dan pergi berwisata? Yang dipikirkan adalah makan yang enak, asrama yang sejuk, jarak yang dekat, tidur yang nyenyak, dan foto-foto … ya, itulah haji wisata, bukan hajinya para mujahid. Sungguh, haji adalah jihad yang memerlukan mental-mental siap berkurban, siap lelah, dan mampu mengendalikan emosi …

Agar kita bisa meresapi makna haji, mari sama-sama kita perhatikan beberapa hadts nabi yang menunjukkan keutamaannya. Ini penting juga kita ketahui untuk menyemangati dan merangsang jiwa kita agar bisa serius dan sungguh-sungguh menjalankannya.

📌 Haji Merupakan Amal Yang Paling Utama

Diriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu:

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سُئِلَ أَيُّ الْعَمَلِ أَفْضَلُ فَقَالَ إِيمَانٌ بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ قِيلَ ثُمَّ مَاذَا قَالَ الْجِهَادُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ قِيلَ ثُمَّ مَاذَا قَالَ حَجٌّ مَبْرُورٌ

“Bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam ditanya: “Amal apakah yang paling utama?” Beliau menjawab: “Iman kepada Allah dan RasulNya.” Ditanya lagi: “lalu apa?” Beliau menjawab: “Jihad fisabilillah.” Ditanya lagi: “lalu apa?” Beliau menjawab: “Haji Mabrur.” (HR. Bukhari No. 26, 1447. Muslim No. 83)

📌 Haji Merupakan Jihad

Dari Al Hasan bin Ali Radhiallahu ‘Anhuma, katanya:

أَنّ رَجُلًا جَاءَ إِلَى النَبِي صلى الله عليه وسلم فَقَالَ: إِنِي جَبَانٌ، وَإِنِي ضَعِيْفٌ، فَقَالَ: ” هَلُمَّ إِلَى جِهَادٍ لَا شَوْكَةَ فِيْهِ: الحَجُّ ” رواه عبد الرزاق، والطبراني، ورواته ثقات

“Bahwa seorang laki-laki mendatangi Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan berkata: “Sesungguhnya saya ini pengecut, dan lemah.” Maka Nabi bersabda: “Ikutlah jihad yang tidak memakai senjata: yakni haji.” (HR. Abdurrazzaq, Ath Thabarani, para periwayatnya terpercaya)

Dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

جِهَادُ الْكَبِيرِ وَالصَّغِيرِ وَالضَّعِيفِ وَالْمَرْأَةِ الْحَجُّ وَالْعُمْرَةُ

“Jihadnya orang tua, anak kecil, orang lemah, dan wanita adalah haji dan umrah.” (HR. An Nasa’i No. 2626. Ahmad No. 9081, hadits ini hasan. Lihat Shahih Wa Dhaif Sunan An Nasa’i No. 2626)

Dari Aisyah Radhiallahu ‘Anha, katanya:

يَا رَسُولَ اللَّهِ نَرَى الْجِهَادَ أَفْضَلَ الْعَمَلِ أَفَلَا نُجَاهِدُ قَالَ لَا لَكِنَّ أَفْضَلَ الْجِهَادِ حَجٌّ مَبْرُورٌ

“Ya Rasulullah, kami melihat jihad adalah amal yang paling utama, apakah kami juga boleh berjihad?” Nabi bersabda: “Tidak, tetapi sebaik-baiknya jihad adalah haji yang mabrur.” (HR. Bukhari No. 1448, 1762, 2632, 2720, 2721)

📌 Haji Merupakan Penghapus Dosa

Dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

مَنْ أَتَى هَذَا الْبَيْتَ فَلَمْ يَرْفُثْ وَلَمْ يَفْسُقْ رَجَعَ كَمَا وَلَدَتْهُ أُمُّهُ

“Barangsiapa yang mendatangi baitullah, lalu dia tidak berbuat rafats (menghamburkan syahwat), tidak berbuat fasik, maka ketika dia pulang bagaikan bayi yang baru dilahirkan ibunya.” (HR. Muslim No.1350 )

Dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

مَنْ حَجَّ فَلَمْ يَرْفُثْ وَلَمْ يَفْسُقْ غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ

“Barangsiapa yang berhaji, lalu dia tidak berbuat rafats (menghamburkan syahwat), tidak berbuat fasik, niscaya akan diampuni bagi dosa-dosanya yang lalu.” (HR. At Tirmidzi No. 808, katanya: hasan shahih)

📌Haji Mabrur Tidak Ada Balasan Lain Kecuali Surga

Dari Abdullah bin Mas’ud Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

تَابِعُوا بَيْنَ الْحَجِّ وَالْعُمْرَةِ فَإِنَّهُمَا يَنْفِيَانِ الْفَقْرَ وَالذُنُوْبَ كَمَا يَنْفِي الْكُيْرُ خُبُثَ الْحَدِيْدِ وَالذَهَبِ وَالفِضَّةِ وَلَيْسَ لِلْحَجَّةِ الْمَبْرُوْرَةِ ثَوَابٌ إِلَّا الْجَنَّةَ

“Iringilah haji dan umrah kalian, karena keduanya merupakan penghapus kefaqiran dan dosa, sebagaimana kipas menghapuskan kotoran besi, emas, dan perak. Dan, tiadalah ganjaran haji mabrur itu kecuali surga.” (HR. At Tirmidzi No. 807, katanya: hasan shahih gharib)

Dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

الْعُمْرَةُ إِلَى الْعُمْرَةِ كَفَّارَةٌ لِمَا بَيْنَهُمَا وَالْحَجُّ الْمَبْرُورُ لَيْسَ لَهُ جَزَاءٌ إِلَّا الْجَنَّةُ

“Dari umrah ke umrah selanjutnya bisa menghapuskan dosa di antara keduanya, dan haji mabrur tidak ada ganjarannya kecuali surga.” (HR. Bukhari No. 1683. Muslim No. 1349)

📌Jamaah Haji Adalah Duta-Duta Allah Yang Doanya Dikabulkan

Dari Ibnu Umar Radhiallahu ‘Anhuma, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

الغَازِي فِي سَبِيْلِ اللهِ وَالْحَاجُّ وَالْمُعْتَمَرُ وَفْدُ اللهِ دَعَاهُمْ فَأَجَابُوْهُ وَسَأَ

لُوْهُ فَأَعْطَاهُمْ

“Orang yang berperang dijalan Allah, haji, dan umrah, adalah duta-duta Allah, jika mereka berdoa Allah akan mengabulkannya, jika mereka meminta, Allah akan memberinya.” (HR. Ibnu Majah No. 2893, hadits ini hasan. Shahih wa Dhaif Sunan Ibni Majah No. 2893)

📌Ongkos Haji Disamakan Dengan Biaya Perang Fi Sabilillah

Dari Buraidah Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

النَّفَقَةُ فِي الْحَجِّ كَالنَّفَقَةِ فِي سَبِيلِ اللَّهِ بِسَبْعِ مِائَةِ ضِعْفٍ

“Biaya haji adalah seperti nafkah fi sabilillah, dilipatkan sebanyak tujuh ratus kali.” (HR. Ahmad No. 23000. Ibnu Abi Syaibah 4/192. No. 23. Al Baihaqi, As Sunan Al Kubra, 4/322. Ath Thabarani, Al Mu’jam Al Awsath No. 5432. Syaikh Syu’aib Al Arna’uth mengatakan sanadnya hasan lighairihi. Musnad Ahmad, No. 23000. Cet. 1, 1421H-2001M. Muasasah Ar Risalah)

Demikianlah di antara keutamaan-keutaaan ibadah haji. Tentunya, bagi seorang hamba yang merindukan Tuhannya, dan menginginkan keridhaannya, akan semakin terpacu dan semangat menyambut panggilanNya ini, yang hanya diwajibkan sekali seumur hidup. nya, maka kita pun juga harus mengetahui bagaimanakah sifat haji yang mabrur itu. Itulah haji yang dijamin surga, haji sejati yang diinginkan oleh seluruh jamaah haji.

Secara bahasa mabrur artinya penuh dengan kebaikan. Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah menyebutkan tentang ciri haji mabrur, yakni ada beberapa hal:

  1. Hajinya tidak dinodai oleh dosa
  2. Ketika pulang semakin merindukan akhirat dan zuhud ( tidak terlalu butuh dengan dunia)
  3. Ketika pulang semakin dermawan
  4. Ucapannya semakin lemah lembut. (Lihat kitab Fiqhus Sunnah, 1/626. Darul Kitab Al ‘Arabi)

Ada pun orang yang proses keberangkatan hajinya sudah dicampur dengan dosa, suap menyuap, lalu sesampai di tanah suci bertengkar dengan jamaah lain, mencela dan mengutuk dalam hati, tidak sabar terhadap cuaca, atau sikap-sikap jelek lainnya, maka amat jauh dia dari haji yang mabrur.
Begitu pula sepulang haji, jiwanya sama sekali tidak ada kerinduan dengan akhirat, semakin cinta dunia, bahkan kebiasaan lama yang buruk masih diulangi, maksiat ketika sebelum haji masih saja dilakukan, maka hajinya hanya sekedar label saja, dan sia-sia. Menjelang pulang haji, yang dipikirkan adalah belanja dan mengumpulkan oleh-oleh, tak ada kesedihan sama sekali meninggalkan tanah suci. Sampai di tanah air pun tak ada kerinduan sama sekali. Dan, Allah Ta’ala tidak membutuhkan haji-haji seperti ini.

Ada pula sepulang haji tidak membuatnya dermawan. Perjuangan yang sifatnya mal (harta) ketika haji, ternyata tidak membuatnya terlatih untuk berkorban harta. Justru semakin kikir, bakhil, dan kedekut. Jika menyumbang selalu dihitung untung ruginya, itu pun dengan syarat namanya disebut-sebut atau diumumkan. Betapa merugi haji-haji seperti ini.

Ada juga haji yang tidak bisa menjaga lisannya, bicara selalu kasar dan tidak peduli perasaan manusia yang mendengarkannya. Baik kasar kepada isteri, anak, tetangga, lebih buruk lagi adalah kasar kepada faqir miskin dan anak-anak yatim. Ini semua merupakan tanda-tanda haji mardud (ditolak), bukan mabrur.

Bersambung … (masih hadits ke-3)

🌷☘🌺🌴🌻🌸🌾🍃

✏ Farid Nu’man Hasan

Tanggal Dianjurkan Berbekam

💢💢💢💢💢

📨 PERTANYAAN:

Assalamualaikum ustadz..
Bagaimana dengan hadist berbakam pada tangal 17,19,21. Hadist ini shohih tidak tadz.?
Mohon penjelasannya tadz… (08778474xxxx)

📬 JAWABAN

🍃🍃🍃🍃🍃

Wa’alaikumussalam wa Rahmatullah wa Barakatuh ..

Bismillah wal Hamdulillah ..

Ya, hadits tentang itu memang ada. Di antaranya, tertuang dalam Sunan Abi Daud, pada Bab Mataa Tustahabbul Hijaamah – Kapan Disunnahkannya Berbekam?, yaitu sebagai berikut:

عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « مَنِ احْتَجَمَ لِسَبْعَ عَشْرَةَ وَتِسْعَ عَشْرَةَ وَإِحْدَى وَعِشْرِينَ كَانَ شِفَاءً مِنْ كُلِّ دَاءٍ

Dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu, dia berkata: Rasulullah ﷺ bersabda:

Barang siapa yang berbekam pada tanggal 17, 19, dan 21 maka itu menjadi obat bagi semua penyakit.

(HR. Abu Daud No. 3863, Al Baihaqi dalam As Sunan Al Kubra No. 20018, Ma’rifatus Sunan wal Aatsar No. 19339. Al Hakim dalam Al Mustadrak No. 7475)

Status hadits:

– Imam Al Hakim berkata: shahih sesuai syarat Imam Muslim. (Al Mustadrak ‘ala Ash Shahihain No. 7475)

– Imam As Suyuthi berkata: shahih. (Al Jaami’ Ash Shaghiir No. 8326)

– Imam Al Munawi berkata: shahih. (At Taysir Bi Syarhi Al Jami’ Ash Shaghir, 2/752)

– Syaikh Al Albani berkata: hasan. (As Silsilah Ash Shahihah No. 622, Shahihul Jaami’ No. 5968)

Demikian. Wallahu a’lam

🌷🌴🌱🌾🌹🌸🍃🌵

✍ Farid Nu’man Hasan

Kisah yang Shahih bukan Ukasyah tapi Usaid bin Hudhair

💦💥💦💥💦💥

Pernahkah dapat BC, kisah Ukasyah yang memeluk Nabi saat Beliau membuka baju, yang awalnya ingin mengqishashnya?

Sebenarnya, yang shahih bukan demikian …

حَدَّثَنَا عَمْرُو بْنُ عَوْنٍ، أَخْبَرَنَا خَالِدٌ، عَنْ حُصَيْنٍ، عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ أَبِي لَيْلَى، عَنْ أُسَيْدِ بْنِ حُضَيْرٍ، رَجُلٍ مِنَ الْأَنْصَارِ قَالَ: بَيْنَمَا هُوَ يُحَدِّثُ الْقَوْمَ وَكَانَ فِيهِ مِزَاحٌ بَيْنَا يُضْحِكُهُمْ فَطَعَنَهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي خَاصِرَتِهِ  بِعُودٍ فَقَالَ: أَصْبِرْنِي فَقَالَ: «اصْطَبِرْ» قَالَ: إِنَّ عَلَيْكَ قَمِيصًا وَلَيْسَ عَلَيَّ قَمِيصٌ، «فَرَفَعَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ قَمِيصِهِ، فَاحْتَضَنَهُ وَجَعَلَ يُقَبِّلُ كَشْحَهُ»، قَالَ إِنَّمَا أَرَدْتُ هَذَا يَا رَسُولَ اللَّهِ

Berkata kpd kami ‘Amru bin ‘Aun, mengabarkan kami Khalid, dari Hushain, dari Abdurrahman bin Abi Laila, dari USAID BIN HUDHAIR, dia seorang laki-laki dari Anshar: “Ketika dia (Usaid bin Hudhair) sedang berbicara dengan kaumnya dan di dalamnya ada canda yang membuat mereka tertawa, maka Nabi  ﷺ memukul pinggangnya  dengan sebatang kayu. Maka dia (USAID) berkata, ‘Beri saya kesempatan untuk qishash (membalas setimpal).” Beliau bersabda, “Silakan membalas.” Dia berkata, “Engkau memakai baju, sedangkan saya (ketika engkau pukul) tidak memakai baju.” Maka Rasulullah  ﷺ mengangkat bajunya. Maka dia (Usaid bin Khudair) langsung memeluknya dan mencium pinggangnya. Lalu dia berkata, ‘Inilah yang aku inginkan wahai Rasulullah.”

Hadits ini dikelurkan oleh:

🔷     Imam Abu Daud, Sunan Abi Daud, Kitabul Adab, Bab fi Qublatil Jasad No.  5224
🔶     Imam Ath Thabarani, Al Mu’jam Al Kabir No. 556
🔷     Imam Al Baihaqi, Syu’abul Iman, Bab Maa Ja’a fi Qublatil Jasad  No. 13586
🔶     Imam Al Baghawi, Syarhus Sunnah Bab Al Qishahsh fil Athraf, 10/169
🔷        Imam Al Hakim, Al Mustadrak ‘Alash Shahihain, 3/288

Tinjauan Sanad:

1⃣        ‘Amru bin ‘Aun.

Beliau adalah seorang Al hafizh dan Imam. Para ulama mengambil hadits darinya, seperti Bukhari, Abu Daud, Abu Zur’ah, Abu Hatim, Ali Al Baghawi, Ad Darimi, dan banyak lainnya. Para ulama menyatakan beliau adalah TSIQAH, seperti Abu Hatim, Abu Zur’ah, Al ‘Ijli, (Siyar A’lamin Nubala, 8/377)

2⃣      Khalid, yaitu Khalid bin Abdullah Al Wasithiy

Beliau adalah TSIQAH, sebagaimana dikatakan Abu Zur’ah, Abu Hatim, Abu Daud, At Tirmidzi, An Nasa’i, Ibnu Sa’ad, dan lainnya. (Tahdzibut Tahdzib, 3/100).

3⃣      Hushain, yaitu Hushain bin Abdurrahman As Salamiy

Terjadi perselisihan para imam tentang beliau.  Disebutkan bahwa beliau salah satu imam. Imam Ahmad mengatakan: TSIQAH (terpercaya) dan amanah. Al ‘Ijli mengatakan: tsiqah dan kokoh. Ibnu Abi Hatim bertanya kepada Abu Zur’ah: “dia tsiqah.” Apakah dia hujjah? Abu Zur;ah menjawab: “Ya , Demi Allah!”

Namun, An Nasa’i mengatakan: hafalannya berubah.  Abu Hatim berkata: “Tsiqah, tapi hapalannya buruk di akhir hayatnya.” Yazid bin Harun mengatakan: “yakhtalith (hapalannya kacau).” Ali mengatakan: “lam yaktalith (tidak kacau).” (Mizanul I’tidal, 1/552)

4⃣      Abdurrahman bin Abi Laila

Beliau Tsiqah, orang Kufah, dan dipakai oleh penyusun enam kitab hadits (Kutubus Sittah). Seperti yang dikatakan oleh Syaikh Abdul Muhsin Al ‘Abbad Al Badr dalam Syarh Sunan Abi Daud.

5⃣      Usaid bin Hudhair,

seorang sahabat nabi senior, ikut dalam Bai’at ‘Aqabah, ikut pula perang Badar, dan semua sahabat nabi adalah tsiqah dan ‘adil menurut aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah.

Jadi, semua perawi hadits ini tsiqah, tetapi sanadnya terputus (inqitha’), yaitu pada “Abdurrahman bin Abi Laila dari Usaid bin Hudhair.” Benarkah Abdurrahman bin Abi Laila mendengarkan hadits ini dari Usaid bin Hudhair?

📘Al Hafizh Ibnu Hajar mengatakan bahwa Abdurrahman bin Abi Laila tidak pernah mendengarkan hadits dari Usaid bin Hudhair. (Tahdzib At Tahdzib, 6/260)

Imam Abu Abdillah Dhiya’uddin Al Maqdisi memasukan hadits ini dalam kategori “isnaduhu munqathi’ (sanadnya terputus)”. Beliau berkata: “Aku tidak tahu, benarkah Abdurrahman bin Abi Laila mendengarkan hadits ini dari Usaid bin Hudhair ataukah tidak?” (Al Ahadits Al Mukhtarah No. 1471)

Dan, kita tahu bahwa hadits yang sanadnya inqitha’ adalah dhaif.

📕Namun, hadits ini memiliki SYAHID (penguat) yang diriwayatkan oleh Imam Al Hakim, dengan sanad: “… dari Abdurrahman bin Abi Laila, dari AYAHNYA, dari Usaid bin Hudhair.” Dan Imam Al Hakim mengatakan: hadits ini SHAHIH, dan Imam Adz Dzahabi dalam At Talkhish-nya menyepakati penshahihan Imam Al Hakim. (Lihat Al Mustadrak, 3/327)

Jadi, riwayat ini menunjukkan bahwa hadits ini maushul (bersambung sanadnya), bukan terputus antara Abdurrahman bin Abi Laila dari Usaid bin Hudair ….Tapi dari Abdurrahman bin Abu Laila, dari AYAHNYA yakni Abi Laila dari Usaid bin Hudhair …

💼 Oleh karenanya, akhirnya para muhaddits menilai bahwa hadits ini SHAHIH semisal Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan: “Isnadnya shahih sesuai syarat Syaikhain/Al Bukhari dan Muslim.” (Lihat Ta’liq Musnad Ahmad, 17/329. Cat kaki hadits No. 11229)

Juga Syaikh Al Albani (Lihat Misykah No. 4675, Shahih wa Dhaif Sunan Abi Daud No. 2554).

Wallahu A’lam

☘🌻🍃🌷🌴🌸🌿🌺

✏ Farid Nu’man Hasan

Shalat Dhuha Di Rumah Lalu Dilanjutkan Di Kantor

💦💥💦💥💦💥

📨 PERTANYAAN:

Assalamu’alaikum, Ustadz, misalnya kita shalat dhuha d rumah dua rakaat terus lanjut dkantor lagi apa boleh ??
Syukron

📬 JAWABAN

🍃🍃🍃🍃🍃🍃

Tidak apa-apa selama masih di waktu dhuha. Dalam sejarah, Nabi ﷺ shalat dhuha juga lebih dari dua rakaat.

Imam Ibnu Jarir Ath Thabari –sebagaimana dikutip Imam Ibnul Qayyim- mengatakan – ketika menjelaskan beragamnya jumlah Rakaat shalat Dhuha – sebagai berikut :

وليس في هذه الأحاديث حديثّ يدفع صاحبه، وذلك أن من حكى أنه صلى الضحى أربعاً جائز أن يكون رآه في حال فعلِه ذلك، ورآه غيرُه في حالٍ أخرى صلى ركعتين، ورآه آخرُ في حال أخرى صلاها ثمانياً، وسمعه آخر يحثّ على أن يُصلي ستاً، وآخر يحثُّ على أن يُصلي ركعتين، وآخر على عشر، وآخر على ثنتي عشرة، فأخبر كلُّ واحد منهم عما رأى وسمع. قال: والدليل على صحة قولنا، ما روِيَ عن زيد بن أسلم قال. سمعتُ عبد اللّه بن عمر يقول لأبي ذر: أوصني يا عم، قال: سألتُ رسول اللّه صلى الله عليه وسلم كما سألتني، فقال؟ “مَنْ صَلَّى الضّحَى رَكْعَتَيْنِ، لَمْ يكْتَبْ مِن الغَافِلِينَ، وَمَنْ صَلًى أربَعاً، كتِبَ مِنَ العَابِدين، ومَن صَلَّى سِتّاً، لَمْ يَلْحَقْةُ ذَلِكَ اليَوْمَ ذَنْبٌ، وَمَنْ صَلَّى ثَمانِياَ، كُتِبَ مِنَ القَانِتِينَ، ومَنْ صَلَّى عَشْراً بَنى اللَّه لَهُ بَيْتا في الجَنَّة”.
وقال مجاهد: صلَّى رسولُ اللّه صلى الله عليه وسلم يوماً الضحى ركعتين، ثم يوماً أربعاً، ثم يوماً سِتّاً، ثم يوماً ثمانياً ثم تركَ. فأبان هذا الخبر عن صحة ما قلنا من احتمال خبر كل مُخْبِرٍ ممن تقدم أن يكون إخبارُه لِما أخبر عنه في صلاة الضُّحى على قدر ما شاهده وعاينه. والصواب: إذا كان الأمر كذلك: أن يُصلّيها من أراد على ما شاء من العدد. وقد روِيَ هذا عن قوم من السلف حدثنا ابنُ حميد، حدثنا جرير، عن إبراهيم، سأل رجل الأسود، كم أصلي الضحى؟ قال: كم شئت.

“Tentang hadits-hadits ini tidak ada yang mesti ditolak riwayatnya, begitu pula orang yang meriwayatkan bahwa Rasulullah melaksanakan shalat dhuha sebanyak empat rakaat yang memang bisa jadi dia melihatnya seperti itu. Orang lain melihatnya pada kesempatan yang lain bahwa Beliau Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam melaksanakannya dua rakaat. Orang lain lagi juga melihat pada kesempaan yang lain pula bahwa Beliau Shallallahu ‘Alaihi wa Salam melakukannya dengan delapan rakaat. Sebagian pihak mendengar Beliau Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menganjurkan dengan enam rakaat, pihak lain menganjurkan dua rakaat, yang lain sepuluh rakaat, dan yang lainnya menganjurkan dua belas rakaat. Semua itu berasal dari apa yang mereka lihat dan dengar.” Dia (Ibnu Jarir) melanjutkan: “Dalil dari kebenaran pendapat kami ini adalah sebuah hadits yang menyebutkan:

Dari Zaid bin Aslam, dia berkata, “Aku melihat Abdullah bin Umar berkata kepada Abu Dzar: “Berwasiatlah kepadaku wahai pamanku!” Abu Dzar menjawab, “Aku pernah meminta kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam seperti apa yang kamu minta kepadaku.” Lalu dia berkata, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

Barangsiapa yang menunaikan shalat dhuha sebanyak dua rakaat, dia tidak ditulis termasuk golongan orang-orang yang lalai. Barangsiapa yang menunaikan empat rakaat dia dicatat termasuk golongan ahli ibadah. Barangsiapa menunaikan enam rakaat, maka dia tidak menemukan dosa pada hari itu. Barangsiapa yang menunaikan delapan rakaat, dia ditulis sebagai orang-orang yang tunduk kepada Allah. Dan, barangsiapa yang menunaikannya sepuluh rakaat, maka Allah akan membangunkan sebuah rumah baginya di surga.
Mujahid berkata: “Suatu hari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam melaksanakan shalat dhuha dua rakaat, di hari lain empat rakaat, hari berikutnya enam rakaat. Hari berikutnya lagi delapan rakaat, kemudian tidak melakukannya.” Riwayat ini menjadi bukti kebenaran pendapat kami, bahwa setiap perawi menceritakan sesuai apa yang dilihatnya.

Yang benar, jika persoalannya seperti itu, maka setiap orang boleh melaksanakan shalat dhuha dengan jumlah rakaat yang dikehendakinya. Hal ini pernah diriwayatkan dari suatu kelompok ulama salaf. Diceritakan kepada kami dari Ibnu Humaid, diceritakan oleh kami dari Jarir, dari Ibrahim, bahwa Al Aswad bertanya kepadanya: “Berapa rakaat yang aku lakukan dalam shalat dhuha?” Dia menjawab: “Terserah kamu.” [1]

Jadi, paling sedikit jumlah rakaat shalat dhuha adalah dua rakaat, dan paling banyak dua belas rakaat sesuai dengan yang disabdakannya. Sedangkan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam sendiri paling banyak melakukan delapan rakaat. Sememtara, sebagian ulama lain mengatakan tidak ada batasannya.

Berikut ini kami sampaikan keterangan tambahan dari Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah dalam Fiqhus Sunnahnya:

عدد ركعاتها: أقل ركعاتها اثنتان كما تقدم في حديث أبي ذر وأكثر ما ثبت من فعل رسول الله صلى الله عليه وسلم ثماني ركعات، وأكثر ما ثبت من قوله اثنتا عشرة ركعة.
وقد ذهب قوم – منهم أبو جعفر الطبري وبه جزم المليمي والروياني من الشافعية – إلى أنه لاحد لاكثرها.
قال العراقي في شرح الترمذي: لم أر عن أحد من الصحابة والتابعين أنه حصرها في اثنتي عشرة ركعة. وكذا قال السيوطي.
وأخرج سعيد بن منصور عن الحسن أنه سئل: هل كان أصحاب رسول الله صلى الله عليه وسلم يصلونها؟ فقال: نعم..كان منهم من يصلي ركعتين، ومنهم من يصلي أربعا، ومنهم من يمد إلى نصف النهار.
وعن إبراهيم النخعي أن رجلا سأل الاسود بن يزيد: كم أصلي الضحى؟ قال: كما شئت.
وعن أم هانئ أن النبي صلى الله عليه وسلم صلى سبحة الضحى ثماني ركعات يسلم من كل ركعتين. رواه أبو داود بإسناد صحيح.
وعن عائشة رضي الله عنها قالت: (كان النبي صلى الله عليه وسلم يصلي الضحى أربع ركعات ويزيد ما شاء الله) رواه أحمد ومسلم وابن ماجه.

“Jumlah rakaa shalat dhuha paling sedikit adalah dua rakaat, sebagaimana keterang hadits Abu Dzar sebelumnya, dan paling banyakyang dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam adalah delapan rakaat, dan paling banyak menurut apa yang dikatakannya adalah dua belas rakaat.

Sekelompok orang berpendapat –diantaranya Abu Ja’far Ath Thabari, juga Al Halimi dan Ar Ruyani dari kalangan Syafi’iyah- bahwa banyaknya jumlah rakaat tidak ada batasannya. Al ‘Iraqi berkata dalam Syarh At Tirmidzi: “Saya belum melihat adanya pembatasan jumlah rakaat dari kalangan shahabat dan tabi’in yang hanya sampai dua belas rakaat saja.” Ini juga pendapat As Suyuthi.
Said bin Manshur meriwayatkan dari Al Hasan, bahwa beliau ditanya: Apakah sahabat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam melakukan shalat dhuha? Dia menjawab: “Ya, diantara mereka ada yang shalat dua belas rakaat, ada yang empat, dan ada pula yang mengerjakannya sampai tengah hari.”
Dari Ibrahim An Nakha’i, bahwa ada seorang yang bertanya kepada Al Aswad bin Yazid: “Berapa rakaatkah saya mesti shalat dhuha? Dia menjawab: “Sesuka hatimu.”

Dari Ummu Hani’, Bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam melakukan shalat dhuha sebanyak delapan rakaat, dan dia salam setiap dua rakaat. Diriwayatkan oleh Abu Daud dan isnadnya shahih.

Dari ‘Aisyah Radhiallahu ‘Anha, dia berkata: “Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam melakukan shalat dhuha empat rakaat dan dia menambahkannya sesuai yang Allah kehendaki.” Diriwayatkan oleh Ahmad, Muslim, dan Ibnu Majah. [2]

Sekian. Wa Shallallahu ‘Ala Nabiyyna Muhammadin wa ‘Ala Aalihi wa Shahbihi wa Sallam.

Wallahu A’lam

🍃🌴🌻🌺☘🌾🌷🌸

✏ Farid Nu’man Hasan


🌿🌿🌿🌿

[1 ] Imam Ibnul Qayyim, Zaadul Ma’ad, 1/352. Muasasah Ar Risalah
[2] Syaikh Sayyid Sabiq, Fiqhus Sunnah, 1/210-211. Darul Kitab Al ‘Arabi

 

scroll to top