[Biografi Ulama Ahlus Sunnah] Imam Darul Hijrah, Imam Malik bin Anas Rahimahullah (Bag 3)

💢💢💢💢💢💢💢

7⃣ Di Antara Perkataan dan Nasihat emasnya

Ibnu Wahb berkata, aku mendengar Malik berkata: “Aku tahu, bahwa kerusakan besar akan terjadi ketika manusia selalu membicarakan  apa-apa yang didengarnya.”

Mutharrif bin Abdullah berkata, berkata Malik kepadaku: “Apa yang dibicarakan manusia tentang aku?” Aku menjawab: “Bagi yang jujur mereka memuji, ada pun   yang memusuhi itu sudah pasti terjadi.” Beliau menjawab: “Begitulah manusia, dan selalu begitu. Kami berlindung kepada Allah dari  mengikuti omongan semua manusia.” (Ibid, 7/161)

Dari Ma’an dan lainnya, bahwa Malik berkata: “Jangan kalian ambil ilmu dari empat manusia:

1. Orang bodoh yang mempertontonkan kebodohannya, walau manusia meriwayatkan darinya. 2. Pelaku bid’ah yang menyeru kepada hawa nafsunya. 3. Orang yang suka berbohong ketika berbicara dengan manusia, walau aku tidak menuduhnya berbohong dalam hadits. 4. Orang shalih, ahli ibadah dan punya keutamaan, tetapi tidak mau menghafal hadits.” (Ibid, 7/162)

Berkata Imam Malik bin Anas Radhiallahu ‘Anhu:

من ابتدع فى الإسلام بدعة يراها حسنة فقد زعم أن محمدا صلى الله عليه وسلم خان الرسالة ، لأن اللّه قال {اليوم أكملت لكم دينكم وأتممت عليكم نعمتى ورضيت لكم الإسلام دينا} المائدة : 3

“Barangsiapa yang berbuar bid’ah dalam Islam, dan dia memandangnya itu hasanah (baik), maka dia telah menuduh bahwa Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam telah mengkhianati risalah, karena Allah Ta’ala telah berfirman: “Hari ini telah Aku sempurnakan untukmu agamamu, dan dan aku sempurnakan nikmaku atas kamu, dan Aku ridha Islam sebagai agamamu.”  (Fatawa Al Azhar, 10/177)

Beliau juga berkata:

إنما أنا بشر أخطئ وأصيب فانظروا في رأيي فما وافق الكتاب والسنة فخذوه وكل ما لم يوافق الكتاب والسنة فاتركوه

“Sesungguhnya aku hanyalah manusia biasa, bisa salah dan bisa benar, maka lihatlah pendapatku, apa-apa yang sesuai dengan Al Quran dan As Sunnah maka ambillah, dan setiap yang tidak sesuai maka tinggalkanlah. (Imam Al Mizzi, Tahdzibul Kamal, 27/120)

8⃣ Sikap Keras Imam Malik terhadap golongan sesat

Ibnu Wahb bercerita, kami sedang bersama Malik, lalu datang seorang laki-laki kepadanya dan bertanya tentang firman Allah: (Yaitu) Tuhan Yang Maha Pemurah, Yang bersemayam di atas ‘arsy. (QS. Thaha: 5)

Laki-laki itu bertanya tentang “bagaimana” cara Allah bersemayam? Lalu Imam Malik terdiam, keringatnya bercucuran, lalu dia mengangkat kepalanya dan berkata:  (Yaitu) Tuhan Yang Maha Pemurah, Yang bersemayam di atas ‘arsy. (QS. Thaha: 5), ayat ini sebagaimana yang Allah sifatkan tentang dirinya, jangan tanyakan “bagaimana caranya”. Tentang bagaimananya itu tidak bisa dirasiokan, dan kamu adalah laki-laki yang buruk, pelaku bid’ah, dan keluarkan dia!”

Dalam riwayat lain Ja’far bin Abdullah,  Imam Malik menjawab: “Bagaimana cara bersemayam tidak bisa dinalar, bersemayam sendiri telah diketahui,  mengimaninya wajib, menanyakannya adalah bid’ah, dan aku menilai kau adalah pelaku bid’ah.” Maka Imam Malik memerintahkannya untuk keluar.

Dalam riwayat Salamah bin Syabib, Imam Malik berkata: “Aku khawatir kamu ini tersesat.” (As Siyar, 7/181)

Sa’id bin Abdul Jabbar berkata: Aku mendengar Malik berkata: “Mereka wajib diperintah untuk bertaubat, jika tidak mau bertaubat, maka bunuhlah mereka.” Mereka adalah golongan qadariyah. (Ibid)

Imam Asy Syafi’i bercerita: “Jika pengikut hawa nafsu datang kepada Malik, maka dia berkata: “Ada pun aku di atas bukti yang kuat tentang agamaku, dan kamu di atas keragu-keraguan, maka pergilah kamu kepada orang-orang seperti kamu,” Beliau memarahi mereka. (Ibid, 7/180)

Sikap Imam Malik terhadap Syiah Rafidhah juga sangat keras, Beliau mengkafirkannya, sebagaimana dikutip Imam Ibnu Katsir berikut ini, ketika membahas tafsir surat Al Fath ayat 29:

ومن هذه الآية انتزع الإمام مالك -رحمه الله، في رواية عنه-بتكفير الروافض الذين يبغضون الصحابة، قال: لأنهم يغيظونهم، ومن غاظ الصحابة فهو كافر لهذه الآية. ووافقه طائفة من العلماء على ذلك

Dari ayat ini, Imam Malik Rahimahullah  memutuskan –dalam sebuah riwayat darinya- tentang kafirnya golongan rafidhah, yaitu orang-orang yang marah terhadap sahabat nabi. Beliau berkata: “Karena mereka murka terhadap sahabat nabi, dan barang siapa yang marah terhadap sahabat nabi maka dia kafir menurut ayat ini.” Segolongan ulama sepakat atas fatwanya ini. (Imam Ibnu Katsir, Tafsir Al Quran Al Azhim, 7/362)

Beliau juga berkata tentang Rafidhah –qabbahahumullah fid dunya wal akhirah:

اَلَّذِيْ يَشْتُمُ أَصْحَابَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَيْسَ لَهُمْ سَهْمٌ أَوْ قَالَ نَصِيْبٌ فِيْ الْإِسْلاَمِ

Orang yang mencaci maki para sahabat Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mereka sama sekali tidak memiliki saham dalam Islam, atau sama sekali tidak memiliki bagian dalam Islam. (Imam Abu Bakar Al Khalal, As Sunnah, 1/493)

Bersambung …

🌷🌱🌸🍃🌵🌾🌴🍄

✍ Farid Nu’man Hasan

Menghadiri Pesta Pernikahan Saat Sedang Puasa Sunnah

💥💦💥💦💥💦

📨 PERTANYAAN:

🌿🌺Sedang puasa Sunnah, lalu datang kondangan, batalkan atau tidak? (Abdullah, WA)🌺🌿

📬 JAWABAN

🍃🍃🍃🍃🍃🍃🍃

Bismillah wal hamdulillah wash shalatu was salamu ‘ala Rasulillah wa ba’d:

Ya, untuk orang yang sedang puasa tathawwu’ (sunah), dia boleh dan bebas memilih untuk meneruskan puasanya atau membatalkannya. Termasuk ketika berkunjung dalam suatu undangan, di mana tuan rumah sudah bersusah payah menyediakan makanan buat kita. Hal ini  banyak dalilnya, di antaranya yang paling pas adalah berikut ini.

Abu Sa’id Al Khudri Radhiallahu ‘Anhu bercerita:

صَنَعْتُ لِرَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ طَعَامًا فَأَتَانِي هُوَ وَأَصْحَابُهُ فَلَمَّا وُضِعَ الطَّعَامُ , قَالَ رَجُلٌ مِنَ الْقَوْمِ: إِنِّي صَائِمٌ فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: ” دَعَاكُمْ أَخُوكُمْ وَتَكَلَّفَ لَكُمْ ” ثُمَّ قَالَ لَهُ: ” أَفْطِرْ وَصُمْ مَكَانَهُ يَوْمًا إِنْ شِئْتَ

Aku membuat makanan untuk Rasulullah ﷺ, Beliau dan sahabat-sahabatnya mendatangiku, ketika makanan sudah dihidangkan ada seorang yang berkata: “Saya sedang puasa.” Maka Rasulullah ﷺ bersabda: “Saudaramu sudah mengundang kamu dan sudah repot-repot untukmu.” Lalu Beliau bersabda: “Berbukalah, dan puasalah satu hari di waktu lain kalau kamu mau.” (HR. Al Baihaqi dalam As Sunan Al Kubra No. 8362, Ath Thabarani dalam Al Mu’jam Al Awsath, No. 3240. Al Hafizh Ibnu Hajar mengatakan: isnadnya hasan. Lihat Fathul Bari, 4/210)

Hadits ini menunjukkan bahwa bolehnya seseorang berbuka ketika shaum sunnah, saat dia berkunjung ke rumah saudara atau undangan, untuk menghormati tuan rumah, dan juga bolehnya dia mengqadha, boleh juga tidak mengqadha.

Sementara dari Ummu Hani Radhiallahu ‘Anha, bahwa Nabi ﷺ bersabda:

الصائم المتطوع أمير نفسه إن شاء صام وإن شاء أفطر

Seorang yang sedang shaum sunnah adalah raja bagi dirinya sendiri, jika dia mau maka dia teruskan puasanya, jika dia mau silahkan dia batalkan. (HR. Ahmad No. 26893, Al Hakim No. 1599, 1600, katanya: shahih. Disepakati oleh Adz Dzahabi keshahihannya.  Al Baihaqi dalam As Sunan Ash Shaghir No. 1436. Syaikh Al Albani juga menshahihkannya. Lihat Shahihul Jami’ No. 3854)

Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah mengatakan:

وقد ذهب أكثر أهل العلم إلى جواز الفطر، لمن صام متطوعا، واسحبوا له قضاء ذلك اليوم، استدلالا بهذه الاحاديث الصحيحة الصريحة

Mayoritas ulama berpendapat bolehnya membatalkan puasa bagi yang sedang shaum sunnah, dan mereka dianjurkan mengqadha puasa hari tersebut, berdasarkan hadits-hadits ini yang begitu jelas. (Fiqhus Sunnah, 1/455)

Imam Al Baghawi menjelaskan:

والحديث يدل على أن المتطوع بالصوم إذا أفطر، لا قضاء عليه إلا أن يشاء، وكذلك المتطوع بالصلاة إذا أبطلها، وهو قول عمر، وابن عباس وجابر، وإليه ذهب الثوري، والشافعي، وأحمد، وإسحاق، وقال أصحاب الرأي: يلزمه القضاء، وقال مالك: إن أفطر أو خرج من الصلاة من غير علة، يلزمه القضاء

Hadits ini menjadi dalil bahwa jika seorang yang sedang shaum sunnah dan dia membatalkannya maka dia tidak wajib qadha kecuali jika dia mau. Ini juga berlaku untuk shalat jika dia membatalkannya. Inilah pendapat Umar, Ibnu Abbas, Jabir, dan juga Ats Tsauri, Asy Syafi’i, Ahmad, dan Ishaq. Sementara Ashhabur Ra’yi (pengikut Abu Hanifah) mengatakan: “Wajib mengqadha.” Sedangkan Malik mengatakan: “Jika batal puasa atau shalatnya tanpa ada alasan maka wajib qadha.” (Syarhus Sunnah, 6/372)

Demikianlah KEBOLEHANNYA, tetapi mana yang lebih utama dengan meneruskannya? Cukup banyak ulama mengatakan bahwa tidak membatalkannya puasanya adalah lebih disukai.

Syaikh Muhammad ‘Abid As Sindi berkata:

به أخذ الشافعي في جواز قطع الصوم النافلة والأكل نهارا وبه قال أحمد وإسحاق لكنهم متفقون جميعا على أن إتمام الصوم مستحب

Dengan hadits ini Asy Syafi’i berdalil bolehnya memutuskan shaum sunnah dan makan di siang harinya. Ini juga pendapat Ahmad dan Ishad, tetapi mereka semua sepakat bahwa sempurnanya shaum itu disukai (mustahab). (Musnad Asy Syafi’i,  1/276. Dengan susunan dari Syaikh As Sindi)

Alasannya firmanNya:

“Wahai orang-orang beriman taatilah Allah dan taatilah Rasul dan janganlah kamu batalkan amal-amalmu.” (QS. Muhammad: 33)

Wallahu A’lam

🌷🍀🌹🌻🌺🍁🍃

✏ Farid Nu’man Hasan

Mendulang Faidah Dari Surat Al Fatihah (Bag. 4)

💥💦💥💦💥💦

2⃣ Golongan kedua mengatakan tidak sah shalat tanpa Al Fatihah, inilah pandangan Imam Malik, Imam Syafi’i, Imam Ahmad bin Hambal dan para sajabatnya dan merupakan pendapat mayoritas ulama.

Alasannya adalah dari Ubadah bin Ash Shamit Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

لا صلاة لمن لم يقرأ فيها بفاتحة الكتاب

“Tidak ada shalat bagi yang tidak membaca Fatihatul Kitab.” 1]

Imam At Tirmidzi memberikan keterangan:

والعمل عليه عند أكثر أهل العلم من أصحاب النبي صلى الله عليه وسلم، منهم عمر بن الخطاب وجابر بن عبد الله وعمران بن حصين وغيرهم، قالوا: لا تجزئ صلاة إلا بقراءة فاتحة الكتاب. وبه يقول ابن المبارك والشافعي وأحمد وإسحق

“Mayoritas ulama dari kalangan sahabat Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mengamalkan (berdalil) dengan hadits ini, di antara mereka: Umar bin Al Khathab, Jabir bin Abdullah, ‘Imran bin Hushain, dan selain mereka. Mereka mengatakan: shalat tidaklah mencukupi kecuali dengan membaca Fatihatul Kitab. Ini juga perkataan Ibnul Mubarak, Asy Syafi’i, Ahmad, dan ishaq.” 2]

Dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

، غير تمام من صلى صلاة لم يقرأ بأم القرآن فهي خداج

“Barangsiapa yang shalat dan tidak membaca Ummul Quran maka shalatnya khidaj (diulang tiga kali), yakni tidak sempurna.” 3]

Dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

لا تجزئ صلاة لا يقرأ فيها بفاتحة الكتاب

“Shalat tidaklah mencukupi, yang di dalamnya tidak membaca Fatihatul Kitab.” 4]

Dalam pandangan kami –wallahu a’lam- pendapat yang lebih kuat adalah pendapat jumhur, yaitu dengan mentaufiq (kompromi) beberapa hadits yang zahirnya nampak bertentangan, hadits yang satu memerintahkan membaca yang termudah dari Al Quran, yang lain memerintahkan membaca Al Fatihah, dan semuanya shahih, tidak ada yang dinasakh, apalagi didhaifkan. Hal ini sebagaimana dikatakan oleh ungkapan seorang sahabat nabi, yakni Abu Said Al Khudri Radhiallahu ‘Anhu:

أُمرنا أن نقرأ بفاتحة الكتاب وما تيسر

“Kami diperintahkan membaca Fatihatul Kitab dan apa-apa yang mudah.” 5]

Jadi, kedua hadits tersebut dipakai, membaca Al Fatihah dan juga surat lain yang mudah.

Tetapi golongan ini pun terbagi lagi dalam tiga kelompok pendapat sebagaimana yang dirinci oleh Imam Ibnu Katsir.

Pertama, Imam Syafi’i dan segolongan ulama mengatakan membaca Al Fatihah wajib pada setiap rakaat.

Kedua, ulama lainnya mengatakan wajib dibaca pada sebagian besar rakaat saja (tidak semua rakaat).

Ketiga, hanya wajib dibaca satu rakaat saja, ini pendapat Al Hasan Al Bashri dan mayoritas ulama Bashrah.

📌  Kelompok pertama. Dalilnya:

لا صلاة لمن لم يقرأ في كل ركعة بـ{الحمد لله} وسورة، في فريضة أو غيرها

“Tidak ada shalat bagi yang tidak membaca Alhamdulillah (Al Fatihah) dan surat pada setiap rakaat, baik shalat wajib atau selainnya.” 6]

Imam Ibnu Katsir mengatakan: ”keshahihan hadits ini diperbincangkan.” 7]

Dalam sanadnya terdapat Abu Sufyan As Sa’di. Imam Ibnu Abdil Bar mengatakan: mereka semua sepakat (ijma’) atas kedhaifannya (Abu Sufyan As Sa’di). Tetapi riwayat Abu Sufyan  memiliki mutaba’ah (penguat) dari Qatadah, sebagaimana kata Ibnu Hibban dalam Shahihnya. Sementara Syaikh Al Albani mendhaifkan dalam beberapa kitabnya. 8]

📌 Kelompok kedua. Imam Ibnu Katsir tidak menyebutkan alasan kelompok ini.  Mereka hanya memberikan takwil bahwa membaca Al Fatihah pada hadits-hadits yang memerintahkannya bermakna mu’zham, yaitu pada sebagian besar rakaat atau rakaat yang penting saja.

📌 Kelompok ketiga. Dalilnya adalah:

لا صلاة لمن لم يقرأ فيها بفاتحة الكتاب

“Tidak ada shalat bagi yang tidak membaca Fatihatul Kitab.” 9]

Hadits ini menunjukkan tidak ada rincian rakaat, maka membaca satu kali Al Fatihah pada satu rakaat sudah mencukupi.

(Bersambung ….)

🌷☘🌺🌻🍃🌾🌸🌴

✏ Farid Nu’man Hasan
🌾🍃🌾🍃🌾🍃🌾🍃


[1] HR. Bukhari No. 723, Muslim No. 394, 395. Abu Daud No. 822, At Tirmidzi No.247, Ibnu Majah No. 837, Ibnu Hibban No. 1785, Al Baihaqi dalam Sunannya No.2193
[2] Sunan At Tirmidzi No. 247
[3] HR. Muslim No. 395, Abu Daud No. 821, Ibnu Majah No, 838, An Nasa’i No.909, At Tirmidzi No. 2953
[4] HR. Ibnu khuzaimah No. 490, dalam Al Mushannaf-nya Imam Ibnu Abi Syaibah ini merupakan perkataan mawquf dari Umar, 1/397
[5] Sunan Abu Daud , 1/216. No. 818. Syaikh Al Albani mengatakan: Shahih. Lihat Shahih wa Dhaif Sunan Abi Daud No. 818
[6] HR. Ibnu Majah No. 839
[7] Tafsir Al Quran Al ‘Azhim, 1/109
[8] Dhaiful Jami’ No. 6299, Shahih wa Dhaif Sunan Ibni Majah No. 839)
[9] Lihat takhrijnya dalam cat kaki no. 1

Adab Bertanya

💦💥💦💥💦💥

Syaikh Ismail Al Anshari Rahimahullah mengatakan:

وقد قسم العلماء السؤال إلى قسمين : أحدهما_ ما كان على وجه التعليم لما يحتاج إليه من أمر الدين ، فهذا مأمور به لقوله تعالى : ( فاسألوا أهل الذكر إن كنتم لا تعلمون ) وعلى هذا النوع تتنزل أسئلة الصحابة عن الأنفال والكلالة وغيرهما . والثاني _ ما كان على وجه التعنت والتكلف وهذا هو المنهي عنه

Para ulama telah membagi pertanyaan menjadi dua jenis.

📌 Pertama, pertanyaan  untuk   mengetahui hal yang dibutuhkan berupa urusan agama. Ini justru diperintahkan karena Allah Ta’ala berfirman: (Bertanyalah kepada ahludz dzikr jika kalian tidak mengetahui), dan pada jenis inilah turunnya pertanyaan para sahabat tentang Al Anfal (rampasan perang), Kalaalah, dan selain keduanya.

📌 Kedua, pertanyaan dengan kepentingan untuk menyakiti dan memberatkan, dan inilah yang dilarang.

📖 At Tuhfah Ar Rabbaniyah, Syarah Hadits Arbain No. 9

📓📕📗📘📙📔📒

✏ Farid Nu’man Hasan

scroll to top