Syarah Hadits Arbain Nawawiyah (Bag. 5) – Hadits Kedua: Makna Islam, Iman, dan Ihsan

Tulisan Sebelumnya: Syarah Hadits Arbain Nawawiyah (Bag. 4) – Lanjutan Hadits Pertama: Niat dan Ikhlas

🐾🐾🐾🐾🐾🐾🐾🐾

SYARAH HADITS KEDUA (Makna Islam, Iman, dan Ihsan)

📌Matan Hadits :

عَنْ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ تَعَالَى عَنْهُ أَيضاً قَال: بَيْنَمَا نَحْنُ جُلُوْسٌ عِنْدَ رَسُولِ اللهِ صلى الله عليه وسلم ذَاتَ يَوْمٍ إِذْ طَلَعَ عَلَيْنَا رَجُلٌ شَدِيْدُ بَيَاضِ الثِّيَاب شَدِيْدُ سَوَادِ الشَّعْرِ لاَ يُرَى عَلَيْهِ أَثَرُ السَّفَرِ وَلاَ يَعْرِفُهُ مِنَّا أَحَدٌ حَتَّى جَلَسَ إِلَى النبي صلى الله عليه وسلم فَأَسْنَدَ رُكْبَتَيْهِ إِلَى رُكْبَتَيْهِ وَوَضَعَ كَفَّيْهِ عَلَى فَخِذَيْهِ وَقَالَ: يَا مُحَمَّدُ أَخْبِرْنِي عَنِ الإِسْلاَم، فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم: (الإِسْلاَمُ أَنْ تَشْهَدَ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَ أَنَّ مُحَمَّدَاً رَسُولُ الله،وَتُقِيْمَ الصَّلاَة، وَتُؤْتِيَ الزَّكَاةَ،وَتَصُوْمَ رَمَضَانَ، وَتَحُجَّ البيْتَ إِنِ اِسْتَطَعتَ إِليْهِ سَبِيْلاً قَالَ: صَدَقْتَ. فَعَجِبْنَا لَهُ يَسْأَلُهُ وَيُصَدِّقُهُ، قَالَ: فَأَخْبِرْنِيْ عَنِ الإِيْمَانِ، قَالَ: أَنْ تُؤْمِنَ بِالله،وَمَلائِكَتِه،وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ،وَالْيَوْمِ الآَخِر،وَتُؤْمِنَ بِالقَدَرِ خَيْرِهِ وَشَرِّهِ قَالَ: صَدَقْتَ، قَالَ: فَأَخْبِرْنِيْ عَنِ الإِحْسَانِ، قَالَ: أَنْ تَعْبُدَ اللهَ كَأَنَّكَ تَرَاهُ، فَإِنْ لَمْ تَكُنْ تَرَاهُ فَإِنَّهُ يَرَاكَ قَالَ: فَأَخْبِرْنِي عَنِ السَّاعَةِ، قَالَ: مَا الْمَسئُوُلُ عَنْهَا بِأَعْلَمَ مِنَ السَّائِلِ قَالَ: فَأَخْبِرْنِيْ عَنْ أَمَارَاتِها، قَالَ: أَنْ تَلِدَ الأَمَةُ رَبَّتَهَا،وَأَنْ تَرى الْحُفَاةَ العُرَاةَ العَالَةَ رِعَاءَ الشَّاءِ يَتَطَاوَلُوْنَ فِي البُنْيَانِ ثُمَّ انْطَلَقَ فَلَبِثَ مَلِيَّاً ثُمَّ قَالَ: يَا عُمَرُ أتَدْرِي مَنِ السَّائِلُ؟ قُلْتُ: اللهُ وَرَسُوله أَعْلَمُ، قَالَ: فَإِنَّهُ جِبْرِيْلُ أَتَاكُمْ يُعَلِّمُكُمْ دِيْنَكُمْ) . رواه مسلم

Dari Umar Radhiallahuanhu juga dia berkata : Ketika kami duduk-duduk disisi Rasulullah Shallallahu’Alaihi wa Sallam suatu hari tiba-tiba datanglah seorang laki-laki yang mengenakan baju yang sangat putih dan berambut sangat hitam, tidak tampak padanya bekas-bekas perjalanan jauh dan tidak ada seorangpun diantara kami yang mengenalnya. Hingga kemudian dia duduk dihadapan Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam lalu menyandarkan kedua lututnya kepada kepada lututnya (Rasulullah Shallallahu ’Alaihi wa Sallam) dan meletakkan kedua tangannya di atas dua pahanya (Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam) seraya berkata: “Ya Muhammad, beritahukan aku tentang Islam ?”, maka bersabdalah Rasulullah Shallallahu ’Alaihi wa Sallam : “ Islam adalah engkau bersaksi bahwa tidak ada Ilah (Tuhan yang disembah) selain Allah, dan bahwa Nabi Muhammad adalah utusan Allah, engkau mendirikan shalat, menunaikan zakat, puasa Ramadhan dan pergi haji jika mampu “, kemudian dia berkata: “ anda benar “. Kami semua heran, dia yang bertanya dia pula yang membenarkan. Kemudian dia bertanya lagi: “ Beritahukan aku tentang Iman “. Lalu beliau bersabda: “ Engkau beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya dan hari akhir dan engkau beriman kepada takdir yang baik maupun yang buruk “, kemudian dia berkata: “ anda benar“. Kemudian dia berkata lagi: “ Beritahukan aku tentang ihsan “. Lalu beliau bersabda: “ Ihsan adalah engkau beribadah kepada Allah seakan-akan engkau melihatnya, jika engkau tidak melihatnya maka Dia melihat engkau” . Kemudian dia berkata: “ Beritahukan aku tentang hari kiamat (kapan kejadiannya)”. Beliau bersabda: “ Yang ditanya tidak lebih tahu dari yang bertanya “. Dia berkata: “ Beritahukan aku tentang tanda-tandanya “, beliau bersabda: “ Jika seorang hamba melahirkan tuannya dan jika engkau melihat seorang bertelanjang kaki dan tak berpakaian, miskin dan penggembala domba, (kemudian) berlomba-lomba meninggikan bangunannya “, kemudian orang itu berlalu dan aku berdiam. Kemudian beliau (Rasulullah) bertanya: “ Ya Umar tahukah engkau siapa yang bertanya ?”. aku berkata: “ Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui “. Beliau bersabda: “ Dia adalah Jibril yang datang kepada kalian (bermaksud) mengajarkan agama kalian “. (Riwayat Muslim)

📌Takhrij Hadits:

– Imam Muslim dalam Shahihnya No. 8
– Imam At Tirmidzi dalam Sunannya No. 2610
– Imam Abu Daud dalam Sunannya No. 4695
– Imam Ibnu Majah dalam Sunannya No. 63
– Imam Al Baihaqi dalam As Sunan Al Kubra, No. 20660
– Imam Ad Daruquthni dalam Sunannya No. 207
– Imam Ibnu Hibban dalam Shahihnya No. 168, juga 159, tapi dari jalur Abu Hurairah
– Imam Ibnu Khuzaimah dalam Shahihnya No. 2244, dari jalur Abu Hurairah
– Imam Ishaq Rahawaih dalam Musnadnya No. 165, dari jalur Abu Hurairah dan Abu Dzar
– Imam Ibnu Abi Syaibah dalam Al Mushannaf , kitabul iman war ru’ya No. 1
– Imam Abu Ya’ala dalam Musnadnya No. 242

📚 Makna Kalimat:

عَنْ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ تَعَالَى عَنْهُ أَيضاً قَال

Dari Umar Radhiallahu Ta’ala ‘Anhu juga, dia berkata

بَيْنَمَا نَحْنُ جُلُوْسٌ عِنْدَ رَسُولِ اللهِ صلى الله عليه وسلم

Ketika kami duduk-duduk di sisi Rasulullah Shallallahu’Alaihi wa Sallam

ذَاتَ يَوْمٍ إِذْ طَلَعَ عَلَيْنَا رَجُلٌ

suatu hari tiba-tiba datanglah seorang laki-laki

Rajul – رجل yakni ملك في صورة رجل, malaikat dalam tampilan seorang laki-laki. (Syaikh Muhammad bin Ismail Al Anshari, At Tuhfah Ar Rabbaniyah, lihat Syarah hadits No. 2) sebagaimana dikatakan oleh Syaikh Ibnu Al ‘Utsaimin:

وهو رجل في شكله لكن حقيقته أنه مَلَك

“Dia adalah seorang laki-laki dalam wujudnya, tetapi hakikatnya dia adalah malaikat.” (Syarh Arbain An Nawawiyah, Hal. 19)

شَدِيْدُ بَيَاضِ الثِّيَاب

baju yang sangat putih

شَدِيْدُ سَوَادِ الشَّعْرِ

berambut sangat hitam

لاَ يُرَى عَلَيْهِ أَثَرُ السَّفَرِ

tidak tampak padanya bekas-bekas perjalanan jauh

Sebagian ada yang meriwayatkan dengan kata: Laa Naraa لاَ نَرَى – kami tidak melihat- dengan huruf nun yang difat-hahkan, dan keduanya (baik Laa Yuraa dan Laa Naraa) adalah benar. (Imam Ibnu Daqiq Al ‘Id, Syarh Al Arbain An Nawawiyah, Hal. 29. Maktabah Al Misykah. Lihat juga Syaikh Muhammad bin Ismail Al Anshari, At Tuhfah Ar Rabbaniyah, hadits no. 2)

Syaikh Ibnu Al ‘Utsaimin berkata tentang kalimat ini:

لأن ثيابه بيضاء وشعره أسود ليس فيه غبار ولاشعث السفر، ولهذا قال: لايُرَى عَلَيْهِ أَثَرُ السَّفَرِ لأن المسافر في ذلك الوقت يُرى عليه أثر السفر، فيكون أشعث الرأس،مغبرّاً، ثيابه غير ثياب الحضر، لكن لايرى عليه أثر السفر

“Karena pakaiannya putih dan rambutnya hitam tidak ada debu dan kekusutan safar (perjalanan). Oleh karena itulah dia (Umar) berkata: tidak tampak padanya bekas-bekas perjalanan jauh, sebab bagi seorang musafir pada waktu seperti itu akan Nampak padanya bekas-bekas perjalanan, seperti rambut yang kusut dan berdebu, pakaiannya bukanlah pakaian menetap, justru tidak tampak padanya bekas-bekas perjalanan.” (Syarh Al Arba’in An Nawawiyah Hal. 19. Mawqi’ Ruh Al Islam)

وَلاَ يَعْرِفُهُ مِنَّا أَحَدٌ

dan tidak ada seorangpun diantara kami yang mengenalnya
Maksudnya:

وليس من أهل المدينة المعروفين، فهوغريب

“Dan tidaklah diantara penduduk Madinah yang mengenalnya, maka dia adalah seorang yang asing.” (Ibid)

حَتَّى جَلَسَ إِلَى النبي صلى الله عليه وسلم

Hingga kemudian dia duduk dihadapan Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam

فَأَسْنَدَ رُكْبَتَيْهِ إِلَى رُكْبَتَيْهِ

lalu menyandarkan kedua lututnya kepada lututnya (Rasulullah Shallallahu ’Alaihi wa Sallam)

وَوَضَعَ كَفَّيْهِ عَلَى فَخِذَيْهِ

dan meletakkan kedua telapak tangannya di atas dua pahanya.
Syaikh Ibnu Al ‘Utsaimin memberikan penjelasan sebagai berikut:

وَوَضَعَ كَفَّيْهِ أي كفي هذا الرجل عَلَىَ فَخِذَيْهِ أي فخذي هذا الرجل، وليس على فخذي النبي صلى الله عليه وسلم ، وهذا من شدة الاحترام

Dan meletakkan dua telapak tangannya yaitu dua telapak laki-laki tersebut, di atas dua pahanya yaitu pada dua paha laki-laki tersebut, bukan pada dua paha Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, dan ini merupakan bentuk penghormatan yang tinggi. (Ibid)

Bersambung …

Tulisan Berikutnya: Syarah Hadits Arbain Nawawiyah (Bag. 6) – Lanjutan Hadits Kedua: Makna Islam, Iman, dan Ihsan

🍃🌻🌸🌺☘🌷🌴🌾

✏ Farid Nu’man Hasan

Membaca Al Qur’an Melalui Aplikasi di HP

Membaca al-Qur’an melalui HP hukumnya boleh dan ulama tidak mensyaratkan untuk bersuci sebelumnya, karena HP tidak dianggap sebagai mushaf. Simak penjelasannya pada dua tanya jawab di bawah!


◼◽◼◽◼◽◼◽◼◽

✉️❔Pertanyaan

Assalamualaikum. Apa beda membaca Al Quran di HP dgn mushaf ust?bagaimana ke utamaannnya? (08526359xxxx)


✒️❕Jawaban Membaca al-Qur’an di HP

◼◽◼◽◼◽◼◽◼◽

Wa’alaikumussalam wa Rahmatullah ..

Membaca Al Qur’an melalui mushaf dihitung sebagai tilawah dengan mushaf, sedangkan dengan HP tidak dianggap tilawah dengan mushaf, sebab mushaf beda dengan HP.

Para ulama hari ini umumnya tidak mensyaratkan mesti suci saat membaca Al Qur’an lewat aplikasi HP, berbeda dengan membaca dan menyentuh Al Qur’an melalui mushaf yang jumhur mensyaratkan mesti suci.

Syaikh Muhammad Shalih Al Munajjid Hafizhahullah mengatakan:

هذه الجوالات التي وضع فيها القرآن كتابة أو تسجيلا ، لا تأخذ حكم المصحف ، فيجوز لمسها من غير طهارة ، ويجوز دخول الخلاء بها ، وذلك لأن كتابة القرآن في الجوال ليس ككتابته في المصاحف فهي ذبذبات تعرض ثم تزول وليست حروفا ثابتة

HP yang di dalamnya terdapat aplikasi Al Quran baik tulisan atau suara, tidaklah dihukumi sebagai mushaf. Maka, boleh menyentuhnya tanpa bersuci. Boleh pula masuk WC dgnnya. Hal disebabkan tulisan Al Qur’an di HP tidaklah seperti tulisan di Mushaf. Keberadaannya hilang dan muncul, dia bukanlah huruf yg permanen. (Al Islam Su’aal wa Jawaab no. 106961)

Demikian. Wallahu a’lam

✍ Farid Nu’man Hasan


◼◽◼◽◼◽◼◽◼◽

✉️❔Pertanyaan

Assalamu’alaikum.izin bertanya ustad,bagaimana hukum membaca Alqur’an di hp ..jazakallah Khairan .


✒️❕Jawaban

◼◽◼◽◼◽◼◽◼◽

Wa’alaikumussalam Wa Rahmatullah Wa Barakatuh

Bismillahirrahmanirrahim..

Hukum Membaca al-Qur’an Melalui HP

Membaca Al-Quran lewat aplikasi di HP, tidak apa-apa.. Hanya saja, dibanding membacanya lewat mushaf tentu lebih utama lewat mushaf.

Baca juga: Wanita Haid Membaca al-Qur’an di HP

Tilawah pakai aplikasi Al Quran di HP hanya dapat satu nilai: yaitu nilai Tilawah itu sendiri. Mungkin sisi lebihnya adalah lebih praktis.

Tilawah lewat mushaf mendapatkan dua nilai:

– Tilawah
– Memandang mushaf

Sebab, memandang mushaf sudah dinilai ibadah. Bahkan baca sambil lihat mushaf lebih utama dibanding hapalan.

Imam An Nawawi menjelaskan:

القراءة في المصحف أفضل من القراءة عن ظهر قلب، لأنها تجمع القراءة والنظر في المصحف وهو عبادة أخرى. كذا قاله القاضي حسين وغيره من أصحابنا، ونص عليه جماعات من السلف، ولم أر فيه خلافاً

Membaca Al Quran pakai mushaf lebih utama dibanding lewat hapalan, karena hal itu menggabungkan dua keutamaan; membaca dan memandang mushaf yang merupakan ibadah lainnya tersendiri. Demikian dikatakan Qadhi Husein dan lainnya dari para sahabat kami (Syafi’iyyah), hal itu juga dikatakan para salaf, dan aku tidak melihat adanya perbedaan pendapat tentang itu.

(Al Majmu’ Syarh Al Muhadzdzab, jilid. 2, hal. 168)

Demikian. Wallahu A’lam

✍️ Farid Nu’man Hasan


Demikian penjelasan mengenai membaca al-Qur’an melalui HP. Ayo manfaatkan gawai untuk kebaikan. Semoga Allah memberi kita taufiq untuk selalu membaca ayat-ayatNya. Amin.

Baca juga: Membaca Al Qur’an Hanya di Hati

Fatwa Syaikh Abdul Aziz bin Baaz: Ikhwanul Muslimin, Salafiyyun, Ansharus Sunnah, Semuanya Adalah Firqah Najiyyah/Kelompok yang Selamat

🐾🐾🐾🐾🐾🐾🐾

الذي يقول بأن الجماعات الإسلامية من الفرق التي أمر
النبي صلى الله عليه وسلم باعتزالها هل فهمه غير صحيح؟
س 7: إذا يا شيخنا الكريم ، الذي يقول: بأن هذه الجماعات الإسلامية من الفرق التي تدعو إلى جهنم والتي أمر النبي باعتزالها فهمه على كلامكم غير صحيح؟
ج 7: الذي يدعو إلى كتاب الله وسنة رسوله صلى الله عليه وسلم ليس من الفرق الضالة ، بل هو من الفرق الناجية المذكورة في قوله صلى الله عليه وسلم: افترقت اليهود على إحدى وسبعين فرقة وافترقت النصارى على اثنين وسبعين فرقة وستفترق أمتي على ثلاث وسبعين فرقة كلها في النار إلا واحدة قيل ومن هي يا رسول الله؟ قال من كان على مثل ما أنا عليه اليوم وأصحابي وفي لفظ: ” هي الجماعة ” .
والمعنى: أن الفرقة الناجية: هي الجماعة المستقيمة على ما كان عليه النبي صلى الله عليه وسلم وأصحابه رضي الله عنهم . من توحيد الله ، وطاعة أوامره وترك نواهيه ، والاستقامة على ذلك قولا وعملا وعقيدة ، هم أهل الحق وهم دعاة الهدى ولو تفرقوا في البلاد ، يكون منهم في الجزيرة العربية ، ويكون منهم في الشام ، ويكون منهم في أمريكا ، ويكون منهم في مصر ، ويكون منهم في دول أفريقيا ، ويكون منهم في آسيا ، فهم جماعات كثيرة يعرفون بعقيدتهم وأعمالهم ، فإذا كانوا على طريقة التوحيد والإيمان بالله ورسوله ، والاستقامة على دين الله الذي جاء به الكتاب وسنة رسوله صلى الله عليه وسلم فهم أهل السنة والجماعة وإن كانوا في جهات كثيرة ، ولكن في آخر الزمان يقلون جدا .
فالحاصل: أن الضابط هو استقامتهم على الحق ، فإذا وجد إنسان أو جماعة تدعو إلى كتاب الله وسنة رسوله صلى الله عليه وسلم ، وتدعو إلى توحيد الله واتباع شريعته فهؤلاء هم الجماعة ، وهم من الفرقة الناجية ، وأما من دعا إلى غير كتاب الله ، أو إلى غير سنة الرسول صلى الله عليه وسلم فهذا ليس من الجماعة ، بل من الفرق الضالة الهالكة ، وإنما الفرقة الناجية: دعاة الكتاب والسنة ، وإن كانت منهم جماعة هنا وجماعة هناك ما دام الهدف والعقيدة واحدة ، فلا يضر كون هذه تسمى: أنصار السنة ، وهذه تسمى: الإخوان المسلمين ، وهده تسمى: كذا ، المهم عقيدتهم وعملهم ، فإذا استقاموا على الحق وعلى توحيد الله والإخلاص له واتباع رسول الله صلى الله عليه وسلم قولا وعملا وعقيدة فالأسماء لا تضرهم ، لكن عليهم أن يتقوا الله ، وأن يصدقوا في ذلك ، وإذا تسمى بعضهم بـ: أنصار السنة ، وتسمى بعضهم بـ: السلفيين ، أو بالإخوان المسلمين ، أو تسمى بعضهم بـ: جماعة كذا ، لا يضر إذا جاء الصدق ، واستقاموا على الحق باتباع كتاب الله والسنة وتحكيمهما والاستقامة عليهما عقيدة وقولا وعملا ، وإذا أخطأت الجماعة في شيء فالواجب على أهل العلم تنبيهها وإرشادها إلى الحق إذا اتضح دليله
والمقصود: أنه لا بد أن نتعاون على البر والتقوى ، وأن نعالج مشاكلنا بالعلم والحكمة والأسلوب الحسن ، فمن أخطأ في شيء من هذه الجماعات أو غيرهم مما يتعلق بالعقيدة ، أو بما أوجب الله ، أو ما حرم الله نبهوا بالأدلة الشرعية بالرفق والحكمة والأسلوب الحسن ، حتى ينصاعوا إلى الحق ، وحتى يقبلوه ، وحتى لا ينفروا منه ، هذا هو الواجب على أهل الإسلام أن يتعاونوا على البر والتقوى ، وأن يتناصحوا فيما بينهم ، وأن لا يتخاذلوا فيطمع فيهم العدو .

Ada yang mengatakan bahwa jama’ah-jam’ah Islam yang ada saat ini adalah firqah-firqah yang diperintahkan oleh Nabi ﷺ untuk ditinggalkan, apakah ini pemahaman yang benar?

Begini wahai syaikhunal karim, ada orang yang mengatakan: bahwasanya Jama’ah-Jama’ah Islamiyyah yang ada saat ini termasuk perpecahan yang memanggil (pelakunya) ke neraka Jahannam yang diperintahkan oleh Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam untuk menjauhinya, apakah pemahaman ini menurut anda benar atau tidak?

Jawaban:

Mereka yang menyeru pada Kitabullah dan Sunnah RasulNya Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tidaklah termasuk firqah yang sesat, bahkan ia termasuk firqah yang selamat yang disebutkan dalam sabda Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam: Berpecah Yahudi menjadi 71 golongan, berpecah Nasrani ke dalam 72 golongan, dan akan berpecah ummatku ke dalam 73 golongan, semua di neraka kecuali 1, lalu ditanyakan: Siapa mereka wahai Rasulullah? Jawab beliau Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam: Yaitu mereka yang seumpama aku atasnya hari ini dan para sahabatku. Dalam lafazh yang lain: Al Jama’ah.

Maknanya: Bahwa firqah yang selamat adalah Jama’ah yang lurus sesuai Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam dan para sahabatnya Radhilallahu ‘Anhum, dalam mentauhidkan Allah Subhanahu wa Ta’ala, mentaati perintahNya dan menjauhi laranganNya, dan istiqamah atas hal tersebut baik perkataan, perbuatan dan aqidah, mereka itu adalah Ahlul Haqq dan mereka adalah para da’i kepada petunjuk, sekalipun mereka tercerai-berai di pelosok negeri. Mereka ada yang di Jazirah Arab, ada yang di Syam (Iraq, Syria), ada yang di Amerika, ada yang di Mesir, ada yang di negeri Afrika, ada yang di Asia, mereka adalah JAMA’AH YANG BANYAK SEKALI yang dikenali melalui aqidah & amal-amal mereka, tetapi mereka ada di atas jalan Tauhid & Iman pada Allah & RasulNya dan istiqamah di atas Dinullah yang datang atasnya Al-Qur’an & Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam , maka mereka semua adalah Ahlus Sunnah wal Jamaah , sekalipun mereka dalam bentk yang beragam, tetapi di akhir zaman mereka sedikit sekali.

Alhasil yang dipegang adalah istiqamah mereka di atas Al Haq, jika ditemukan manusia atau jama’ah yang mengajak kepada Kitabullah dan Sunnah RasulNya Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam , mengajak mentauhidkan Allah ‘Azza wa Jalla dan mengikuti syariatNya maka MEREKA SEMUA ITULAH AL-JAMA’AH, DAN MEREKA TERMASUK FIRQAH NAJIYYAH. Adapun mereka yang menyeru kepada selain kitabullah, atau kepada selain Sunnah Ar Rasul Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam maka mereka itu bukan termasuk Al-Jama’ah, bahkan termasuk firqah yang sesat dan binasa, karena firqah an-najiyyah (yang selamat) adalah penyeru kepada Al-Kitab dan As-Sunnah, sekalipun mereka adalah Jama’ah disini atau Jama’ah disana, sepanjang tujuan & aqidah mereka satu. MAKA TIDAK MASALAH BAHWA YANG INI BERNAMA ANSHARUS SUNNAH, DAN YANG INI BERNAMA AL IKHWAN AL MUSLIMUN, dan yang itu bernama anu, yang penting aqidah dan amal mereka, jika mereka istiqamah atas Al Haq dan atas Tauhidullah dan Ikhlas kepadaNya dan mengikuti Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam perkataan, perbuatan dan aqidah maka NAMA APAPUN TIDAK MENJADI MASALAH. Tetapi wajib bagi mereka bertaqwa kepada Allah ‘Azza wa Jalla dan benar dalam ketaqwaannya, ADAPUN SEKALI LAGI BAHWA SEBAGIAN MEREKA DISEBUT ANSHARUS SUNNAH DAN SEBAGIAN LAGI DINAMAKAN AS-SALAFIYYUN ATAU DINAMAKAN AL IKHWAN AL MUSLIMUN atau disebut dengan nama Jama’ah anu, tidak masalah jika mereka benar, istiqamah atas Al-Haq, mengikuti Al Kitab dan As Sunnah dan berhukum kepada keduanya dan istiqamah atas keduanya aqidah, perkataan dan perbuatan, dan jika Jama’ah tsb salah dalam sesuatu masalah maka wajib bagi ahlul ‘ilmi untuk memperingatkan dan menasihatinya kepada Al Haq jika dalilnya sudah jelas.

Yang dimaksud adalah wajib bagi mereka saling tolong-menolong dalam kebaikan dan taqwa dan mengobati permasalahan kita dengan ilmu dan hikmah dan dengan uslub yang baik, barangsiapa yang tersalah dalam hal apapun di antara Jama’ah-jama’ah ini atau juga pada selain mereka dalam masalah aqidah atau dari apa yang diwajibkan Allah ‘Azza wa Jalla atau dari apa yang diharamkan Allah maka hendaklah dinasihati berdasarkan dalil-dalil syar’iyyah DENGAN CARA YANG LEMAH LEMBUT, BIJAKSANA dan USLUB YANG BAIK hingga mereka kembali kepada kebenaran dan sampai mereka mau menerimanya dan jangan sampai mereka lari daripadanya, maka hal ini adalah wajib bagi semua orang Islam untuk saling tolong-menolong dalam kebaikan dan taqwa dan untuk saling menasihati diantara mereka dan agar tidak dicaci-maki sehingga mengakibatkan terjadinya permusuhan.

(Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baaz, Majmu’ Fatawa, 8/181-183)

Sebagian manusia ada yang tidak menerima bahwa kelompok lain di luar kelompoknya adalah Ahlus Sunnah, bagi mereka selain diri mereka adalah ahlul bid’ah. Pemikiran itu berangkat dari hizbiyah kronis yang mematikan. Mereka akan cari fatwa-fatwa ulama yang pas dengan hawa nafsunya saja, ada pun yang tidak sesuai dengan hawa nafsunya akan dicampakkan atau ditafsiri macam-macam agar ujung-ujungnya tetap sesuai dengan maunya mereka.

Wallahu A’lam

🍃🌴🌻🌾🌸🌺☘

✏ Farid Nu’man Hasan

Syarah Hadits Arbain Nawawiyah (Bag. 4) – Lanjutan Hadits Pertama: Niat dan Ikhlas

Tulisan Sebelumnya: Syarah Hadits Arbain Nawawiyah (Bag. 3) – Lanjutan Hadits Pertama: Niat dan Ikhlas

🐾🐾🐾🐾🐾🐾🐾

SYARAH HADITS 1: NIAT DAN IKHLAS, Bag. Terakhir

✏ Kedudukan, Faidah, dan Makna Hadits Secara Global

Pertama. Hadits ini berisikan sesuatu yang amat penting dalam Islam yakni niat dan ikhlas. Amal harus ada niat, sedangkan niat harus ada keikhlasan agar dia diterima. Oleh karena itu para ulama menganjurkan agar siapa saja yang hendak menyusun kitab, agar mencantumkan hadits ini di permulaan kitabnya sebagai renungan bagi penyusunnya untuk meluruskan niatnya.

Berkata Imam Ibnu Daqiq Al ‘Id:

قال الإمام أحمد والشافعي رحمهما الله: “يدخل في حديث الأعمال بالنيات ثلث العلم” قاله البيهقي، وغيره. وسبب ذلك أن كسب العبد يكون بقلبه ولسانه وجوارحه والنية أحد الأقسام الثلاثة

Imam Ahmad dan Imam Asy Syafi’i Rahimahumallah berkata: ‘Hadits ini mencakup sepertiga ilmu’ , hal itu dikatakan juga oleh Al Baihaqi dan lainnya. Sebabnya adalah perbuatan hamba terdiri atas hati, lisan, dan anggota badannya. Dan niat adalah salah satu bagian dari tiga itu. (Imam Ibnu Daqiq Al ‘Id, Syarh Al Arba’in An Nawawiyah, Hal. 24)

Diriwayatkan dari Imam Asy Syafi’i, bahwa katanya: hadits ini mencakup 70 bab tentang fiqih. Segolongan ulama mengatakan hadits ini merupakan sepertiganya Islam.

Berkata Imam Abdurrahman bin Al Mahdi Radhiallahu ‘Anhu:

ينبغي لكل من صنف كتاباً أن يبتدئ فيه بهذا الحديث تنبيهاً للطالب على تصحيح النية

“Hendaknya bagi setiap orang yang menyusun kitab agar mengawali kitabnya dengan hadits ini, sebagai peringatan bagi penuntut ilmu untuk meluruskan niatnya.” (Ibid Hal. 25)
Kedua. Hadits ini pula yang dijadikan oleh para ulama sebagai parameter untuk membedakan (tamyiz) status hukum amal seseorang; antara adat dan ibadah, dan antara ibadah yang satu dengan yang lainnya.

Jika seseorang makan demi memenuhi kebutuhan perutnya, ini adalah adat, tetapi jika makan demi menjaga kekuatan untuk ibadah dan ketaatan kepadaNya maka makan seperti itu dinilai ibadah.

Niat juga yang membedakan antara nilai puasa yang satu dan yang lainnya. Seseorang yang berpuasa pada hari senin tetapi saat itu dia sedang berniat puasa syawal, maka kesunahan puasa senin kamis baginya telah gugur. Artinya dalam syariat dia dinilai sedang puasa syawal bukan puasa senin kamis. Sedangkan menggabungkan berbagai niat puasa dalam satu hari, tidak ada dasarnya dalam syariat, walau ada ulama yang membolehkannya. Hal ini sama halnya dengan seorang yang masuk ke masjid langsung bergabung dengan jamaah shalat fardhu, maka kesunahan shalat tahiyatul masjid baginya telah gugur.

Hadits ini telah melahirkan sebuah kaidah fiqih yang sangat terkenal, dan Imam As Suyuthi telah memasukkannya dalam kaidah pertama dalam kitab Al Asybah wan Nazhair, yakni:

الأمور بمقاصدها

“Urusan/perkara tergantung maksud-maksudnya.” (Imam As Suyuthi, Al Asybah wan Nazhair, Hal. 8. Mawqi’ Ruh Al Islam)

Oleh karena itu, syariat menghargai orang yang berniat ingin shalat malam, tetapi dia ketiduran, maka dia tetap mendapatkan pahala shalat malam. Hal ini sebagaimana yang diriwayatkan oleh Abu Dzar Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

من أتى فراشه وهو ينوي أن يقوم يصلي من الليل فغلبته عينه حتى يصبح كتب له ما نوى

“Barang siapa yang mendatangi pembaringannya dan dia berniat untuk melaksanakan shalat malam, lalu dia tertidur hingga pagi, maka dia tetap mendapatkan apa yang diniatkannya.” (HR. Ibnu Majah No. 1344, An Nasa’i No. 1787. Dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahih wa Dhaif Sunan Ibni Majah No. 1344)

Begitu pula orang yang berniat ingin shalat berjamaah di masjid, tetapi sesampainya di sana dia tertinggal jamaah, maka Allah Ta’ala tetap memberikannya nilai pahala berjamaah. Hal ini dengan syarat dia tidak menyengaja untuk berlambat-lambat menuju masjid.

Dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu‘Alaihi wa Sallam bersada:

مَنْ تَوَضَّأَ فَأَحْسَنَ وُضُوءَهُ ثُمَّ رَاحَ فَوَجَدَ النَّاسَ قَدْ صَلَّوْا أَعْطَاهُ اللَّهُ جَلَّ وَعَزَّ مِثْلَ أَجْرِ مَنْ صَلَّاهَا وَحَضَرَهَا لَا

يَنْقُصُ ذَلِكَ مِنْ أَجْرِهِمْ شَيْئًا

“Barang siapa yang berwudhu dan menyempurnakan wudhunya, lalu ia pergi ke mesjid (untuk berjamaah) dan dia lihat jamaah sudah selesai, maka ia tetap mendapatkan seperti pahala orang yang hadir dan berjamaah, tanpa mengurangi pahala mereka sedikit pun.” (HR. An Nasa’i No. 855, Abu Daud No. 564, Ahmad No. 8590, Al Hakim No. 754, katany shahih sesuai syarat Imam Muslim. Dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahihul Jami’ No. 6163)

Berkata Imam Abul Hasan Muhammad Abdil Hadi As Sindi Rahimahullah:

ظَاهِره أَنَّ إِدْرَاك فَضْل الْجَمَاعَة يَتَوَقَّف عَلَى أَنْ يَسْعَى لَهَا بِوَجْهِهِ وَلَا يُقَصِّر فِي ذَلِكَ سَوَاء أَدْرَكَهَا أَمْ لَا فَمَنْ أَدْرَكَ جُزْء مِنْهَا وَلَوْ فِي التَّشَهُّد فَهُوَ مُدْرِك بِالْأَوْلَى وَلَيْسَ الْفَضْل وَالْأَجْر مِمَّا يُعْرَف بِالِاجْتِهَادِ فَلَا عِبْرَة بِقَوْلِ مَنْ يُخَالِف قَوْله الْحَدِيث فِي هَذَا الْبَاب أَصْلًا

“Secara zhahir, hakikat keutamaan jamaah adalah dilihat dari kesungguhan dia untuk melaksanakannya, tanpa memperlambat diri atau menunda-nunda. Jika demikian, ia tetap dapat pahala jamaah, baik sempat bergabung dengan jamaah atau tidak. Maka, barang siapa yang mendapatkan jamaah sedang tasyahud, maka pahalanya sama dengan yang ikut sejak rakat pertama. Adapun urusan pahala dan keutamaan tidak dapat diketahui dengan ijtihad. Jadi, sepatutnya kita tidak peduli dengan pendapat yang bertentangan dengan hadits-hadits di atas.” (Syarh Sunan An Nasa’i, 2/113. Syamilah)

Begitu pula dengan kesalahan yang tidak diniatkan untuk dilakukan dan juga karena terpaksa, seperti membunuh tidak sengaja (peluru nyasar), terpaksa mengaku kafir demi menjaga jiwa seperti yang dilakukan oleh sahabat nabi, Amr bin Yasir, dan contoh lainnya. Hal ini berdasarkan pada ayat:

رَبَّنَا لا تُؤَاخِذْنَا إِنْ نَسِينَا أَوْ أَخْطَأْنَا

“Ya Tuhan Kami, janganlah Engkau hukum Kami jika Kami lupa atau Kami tersalah.” (QS. Al Baqarah (2): 286)

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

إن الله تعالى تجاوز لي عن أمتي الخطأ والنسيان وما استكرهوا عليه

“Sesungguhnya Allah Ta’ala melewatkan saja bagi umatku; kesalahan tidak sengaja, lupa, dan orang yang dipaksa.” (HR. Ibnu Majah No. 2043, 2045. Al Baihaqi, As Sunan Al Kubra, No. 14871. Shahih Al Jami’ Ash Shaghir wa Ziyadatuhu, 1/358, No. 1731. Al Maktab Al Islami. Hadits ini diriwayatkan oleh beberapa sahabat yakni Abu Dzar, Ibnu Abbas, dan Tsauban)

Dalam kehidupan suami isteri juga demikian, tidak dikatakan zhihar bagi seorang suami yang memanggil isterinya dengan panggilan Ummi (ibuku), sebab dia maksudkan dengan panggilan itu adalah sebagai bimbingan bagi anak-anaknya agar terbiasa memanggil Ummi kepada ibunya. Bukan berarti dia menganggap isterinya sama dengan ibunya.

Thalak pun tidak jatuh bagi isteri yang dithalak suaminya yang sedang mabuk, tidak sadar, atau marah yang membuatnya tidak terkendali, sebab ia tidak meniatkannya secara sadar. Inilah pandangan jumhur (mayoritas) ulama seperti Utsman bin Affan, Ibnu Abbas, Ahmad, Bukhari, Abusy Sya’ tsa’, Atha’, Thawus, Ikrimah, Al Qasim bin Muhammad, Umar bin Abdul Aziz, Rabi’ah, Laits bin Sa’ad, Al Muzani, Ibnu Taimiyah, Ibnul Qayyim, dan lain-lain. Inilah pendapat yang kuat, bahwa thalak baru jatuh ketika sadar, akal normal, dan sengaja.

Ada juga ulama yang berkata, thalak orang mabuk adalah sah seperti Said bin Al Musayyib, Hasan Al Bashri, Az Zuhri, Asy Sya’bi, Sufyan Ats Tsauri, Malik, Abu Hanifah, dan Asy Syafi’i.

Begitu pula kaum yang mencela negara penjajah Zionis Israel, sesungguhnya kaum tersebut bukan sedang mencela Nabi Ya’qub yang memiliki nama lain Israil. Tidak benar bahwa mereka dianggap sedang menghina Nabi Ya’qub ‘Alaihis Salam sebagaimana anggapan sekelompok orang. Sebab, yang mereka maksudkan dengan nama ‘Israel’ adalah bangsa Yahudi yang mencaplok Palestina, sebagaimana terekam dalam dokumen sejarah modern, bukan Nabi Ya’qub.

Begitu pula ketika ramai manusia membicarakan seorang koruptor bernama Al Amin, misalnya. Tidaklah itu bermakna bahwa manusia sedang menggunjingkan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam yang memiliki gelar Al Amin.

Demikianlah, betapa pentingnya kedudukan niat dalam menentukan status hukum sebuah amal perbuatan manusia.

Ketiga. Hadits ini juga menegaskan betapa pentingnya ikhlashun niyyah. Sebab keikhlasan merupakan syarat diterimanya amal shalih sebagaimana yang telah diketahui. Bahkan amal yang tidak dilaksanakan dengan hati yang ikhlas, baik karena ingin dipuji, ingin ketenaran, ingin harta dunia, dan semisalnya, akan membuat pelakunya celaka.

Allah Ta’ala berfirman:

مَنْ كَانَ يُرِيدُ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا وَزِينَتَهَا نُوَفِّ إِلَيْهِمْ أَعْمَالَهُمْ فِيهَا وَهُمْ فِيهَا لا يُبْخَسُونَ (15) أُولَئِكَ الَّذِينَ لَيْسَ لَهُمْ فِي الآخِرَةِ إِلا النَّارُ وَحَبِطَ مَا صَنَعُوا فِيهَا وَبَاطِلٌ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ (16)

“Barangsiapa yang menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, niscaya Kami berikan kepada mereka Balasan pekerjaan mereka di dunia dengan sempurna dan mereka di dunia itu tidak akan dirugikan. Itulah orang-orang yang tidak memperoleh di akhirat, kecuali neraka dan lenyaplah di akhirat itu apa yang telah mereka usahakan di dunia dan sia-sialah apa yang telah mereka kerjakan.” (QS. Hud (11): 15-16)

Dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

مَنْ تَعَلَّمَ عِلْمًا مِمَّا يُبْتَغَى بِهِ وَجْهُ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ لَا يَتَعَلَّمُهُ إِلَّا لِيُصِيبَ بِهِ عَرَضًا مِنْ الدُّنْيَا لَمْ يَجِدْ عَرْفَ الْجَنَّةِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ يَعْنِي رِيحَهَا

“Barangsiapa yang menuntut ilmu yang dengannya dia seharusnya menginginkan wajah Allah, (tetapi) dia tidak mempelajarinya melainkan karena kekayaan dunia, maka dia tidak akan mendapatkan harumnya surga pada hari kiamat.” (HR. Abu Daud No. 3664, Ibnu Majah No. 252, Ibnu Hibban No. 78, Al Hakim, Al Mustadrak ‘Alash Shahihain, No. 288, katanya: shahih sesuai syarat Bukhari-Muslim. Syaikh Al Albani mengatakan shahih lighairih. Shahih Targhib wat Tarhib No. 105. Shahih wa Dhaif Sunan Abi Daud, No. 3664, Shahih wa Dhaif Sunan Ibni Majah, No. 252)

Dari Ubai bin Ka’ab Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam:

فَمَنْ عَمِلَ مِنْهُمْ عَمَلَ الْآخِرَةِ لِلدُّنْيَا لَمْ يَكُنْ لَهُ فِي الْآخِرَةِ نَصِيبٌ

“Barangsiapa diantara mereka beramal amalan akhirat dengan tujuan dunia, maka dia tidak mendapatkan bagian apa-apa di akhirat.” (HR. Ahmad No. 20275. Ibnu Hibban No. 405, Al Hakim, Al Mustadrak ‘Alash Shahihain No. 7862, katanya: sanadnya shahih. Imam Al Haitsami mengatakan: diriwayatkan oleh Ahmad dan anaknya dari berbagai jalur dan perawi dari Ahmad adalah shahih, Majma’ Az Zawaid 10/220. Darul Kutub Al ‘Ilmiyah)

Semoga Allah Ta’ala menjadikan semua amal kita karena hanya mengharap ridhaNya. Amin.

Sekian syarah hadits pertama. Wallahu A’lam

Tulisan Berikutnya: Syarah Hadits Arbain Nawawiyah (Bag. 5) – Hadits Kedua: Makna Islam, Iman, dan Ihsan

🍃🌻🌴🌺☘🌷🌾🌸

✏ Farid Nu’man Hasan

scroll to top