Syarah Hadits Arbain Nawawi (Bag 1) – Muqoddimah

Oleh: Farid Nu’man Hasan

📖 Muqadimah

Al Arba’un An Nawawiyah adalah sebuah kitab kecil yang berisi kumpulan hadits sebanyak empat puluh dua hadits yang disusun oleh seorang imam fiqih dan hadits, zahid, wira’i, dan pemberani yakni Imam An Nawawi Rahimahullah. Walaupun kitab ini bernama Arba’in (empat puluh) tetapi jumlah hadits yang terdapat di dalamnya adalah empat puluh dua hadits, bukan empat puluh.

Syaikh Muhammad bin Shalih ‘Al Utsaimin Rahimahullah menjelaskan tentang kitab tersebut:

وقد ألف مؤلفات كثيرة من أحسنها هذا الكتاب: الأربعون النووية، وهي ليست أربعين،بل هي اثنان وأربعون، لكن العرب يحذفون الكسر في الأعداد فيقولون: أربعون. وإن زاد واحداً أو اثنين، أونقص واحداً أواثنين

“Beliau (Imam An Nawawi) telah banyak menyusun karya tulis, yang terbaik di antaranya adalah kitab ini: Al Arba’un An Nawawiyah. Buku tersebut bukan empat puluh hadits (arba’in), tetapi empat puluh dua hadits (itsnan wa arba’un), namun orang Arab menghilangkan kasrah dalam bilangan, maka mereka menyebut: arba’un (empat puluh), walaupun ditambahkan satu atau dua, atau dikurangi satu atau dua.” (Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin, Syarh Al Arba’in An Nawawiyah, Hal. 2. Mawqi’ Ruh Al Islam) .

Sebelum Imam An Nawawi, sudah banyak para imam kaum muslimin menyusun kitab serupa seperti yang diceritakan oleh Imam An Nawawi sendiri dalam mukadimah kitab ini, mereka adalah Abdullah bin Mubarak, Muhammad bin Aslam Ath Thusi, Hasan bin Sufyan An Nasa’i, Abu Bakr Al Ajuri, Abu Bakar Muhammad bin Ibrahim Al Ashfahani, Daruquthni, Al Hakim, Abu Nu’aim, Abu Abdurrahman A Sulami, Abu Said Al Malini, Abu Utsman Ash Shabuni, Abdullah bin Muhammad Al Anshari, Al Baihaqi, dan ulama lain yang tak terhitung jumlahnya.

Besarnya perhatian para imam kaum muslimin terhadap upaya pengumpulan ’empat puluh hadits’ ini karena didasari berbagai riwayat yang menunjukkan keutamaannya. Hanya saja, sebagaimana kata Imam An Nawawi sendiri, semua riwayat tersebut adalah dhaif (lemah) menurut kesepakatan ahli hadits. Imam An Nawawi mengatakan:

فقد روينا عن علي بن أبي طالب، وعبد الله بن مسعود، ومعاذ بن جبل، وأبي الدرداء، وابن عمر، وابن عباس، وأنس بن مالك، وأبي هريرة، وأبي سعيد الخدري رضي الله تعالى عنهم من طرق كثيرات بروايات متنوعات: أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: “من حفظ على أمتي أربعين حديثاً من أمر دينها بعثه الله يوم القيامة في زمرة الفقهاء والعلماء” وفي رواية: “بعثه الله فقيها عالما”.
وفي رواية أبي الدرداء: “وكنت له يوم القيامة شافعا وشهيدا”.وفي رواية ابن مسعود: قيل له: “ادخل من أي أبوب الجنة شئت” وفي رواية ابن عمر “كُتِب في زمرة العلماء وحشر في زمرة الشهداء”. واتفق الحفاظ على أنه حديث ضعيف وإن كثرت طرقه.

“Kami telah meriwayatkan dari Ali bin Abi Thalib, Abdullah bin Mas’ud, Mu’adz bin Jabal, Abu Ad Darda, Ibnu Umar, Ibnu Abbas, Anas bin Malik, Abu Hurairah, dan Abu Sa’id Al Khudri Radhiallahu ‘Anhum dari banyat jalan dan riwayat yang berbeda: bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Barangsiapa di antara umatku menghapal empat puluh hadits berupa perkara agamanya, maka Allah akan membangkitkannya pada hari kiamat bersama rombongan fuqaha dan ulama.” Dalam riwayat lain: “Allah akan membangkitkannya sebagai seorang yang faqih (ahli fiqih) dan ‘alim.”

Dalam riwayat Abu Ad Darda: “Maka aku (nabi) pada hari kaimat nanti sebagai syafaat dan saksi baginya.” Dalam riwayat Ibnu Mas’ud: “Dikatakan kepadanya: masuklah kau ke surga melalui pintu mana saja yang kamu kehendaki.” Dalam riwayat Ibnu Umar: “Dia dicatat termasuk golongan ulama dan dikumpulkan pada golongan syuhada.”

Para huffazh (ahli hadits) sepakat bahwa hadits-hadits ini dhaif walaupun diriwayatkan dari banyak jalan.” (Imam Ibnu Daqiq Al ‘Id, Muqadiimah Syarh Al Arbai’in an Nawawiyah, Hal. 16-17. Maktabah Al Misykat)

Hanya saja memang, jumhur (mayoritas) ulama – Imam An Nawawi mengatakan kesepakatan ulama- membolehkan menggunakan hadits dhaif (seperti hadits-hadits di atas) hanya untuk tema-tema fadhailul a’mal, targhib wat tarhib, dan hal-hal semisal demi mengalakan amal shalih dan kelembutan hati d

an akhlak. Tetapi pembolehan ini pun bersyarat, yakni: tidak ada rawi yang tertuduh sebagai pemalsu hadits atau pembohong, tidak bertentangan dengan tabiat umum agama Islam, dan jangan menyandarkan atau memastikan dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam ketika mengamalkannya. Mereka yang membolehkan di antaranya adalah Imam Ahmad, Imam Al Hakim, Imam Yahya Al Qaththan, Imam Abdurrahman bin Al Mahdi, Imam Sufyan Ats Tsauri, Imam An Nawawi, Imam As Suyuthi, Imam ‘Izzuddin bin Abdissalam, Imam Ibnu Daqiq Al ‘Id, dan lainnya.

Sedangkan yang menolak adalah Imam Al Bukhari, Imam Muslim, Imam Yahya bin Ma’in, Imam Ibnu Hazm, Imam Ibnul ‘Arabi, Syaikh Ahmad Muhammad Syakir, Syaikh Nashiruddin Al Albani dan lainnya dari kalangan hambaliyah kontemporer, juga yang nampak dari pandangan Syaikh Yusuf Al Qaradhawi Hafizhahullah.

Khusus untuk Al Arba’un An Nawawiyah ini, telah banyak ulama yang memberikan perhatian terhadapnya yakni dengan memberikan syarah (penjelasan) terhadap seluruh hadits yang ada di dalamnya, mereka adalah Imam Ibnu Daqiq Al ‘Id, Al ‘Allamah Ismail bin Muhammad Al Anshari, Al ‘Allamah Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin, dan lainnya. Juga diantara ulama, ada yang mentakhrij dan mentahqiq (meneliti) kualitas validitas hadits-hadits dalam kitab ini, yakni Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani Rahimahullah. Hal ini lantaran betapa lengkapnya muatan dan tema yang dihimpun oleh Imam An Nawawi, yakni berupa dasar-dasar agama, hukum, ibadah, muamalah, dan akhlak. Sedangkan ulama lain, ada yang menyusun empat puluh hadits tentang persoalan tertentu saja, ada yang akhlak saja, atau jihad, atau adab, atau zuhud. Inilah letak keistimewaan kitab ini.

Boleh dikatakan, kitab ini -dan kitab Beliau lainnya yakni Riyadhus Shalihin- adalah kitab Beliau yang paling luas peredarannya dan paling besar perhatian umat Islam terhadapnya baik kalangan ulama, dosen, mahasiswa, dan orang umum. Ini merupakan petunjuk atas keikhlasan penulisnya sehingga Allah Ta’ala mengabadikan karya-karyanya di tengah manusia walau dirinya telah wafat berabad-abad lamanya.

Semoga kita semua bisa mengikuti jejak langkah para ulama rabbani dan mengambil banyak manfaat dari karya dan keteteladanan kehidupan mereka. Amin.

Tulisan Berikutnya: Syarah Hadits Arbain Nawawiyah (Bag. 2) – Hadits Pertama, Niat dan Ikhlas

🍃🌴🌾🌸🌺🌷🌻☘

✏ Farid Nu’man Hasan

Melihat Pertunjukan Sihir

💢💢💢💢💢💢

📨 PERTANYAAN:

Assalamualaikum ustadz,
saya ingin menanyakan ttg tarian kuda lumping yg sering melakukan pertunjukan kesurupan, bagaimana hukumnya secara syar’i ustadz? Apa hukum menontonnya juga?
syukron jazakallah khoir 08785987xxxx)

📬 JAWABAN

🍃🍃🍃🍃🍃

Wa’alaikumussalam wa Rahmatullah ..

Tidak boleh, Imam Al Bujairimi Rahimahullah mengatakan:

وما هو حرام في نفسه يحرم التفرج عليه؛ لأنه رضًا به، كما قال ابن قاسم على المنهج

Apa-apa yang haram maka haram pula melihatnya karena itu bentuk ridha terhadapnya, seperti dikatakan Ibnu Qasim dalam Al Minhaj. (Nihayatul Muhtaj, 2/372)

Syaikh Sulaiman Al Jamal Rahimahullah berkata:

وكلما حرم حرم التفرج عليه؛ لأنه إعانة على معصية

Tatkala tontonan itu haram maka haram pula malihatnya sebab itu merupakan pertolongan atas maksiat. (Hasyiyah Al Jamal, 5/381)

Syaikh Abdullah Al Faqih Hafizhahullah mengatakan:

فمشاهدة السحر عمدًا لا تجوز لما فيها من إقرار الباطل والرضا به، وتشجيع الناس عليه، بل الواجب على المرء أن يعرض عنه عند رؤيته، سدًّا للذريعة وحماية للعقيدة. قال تعالى في وصف عباد الرحمن: وَالَّذِينَ لا يَشْهَدُونَ الزُّورَ وَإِذَا مَرُّوا بِاللَّغْوِ مَرُّوا كِرَاماً[الفرقان:72].

Melihat acara sihir secara sengaja tidak dibolehkan, sebab itu pengakuan dan ridha atas kebatilan dan membuat manusia semangat atas hal itu. Bahkan manusia wajib berpaling darinya saat melihatnya sebagai bentuk penjagaan atas aqidahnya, jalan preventif.

Allah Ta’ala berfirman:

Dan orang-orang yang tidak memberikan persaksian palsu, dan apabila mereka bertemu dengan (orang-orang) yang mengerjakan perbuatan-perbuatan yang tidak berfaedah, mereka lalui (saja) dengan menjaga kehormatan dirinya. (QS. Al Furqan: 72)

(Fatawa Asy Syabakah Al Islamiyah, no. 36547)

Demikian. Wallahu a’lam

🍄🌷🌴🌱🌸🍃🌾🌵

✍ Farid Nu’man Hasan

Siksa Neraka Yang Paling Ringan

🐾🐾🐾🐾🐾🐾

Dari Nu’man bin Basyir Radhiallahu ‘Anhuma, bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

إن أهون أهل النار عذابا من له نعلان وشرا كان من نار يغلي منهما دماغه كما يغلي المرجل ما يرى أن أحدا أشد منه عذابا وإنه لأهونهم عذابا

“Sesungguhnya penduduk neraka yang paling ringan siksanya adalah seseorang yang mengenakan dua sandal dan dua tali sandal dari neraka, kemudian otaknya mendidih karena panasnya sebagaimana kuali mendidih. Orang tersebut merasa bahwa tidak ada orang lain yang siksanya lebih pedih daripadanya, padahal siksanya adalah yang paling ringan di antara mereka.”

🌴🌴🌴🌴🌴🌴🌴

📚 Shahih Muslim No. 213

Allahumma ajirnaa minannaar ….

🍃🌾🌻🌸🌴🌺☘🌷

✏ Farid Nu’man Hasan

Apakah Nabi Muhammad saw Bisa Membaca dan Menulis?

🐾🐾🐾🐾🐾🐾🐾

📨 PERTANYAAN:

Assalamu’alaykum, ustadz mw bertanya ttg hadits ini
Benarkah Nabi Muhammad buta huruf?

Dalam riwayat lain dari Ibnu Abbas juga dikatakan, Nabi Muhammad berkata, “Ambilkan untukku secarik kertas dan tinta agar aku dapat menuliskan sesuatu yang tidak akan membuat kalian tanpa pedoman lagi.” (Lihat Shahihul Muslim dalam kitabul washiyyah di bagian tarkul washiyyati liman laisa indahu sya’i, suntingan Isa Al-Halabi, juz II, hlm. 16. Lihat juga Tarikhut Thabari, juz III, hlm. 193, dan Sahihul al-Bukhari, dalam kitabul jizyah di bab ikhrajul yahud min jaziratil Arab, juz IV, hlm. 65-66).

-apa yang dimaksud ummi(buta huruf)
-apakah mamang nabi Muhamad bs menulis?
mohon penjelasannya Ustadz, syukron (Dari Amir Udin)

📬 JAWABAN

Wa ‘Alaikum salam wa rahmatullah wa barakatuh.
Bismillah wal hamdulillah wash shalatu was salamu ‘ala rasulillah wa ‘ala aalihi wa ashhabihi wa man waalah, wa ba’d:

Saudara Amir Udin yang dirahmati Allah …….

Tentang ke-ummi-an Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam adalah perkara yang sudah diketahui secara pasti dalam agama ini. Dan, hal itu sudah terjadi sepanjang zaman tanpa ada yang mengingkari. Pandangan ini didasarkan kepada sumber-sumber Islam sendiri –yang tidak ada keraguan di dalamnya- yakni Al Quran dan As Sunnah.
Ummi adalah dinisbatkan kepada Al Umm (Ibu) yang melahirkan, ada juga yang mengatakan dinisbatkan kepada ummatul arab, ada juga yang menyebut Ummul Qurra, namun pendapat pertama yang lebih masyhur. (Imam Al Alusi, Ruhul Ma’ani, 20/495)

Imam Al Alusi mengatakan:

وأريد بذلك أنهم على أصل ولادة أمهم لم يتعلموا الكتابة والحساب

Dan yang dimaksud dengan itu (Ummi) adalah karena mereka pada asal kelahiran ibu mereka tidak mengetahui tulisan dan berhitung. (Ibid. Lihat juga Tuhfah Al Ahwadzi, 8/264)

Budaya tulis menulis belum berkembang pada zaman itu, bahkan kemampuan menulis dan membaca bisa dianggap aib yang menunjukkan lemahnya daya hapal orang tersebut. Sebab saat itu daya hapal bangsa Arab sangat kuat; seperti kemampuan mereka dalam menghapal hingga ratusan syair dan silsilah nasab mereka di kepala mereka, bukan dalam tulisan.

Oleh karenanya, keummi-an Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bukanlah cela dan aib, justru menunjukkan keutamaan Beliau bersama masyarakatnya.

Dalam Al Quran Allah Ta’ala berfirman:

هُوَ الَّذِي بَعَثَ فِي الْأُمِّيِّينَ رَسُولًا مِنْهُمْ يَتْلُو عَلَيْهِمْ آَيَاتِهِ وَيُزَكِّيهِمْ وَيُعَلِّمُهُمُ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَإِنْ كَانُوا مِنْ قَبْلُ لَفِي ضَلَالٍ مُبِينٍ

Dia-lah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang Rasul di antara mereka, yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, mensucikan mereka dan mengajarkan mereka Kitab dan Hikmah (As Sunnah). Dan sesungguhnya mereka sebelumnya benar-benar dalam kesesatan yang nyata. (QS. Al Jumu’ah (62): 2)

Ayat ini menyebutkan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam adalah rasulNya yang berasal dari kaum yang buta huruf.

Imam Al Baidhawi Rahimahullah menjelaskan:

{ هُوَ الذى بَعَثَ فِى الأميين } أي في العرب لأن أكثرهم لا يكتبون ولا يقرؤون . { رَسُولاً مّنْهُمْ } من جملتهم أمياً مثلهم

(Dialah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf) yaitu kepada kaum Arab karena sebagian besar mereka tidak menulis dan tidak membaca. (seorang rasul di antara mereka) dari kumpulan mereka yang ummi sebagaimana mereka. (Anwarut Tanzil, 5/293. Mawqi’ At Tafasir)

Imam Al Alusi Rahimahullah juga menjelaskan demikian:

فالمعنى رسولاً من جملتهم أمياً مثلهم

Jadi, maknanya adalah seorang rasul dari kumpulan mereka yang ummi seperti mereka. (Ruhul Ma’ani, 20/495. Mawqi’ At Tafasir)

Demikian keterangan dari Al Quran dan penjelasan para mufassir.

Ada pun dalam Al Hadits, dari Ibnu Umar Radhilallahu ‘Anhuma, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

إِنَّا أُمَّةٌ أُمِّيَّةٌ لَا نَكْتُبُ وَلَا نَحْسُبُ

Sesungguhnya kami adalah umat yang ummi, kami tidak menulis dan tidak menghitung. (HR. Bukhari No. 1913, Muslim no. 1080, Abu Daud No. 2319, dll)

Hadits ini adalah pengakuan yang menunjukkan keummi-an Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi w Sallam.

Syaikh Abdul Muhsin Al ‘Abbad Al Badr Hafizhahullah mengatakan:

الأمية: نسبة إلى الأميين، والمقصود بذلك كثير منهم، ولا يعني ذلك أنه لا توجد الكتابة والقراءة فيهم، بل كانت ففيهم ولكن بقلة، والحكم هنا الغالب، وقد كان النبي صلى الله عليه وسلم كذلك لا يقرأ ولا يكتب صلى الله عليه وسلم، وقد جاء بهذا القرآن الذي لو اجتمعت الإنس والجن على أن يأتوا بمثله لم يستطيعوا، وهو من عند الله عز وجل، وكونه أمياً لا يقرأ ولا يكتب هذا من أوضح الأدلة على أنه أتى بالقرآن من عند الله عز وجل، ولهذا يقول الله وجل: وَمَا كُنْتَ تَتْلُوا مِنْ قَبْلِهِ مِنْ كِتَابٍ وَلا تَخُطُّهُ بِيَمِينِكَ إِذًا لارْتَابَ الْمُبْطِلُونَ [العنكبوت:48]، أي: لو أنه كان قارئاً كاتباً فيمكن أن يأتي به من عند نفسه، لكنه كان لا يقرأ ولا يكتب صلى الله عليه وسلم

Al Ummiyah: disandarkan kepada Al Ummiyyin, maksudnya adalah banyak di antara mereka, dan tidak berarti tidak ditemukan sama sekali tulisan dan bacaan pada mereka, bahkan hal itu ada pada mereka tapi sedikit, maknanya di sini menunjukkan yang umumnya. Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam juga begitu, dia tidak membaca dan tidak menulis. Beliau datang dengan membawa Al Quran, yang seandainya berkumpulnya manusia dan jin untuk mendatangkan yang sepertinya mereka tidak akan mampu membuatnya, dan Al Quran adalah dari Allah ‘Azza wa Jalla, keadaan Beliau yang ummi tidak dapat membaca dan menulis merupakan di antara penjelasan yang menunjukkan bahwa Beliau datang dengan membawa Al Quran dari sisi Allah ‘Azza wa Jalla, oleh karena itu Allah Ta’ala berfirman: Dan kamu tidak pernah membaca sebelumnya (Al Quran) sesuatu Kitabpun dan kamu tidak (pernah) menulis suatu Kitab dengan tangan kananmu; andaikata (kamu pernah membaca dan menulis), benar-benar ragulah orang yang mengingkari(mu). (QS. Al Ankabut (29): 48) yaitu seandainya Beliau bisa membaca dan menulis maka mungkin saja dia datang membawa Al Quran yang berasal dari dirinya sendiri, tetapi dia Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tidak bisa membaca dan tidak pula menulis. (Syaikh Abdul Muhsin Al ‘Abbad Al Badr, Syarh Sunan Abi Daud, 12/498-499)

Dalam keummi-annya, Al Quran turun kepadanya. Ini justru menunjukkan keadaan tersebut adalah mu’jizat baginya.

Imam Al ‘Aini menjelaskan:

وكونه- عليه السلام- أميا من جملة المعجزة

Dan keadaannya –‘Alaihis salam- yang ummi termasuk di antara kumpulan mu’jizat. (Imam Al ‘Aini, Syarh Sunan Abi Daud, 4/267. Cet. 1, 1999M-1420H. Maktabah Ar Rusyd)

Ada pun hadits yang menunjukkan Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bisa menulis, dari Ibnu Abbas Radhiallahu ‘Anhma, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda :

ائْتُونِي بِالْكَتِفِ وَالدَّوَاةِ أَوْ اللَّوْحِ وَالدَّوَاةِ أَكْتُبْ لَكُمْ كِتَابًا لَنْ تَضِلُّوا بَعْدَهُ أَبَدًا

Ambil-kan untukku kertas dan tinta , aku tuliskan untuk kalian kitab yang setelahnya tidak membuat kalian tersesat selamanya. (HR. Bukhari No. 114, 3053, 3168, Muslim No. 1637)

Hadits ini menunjukkan bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dapat menulis. Lalu bagaimanakah sebenarnya? Betulkah Beliau yang menulis? Ataukah beliau perintahkan orang lain menulisnya?

Imam An Nawawi Rahimahullah menjelaskan sebagai berikut:

أكتب لكم أي آمر بالكتابة ومنها أن الأمراض ونحوها لا تنافي النبوة ولا تدل على سوء الحال

(Saya tuliskan untuk kalian) yaitu perintah untuk membuat tulisan dan darinya merupakan berbagai cacat dan semisalnya yang tidak menafikan kenabiannya dan tidak pula menunjukkan buruknya keadaan. (Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 11/94)

Pemahaman ini juga dikuatkan oleh riwayat lain bahwa jika Beliau ingin menulis maka sahabatnya yang menuliskannya.

Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu, menceritakan bahwa ketika Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam kembali menguasai Mekkah, beliau berkhutbah di hadapan manusia. Ketika beliau berpidato, berdirilah seseorang dari Yaman bernama Abu Syah, dan berkata:

يارسول اللّه اكتبوا لي، فقال رسول اللّه صلى اللّه عليه وسلم: “اكتبوا لأبي شاه

“Ya Rasulullah, tuliskanlah untukku.” Lalu Rasulullah bersabda: “Tuliskan untuk Abu Syah.”

Al Walid (salah seorang perawi hadits ini) bertanya kepada Al Auza’i:

ما قوله “اكتبوا لأبي شاهٍ؟” قال: هذه الخطبة التي سمعها من رسول اللّه صلى اللّه عليه وسلم

Apa maksud sabdanya: “Tuliskan untuk Abu Syah.” Dia menjawab: “Khutbah yang dia (Abu Syah) dengar dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.” (HR. Bukhari No. 112, 2302, 6486. Muslim No. 447, 1355. Abu Daud No. 2017, 3649, 4505. At Tirmidzi No. 2805. Al Baihaqi dalam As Sunan Al Kubra No. 15818. Ibnu Hibban No. 3715. Ahmad No. 7242)

Sekian jawaban saya, semoga bermanfaat. Wallahu A’lam

Wa Shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala aalihi wa Shahbihi wa Sallam

🌷🌺🌴🌻🍃🌸🌾☘

✏ Farid Nu’man Hasan

scroll to top