Shalat Sunnah Rawatib

💦💥💦💥💦💥

Sholat sunnah rawatib ini merupakan yang paling populer di antara sholat sunnah yang lain. Karena sudah biasa dilakukan oleh ummat muslim. Dan momen untuk melaksanakan sholat ini cukup mudah, karena mengiringi sholat wajib. Ketika menunggu iqomat, disempatkan dulu sholat dua sampai empat rakaat. Begitu juga setelah sholat wajib didirikan, sebelum meninggalkan masjid/musholla, disempatkan dulu mengerjakan dua sampai empat rakaat. Tidak perlu mengkhususkan waktu sebagaimana sholat dhuha atau qiyamul lail.

📙 Definisi Sholat Sunnah Rawatib:

Tertulis dalam Al mausu’ah:

وهي السنن التابعة للفرائض ، ووقتها وقت المكتوبات التي تتبعها

Ini adalah shalat sunah yang mengiringi shalat-shalat wajib, dan waktunya adalah bersama shalat wajib yang diiringinya. (Al Mausu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah, 22/44)

Jadi, sholat sunnah rawatib adalah sholat sunnah yang ada sebelum dan sesudah sholat wajib, seperti yang sudah biasa dilakukan oleh umat muslim.

📔 Macam-Macam Sholat Sunnah Rawatib

Secara global ada dua macam:

▶     Qabliyah, yaitu shalat sunah rawatib yang dilaksanakan sebelum shalat wajib.

▶     Ba’diyah, yaitu shakat sunah rawatib yang dilaksanakan sesudah shalat wajib.

📓 Perinciannya sebagai berikut:

1⃣ Sholat Sunnah Rawatib sebelum shubuh sebanyak dua rakaat, atau nama lainnya shalat sunah fajar.

Dari Aisyah Radhiallahu ‘Anha, bahwa Nabi ﷺ bersabda:

رَكْعَتَا الْفَجْرِ خَيْرٌ مِنْ الدُّنْيَا وَمَا فِيهَا

Dua rakaat (sebelum) fajar lebih baik dibanding dunia dan isinya. (HR. Muslim No. 725)

2⃣ Sholat Sunnah Rawatib zhuhur, ada tiga model:

📌 Pertama. Dua rakaat sebelum zhuhur dan dua rakaat setelahnya.

Dari Ibnu Umar Radhiallahu ‘Anhuma, katanya:

حفظت من النبي صلى الله عليه وسلم عشر ركعات: ركعتين قبل الظهر، وركعتين بعدها

Aku hapal dari Nabi ﷺ sepuluh rakaat (shalat sunah): “Dua rakaat sebelum zhuhur dan dua rakaat setelahnya ……… (HR. Al Bukhari No. 1180)

📌 Kedua. Empat Rakaat sebelum zhuhur dan dua rakaat setelahnya.

Dari Ali Radhiallahu ‘Anhu, katanya:

كان النبي صلى الله عليه و سلم يصلي قبل الظهر أربعا وبعدها ركعتين

Dahulu Nabi ﷺ shalat sebelum zhuhur empat rakaat dan dua rakaat setelahnya. (HR. At Tirmidzi No. 424, katanya: hasan. Ahmad No. 1375. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan: isanadnys kuat. Ta’liq Musnad Ahmad No. 1375. Syaikh Al Albani menshahihkan. Lihat Shahih wa Dhaif Sunan At Tirmidzi No. 424)

📌 Ketiga. Empat rakaat sebelum zhuhur dan empat rakaat setelahnya.

Dari Ummu Habibah Radhiallahu ‘Anha, bahwa Nabi ﷺbersabda:

من صلى قبل الظهر أربعًا وبعدها أربعًا حرمه الله على النار

Barang siapa yang shalat sebelum zhuhur empat rakaat dan setelahnya empat rakaat, maka Allah haramkan baginya neraka. (HR. At Tirmidzi no. 427, katanya: hasan. Ibnu majah No. 1160, An Nasa’i No. 1814, Abu Daud No. 1269. Dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam banyak kitabnya)

3⃣ Sholat Sunnah Rawatib Ashar

📌 Pertama. Empat rakaat sebelum ashar.  Dalilnya adalah:

عَنِ ابْنِ عُمَرَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم-رَحِمَ اللَّهُ امْرَأً صَلَّى قَبْلَ الْعَصْرِ أَرْبَعًا

Dari Ibnu Umar Radhiallahu ‘Anhuma, dia berkata: Bersabda Rasulullah ﷺ : “Semoga Allah meramati seseorang yang shalat  empat rakaat sebelum ashar. (HR. Abu Daud No. 1273, At Tirmidzi No. 430, katanya: hasan. Syaikh Al Albani juga menyatakan hasan. Lihat Shahih wa Dhaif Sunan At Tirmidzi No. 430)

📌 Kedua. Dua rakaat sebelum ashar. Dalilnya adalah:

عَنْ عَلِىٍّ  أَنَّ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- كَانَ يُصَلِّى قَبْلَ الْعَصْرِ رَكْعَتَيْنِ

Dari Ali bin Abi Thalib Radhiallahu ‘Anhu, bahwasanya Nabi ﷺdahulu shalat dua rakaat sebelum ashar. (HR. Abu Daud No. 1274. Imam An Nawawi mengatakan: shahih. Lihat Khulashah Al Ahkam No. 1821)

Sedangkan keberadaan dua rakaat setelah ashar telah terjadi perbedaan pendapat di antara ulama. Insya Allah akan kami bahas nanti.

4⃣ Sholat Sunnah Rawatib Maghrib

📌 Pertama. Dua rakaat sebelum maghrib, ini sunnah ghairu muakkadah (tidak ditekankan)

Dari Abdullah Al Muzani, bahwa Nabi ﷺ bersabda:

صَلُّوا قَبْلَ صَلَاةِ الْمَغْرِبِ قَالَ فِي الثَّالِثَةِ لِمَنْ شَاءَ كَرَاهِيَةَ أَنْ يَتَّخِذَهَا النَّاسُ سُنَّةً

Shalatlah kalian sebelum shalat maghrib, lalu nabi mengatakan lagi yang ketiga kalinya: “Bagi yang mau.” Dia khawatir manusia menjadikannya sebagai sunah (kebiasaan). (HR. Al Bukhari No. 1183)

Ini menunjukkan bahwa qabliyah maghrib memang ada tetapi tidak sampai ditekankan (ghairu muakkadah), bagi yang mau saja. Wallahu A’lam

Abu Tamim Al Jaisyani pernah shalat dua rakaat sebelum maghrib, ketika ia ditanya tentang shlat apa itu, ia menjawab, “Ini adalah shalat yang kami lakukan pada masa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.”   (HR. An

Nasa’i No. 578, Al Baihaqi, As Sunan Al Kubra No. 475, dalam kitab ini juga disebutkan Uqbah bin ‘Amr Al Juhani shalat sebelum maghrib)

Dari ‘Ashim, bahwa Ubai bin Ka’ab dan Abdurrahman bin ‘Auf ketika terbenam matahari mereka shalat doa rakaat sebelum maghrib.   (HR. Ahmad No. 20355, Al Mushannaf Ibni Abi Syaibah No. 251, di kitab ini juga disebutkan Abdurrahman bin Abi Laila shalat dua rakaat sebelum maghrib)

Dalam riwayat Imam Ibnu Hibban , disebutkan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam juga pernah shalat dua rakaat sebelum maghrib.

Imam Muslim  meriwayatkan dari Abdullah bin ‘Abbas Radhiallahu ‘Anhu dia berkata: “Kami shalat dua rakaat sebelum maghrib dan Rasulullah melihat perbuatan kami itu, tetapi tidak menyuruh dan tidak pula melarang kami.”

📌 Kedua. Dua rakaat setelah maghrib

Dari Ibnu Umar Radhiallahu ‘Anhuma:

حفظت من النبي صلى الله عليه وسلم عشر ركعات : ……. وركعتين بعد المغرب في بيته

Aku hapal dari Nabi ﷺ sepuluh raka’at (shalat sunah): ….. dan dua rakaat setelah maghrib di rumah … (HR. Al Bukhari No. 1180)

5⃣ Sholat Sunnah Rawatib Isya

📌 Pertama. Dua rakaat sebelum Isya, ini tidak ditekankan (sunnah ghairu muakkadah)

Syaikh Wahbah Az Zuhaili Rahimahullah memasukan ini dalam ghairu muakkadah, kata beliau:

“Empat rakaat sebelum Isya dan empat rakaat sesudahnya, dengan sekali salam, berdasarkan riwayat dari ‘Aisyah Radhiallahu ‘Anha bahwa Rasulullah ﷺ shalat sebelum Isya empat rakaat, lalu setelah Isya juga empat rakaat, kemudian dia berbaring.” (Al Fiqhul Islami wa Adillatuhu, 2/227)

Dan, secara umum juga berdasarkan hadits ini:

بَيْنَ كُلِّ أَذَانَيْنِ صَلَاةٌ ثَلَاثًا لِمَنْ شَاءَ

Di antara setiap dua adzan ada shalatnya. (nabi ulang tiga kali), bagi yang mau. (HR. Al Bukhari No. 624)

Maksud di antara dua adzan adalah antara adzan dan iqamah. “Liman syaa’a-bagi yang mau” menunjukkan itu tidak ditekankan.

📌 Kedua. Dua rakaat setelah Isya, ini termasuk yang sunah muakkadah.

Dari Ibnu Umar Radhiallahu ‘Anhuma:

حفظت من النبي صلى الله عليه وسلم عشر ركعات : …….  وركعتين بعد العشاء في بيته

Aku hapal dari Nabi ﷺ sepuluh raka’at (shalat sunah): ….. dan dua rakaat setelah Isya di rumah … (HR. Al Bukhari No. 1180)

🍃🌴🍃🌴🍃🌴

Demikianlah shalat sunah rawatib yang senantiasa ada tiap harinya mengiringi shalat wajib. Namun, dari sekian banyak itu tidak semua yang kategori muakkadah (ditekankan). Mayoritas ulama mengatakan sepuluh rakaat saja, sebagian ulama menyebut dua belas rakaat.

Tertulis dalam Al Mausu’ah:

ذهب جمهور العلماء إلى أن الرواتب المؤكدة عشر ركعات ، ركعتان قبل الصبح ، وركعتان قبل الظهر ، وركعتان بعدها ، وركعتان بعد المغرب ، وركعتان بعد العشاء ؛ لما ورد عن ابن عمر رضي الله عنهما أنه قال : حفظت من النبي صلى الله عليه وسلم عشر ركعات : ركعتين قبل الظهر ، وركعتين بعدها ، وركعتين بعد المغرب في بيته ، وركعتين بعد العشاء في بيته ، وركعتين قبل الصبح

Mayoritas ulama berpendapat bahwa rawatib yang muakkadah ada sepuluh rakaat, yaitu dua rakaat sebelum subuh, dua rakaat sebelum zhuhur, dua rakaat setelah zhuhur, dua rakaat setelah maghrib, dan dua rakaat setelah Isya. Hal ini berdasarkan hadits dari Ibnu Umar Radhiallahu ‘Anhuma, dia berkata: “Aku hapal dari Nabi ﷺsepuluh rakaat: dua rakaat sebelum zhuhur, dua rakaat setelah zhuhur, dua rakaat setelah maghrib,  dua rakaat setelah Isya, dan dua rakaat sebelum subuh.” (Al Mausu’ah, 22/44)

Ada pun yang dua belas rakaat berdasarkan hadits berikut:

ما من عبد مسلم يصلي لله كل يوم ثنتي عشرة ركعة تطوعا غير فريضة إلا بنى الله له بيتا في الجنة

Tidaklah seorang hamba muslim yang shalat karena Allah, sebanyak dua belas rakaat sunnah sehari semalam selain shalat wajibnya, melainkan Allah akan buatkan baginya rumah di surga. (HR. Muslim No. 728)

Dua belas rakaat ini di dapatkan dari sepuluh rakaat di atas (hadits Ibnu Umar), dengan dua rakaat sebelum zhuhur. Hal ini sebagaimana dikatakan Imam Al Baihaqi berikut:

باب مَنْ قَالَ هِىَ ثِنْتَا عَشْرَةَ رَكْعَةً فَجَعَلَ قَبْلَ الظُّهْرِ أَرْبَعًا

Bab Tentang Orang yang Mengatakan Dua Belas Rakaat Itu Dengan Menjadikan Sebelum Zhuhurnya Empat Rakaat. (As Sunan Al Kubra No. 2/48)

Wallahu A’lam

📘📙📓📔📒📓📕📗

✏ Farid Nu’man Hasan

Qurban dan Pembahasannya (Bag. 2)

🐾🐾🐾🐾🐾🐾🐾🐾

3⃣ Hukumnya

Para ulama berbeda pendapat tentang hukumnya, ada yang mengatakan wajib bagi yang memiliki kelapangan rezeki, ada pula yang mengatakan sunah mu’akadah, dan inilah pendapat mayoritas sahabat, tabi’in, dan para ulama.

Ulama yang mewajibkan berdalil dengan hadits berikut, dari Abu Hurairah Radhiallhu ‘Anhu bahwa Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

مَنْ كَانَ لَهُ سَعَةٌ وَلَمْ يُضَحِّ فَلَا يَقْرَبَنَّ مُصَلَّانَا

“Barangsiapa yang memiliki kelapangan (rezeki) dan dia tidak berkurban, maka jangan dekati tempat shalat kami.”[1]

Mengomentari hadits ini, berkata Imam Amir Ash Shan’ani Rahimahullah:

وَقَدْ اسْتَدَلَّ بِهِ عَلَى وُجُوبِ التَّضْحِيَةِ عَلَى مَنْ كَانَ لَهُ سَعَةٌ لِأَنَّهُ لَمَّا نَهَى عَنْ قُرْبَانِ الْمُصَلَّى دَلَّ عَلَى أَنَّهُ تَرَكَ وَاجِبًا كَأَنَّهُ يَقُولُ لَا فَائِدَةَ فِي الصَّلَاةِ مَعَ تَرْكِ هَذَا الْوَاجِبِ وَلِقَوْلِهِ تَعَالَى { فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ } وَلِحَدِيثِ مِخْنَفِ بْنِ سُلَيْمٍ مَرْفُوعًا { عَلَى أَهْلِ كُلِّ بَيْتٍ فِي كُلِّ عَامٍ أُضْحِيَّةٌ } دَلَّ لَفْظُهُ عَلَى الْوُجُوبِ ، وَالْوُجُوبُ قَوْلُ أَبِي حَنِيفَةَ

“Hadits ini dijadikan dalil wajibnya berkurban bagi yang memiliki kelapangan rezeki, hal ini jelas ketika Rasulullah melarang mendekati tempat shalat, larangan itu menunjukkan bahwa hal itu merupakan meninggalkan  kewajiban,seakan Beliau mengatakan shalatnya tidak bermanfaat jika meninggalkan kewajiban ini. Juga karena firmanNya: “maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu dan berkurbanlah.” Dalam hadits Mikhnaf bin Sulaim secara marfu’ (sampai kepada Rasulullah) berbunyi: “ (wajib) atas penduduk setiap rumah pada tiap tahunnya untuk berkurban.” Lafaz hadits ini menunjukkan wajibnya. Pendapat yang menyatakan wajib adalah dari Imam Abu Hanifah.[2]

Sementara yang tidak mewajibkan, menyatakan bahwa dua hadits di atas tidak bisa dijadikan hujjah (dalil), sebab yang pertama mauquf (hanya sampai sahabat nabi, bukan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam), hadits kedua dha’if. Sedangkan ayat Fashalli li Rabbika wanhar, tidak bermakna wajib kurban melainkan menunjukkan urutan aktifitas, yakni menyembelih kurban dilakukan setelah shalat Id.

Berikut keterangan dari Imam Ash Shan’ani:

وَقِيلَ لَا تَجِبُ وَالْحَدِيثُ الْأَوَّلُ مَوْقُوفٌ فَلَا حُجَّةَ فِيهِ وَالثَّانِي ضَعْفٌ بِأَبِي رَمْلَةَ قَالَ الْخَطَّابِيُّ : إنَّهُ مَجْهُولٌ وَالْآيَةُ مُحْتَمِلَةٌ فَقَدْ فُسِّرَ قَوْلُهُ ( { وَانْحَرْ } ) بِوَضْعِ الْكَفِّ عَلَى النَّحْرِ فِي الصَّلَاةِ أَخْرَجَهُ ابْنُ أَبِي حَاتِمٍ وَابْنُ شَاهِينَ فِي سُنَنِهِ وَابْنُ مَرْدُوَيْهِ وَالْبَيْهَقِيُّ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ وَفِيهِ رِوَايَاتٌ عَنْ الصَّحَابَةِ مِثْلُ ذَلِكَ وَلَوْ سُلِّمَ فَهِيَ دَالَّةٌ عَلَى أَنَّ النَّحْرَ بَعْدَ الصَّلَاةِ فَهِيَ تَعْيِينٌ لِوَقْتِهِ لَا لِوُجُوبِهِ كَأَنَّهُ يَقُولُ إذَا نَحَرْت فَبَعْدَ صَلَاةِ الْعِيدِ فَإِنَّهُ قَدْ أَخْرَجَ ابْنُ جَرِيرٍ عَنْ أَنَسٍ { كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَنْحَرُ قَبْلَ أَنْ يُصَلِّيَ فَأُمِرَ أَنْ يُصَلِّيَ ثُمَّ يَنْحَرُ } وَلِضَعْفِ أَدِلَّةِ الْوُجُوبِ ذَهَبَ الْجُمْهُورُ مِنْ الصَّحَابَةِ وَالتَّابِعِينَ وَالْفُقَهَاءِ إلَى أَنَّهَا سُنَّةٌ مُؤَكَّدَةٌ بَلْ قَالَ ابْنُ حَزْمٍ لَا يَصِحُّ عَنْ أَحَدٍ مِنْ الصَّحَابَةِ أَنَّهَا وَاجِبَةٌ .

“Dikatakan: Tidak wajib, karena hadits pertama adalah mauquf dan tidak bisa dijadikan hujjah (dalil). Hadits kedua  (dari Mikhnaf bin Sulaim) dhaif karena dalam sanadnya ada Abu Ramlah. Berkata Imam Al Khathabi: “Dia itu majhul (tidak dikenal).” Sedangkan firmanNya: “…berkurbanlah.” adalah tentang penentuan waktu penyembelihan setelah shalat. Telah diriwayatkan oleh Abu Hatim, Ibnu Syahin di dalam sunan-nya, Ibnu Mardawaih, dan Al Baihaqi dari Ibnu Abbas dan didalamnya terdapat beberapa riwayat dari sahabat yang seperti ini, yang menunjukkan bahwa menyembelih kurban itu dilakukan setelah shalat (‘Ied). Maka ayat itu secara khusus menjelaskan tentang waktu penyembelihnnya, bukan menunjukkan kewajibannya. Seolah berfirman: Jika engkau  menyembelih maka (lakukan) setelah shalat ‘Ied. Ibnu Jarir telah meriwayatkan dari Anas: “Bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam pernah menyembelih sebelum shalat Id, lalu Beliau diperintahkan untuk shalat dulu baru kemudian menyembelih.” Maka nyatalah kelemahan alasan mereka yang mewajibkannya. Sedangkan, madzhab jumhur (mayoritas) dari sahabat, tabi’in, dan ahli fiqih, bahwa  menyembelih qurban adalah sunah mu’akkadah, bahkan Imam Ibnu Hazm mengatakan tidak ada yang shahih satu pun dari kalangan sahabat yang menunjukkan kewajibannya.”[3]

Seandainya hadits-hadits di atas shahih, itu pun tidak menunjukkan kewajibannya. Sebab dalam riwayat lain Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallambersabda:

إِذَا دَخَلَتْ الْعَشْرُ وَأَرَادَ أَحَدُكُمْ أَنْ يُضَحِّيَ فَلَا يَمَسَّ مِنْ شَعَرِهِ وَبَشَرِهِ شَيْئًا

“Jika kalian memasuki tanggal 10 (Dzulhijjah) dan hendak berkurban maka janganlah dia menyentuh sedikit pun dari  rambutnya dan kulitnya.”[4] [5]

Hadits tersebut dengan jelas menyebutkan bahwa berkurban itu terkait dengan kehendak, manusianya oleh karena itu Imam Asy Syafi’i menjadikan hadits ini sebagai dalil tidak wajibnya berkurban alias sunah.[6]

Syaikh Wahbah Az Zuhaili Hafizhahullah mengatakan:

تجب الأضحية مرة في كل عام عند أبي حنيفة، وهي سنة مؤكدة عند جمهور الأئمة

Wajib berqurban sekali dalam setahun menurut Abu Hanifah, dan menurut mayoritas imam adalah sunah muakadah. [7]

Hadits lainnya:

كُتِبَ عَلَيَّ النَّحْرُ وَلَمْ يُكْتَبْ عَلَيْكُمْ

“Aku diwajibkan untuk berkurban, namun tidak wajib bagi kalian.” [8]

Tetapi hadits ini didhaifkan para ulama seperti Syaikh Al Albani.[9] Juga  Syaikh Syu’aib Al Arna’uth.[10]

Tertulis dalam Al Mausu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah:

الأُْضْحِيَةُ فَرْضٌ عَلَى رَسُول اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ دُونَ أُمَّتِهِ لِحَدِيثِ ابْنِ عَبَّاسٍ الْمُتَقَدِّمِ : ثَلاَثٌ هُنَّ عَلَيَّ فَرَائِضُ وَلَكُمْ تَطَوُّعٌ : النَّحْرُ وَالْوِتْرُ وَرَكْعَتَا الضُّحَى

Berqurban adalah fardhu (wajib) atas Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, tidak bagi umatnya. Berdasarkan hadits dari Ibnu Abbas yang telah lalu: ada tiga hal yang diwajibkan kepada diriku,  namun bagi kalian adalah sunah: berqurban, witir, dan dua rakaat dhuha. [11]

Hadits yang disebutkan ini diriwayatkan oleh  Ahmad No. 2050. Ad Daruquthni dalam Sunannya, 2/21. Al Hakim dalam Al Mustadrak, 1/300. Al Baihaqi dalam As Sunan Al Kubra No. 4248. Al Hakim dalam Al Mustadrak No. 1119, Abdurrazzaq dalam Al Mushannaf No. 4573, Abu Nu’aim dalam Hilayatul Auliya, 9/232. [12]  Wallahu A’lam

Bersambung …

🍃🌴🌻🌾🌸☘🌺🌷

✏ Farid Nu’man Hasan


🌴🌴🌴🌴🌴

[1]  HR. Ibnu Majah No.  3123, Al Hakim No. 7565, Ahmad No. 8273, Ad Daruquthni No. 53, Al Baihaqi dalam  Syu’abul Iman  No. 7334

Hadits ini dishahihkan oleh Imam Al Hakim dalam Al Mustadraknya No. 7565, katanya:“Shahih sesuai syarat Bukhari dan Muslim, tapi keduanya tidak meriwayatkannya.” Imam Adz Dzahabi menyepakati hal ini.

Syaikh Al Albani menshahihkan dalam Shahihul Jami’ No. 6490, namun hanya menghasankan dalam kitab lainnya seperti At Ta’liq Ar Raghib, 2/103, dan Takhrij Musykilat Al Faqr,No. 102.

Sementara Syaikh Syu’aib Al Arnauth mendhaifkan hadits ini, dan beliau mengkritik Imam Al Hakim dan Imam Adz Dzahabi dengan sebutan: “wa huwa wahm minhuma – ini adalah wahm (samar/tidak jelas/ragu) dari keduanya.” Beliau juga menyebut penghasanan yang dilakukan Syaikh Al Albani dengan sebutan: “fa akhtha’a – keliru/salah.” (Lihat Ta’liq Musnad Ahmad No. 8273)
[2] Imam Amir Ash Shan’ani, Subulus Salam,  6/308.
[3] Ibid
[4] HR. Muslim No. 1977
[5] Berkata Imam An Nawawi tentang maksud hadits ini:

وَاخْتَلَفَ الْعُلَمَاء فِيمَنْ دَخَلَتْ عَلَيْهِ عَشْر ذِي الْحِجَّة وَأَرَادَ أَنْ يُضَحِّيَ فَقَالَ سَعِيد بْن الْمُسَيِّب وَرَبِيعَة وَأَحْمَد وَإِسْحَاق وَدَاوُد وَبَعْض أَصْحَاب الشَّافِعِيّ : إِنَّهُ يَحْرُم عَلَيْهِ أَخْذ شَيْء مِنْ شَعْره وَأَظْفَاره حَتَّى يُضَحِّي فِي وَقْت الْأُضْحِيَّة

، وَقَالَ الشَّافِعِيّ وَأَصْحَابه : هُوَ مَكْرُوه كَرَاهَة تَنْزِيه وَلَيْسَ بِحَرَامٍ ، وَقَالَ أَبُو حَنِيفَة : لَا يُكْرَه ، وَقَالَ مَالِك فِي رِوَايَة : لَا يُكْرَه ، وَفِي رِوَايَة : يُكْرَه ، وَفِي رِوَايَة : يَحْرُم فِي التَّطَوُّع دُون الْوَاجِب .

Ulama berbeda pendapat tentang orang yang memasuki 10 hari bulan Zulhijjah dan orang yang hendak berquban. Sa’id bin Al Musayyib, Rabi’ah, Ahmad, Ishaq, Daud, dan sebagian pengikut Asy Syafi’I mengatakan: sesungguhnya haram baginya memotong rambut dan kukunya sampai dia berqurban pada waktu  berqurban. Asy Syafi’i dan pengikutnya mengatakan: hal itu makruh, yakni makruh tanzih (makruh mendekati boleh), tidak haram. Abu Hanifah mengatakan: tidak makruh. Malik mengatakan: tidak makruh. Pada riwayat lain dari Malik; makruh. Pada riwayat lain: diharamkan pada haji yang sunah, bukan yang wajib. (Al Minhaj Syarh Shahih Muslim,  6/472)

[6] Imam Amir Ash Shan’ani, Subulus Salam, Juz. 6, Hal. 308-309.
[7] Syaikh Wahbah Az Zuhaili, Al Fiqhul Islami wa Adillatuhu, 6/388
[8] HR. Ahmad,   No. 2917. Al Baihaqi, As Sunan Al Kubra, Juz. 9, Hal. 264. Ath Thabarani, Al Mu’jam Al Kabir No.  11802, 11803, 12044
[9]  Lihat Tahqiq Misykah Al Mashabih No. 5775
[10] Lihat Ta’liq Musnad Ahmad No. 2917, Cet. 1, 1421H-2001M. dengan tahqiq: Syu’aib Al Arna’uth, Adil Mursyid, dan lainnya, Muasasah Ar Risalah
[11]  Al Mausu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah,  2/ 259-260
[12] Dalam hadits ini terdapat rawi bernama Abu Janab Al Kalbi , Imam Al Baihaqi mengatakan:

أَبُو جَنَابٍ الْكَلْبِىُّ اسْمُهُ يَحْيَى بْنُ أَبِى حَيَّةَ ضَعِيفٌ ، وَكَانَ يَزِيدُ بْنُ هَارُونَ يُصَدِّقُهُ وَيَرْمِيهِ بِالتَّدْلِيسِ.

Abu Janab Al Kalbi namanya adalah Yahya bin Abi Hayyah, seorang yang dhaif. Adalah Yazid bin Harun yang menilainya jujur, namun menuduhnya sebagai pelaku tadlis (menggelapkan sanad atau matan). (Sunanul Kubra No. 4248)

Sementara Al Hafizh Ibnu Hajar Rahimahullah mengatakan:

ومداره على أبي جناب  الكلبي عن عكرمة وأبو جناب ضعيف ومدلس أيضا وقد عنعنه وأطلق الأئمة على هذا الحديث الضعف كأحمد والبيهقي وابن الصلاح وابن الجوزي والنووي وغيرهم

Masalahnya seputar pada Abu Janab Al Kalbi dari ‘Ikrimah. Abu Janab adalah dhaif danmudallis juga, dan dia telah meriwayatkan secara ‘an’anah. Para imam telah memutlakan bahwa hadits ini dhaif, seperti Imam Ahmad, Imam Al Baihaqi, Imam Ibnush Shalah, Imam Ibnul Jauzi, Imam An Nawawi, dan lainnya. (Imam Ibnu Hajar, At Talkhish Al Habir, 2/45, No. 530. Darul Kutub Al ‘Ilmiah)

Imam Adz Dzahabi Rahimahullah dengan tegas mendhaifkan hadits ini:

ما تكلمَ الحأكم عليه، وهو غريب منكر، ويحيى ضغفه النسائي والدارقطني.

Al Hakim tidak mengomentari hadits ini, dan hadits ini gharib munkar, dan Yahya didhaifkan oleh An Nasa’i dan Ad Daruquthni. (Syaikh Syu’aib Al Arnauth, Ta’liq Musnad AhmadNo. 2050)

Serial Qurban dan Pembahasannya
Qurban dan Pembahasannya (Bag. 1)

Qurban dan Pembahasannya (Bag. 2)

Qurban dan Pembahasannya (Bag. 3)

Qurban dan Pembahasannya (Bag. 4)

Qurban dan Pembahasannya (Bag. 5)

Qurban dan Pembahasannya (Bag. 6)

Qurban dan Pembahasannya (Bag. 7)

Qurban dan Pembahasannya (Bag. 8)

Berobat Dengan Mengkonsumsi Kelelawar

💥💦💥💦💥💦

📨 PERTANYAAN:

Ass wr.wb
Pa kabar pak Ustad
Kenalkan sy bu erlis:
Mau tanya: Anak sy asma
Ada yg bilang makan hati kelelawar..
Apakah boleh dalam hukum islam, Haram atau tdk.. Makasih..
🙏🏼🙏🏼

📬 JAWABAN

🌱🌱🌱🌱🌱🌱

Wa’alaikumussalam warahmatullah wabarakatuh .. Bismillah wal Hamdulillah ..

Sesungguhnya Allah Ta’ala telah mengharamkan makanan yang buruk:

“ ….. dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk …” (QS. Al A’raf (7): 157)

Dalam bahasa Arab, Kelelawar adalah Al Wathwath (ukuran kepalanya besar), Al Khufaasy (ukuran kepalanya kecil), Al Khusyaaf, dan Al Khuthaaf.

Dalam sebuah riwayat yang shahih, dari Abdullah bin Amru Radhiallahu ‘Anhuma, katanya:

لا تقتلوا الضفادع فان نقيقها تسبيح ولا تقتلوا الخفاش فانه لما خرب بيت المقدس قال يا رب سلطني على البحر حتى اغرقهم

“Janganlah kalian membunuh Katak karena dia senantiasa bertasbih, dan jangan membunuh Kelelawar, karena ketika Baitul Maqdis runtuh, dia berkata: “Wahai Tuhan-nya pemimpinku yang menguasai lautan,” mereka berdoa sampai mereka membelah lautan.” (Al Baihaqi, As Sunan Al kubra , Juz. 9, Hal. 318. Hadits ini mauquf (hanya sampai pada sahabat Rasulaullah saja). Al Baihaqi berkata: Sanadnya shahih)

Dengan larangan membunuhnya, maka terlarang pula memakannya, karena memakan sudah pasti membunuhnya. Oleh karena itu mayoritas para ulama mengharamkannya seperti Imam Abu Hanifah dan Imam Asy Syafi’i, sedangkan Imam Malik ada dua pendapat darinya antara membolehkan dan memakruhkan.  (Imam Abu Sulaiman bin Khalaf Al Baji, Al Muntaqa Syarh Al Muwaththa’, juz. 3, Hal. 136, no. 941)

Sedangkan Imam Hasan Al Bashri memakruhkannya.   (Imam Abdurrazzaq, Al Mushannaf, Juz.4, Hal. 530. No. 8750)

Begitu pula Imam Ahmad, berkata Imam Ibnu Muflih Rahimahullah:

وَكَرِهَ أَحْمَدُ الْخُفَّاشَ لِأَنَّهُ مَسْخٌ

“Ahmad memakruhkan kelelawar karena buruk rupanya.” (Imam Ibnu Muflih, Al Furu’, Juz. 12, Hal. 2)

Dalam madzhab Syafi’i, berkata Syaikhul Islam Zakariya Al Anshari Rahimahullah:

وَالْوَطْوَاطُ لَا يَحِلُّ أَكْلُهُ

“Kelelewar tidak dihalalkan untuk dimakan.” (Imam Zakariya Al Anshari,  Asna Al Mathalib, Juz. 6, Hal. 377)

Berkata Imam Ibnu Hajar Al Haitami Rahimahullah:

وَلَا يَحِلُّ مَا نَهَى عَنْ قَتْلِهِ وَهُوَ أُمُورٌ مِنْهَا خُطَّافٌ

“Dan tidak dihalalkan hewan yang dilarang untuk dibunuh, dan itu banyak macamnya, diantaranya adalah Kelelawar.” (Imam Ibnu Hajar Al Haitami, Tuhfatul Muhtaj fi Syarhil Minhaj, Juz. 41, Hal. 239)

Beliau juga berkata di halaman lain:

وَأَمَّا الْخُفَّاشُ فَقَطَعَ الشَّيْخَانِ بِتَحْرِيمِهِ

“Ada pun kekelawar, maka dua syaikh kami memutuskan pengharamannya.”  (Ibid, Juz. 41, Hal. 240. Lihat juga kitab Mughni Muhtaj fi Ma’rifatil Alfazh al Minhaj, karya Imam Khathib Asy Syarbini, Juz. 18, Hal. 192.  Lihat juga Nihayatul Muhtaj Ila Syarhil Minhaj, karya Imam Syihabuddin Ar Ramli, Juz. 18, Hal. 192)

Jika disebuat “dua Syaikh’ dalam kitab-kitab bermadzhab Syafi’i maka maksudnya adalah Imam An Nawawi dan Imam Ar Rafi’i. Demikian. Wallahu A’lam

📌 Berobat dengan yang haram

Jika kita ikuti pendapat mayoritas ulama, yaitu kalelawar adalah haram, maka bagaimana jika dijadikan obat?

Mayoritas ulama tetap mengharamkan –kecuali darurat-berdasarkan beberapa hadits. Di antaranya riwayat mauquf  (hanya sampai sahabat nabi) dari Ibnu Mas’ud Radhiallahu ‘Anhu berikut:

إِنَّ اللَّهَ لَمْ يَجْعَلْ شِفَاءَكُمْ فِيمَا حَرَّمَ عَلَيْكُمْ

“Sesungguhnya Allah tidaklah menjadikan obat buat kalian dari apa-apa yang diharamkan untuk kalian.”  (HR. Al Bukhari No. 5613)

Dari Abu Darda’ Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

إِنَّ اللَّهَ أَنْزَلَ الدَّاءَ وَالدَّوَاءَ وَجَعَلَ لِكُلِّ دَاءٍ دَوَاءً فَتَدَاوَوْا وَلَا تَدَاوَوْا بِحَرَامٍ

“Sesungguhnya Allah Ta’ala menurunkan penyakit dan obatnya, dan Dia jadikan setiap penyakit pasti ada obatnya, maka berobatlah dan jangan berobat dengan yang haram.” (HR. Abu Daud No. 3876, Al Baihaqi, As Sunan Al Kubra No. 20173. Imam Ibnul Mulaqin mengatakan: shahih. (Tuhfatul Muhtaj, 2/9). Imam Al Haitsami mengatakan: perawinya terpercaya. (Majma’uz Zawaid, 5/86)  )

Dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ الدَّوَاءِ الْخَبِيثِ

“Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam melarang berobat dengan yang buruk (Al Khabits). (HR. At Tirmidzi No. 2045, Abu Daud No. 3872, Ibnu Majah No. 3459. Dishahihkan oleh Syaikh Al Albani, Syaikh Syu’aib Al Arnauth dan lainnya)

Imam Asy Syaukani Rahimahullah berkata:

وَكَذَلِكَ سَائِرُ الْأُمُورِ النَّجِسَةِ أَوْ الْمُحَرَّمَةِ ، وَإِلَيْهِ ذَهَبَ الْجُمْهُورُ قَوْلُهُ : ( وَلَا تَتَدَاوَوْا بِحَرَامٍ ) أَيْ لَا يَجُوزُ التَّدَاوِي بِمَا حَرَّمَهُ اللَّهُ مِنْ النَّجَاسَاتِ وَغَيْرِهَا مِمَّا حَرَّمَهُ اللَّهُ وَلَوْ لَمْ يَكُنْ نَجَسًا

“Demikian juga seluruh hal yang najis dan haram (tidak boleh dijadikan obat), demikianlah madzhab jumhur (mayoritas), sabdanya: “janganlah berobat dengan yang haram,” artinya tidak boleh pengobatan dengan apa-apa yang Allah haramkan baik berupa benda-benda najis, dan benda lainnya yang diharamkan Allah, walau pun tidak najis.”   (Nailul Authar, 8/204)

📌 Pembolehan Hanya jika Darurat

Di atas sudah dijelaskan panjang lebar tentang terlarangnya menggunakan zat-zat haram atau najis untuk berobat. Namun, agama Islam adalah agama yang manusiawi dan membawa kemudahan bagi keberlangsungan hidup. Pada kondisi tertentu, dibolehkan menggunakan benda-benda haram dan najis untuk berobat, yakni jika keadaan sangat mendesak, terpaksa, alias darurat. Ini didasarkan oleh dalil keumuman ayat:

“ Barangsiapa yang dalam Keadaan terpaksa, sedang Dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, Maka Sesungguhnya Tuhanmu Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” (QS. Al An’am (6): 145)

Atau ayat lainnya:

“…tetapi Barangsiapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang Dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, Maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al Baqarah (2): 173)

Dari sini, maka telah ijma’ (sepakat) para ulama bahwa bolehnya memakan bangkai (atau sesuatu yang haram) karena darurat. Berkata Imam Ibnul Mundzir:

وأجمعوا على إباحة الميتة عند الضرورة

“Mereka (para ulama) telah ijma’ bolehnya memakan bangkai ketika darurat.”  (Kitabul Ijma’ No. 746)

Jika orang yang terancam jiwanya karena kelaparan, dan tidak ada makanan halal tersedia, maka dia dibolehkan makan yang haram demi keselamatan jiwanya, dengan tanpa melebihi kebutuhan. Begitu pula penyakit yang menimpa seseorang yang mengancam jasad atau jiwanya, dan tidak ditemukan obat lain yang halal, maka kondisi tersebut (penyakit) merupakan alasan yang sama (dengan kelaparan) untuk dibolehkannya berobat dengan yang haram (dalam hal ini adalah ular).

Alasan-alasan ini dikuatkan oleh dalil-dalil lain,  yakni pemakaian kain sutera oleh Zubeir bin Awwam dan Abdurrahman bin ‘Auf  ketika mereka kena penyakit Kudis dalam sebuah perjalanan.

Dengan demikian, para ulama juga telah membuat kaidah:

الضَّرُورِيَّاتُ تُبِيحُ الْمَحْظُورَاتِ

“Keadaan darurat membolehkan hal-hal yang terlarang.”  (Al Asybah wan Nazhair, 1/155)

Namun, dalam konteks penyakit, seseorang disebut mengalami darurat jika memenuhi syarat berikut:

🌸 Keadaan benar-benar mendesak yakni terancam keutuhan jasad atau jiwa.

🌸Telah terbukti bahwa ‘obat haram’ tersebut adalah memang obatnya, dan ini dibutuhkan petunjuk dokter yang bisa dipercaya. Bukan karena asumsi pribadi, kira-kira, atau ikut-ikutan kata orang.

🌸Memang tidak ada obat lain yang halal. Jika masih banyak obat halal yang tersedia, maka tetap tidak boleh. Dalam konteks berobat dengan Kalelawar, nampaknya syarat ini belum terpenuhi, mengingat masih sangat banyak obat-obatan lain yang halal.

Demikian. Wallahu A’lam

🌴🌱🌸🍃🌹🌵🍄🌾

✍ Farid Nu’man Hasan

Paranoid Ekstrim Terhadap Islam

💢💢💢💢💢💢💢

📌 Mereka resah dan gelisah dengan apa yang mereka katakan Islam Ideologi

📌 Hal-hal yang beraroma Islam di semua sendi hidup, mereka menggugatnya

📌 Padahal mereka ini ngakunya muslim juga .. Tapi rasa takutnya luar biasa

📌 Perumahan Islam mereka gugat, sebagai sebab intoleransi

📌 Tepuk Anak Shalih yang biasa di TK TK Islam mereka gugat, sebagai bibit radikalisme

📌 Entah .. Apakah mereka juga mau menggali kubur para pahlawan di Kalibata yang dikavling sesuai agamanya lalu dicampurkan dengan yang lain

📌 Ketakutan tingkat parah ini menunjukan sisi kebencian kepada Islam yang tingkat “Ultra”

📌 Muslim bangga dengan Islam, muslim bangga demgan budayanya .. Itu adalah hal natural .. Tapi bagi mereka itu intoleransi

Maha Benar Allah Ta’ala ketika berfirman;

وَإِذَا قِيلَ لَهُمْ تَعَالَوْا إِلَىٰ مَا أَنزَلَ اللَّهُ وَإِلَى الرَّسُولِ رَأَيْتَ الْمُنَافِقِينَ يَصُدُّونَ عَنكَ صُدُودًا

Apabila dikatakan kepada mereka: “Marilah kamu (tunduk) kepada hukum yang Allah telah turunkan dan kepada hukum Rasul”, niscaya kamu lihat orang-orang munafik menghalangi (manusia) dengan sekuat-kuatnya dari (mendekati) kamu. (QS. An Nisaa: 61)

🌴🌷🌱🌸🍃🌵🍄🌾

✍ Farid Nu’man Hasan

scroll to top