Fiqih, Hukum, dan Tata Cara Shalat Witir

🐾🐾🐾🐾🐾🐾🐾

📌 Definisi Sholat Witir

Secara bahasa artinya Al ‘Adad Al Fardi (angka ganjil), seperti 1, 3, 5, 7, dst. (Al Mausu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah, 27/289) .

Dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Nabi ﷺ bersabda:

لِلهِ تِسْعَةٌ وَتِسْعُونَ اسْمًا مِائَةٌ إِلَّا وَاحِدًا لَا يَحْفَظُهَا أَحَدٌ إِلَّا دَخَلَ الْجَنَّةَ وَهُوَ وَتْرٌ يُحِبُّ الْوَتْرَ

Allah memiliki 99 nama, seratus dikurang satu. Tidak ada yang menghafalnya melainkan dia akan masuk surga. Dia adalah witir (ganjil), menyukai yang ganjil. (HR. Al Bukhari No. 6410, Muslim No. 2677)

Secara syariat, Shalat Witir adalah:

وهي صلاة تفعل ما بين صلاة العشاء وطلوع الفجر ، تختم بها صلاة الليل ، سميت بذلك لأنها تصلى وترا ، ركعة واحدة ، أو ثلاثا ، أو أكثر ، ولا يجوز جعلها شفعا

Dia adalah shalat yang dikerjakan antara shalat Isya dan terbitnya fajar, dengannya shalat malam ditutup. Dinamakan witir karena shalatnya dlakukan secara witir (ganjil), 1 rakaat, atau tiga, atau lebih, dan tidak boleh menjadikannya genap. (Al Mausu’ah, 27/289)

Dari definisi ini kita dapat memahami bahwa durasi untuk melaksanakan witir adalah setelah shalat Isya sampai menjelang fajar (subuh).

📌Hukum Sholat Witir

Hukumnya sunnah muakkadah (sunah yang sangat dianjurkan). Berkata Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah:

الوتر سنة مؤكدة حث عليه الرسول صلى الله عليه وسلم ورغب فيه

Shalat witir adalah sunnah muakadah, Rasulullah ﷺ sangat mendorongnya dan begitu menyukainya. (Fiqhus Sunnah, 1/191)

Namun, Imam Abu Hanifah mewajibkannya, dan tidak ada ulama yang menyetujuinya. Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah menceritakan:

وما ذهب إليه أبو حنيفة من وجوب الوتر فمذهب ضعيف. قال ابن المنذر: لا أعلم أحدا وافق أبا حنيفة في هذا

Apa yang menjadi pendapat Abu Hanifah bahwa witir adalah wajib merupakan pendapat yang lemah. Ibnul Mundzir berkata: “Tidak aku ketahui seorang pun yang sepakat dengan Abu Hanifah dalam hal ini.” (Ibid, 1/192)

Dengan sanad yang shahih, Ali bin Abi Thalib Radhiallahu ‘Anhu berkata:

الْوَتْرُ لَيْسَ بِحَتْمٍ مِثْلَ الصَّلَاةِ وَلَكِنَّهُ سُنَّةٌ سَنَّهَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم

Witir bukanlah kewajiban seperti shalat wajib, tetapi itu adalah sunnah yang dibiasakan oleh Rasulullah ﷺ. (HR. At Tirmidzi No. 453, Musnad Ahmad No. 652, 786, 1220)

📌 Jumlah Rakaat Sholat Witir

Boleh dilakukan sebanyak 1, 3, 5,7, 9, 11 dan maksimal 13 rakaat.

Dari Abu Ayyub Al Anshari Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Nabi ﷺ bersabda:

الْوِتْرُ حَقٌّ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ فَمَنْ أَحَبَّ أَنْ يُوتِرَ بِخَمْسٍ فَلْيَفْعَلْ وَمَنْ أَحَبَّ أَنْ يُوتِرَ بِثَلَاثٍ فَلْيَفْعَلْ وَمَنْ أَحَبَّ أَنْ يُوتِرَ بِوَاحِدَةٍ فَلْيَفْعَلْ

“Witir adalah sebuah hak atas setiap muslim, barang siapa yang hendak melakukan witir lima raka’at maka hendaknya ia melakukankannya dan barang siapa yang hendak melakukan witir tiga raka’at maka hendaknya ia melakukannya, dan barang siapa yang hendak melakukan witir satu raka’at maka hendaknya ia melakukannya.” (HR. Abu Daud No. 1420, An Nasa’i No. 1712, Ibnu Hibban No. 2407. Dishahihkan oleh Syaikh Syu’aib Al Arnauth, Syaikh Al Albani, Syaikh Ayman Shalih Sya’ban, dll)

Berkata Ibnu Abi Malikah:

قيل لابن عباس: هل لك في أمير المؤمنين معاوية، فإنه ما أوتر إلا بواحدة؟ قال: أصاب، إنه فقيه

“Dikatakan kepada Ibnu Abbas: Apa pendapat anda tentang Amirul Mu’minin Muawiyah, bahwa dia tidaklah melakukan witir melainkan satu rakaat? “ Ibnu Abbas menjawab: “Dia benar, dia adalah seorang yang faqih (faham agama).” (HR. Bukhari No. 3554)

Dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Nabi ﷺ bersabda:

….وَلَكِنْ أَوْتِرُوا بِخَمْسٍ أَوْ بِسَبْعٍ أَوْ بِتِسْعٍ ، أَوْ بِإِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً أَوْ أَكْثَرَ مِنْ ذَلِكَ

… Tetapi berwitirlah dengan lima rakaat, atau tujuh, atau sembilan, atau sebelas, atau lebih dari itu. (HR. Al Baihaqi dalam As Sunan Al Kubra No. 5011, Al Hakim dalam Al Mustadrak No. 1137. Imam Ibnu Mulaqin berkata: “Para perawinya terpercaya semuanya. Imam Al Hakim mengatakan: shahih sesuai syarat Al Bukhari dan Muslim.” Lihat Badrul Munir, 4/302)

‘Aisyah Radhiallahu ‘Anha berkata:

…وَلاَ بِأَكْثَرَ مِنْ ثَلاَثَ عَشْرَةَ

… Dan Nabi tidak pernah shalat witir lebih banyak dari 13 rakaat. (HR. Abu Daud No. 1364. Imam Ibnul Mulaqin mengatakan: shahih. Lihat Badrul Munir, 4/302)

Ummu Salamah Radhiallahu ‘Anha berkata:

كان النبي صلى الله عليه و سلم يوتر بثلاث عشرة ركعة فلما كبر وضعف أوتر بسبع

Dahulu Nabi ﷺ shalat witir sebanyak 13 rakaat, ketika sudah tua dan lemah beliau witir tujuh rakaat. (HR. At Tirmidzi No. 457, Beliau berkata: hasan. Imam Al Hakim mengatakan: shahih sesuai syarat Al Bukhari dan Muslim. Al Mustadrak No. 1149)

Pandangan Syafi’iyah dan Hambaliyah maksimal adalah 11 rakaat, dalam satu pendapat Syafi’iyah maksimal adalah 13 rakaat. Sementara Hanafiyah tiga rakaat, tidak lebih dan tidak kurang. Malikiyah mengatakan satu rakaat saja. (Al Mausu’ah, 27/294)

Demikianlah.

📌 Pembagian dan Pola Rakaat

Jika shalat witir tiga rakaat, maka ada dua pola, yaitu dua rakaat lalu salam, lalu bangun lagi satu rakaat dan salam lagi. (ringkasnya: Pola 2-1, dengan 2 kali salam)

Dari ‘Aisyah Radhiallahu ‘Anha, ia berkata:

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يُصَلِّى فِى الْحُجْرَةِ وَأَنَا فِى الْبَيْتِ فَيَفْصِلُ بَيْنَ الشَّفْعِ وَالْوِتْرِ بِتَسْلِيمٍ يُسْمِعُنَاهُ

“Rasulullah ﷺ shalat di dalam kamar ketika saya berada di rumah dan beliau ﷺ memisah antara raka’at yang genap dengan yang witir (ganjil) dengan salam yang beliau ﷺ perdengarkan kepada kami.” (HR. Ahmad No. 24539, Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa hadits ini shahih)

Dari Nafi’, ia berkata mengenai shalat witir dari Ibnu ‘Umar:

أَنَّ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عُمَرَ كَانَ يُسَلِّمُ بَيْنَ الرَّكْعَةِ وَالرَّكْعَتَيْنِ فِى الْوِتْرِ ، حَتَّى يَأْمُرَ بِبَعْضِ حَاجَتِهِ

Ibnu Umar biasa mengucapkan salam ketika satu rakaat dan dua rakaat saat witir sampai ia memerintah untuk sebagian hajatnya.” (HR. Bukhari no. 991).

Yang kedua, yaitu langsung tiga rakaat, sekali duduk tasyahud, dan sekali salam.

Dari Abu Ayyub Al Anshari, ia berkata, Rasulullah ﷺ bersabda,

وَمَنْ أَحَبَّ أَنْ يُوتِرَ بِثَلاَثٍ فَلْيَفْعَلْ

“Siapa yang suka lakukan witir tiga rakaat, maka lakukanlah.” (HR. Abu Daud No. 1420, An Nasa’i No. 1712, Ibnu Hibban No. 2407. Dishahihkan oleh Syaikh Syu’aib Al Arnauth, Syaikh Al Albani, Syaikh Ayman Shalih Sya’ban, dll)

Dari ‘Aisyah, ia berkata:

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يُوتِرُ بِثَلاَثٍ لاَ يَقْعُدُ إِلاَّ فِى آخِرِهِنَّ

“Rasulullah ﷺ biasa berwitir tiga raka’at sekaligus, beliau tidak duduk (tasyahud) kecuali pada raka’at terakhir.” (HR. Al Baihaqi dalam As Sunan Al Kubra No. 4998. Imam Al Hakim mengatakan: shahih sesuai syarat Al Bukhari dan Muslim. Lihat Badrul Munir, 4/308)

Bahkan Rasulullah ﷺ pernah lima rakaat dengan sekali duduk di akhirnya. (HR. Ibnu Hibban No. 2439, shahih kata Syaikh Syu’aib Al Arnauth)

Juga pernah tujuh rakaat dengan sekali duduk di akhirnya. (HR. An Nasa’i No. 1718, sanadnya shahih)

Atau bisa juga dengan pola 4-3 (2 rakaat, 2 rakaat, lalu 3), pola 6-3 (2,2,2,3), pola 8-3 (2,2,2,2,3), atau 10-3 (2,2,2,2,2,3).

Hal ini berdasarkan hadits:

كَانَ يُوتِرُ بِأَرْبَعٍ وَثَلاَثٍ وَسِتٍّ وَثَلاَثٍ وَثَمَانٍ وَثَلاَثٍ وَعَشْرٍ وَثَلاَثٍ

Dahulu nabi berwitir dengan 4 dan 3, 6 dan 3, 8 dan 3, serta 10 dan 3. (HR. Abu Daud No. 1364, dishahihkan oleh Syaikh Al Albani)

📌 Bolehkah Shalat Lagi Setelah Witir?

Banyak yang menyangka witir sebagai penutup shalat, sehingga tidak boleh lagi shalat. Yang benar adalah BOLEH, karena Nabi ﷺ melakukannya, dan anjuran menjadikan witir sebagai penutup shalat malam sifatnya sunah saja.
Imam Ibnul Qayyim Rahimahullah berkata:

وَقَدْ ثَبَتَ عَنْهُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ ( «كَانَ يُصَلِّي بَعْدَ الْوِتْرِ رَكْعَتَيْنِ جَالِسًا تَارَةً، وَتَارَةً يَقْرَأُ فِيهِمَا جَالِسًا، فَإِذَا أَرَادَ أَنْ يَرْكَعَ، قَامَ فَرَكَعَ» ، وَفِي “صَحِيحِ مسلم ” عَنْ أبي سلمة قَالَ: « (سَأَلْتُ عائشة رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا عَنْ صَلَاةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقَالَتْ: (كَانَ يُصَلِّيثَلَاثَ عَشْرَةَ رَكْعَةً، يُصَلِّي ثَمَانَ رَكَعَاتٍ، ثُمَّ يُوتِرُ، ثُمَّ يُصَلِّي رَكْعَتَيْنِ وَهُوَ جَالِسٌ، فَإِذَا أَرَادَ أَنْ يَرْكَعَ، قَامَ فَرَكَعَ، ثُمَّ يُصَلِّي رَكْعَتَيْنِ بَيْنَ النِّدَاءِ وَالْإِقَامَةِ مِنْ صَلَاةِ الصُّبْحِ) » وَفِي “الْمُسْنَدِ” عَنْ أم سلمة أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، ( «كَانَ يُصَلِّي بَعْدَ الْوِتْرِ رَكْعَتَيْنِ خَفِيفَتَيْنِ وَهُوَ جَالِسٌ (
وَقَالَ الترمذي: رُوِيَ نَحْوُ هَذَا عَنْ عائشة، وأبي أمامة، وَغَيْرِ وَاحِدٍ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ.
وَفِي “الْمُسْنَدِ” عَنْ أبي أمامة، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، ( «كَانَ يُصَلِّي رَكْعَتَيْنِ بَعْدَ الْوِتْرِ وَهُوَ جَالِسٌ، يَقْرَأُ فِيهِمَا بِـ {إِذَا زُلْزِلَتِ} [الزلزلة: ١] وَ {قُلْ يَاأَيُّهَا الْكَافِرُونَ} [الكافرون: ١ [وَرَوَى الدَّارَقُطْنِيُّ نَحْوَهُ مِنْ حَدِيثِ أنس رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ.

Telah SHAHIH dari Nabi ﷺ bahwa: (Beliau shalat lagi setelah witir sebanyak dua rakaat kadang sambil duduk). Dalam kesempatan lain, Beliau pernah membaca dua rakaat itu sambil duduk dan ketika hendak ruku Beliau berdiri untuk ruku.

Disebutkan dalam SHAHIH MUSLIM dari Abu Salamah, dia berkata: Aku bertanya kepada ‘Aisyah tentang Shalat Rasulullah ﷺ, lalu dia memjawab:

“Beliau ﷺ biasanya melakukan shalat 13 rakaat. Menunaikan 8 raka’at, lalu witir, kemudian shalat 2 raka’at lagi dengan duduk, dan apabila hendak ruku beliau berdiri lalu ruku. Kemudian, Beliau nantinya shalat lagi antara azan dan iqamah shubuh.”

Di dalam Musnad disebutkan dari Ummi Salamah Radhiallahu ‘Anha, “Bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam melakukan shalat 2 rakaat ringan dengan duduk setelah shakat witir.” (HR. Ahmad, No. 26553, Ibnu Majah No. 1195. Dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dan Syaikh Syu’aib Al Arnauth)
Kata Imam At Tirmidzi: “Hadits seperti ini juga diriwayatkan oleh Aisyah, Abu Umamah, dan tidak hanya satu sahabat Nabi ﷺ.”

Dalam Musnad juga disebutkan, dari Abu Umamah: “Bahwa setelah shalat witir, Rasulullah ﷺ melakukan shalat 2 rakaat dengan duduk dan membaca surat Al Zalzalah dan Al Kafirun.” (HR. Ahmad, Al Baihaqi dalam As Sunan Al Kubra No. 5018, Ath Thabarani dalam Al Mu’jam Al Kabir No. 8065. Sanadnya hasan)

Imam Ad Daruquthni meriwayatkan hadits yang sama dari Anas bin Malik Radhiallahu ‘Anhu. (Selesai)

Lalu Imam Ibnul Qayyim mengutip dari para ulama:

إِنَّمَا فَعَلَ هَاتَيْنِ الرَّكْعَتَيْنِ، لِيُبَيِّنَ جَوَازَ الصَّلَاةِ بَعْدَ الْوِتْرِ، وَأَنَّ فِعْلَهُ لَا يَقْطَعُ التَّنَفُّلَ، وَحَمَلُوا قَوْلَهُ: ( «اجْعَلُوا آخِرَ صَلَاتِكُمْ بِاللَّيْلِ وِتْرًا» ) عَلَى الِاسْتِحْبَابِ، وَصَلَاةَ الرَّكْعَتَيْنِ بَعْدَهُ عَلَى الْجَوَازِ

Sesungguhnya dilakukannya dua rakaat ini hanyalah untuk menjelaskan BOLEHNYA SHALAT SETELAH WITIR, bahwasanya shalat witir itu tidaklah memutuskan shalat. Mereka memaknai maksuda hadits Nabi : “Jadikankah akhir shalat kalian pada malam hari adalah witir”, itu menunjukkan sunah saja, dan shalat dua rakaat setelahnya itu dibolehkan.” (Lihat semua dalam Zaadul Ma’ad fi Hadyi Khairil ‘Ibaad, 1/321-323)

📌 Tidak Boleh Dua Kali Witir Dalam Semalam

Ada sebuah hadits yang melarang dua kali shalat witir dalam satu malam. Dari Qais bin Thalq, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

لَا وِتْرَانِ فِي لَيْلَة

“Tidak ada dua witir dalam satu malam.” (HR. At Tirmidzi No. 470, katanya: hasan, Abu Daud No. 1439, An Nasa’i No. 1679, juga dalam As Sunan Al Kubra-nya No. No. 1388, Ahmad No. 16339, Ibnu Hibban No. 2449, Ibnu Khuzaimah No. 1101, dll. Imam Ibnul Mulqin mengatakan: hasan. Lihat Badrul Munir, 4/317. Al Hafizh Ibnu Hajar juga menghasankannya. Lihat Fathul Bari, 2/488)

Para ulama berbeda pendapat tentang orang yang sudah witir di awal malam, apakah di akhir malam witir lagi? berkata Imam At Tirmidzi:

وَاخْتَلَفَ أَهْلُ الْعِلْمِ فِي الَّذِي يُوتِرُ مِنْ أَوَّلِ اللَّيْلِ ثُمَّ يَقُومُ مِنْ آخِرِهِ فَرَأَى بَعْضُ أَهْلِ الْعِلْمِ مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَمَنْ بَعْدَهُمْ نَقْضَ الْوِتْرِ وَقَالُوا يُضِيفُ إِلَيْهَا رَكْعَةً وَيُصَلِّي مَا بَدَا لَهُ ثُمَّ يُوتِرُ فِي آخِرِ صَلَاتِهِ لِأَنَّهُ لَا وِتْرَانِ فِي لَيْلَةٍ وَهُوَ الَّذِي ذَهَبَ إِلَيْهِ إِسْحَقُ

Para ulama berbeda pendapat tentang orang yang witir pada awal malam, lalu dia mendirikan lagi pada akhir malam. Sebagian ulama dari kalangan sahabat nabi dan setelah mereka menyatakan witir tersebut (yang akhir, pen) batal. Mereka mengatakan: hendaknya dia menambahkan witirnya itu satu rakaat lagi lalu dia shalat seperti permulaan kemudian barulah dia witir pada akhir shalatnya, hal ini karena tidak ada dua witir pada satu malam. Ulama yang berpendapat seperti ini adalah Ishaq. (Sunan At Tirmidzi No. 470) Hal ini dilakukan oleh para sahabat Radhiallahu ‘Anhum, seperti Utsman, Ibnu Abbas, Ibnu Umar, dan Sa’ad bin Malik. (Tuhfah Al Ahwadzi, 2/469)

Jadi tidak boleh dua kali witir, jika dilakukan juga maka witir yang kedua adalah batal. Namun jika setelah bangun dia memulai dengan satu rakaat untuk menggenapkan witir sebelumnya, lalu shalat lagi seperti awal dia shalat, barulah dia boleh witir, karena witir sebelumnya sudah digenapkan dengan satu rakaat tadi. Maka, witir yang dilakukan terakhir itulah witir yang sebenarnya.

Imam At Tirmidzi Rahimahullah berkata tentang pendapat kedua:

وَقَالَ بَعْضُ أَهْلِ الْعِلْمِ مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَغَيْرِهِمْ إِذَا أَوْتَرَ مِنْ أَوَّلِ اللَّيْلِ ثُمَّ نَامَ ثُمَّ قَامَ مِنْ آخِرِ اللَّيْلِ فَإِنَّهُ يُصَلِّي مَا بَدَا لَهُ وَلَا يَنْقُضُ وِتْرَهُ وَيَدَعُ وِتْرَهُ عَلَى مَا كَانَ وَهُوَ قَوْلُ سُفْيَانَ الثَّوْرِيِّ وَمَالِكِ بْنِ أَنَسٍ وَابْنِ الْمُبَارَكِ وَالشَّافِعِيِّ وَأَهْلِ الْكُوفَةِ وَأَحْمَدَ وَهَذَا أَصَحُّ لِأَنَّهُ قَدْ رُوِيَ مِنْ غَيْرِ وَجْهٍ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَدْ صَلَّى بَعْدَ الْوِتْرِ

Sebagian ulama dari sahabat Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan selain mereka mengatakan bahwa jika seorang melakukan witir di awal malam kemudian dia tidur lalu shalat lagi di akhir malam, maka dia shalat sebagaimana awal dia melakukan, hal itu tidak membatalkan witirnya itu dan tidak usah dia tinggalkan witir yang sudah dia lakukan. Inilah pendapat Sufyan Ats Tsauri, Malik bin Anas, Ibnul Mubarak, Asy Syafi’i, penduduk Kufah, dan Ahmad, inilah pendapat yang lebih shahih. Diriwayatkan dari jalan lain bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam melakukan shalat setelah dia witir. (Sunan At Tirmidzi No. 470)

Berkata Syaikh Abdurrahman Mubarkafuri Rahimahullah:

قَالَ اِبْنُ الْعَرَبِيِّ فِي عَارِضَةِ الْأَحْوَذِيِّ : مَعْنَاهُ أَنَّ مَنْ أَوْتَرَ فِي آخِرِ اللَّيْلِ ثُمَّ صَلَّى بَعْدَ ذَلِكَ لَا يُعِيدُ الْوِتْرَ اِنْتَهَى

“Berkata Ibnul ‘Arabi dalam ‘Aridhah Al Ahwadzi: Artinya adalah bahwa barangsiapa yang shalat witir pada akhir malam kemudian shalat setelahnya, maka hendaknya dia tidak mengulangi witir, selesai. “ (Syaikh Abdurrahman Mubarakafuri, Tuhfah al Ahwadzi, 2/469)

Jadi, pendapat kedua adalah ketika telah melakukan shalat witir di awal malam, lalu tidur, maka ketika bangun, hendaknya shalat malam dilakukan seperti biasa saja tidak susah membatalkan witir sebelumnya dengan menambahkan satu rakaat. Selesainya tidak usah lagi ada witir, karena witirnya sudah dilakukan pada awal malam. Inilah pendapat yang benar menurut Imam At Tirmidzi.

📌 Doa Qunut Dalam Witir

Telah terjadi perbedaan pendapat ulama tentang qunut secara umum, berkata Imam Ibnu Rusyd Al Maliki Rahimahullah :

اختلفوا في القنوت، فذهب مالك إلى أن القنوت في صلاة الصبح مستحب، وذهب الشافعي إلى أنه سنة وذهب أبو حنيفة إلى أنه لا يجوز القنوت في صلاة الصبح، وأن القنوت إنما موضعه الوتر وقال قوم: بيقنت في كل صلاة، وقال قوم: لا قنوت إلا في رمضان، وقال قوم: بل في النصف الاخير منه وقال قوم: بل في النصف الاول منه

“Mereka berselisih tentang qunut, Malik berpendapat bahwa qunut dalam shalat shubuh adalah sunah, dan Asy Syafi’i juga mengatakan sunah, dan Abu Hanifah berpendapat tidak boleh qunut dalam shalat subuh, sesungguhnya qunut itu adanya pada shalat witir. Ada kelompok yang berkata: berqunut pada setiap shalat. Kaum lain berkata: tidak ada qunut kecuali pada bulan Ramadhan. Kaum lain berkata: Adanya pada setelah setengah bulan Ramadhan. Ada juga yang mengatakan: bahkan pada setengah awal Ramadhan.” (Imam Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid, 1/107-108. Darul Fikr)

Ada pun tentang qunut saat witir, Imam Ahmad bin Hambal Rahimahullah berkata:

لا يصح فيه عن النبي صلى الله عليه وسلم شيء

Tidak ada yang shahih sedikit pun dari Nabi ﷺ tentang hal ini (Talkhish Al Habir, 2/18)

Imam Ibnu Khuzaimah berkata:

ولست أحفظ خبراً ثابتاً عن النبي صلى الله عليه وسلم في القنوت في الوتر

Aku tidak hafal adanya hadits yang shahih dari Nabi ﷺ tentang qunut saat witir. (Shahih Ibni Khuzaimah, 2/151)

📌TETAPI, qunut saat witir ADA pada masa para sahabat Nabi ﷺ.

Imam ‘Atha bin Abi Rabah ditanya tentang qunut witir, Beliau menjawab:

كان أصحاب النبي صلى الله عليه وسلم يفعلونه

Dahulu para sahabat Nabi ﷺ melakukannya. (Mukhtashar Qiyam Al Lail, Hal. 66)

Syaikh Al Mujahid, Sulaiman bin Nashir Al ‘Alwan Rahimahullah berkata:

وجاء عن بعض الصحابة أنه لا يقنت إلاّ في النصف من رمضان . صح هذا عن ابن عمر

Telah datang riwayat dari sebagian sahabat nabi bahwa tidak ada qunut kecuali pada separuh Ramadhan. Hal ini shahih dari Ibnu Umar. (Ahkam Qiyam Al Lail, Hal. 28)

Jadi, para ulama sepakat sunahnya saat witir di setengah Ramadhan sampai akhir.

واتفقوا على أن القنوت في الوتر مسنون في النصف الثاني من شهر رمضان إلى آخره

Para ulama sepakat tentang berqunut dalam shalat witir itu sunnah saat separuh bulan Ramadhan sampai akhir. (Al Wazir Ibnu Hubairah, Ikhtilaf Al Aimmah Al ‘Ulama, 1/138)

Hanya saja mereka berbeda apakah qunut dalam witir juga sunnah pada witir-witir selain paruh akhir bulan Ramadhan?

ثم اختلفوا في موضعه . فقال أبو حنيفة : قبل الركوع . وقال الشافعي وأحمد : بعده . ثم اختلفوا هل هو مسنون في بقية السنة ؟ فقال أبو حنيفة وأحمد : هو مسنون في جميع السنة . وقال مالك والشافعي : لا يسن إلا في نصف شهر رمضان الثاني

Kemudian mereka berbeda pendapat tentang tempatnya qunut. Abu Hanifah mengatakan: sebelum ruku. Asy Syafi’i dan Ahmad mengatakan: setelahnya. Lalu mereka juga berselisih apakah disunahkan pada shalat sunnah lainnya? Abu Hanifah dan Ahmad berkata: Hal itu sunah di semua sunah. Malik dan Asy Syafi’i mengatakan: “Tidak sunnah kecuali hanya pada paruh kedua bulan Ramadhan.” (Ibid)

Maka, janganlah ingkari jika sebagian masjid ada qunut saat shalat witirnya sejak separuh akhir Ramadhan. Itu sunah yang disepakati para ulama, tetapi mereka berbeda apakah itu juga sunnah di luar Ramadhan.

Wallahu A’lam wa Shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala aalihi wa Shahbihi wa Sallam

🍃🌸🌷🌾🌻🌿🌳🍁☘

✏ Farid Nu’man Hasan

Imam Berdoa Buat Makmum, Bagaimana Lafaznya?

💢💢💢💢💢💢💢

📨 PERTANYAAN:

Salam ustadz, bagaimana membacakan teks doa yg diaminkan jamaah, terkait redaksi kalimat menggunakan dhamir tunggal?

Apakah perlu mengganti لي dengan لنا misalnya? Ataukah cukup membacakan sebagaimana yg diajarkan Nabi tanpa mengubah dhamirnya? (08123094xxxx)

📬 JAWABAN

🍃🍃🍃🍃🍃🍃

Bismillah wal Hamdulillah ..

Saat imam berdoa bersama Ma’mun, maka dia mesti mendoakan makmum juga.

Berdasarkan hadits:

ثَلَاثٌ لَا يَحِلُّ لِأَحَدٍ أَنْ يَفْعَلَهُنَّ : لَا يَؤُمُّ رَجُلٌ قَوْمًا فَيَخُصُّ نَفْسَهُ بِالدُّعَاءِ دُونَهُمْ

Tiga hal yg tidak halal bagi seseorang untuk melakukannya (salah satunya disebut):

Janganlah seseorang mengimami suatu kaum dia berdoa untuk dirinya sendiri tanpa mereka. (HR. At Tirmidzi no. 357, Abu Daud no. 90. Imam At Tirmidzi mengatakan: Hasan)

Syaikh Muhammad Shalih Al Munajjid Hafizhahullah berkata:

الدعاء الذي يشترك فيه الإمام والمأمومون في صلاة الجماعة ؛ يعني : أن الإمام يدعو ، ويؤمن المأمومون ، هو الذي يكره فيه للإمام أن يخص نفسه بالدعاء دون المأمومين

Doa yang melibatkan imam dan makmum dalam shalat berjamaah, yaitu imam berdoa dan makmum mengaminkan, adalah hal yg MAKRUH jika imam berdoa untuk dirinya tanpa mendoakan makmumnya. (Fatawa Al Islam Su’aal wa Jawaab no. 12638)

Imam Ibnu Taimiyah Rahimahullah berkata:

وإذا كان المأموم مؤمِّنًا على دعاء الإمام ، فيدعو بصيغة الجمع كما في دعاء الفاتحة في قوله : ( اهدنا الصراط المستقيم ) ، فإن المأموم إنما أمَّن لاعتقاده أن الإمام يدعو لهما جميعا ، فإن لم يفعل فقد خانَ الإمامُ المأمومَ

Jika makmum mengaminkan doanya imam, maka IMAM BERDOA DENGAN LAFAZ JAMA’ (kolektif/plural), sebagaimana doa dalam Al Fatihah: Ihdinash Shirathal Mustaqim – tunjukilah KAMI ke jalan yg lurus. Karena sesungguhnya, makmum meyakini doanya imam buat mereka semua, kalau imam tidak melakukannya maka imam telah mengkhianati makmum.
( Majmu’ Al Fatawa, 23/116-118)

Demikian. Wallahu a’lam

🌵🌴🌷🌱🌸🍃🌹🌾

✍ Farid Nu’man Hasan

Hukum Berwudhu di Kamar Mandi Sambil Telanjang Tanpa Pakaian/Busana

💢💢💢💢💢💢💢

📨 PERTANYAAN:

Bagaimana wudhu di kamar mandi dan telanjang bulat? Boleh kah?

📬 JAWABAN

🍃🍃🍃🍃🍃🍃🍃

Bismillah wal Hamdulillah wash Shalatu was Salamu ‘ala Rasulillah wa Ba’d:

Idealnya adalah berwudhu ditempat yang bersih dari najis, yaitu terpisah dari kamar mandi (WC). Namun, demikian seandainya wudhu di kamar mandi tetap sah, selama dibersihkan dulu, disiram, sampai benar-benar bersih lantai kamar mandi tersebut. Sebagian ulama memakruhkan wudhu dikamar mandi, karena kemungkinan terkena najis, sebagaimana yang ditegaskan Syaikh Abu Bakar bin Jabir Al Jazairiy Rahimahullah dalam Minhajul Muslim dalam Sub Bab “Makruhaatuhu” (Hal-Hal Dimakruhkan Dalam Wudhu), Beliau berkata salah satu yang makruh adalah: “Berwudhu di tempat najis, dikhawatiri dia terkena cipratan najis.”[1] Tapi, jika sudah disiram dengan benar-benar bersih sehingga kekhawatiran terciprat najisnya sudah hilang, maka tidak apa-apa.

Berwudhu dengan tanpa busana, baik sebagian atau keseluruhan (telanjang), bukanlah termasuk pembatal wudhu. Hal ini sering kali dilakukan sebagian orang setelah mereka mandi. Walau ini bukan pembatal wudhu, tetaplah ini etika yang tidak baik dalam berwudhu. Bukankah wudhu itu sendiri ibadah?

Syaikh Abdullah Al Faqih Hafizhahullah menjelaskan:

فوضوء الشخص وهو عارٍ في الحمام ولا أحد معه جائز وصحيح لكن الأفضل تركه لأن خلع الملابس لا ينبغي أن يكون إلا في وقت الحاجة إليه كما يكون في أثناء الغسل فقد روى الترمذي وأبو داود وأحمد عن معاوية بن حيدة أنه سأل رسول الله صلى الله عليه وسلم قَالَ: “قُلْتُ يَا رَسُولُ الله عَوْرَاتُنَا مَا نَأْتِي مِنْهَا وَمَا نَذَرُ؟ قالَ: “احْفَظْ عَوْرَتَكَ إِلاّ مِنْ زَوْجَتِكَ أَوْ مما مَلَكَتْ يَمينُكَ”، فَقَالَ: الرّجُلُ يَكُونُ مَعَ الرّجُلِ؟ قالَ: “إن اسْتَطَعْتَ أَنْ لاَ يَرَاهَا أَحَدٌ فَافْعَلْ”، قلت: فالرّجُلُ يَكُونُ خَالِياً، قالَ: “فَالله أَحقّ أَنْ يستحيا مِنْهُ”. قال الترمذي حسن

Wudhu seseorang dalam keadaan bugil di kamar mandi dan tidak ada siapa pun bersamanya, itu BOLEH dan SAH, tapi lebih utama meninggalkannya sebab melepaskan pakaian tidak pantas dilakukan kecuali ada keperluan seperti saat mandi.

Imam At Tirmidzi, Imam Abu Daud, Imam Ahmad, meriwayatkan dari Mu’awiyah bin Haidah, dia bertanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam:

“Wahai Rasulullah, manakah aurat kami yang harus kami tutupi dan yang kami biarkan terbuka?” Beliau menjawab: “Jagalah auratmu kecuali dari istrimu atau budakmu.” Aku bertanya: “Wahai Rasulullah, bila dengan sejenis?” Beliau menjawab: “Bila kau mampu agar tidak ada seorang pun yang melihatnya, maka jangan sampai ia melihatnya.” Aku berkata; “Wahai Rasulullah, bila salah seorang dari kami sendirian?” Beliau menjawab: “Hendaknya ia lebih layak untuk malu kepada Allah daripada kepada manusia.” (Imam At Tirmidzi berkata: hasan)[2]

Lembaga Fatwa dan Riset kerajaan Arab Saudi, ditanya tentang orang yang wudhu dalam keadaan bugil atau celana pendek, mereka menjawab:

“Wudhunya sah, karena terbukanya aurat dan memakai celana pendek tidaklah menghalangi sahnya wudhu. Tapi, haram atasnya membuka auratnya di hadapan selain istrinya atau budaknya yang mana dia boleh bersenang-senang kepadanya.” [3]

Demikian. Wallahu A’lam

🌵🌴🌱🌷🌸🍃🍄🌹🌾

✍ Farid Nu’man Hasan


▪▫▪▫▪▫▪▫

[1] Syaikh Abu Bakar bin Jabir Al Jazairiy, Minhajul Muslim, Hal. 136

[2] Syaikh Abdullah Al Faqih, Fatawa Asy Syabakah Al Islamiyah no. 3762

[3] Fatawa Al Lajnah Ad Daimah Lil Buhuts Al ‘Ilmiyah wal Ifta’, 5/235

 

Orang yang Mendapatkan Sholawat dari Allah dan Malaikat-Nya

💦💥💦💥💦💥

Dalam hadits, disebutkan bahwa Allah swt dan Malaikat-Nya bersholawat kepada beberapa pihak. Berikut ini rinciannya:

📌Orang yang Menyambung Shaf Sholat Berjamaah

Dari ‘Aisyah Radhiallahu ‘Anha, bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

َ إِنَّ اللَّهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى الَّذِينَ يَصِلُونَ الصُّفُوفَ وَمَنْ سَدَّ فُرْجَةً رَفَعَهُ اللَّهُ بِهَا دَرَجَةً

Sesungguhnya Allah dan para malaikat-Nya bershalawat kepada orang yang menyambungkan shaf dan siapa yang mengisi celah, niscaya Allah akan mengangkat derajat orang tersebut karenanya. (HR. Ibnu Majah No. 985, shahih)

📌 Shaf Pertama

Dari Al Bara bin ‘Azib Radhiallahu ‘Anhu, aku mendengar Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

إِنَّ اللَّهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى الصَّفِّ الْأَوَّلِ

Sesungguhnya Allah dan para malaikatNya bershalawat kepada orang yang berada di barisan pertama. (HR. Ibnu Majah No. 987, shahih)

📌 Shaf Sebelah Kanan

Dari ‘Aisyah Radhiallahu ‘Anha, bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

إِنَّ اللَّهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى مَيَامِنِ الصُّفُوفِ

Sesungguhnya Allah dan para MalaikatNya bershalawat kepada orang-orang yang berada di shaf sebelah kanan. (HR. Abu Daud No. 578, Ibnu Majah No. 995, hasan)

📌 Orang Yang Besahur Untuk Puasa

Dari Abu Sa’id Al Khudri Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

السَّحُورُ أَكْلُهُ بَرَكَةٌ، فَلَا تَدَعُوهُ، وَلَوْ أَنْ يَجْرَعَ أَحَدُكُمْ جُرْعَةً مِنْ مَاءٍ، فَإِنَّ اللهَ عَزَّ وَجَلَّ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى الْمُتَسَحِّرِينَ

Makan sahur adalah berkah, maka janganlah kalian meninggalkannya, walau kalian hanya meminum seteguk air, karena Allah ‘Azza wa Jalla dan para malaikat mendoakan orang yang makan sahur. (HR. Ahmad No. 11086, Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan: sanadnya shahih. Lihat Ta’liq Musnad Ahmad No. 11086)

📌 Mengajarkan Kebaikan Kepada Manusia

Dari Abu Umamah Al Bahili Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Nabi ﷺ bersabda:

إن الله وملائكته وأهل السموات والأرضين حتى النملة في حجرها وحتى الحوت ليصلون على معلم الناس الخير

Sesungguhnya Allah, para MaikatNya, penduduk langit dan bumi, sampai-sampai semut di lubangnya, juga ikan-ikan, mereka semua bershalawat kepada seseorang yang mengajarkan manusia dengan kebaikan (HR. At Tirmidzi No. 2685, katanya: hasan shahih. Dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahih wa Dhaif Sunan At Tirmidzi No. 2685)

Imam Al Munawi Rahimahullah menjelaskan:

أي يستغفرون لهم طالبين لتخليهم عما لا ينبغي ولا يبق بهم من الأوضار والأدناس لأن بركة علمهم وعملهم وإرشادهم وفتواهم

Yaitu mereka memohonkan ampun bagi mereka, juga memohon agar mereka bersih dari apa-apa yang tidak patut, serta menghilangkan keburukan yang ada dan juga berbagai kotoran, lantaran keberkahan ilmu, amal, bimbingan, dan fatwa mereka. (Faidhul Qadir, 4/568)

Maka, beruntunglah para guru, ustadz, muballigh, ulama, mufti, atau siapa saja, yang mengajarkan manusia dengan kebaikan. Wallahu A’lam

🌴🌴🌴🌴🌴

Dari, sini kita mengetahui orang-orang yang mendapatkan shalawat secara khusus dari Allah Ta’ala dan para malaikatNya adalah:

1⃣ Semua orang yang menyambung shaf ketika shalat dan menutup celah kosong, baik di shaf awal, kedua, dst.

2⃣ Semua orang yang di shaf awal, baik sebelah kanan, tengah, atau kiri.

3⃣ Semua orang yang di shaf sebelah kanan, yakni sebelah kanan imam, baik shaf pertama, kedua, dst.

4⃣ Orang Yang Besahur Untuk Puasa

5⃣ Mengajarkan Kebaikan Kepada Manusia

📌 Makna Shalawat dari Allah dan Malaikat-Nya

Lalu, apa makna Allah dan MalaikatNya bershalawat? Para ulama menjelaskan yaitu malaikat memohonkan ampunan untuknya dan rahmat Allah Ta’ala kepadanya.

Makna ini diisyaratkan dalam hadits lain sebagai berikut:

Dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

َ صَلَاةُ الْجَمِيعِ تَزِيدُ عَلَى صَلَاتِهِ فِي بَيْتِهِ وَصَلَاتِهِ فِي سُوقِهِ خَمْسًا وَعِشْرِينَ دَرَجَةً فَإِنَّ أَحَدَكُمْ إِذَا تَوَضَّأَ فَأَحْسَنَ وَأَتَى الْمَسْجِدَ لَا يُرِيدُ إِلَّا الصَّلَاةَ لَمْ يَخْطُ خَطْوَةً إِلَّا رَفَعَهُ اللَّهُ بِهَا دَرَجَةً وَحَطَّ عَنْهُ خَطِيئَةً حَتَّى يَدْخُلَ الْمَسْجِدَ وَإِذَا دَخَلَ الْمَسْجِدَ كَانَ فِي صَلَاةٍ مَا كَانَتْ تَحْبِسُهُ وَتُصَلِّي يَعْنِي عَلَيْهِ الْمَلَائِكَةُ مَا دَامَ فِي مَجْلِسِهِ الَّذِي يُصَلِّي فِيهِ اللَّهُمَّ اغْفِرْ لَهُ اللَّهُمَّ ارْحَمْهُ مَا لَمْ يُحْدِثْ فِيهِ

“Shalat berjama’ah lebih utama dari shalatnya sendirian di rumah atau di pasarnya sebanyak dua puluh lima derajat. Jika salah seorang dari kalian berwudlu lalu membaguskan wudlunya kemudian mendatangi masjid dengan tidak ada tujuan lain kecuali shalat, maka tidak ada langkah yang dilakukannya kecuali Allah akan mengangkatnya dengan langkah itu setinggi satu derajat, dan mengahapus darinya satu kesalahan hingga dia memasuki masjid. Dan jika dia telah memasuki masjid, maka dia akan dihitung dalam keadaan shalat selagi dia meniatkannya, dan para malaikat akan mendoakannya selama dia masih berada di tempat yang ia gunakan untuk shalat, ‘Ya Allah AMPUNILAH dia. Ya Allah RAHMATILAH dia’. Selama dia belum berhadats.”
(HR. Al Bukhari No. 457)

📓📕📗📘📙📔📒

✏ Farid Nu’man Hasan

scroll to top