Di antara Adab Peziarah Kubur: Melepaskan Sendal di Area Makam

💢💢💢💢

يَا صَاحِبَ السِّبْتِيَّتَيْنِ، وَيْحَكَ أَلْقِ سِبْتِيَّتَيْكَ» فَنَظَرَ الرَّجُلُ فَلَمَّا عَرَفَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَلَعَهُمَا فَرَمَى بِهِمَا

Wahai pemakai sendal! Celaka kamu, lepaskan sendalmu! Maka laki-laki itu memandang dan tahu bahwa itu adalah Rasulullah ﷺ  maka dia melepas kedua sendalnya dan melemparnya. (HR. Abu Daud No. 3230, Al Bukhari dalam Al Adabul Mufrad No. 775. Dishahihkan oleh Syaikh Al Albani)

Ada keragaman komentar para ulama kita   terhadap hadits ini:

✅       Bahwa berjalan di antara kubur dengan sendal adalah makruh. (‘Aunul Ma’bud, 9/36)

📌     Bahwa berjalan di antara kubur dengan sendal adalah boleh, kecuali sendal sibtiyah. Ini pendapat Imam Ibnu Hazm. Namun pendapat ini dikoreksi, para ulama seperti Imam Ibnu Hajar, yang menurutnya itu merupakan jumud yang parah dari Ibnu Hazm, bagi Imam Ibnu Hajar  larangan tersebut mutlak bagi semua sendal. Ada pun sendal sibtiyah karena memang sendal yang biasa dipakai saat itu. (Fathul Bari, 3/206)

✅ Larangan ini terkait karena kesombongan (khuyala) si pemakainya. Sebagaimana kata Imam Al Khathabi. (‘Aunul Ma’bud, 9/37) Ini juga dikritik oleh Imam Ibnu Hajar, bahwasanya para sahabat terbiasa memakai sendal sibtiyah, bagaimana mungkin itu disebut pakaian khuyala (sombong).  (Fathul Bari, 3/206)

📌   Perintah melepaskan sendal karena untuk menghormati kuburan dan menghindari kesombongan. Ini dikatakan Imam Al ‘Aini (‘Aunul Ma’bud, Ibid)

✅    Sementara Imam Ath Thahawi mengatakan tidak makruh, sebab larangan Nabi ﷺ kepada laki-laki itu disebabkan adanya kotoran pada sendal laki-laki tersebut. Dalil lain ketidakmakruhannya  adalah hadits shahih   bahwa  mayit mendengarkan suara sendal pengantarnya. Juga hadits shahih bahwa Nabi ﷺ shalat menggunakan sendal di masjid, maka itu menunjukkan jika dimasjid dibolehkan maka di kubur lebih utama untuk dibolehkan.   (‘Aunul Ma’bud, Ibid, Fathul Bari, 3/206  dan 10/309)

📌  Imam Ibnu Hajar mengoreksi Imam Ath Thahawi, bahwa larangan ini untuk menghormati mayit, sebagaimana hadits larangan duduk di kuburan, penyebutan sendal sibtiyah bukan menunjukkan pengkhususan.  Larangan ini sudah disepakati. (Ibid)

Namun jika  melepaskan sendal justru memudharatkan seperti tertusuk duri, panas, terkena najis, atau sulit dan repot membukanya seperti khuf, maka ini tidak apa-apa tetap memakainya. Karena, Adh Dharar Yuzaal – Bahaya mesti dihilangkan. Al Masyaqqat Tajlibut Taysir, kesulitan membawa kemudahan.

Syaikh Abdul Muhsin Al ‘Abbad Al Badr Hafizhahullah mengatakan:

أي: أن ذلك لا يجوز، إلا إذا كانت المقبرة فيها حرارة شديدة في الرمضاء، أو كان فيها شوك يتأذى به الإنسان فإنه يمشي بالنعل، ولكن يكون ذلك بين القبور

Yaitu tidak boleh memakai sendal, kecuali jika pada area kubur tersebut sangat panas, atau berduri, yang dapat menyakiti manusia maka boleh dia berjalan dengan sendal, tetapi dengan cara dia berjalan di antara kubur. (Syarh Sunan Abi Daud, No. 371)

Demikian. Wallahu A’lam

🌺🌷🌾🌿🌴🍀

✏ Farid Nu’man Hasan

Kenapa Shalat Sunah Dianjurkan di Rumah?

🐾🐾🐾🐾🐾🐾🐾🐾

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

فَصَلُّوا أَيُّهَا النَّاسُ فِي بُيُوتِكُمْ فَإِنَّ أَفْضَلَ الصَّلَاةِ صَلَاةُ الْمَرْءِ فِي بَيْتِهِ إِلَّا الْمَكْتُوبَةَ

Maka, shalatlah kalian wahai manusia, di rumah-rumah kalian. Sesungguhnya shalat paling utama adalah shalatnya seseorang di rumahnya, kecuali shalat wajib. (HR. Al Bukhari No. 731)

Kenapa shakat sunnah dianjurkan di rumah?

Imam An Nawawi Rahimahullah menjelaskan:

وإنما حث على النافلة  في البيت لكونه أخفى وأبعد من الرياء وأصون من المحبطات وليتبرك البيت بذلك وتنزل فيه الرحمة والملائكة وينفر منه الشيطان كما جاء في الحديث الآخر

Sesungguhnya dorongan untuk melakukan shalat sunah di rumah karena hal itu lebih tersembunyi, lebih jauh dari riya, lebih terjaga dari hilangnya nilai amal, dan dapat memberkahi rumah karenanya, dan dapat menurunkan rahmat dan malaikat di dalamnya, dan membuat lari syetan, sebagaimana keterangan hadits lainnya.

📚 Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 6/68

Wallahu A’lam

🌸☘🌺🌴🌻🌾🍃🌷

✍ Farid Nu’man Hasan

Tafsir Surat Al Falaq (bag. 4 -Selesai)

Sebelumnya:

Tafsir Surat Al Falaq (bag. 4 -Selesai)

Berlindunglah dari Kejahatan Malam, Wanita-Wanita Penyihir dan Para Pendengki

وَمِنْ شَرِّ غَاسِقٍ إِذَا وَقَبَ

Dan dari kejahatan malam apabila telah gelap gulita (QS. Al Falaq [113]:3)

Makna Mufrodat (Kosa Kata)

A.     Ayat ke 3

شر
Kejahatan
غاسق
Gelap yang menutupi malam, atau bulan jika tertutup (terhalang) malam.
وقب
Menjelang gelap gulita

Kandungan Ayat

Waktu malam  merupakan saat manusia beristirahat dari aktivitas siang hari. Malam hari juga ada saat beribadah kepada Allah.  Bila malam menjelang, aksi kejahatan kerap terjadi. Tak menutup kemungkinan sihir-sihir dilancarkan pada waktu malam gelap gulita, juga serangan hewan-hewan buas berbahaya dan beracun begitupula pencurian dan kerusakan.[1]

Sebagian ahli tafsir menyebutkan bahwa makna الغاسق artinya malam (al Lail). Seperti tertera dalam firman Allah:

أَقِمِ الصَّلَاةَ لِدُلُوكِ الشَّمْسِ إِلَى غَسَقِ اللَّيْلِ

“Dirikanlah shalat dari sesudah matahari tergelincir sampai gelap malam, …” (QS. Al-Isra [17:78).

Imam Ahmad meriwayatkan dari Abu Salamah, dari Aisyah Radhiyallahu Anha,”Rasulullah menarik tanganku seraya menunjukkan bulan yang terbit bersinar,dan bersabda:

تعوذي  بالله من شر هذا الغاسق إذا وقب

“Berlindunglah dari bulan ini saat gelapnya menjelang”.[2]

Syekh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin menafsirkan makna ghasiq (غاسق ) dengan dua makna, yaitu malam dan bulan.

B.      Ayat ke empat

وَمِنْ شَرِّ النَّفَّاثَاتِ فِي الْعُقَدِ (4)

Dari kejahatan (perempuan-perempuan) penyihir yang meniup pada buhul-buhul (talinya).

Menurut Asy Syaukani, makna (النَّفَّاثَاتِ) berasal dari kata النَّفْثُ  artinya tiupan yang dilakukan oleh wanita-wanita penyihir pada zaman dahulu.[3] ( Fathul Qadir, 5/640)

Pada ayat ini Allah memerintahkan hambanya untuk berlindung dari kejahatan sihir yang dilakukan oleh kaum wanita, sebabnya adalah  karena mereka begitu cinta dengan seorang laki-laki sehingga mereka melakukan sihir agar sang lelaki tersebut  mengikuti kehendaknya.[4] (Murah Labid, 2/682)

Sedangkan menurut Al-Qurthubi, penyebutan ayat ini tentang wanita-wanita tukang sihir karena wanita-wanita dari kaum Yahudi pernah mengirimkan sihir kepada Nabi Muhammad Shalallahu alaihi wasallam, dan meniupkan dalam sebelas ikatan tali. Lalu Allah menurunkan ayat Al-Muawizatain ( Al Falaq 5 ayat, dan An Nas 6 ayat ) sehingga totalnya sebelas ayat juga.Pendapat lain menyebutkan wanita-wanita penyihir tersebut adalah anak-anak perempuan dari Labid bin A’sham yang pernah menyihir nabi.[5] (Al Jami’ Li ahkamil Qur’an, 20/259)

C.      Ayat ke lima

وَمِنْ شَرِّ حَاسِدٍ إِذَا حَسَدَ

Dari kejahatan orang yang dengki apabila ia dengki ( ayat ke 5)

📙    Makna Hasad ( dengki)

Kata hasad dalam bahasa Arab berasal dari kata:

حَسَدَ – يَحْسِدُ – حَسَداً

Artinya:

تمنى أن تتحول إليه نعمته وفضيلته، أو يسلبهما

Keinginan seseorang agar berpindah kepadanya kenikmatan, keutamaan atau merampas keduanya dari orang lain. (Qamus Al-Muhith, Fairuz Abadi, h. 277)

📗        Makna Hasad

1.      Menurut Al Jurjani

الحسد تمني زوال نعمة المحسود إلى الحاسد

Hasad adalah keinginan seseorang agar kenikmatan orang lain lenyap.[6]

2.      Menurut Al Kafawi

الحسد: اختلاف القلب على الناس؛ لكثرة الأموال والأملاك

“Hasad adalah berubahnya kondisi hati atas kekayaan atau kepemilikan orang lain”.[7]

3.      Menurut Thahir bin Asyur

الحسد: إحساس نفساني مركب من استحسان نعمة في الغير، مع تمني زوالها عنه؛ لأجل غيرة على اختصاص الغير بتلك الحالة، أو على مشاركته الحاسد

Hasad adalah perasaan jiwa yang tersusun atas kebaikan nikmat pada orang lain, dengan keinginan lenyapnya nikmat tersebut, karena ia tidak suka orang lain memiliki kondisi tersebut atau orang lain memiliki nikmat yang sama dengannya.  (Ibnu Asyur: At Tahrir Wa Tanwir,30/629)

📕     Jenis-jenis Hasad

Menurut Al Qurthubi, hasad terbagi menjadi dua, mazmum (tercela) dan mamduh (terpuji).[8]

a.      Hasad tercela (mazmum)

Jenis hasad ini adalah keinginan seseorang agar kenikmatan pada diri orang lain lenyap, baik kenikmatan tersebut kembali kepadanya atau tidak. Hasad ini digolongkan tercela karena menolak kebenaran Allah dan menganggap Allah memberikan nikmat-Nya pada orang yang tidak berhak. Hukumnya haram.

b.      Hasad terpuji (mamduh)

Jenis ini sering disebut ghibthah (غبطة ) sebuah keinginan wajar dan alami sebagai manusia. Hukumnya boleh, jika terkait dengan semangat berlomba dalam kebaikan-kebaikan.

Seperti yang tercantum dalam hadits Rasulullah:

عَن ابْن عمر رَضِي الله عَنهُ عَن النَّبِي صلى الله عَلَيْهِ وَسلم قَالَ: ” لَا حسد إِلَّا فِي اثْنَتَيْنِ، رجل آتَاهُ الله الْقُرْآن فَهُوَ يقوم بِهِ آنَاء اللَّيْل وآناء النَّهَار، وَرجل آتَاهُ الله مَالا فَهُوَ يُنْفِقهُ آنَاء اللَّيْل وآناء النَّهَار ” مُتَّفق عَلَيْهِ

Dari Ibnu Umar Radhiyallahu anhu bahwasanya Nabi Shalallahu alaihi wasallam bersabda,” Tiada hasad kecuali dalam dua golongan,”Seseorang yang diberikan Al Qur’an, lalu ia membacanya siang dan malam, dan seseorang yang Allah berikan hartam lalu ia infakkan siang dan malam”. (Muttafaqun Alaih)

Sebagian ulama berpendapat, hasad tidak akan berpengaruh kecuali jika telah nampak dalam ucapan maupun perbuatan, baik dengan siasat buruk atau melakukan perbuata mencelakakan orang lain karena dorongan hasadnya tersebut. hasad juga merupakan dosa pertama kepada Allah,  kala Iblis hasad kepada Adam alaihisalam, ia lebih sombong diciptakan Allah dari api sedang nabi Adam dari tanah. Juga hasad pertama kali dimuka bumi, Qabil kepada Habil. Seperti tertera dalam Surat al-Maidah [5] ayat 27.  Redaksi ayat tersebut menunjukkan bahwa ia (Qabil) marah dan dengki (hasad) atas diterimanya kurban saudaranya (Habil), sedangkan kurbannya sendiri ditolak.

Menurut Ibnu Sirin

الواجب على العاقل مجانبة الحسد على الأحوال كلِّها، فإنَّ أهون خصال الحسد هو ترك الرضا بالقضاء، وإرادة ضد ما حكم الله جل وعلا لعباده، ثم انطواء الضمير على إرادة زوال النعم عن المسلم، والحاسد لا تهدأ روحه، ولا يستريح بدنه إلا عند رؤية زوال النعمة عن أخيه

Wajib bagi orang yang berakal untuk menjauhi sifat hasad dalam segala kondisinya.Sungguh, sifat paling rendah dari hasad adalah meninggalkan qadha (keputusan Allah) dan keinginan melawan hukum Allah Jalla Wa’ala atas hamba-Nya, lalu berlanjut pada keinginan agar nikmat yang dimiliki oleh seorang muslim lenyap. Orang yang hasad jiwanya tidak tenang, badannya tak nyaman kecuali saat ia melihat lenyapnya kenikmatan yang dirasakan oleh saudaranya. (Raudhatul ‘Uqala, h. 133)

📚 Kesimpulan:

·         Perintah Allah agar manusia berlindung dari kejahatan bila waktu malam menjelang, karena kejahatan-kejahatan dan sihir banyak dilancarkan pada malam hari.

·         Perintah Allah agar manusia berlindung dari kejahatan penyihir baik laki-laki maupun wanita, dengan banyak berzikir dan membaca Al Mu’awizatain.

·         Perintah Allah agar manusia berlindung kepada Allah dari sifat hasad dan dari para pendengki. Karena hasad hanya akan merusak amal manusia.

🌸🌴🌺🌱🍃🌻🌾💐

✍ Ust Fauzan Sugiono, MA.


Notes:

[1] Abu Bakar Al Jazairi, Aisar at-Tafasir  Li Kalam al Ali al-Kabir, 5/630
[2] HR. Ahmad no.243232, Hadits Hasan dan An Nasai menyebutkan dalam Sunan Al Kubra, amal Yaum Wa Lailah, no. 10065.
[3] Asy Syaukani, Fath Al Qadir, 5/640
[4] Syekh Nawawi Al Bantani, Murah Labid (Beirut:Darul Kutub,2/682)
[5] Al-Qurthubi, Al Jami’ Li Ahkam Al Qur’an (Kairo: Dar al Kutub) 1384 H, Juz 20/259
[6] Al Jurjani, At Ta’rifat, h. 87
[7] Al Kafawi, Al Kulliyat, h. 408
[8] Al Qurthbi, Al Jami’ Li Ahkam al Qur’an,  20/259

 

Serial Tafsir Surat Al-Falaq

Tafsir Surat Al-Falaq Bag. 1

Tafsir Surat Al-Falaq Bag. 2

Tafsir Surat Al-Falaq Bag. 3

Tafsir Surat Al-Falaq Bag. 4 (Selesai)

Berpuasa Setelah 15 Sya’ban, Terlarangkah?

📨 PERTANYAAN:

Assalamu ‘Alaikum Ustadz, ana mau Tanya, kalau gak salah, ada hadits riwayat At Tirmidzi yang menjelaskan bahwa ketika tersisa separuh bulan Sya’ban, maka janganlah berpuasa, itu maksudnya apa ya? Apa haditsnya shahih? (Rasyid)

📬 JAWABAN

Wa ‘Alaikum Salam wa Rahmatullah wa Barakatuh.
Bismillah wal hamdulillah wash Shalatu was Salamu ‘Ala Rasulillah wa ‘ala Aalihi wa Shahbihi wa Man waalah wa Ba’d:

Ya, pertanyaan ini cukup sering ditanyakan, dan sejak lama pula kami ingin memberikan jawaban secara mendetail. Alhamdulillah saat ini ada kesempatan untuk itu.

Hadits larangan berpuasa setelah separuh bulan Sya’ban memang ada, yaitu sebagai berikut:

Dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

إِذَا كَانَ النِّصْفُ مِنْ شَعْبَانَ فَأَمْسِكُوا عَنْ الصَّوْمِ حَتَّى يَكُونَ رَمَضَانُ

Jika sudah pada separuh bulan Sya’ban, maka janganlah kalian berpuasa hingga masuk bulan Ramadhan.

📌 Hadits ini dan -yang semisalnya- diriwayatkan oleh:

–  Imam Ahmad dalam Musnadnya No. 9707
–  Imam Abu Daud dalam Sunannya No. 2337
–  Imam At Tirmidzi dalam Sunannya No. 738
–  Imam An Nasa’i dalam As Sunan Al Kubra No. 2911
–  Imam Ibnu Majah dalam Sunannya No. 6151
–  Imam Ibnu Hibban dalam Shahihnya No. 3589
–  Imam Ath Thabarani dalam Al Mu’jam Al Awsath No. 1936
–  Imam Al Baihaqi dalam AAs Sunan Al Baihaqi No.7750
–  Imam Ad Darimi dalam Sunannya No. 1740
–  Imam Abu ‘Uwanah dalam Musnadnya No. 2710
–  Imam Abu Ja’far Ath Thahawi dalam Syarh Ma’anil Aatsar, 2/82
–  Imam Ibnu Abi Syaibah dalam Al Mushannaf, 3/21
–  Imam Abdurrazzaq dalam Al Mushannaf No. 7325
–  Imam Ad Dailami dalam Musnad Firdaus No. 1006

Semua sanad hadits ini berasal dari: Al ‘Ala bin Abdurrahman, dari ayahnya, dari Abu Hurairah.

Tentang keshahihan hadits ini, para ulama berbeda pendapat.

📌 Pihak yang menshahihkan

–  Imam At Tirmidzi mengatakan: hasan shahih. (Sunan At Tirmidzi No. 738)
–   Imam Ibnu Hibban memasukkan hadits ini dalam kitab Shahihnya, maka menurutnya ini adalah shahih. (Shahih Ibni Hibban No. 3589)
–  Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani menyatakan shahih dalam berbagai kitabnya. (Shahih Abi Daud No. 2025, Shahih Ibni Majah No. 1651, Tahqiq Misykah Al Mashabih No. 1973, Ar Raudh An Nadhiir No. 643, dll)
–  Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan shahih. (Ta’liq Musnad Ahmad No. 9707)
–  Syaikh  Ibnu Baaz juga menshahihkan. (Majmu’ Fatawa, 15/385)

📌 Pihak yang mendhaifkan

–  Imam Ahmad dan Imam Yahya bin Ma’in berkata: hadits ini munkar! (Mir’ah Al Mafatih, 6/441, Ta’liq Musnad Ahmad No. 9707)
–  Imam Abdurrahman bin Al Mahdi juga mengingkari riwayat Al ‘Ala bin Abdirrahman ini. (Syaikh Abdul Aziz bin  Marzuq Ath Thuraifi, Syarh Bulughul Maram,  Hal. 47)
–  Imam Abu Zur’ah dan Imam Al Atsram juga menyatakan munkar. (Lathaif Al Ma’arif, Hal. 151)

Nah, perbedaan dalam menilai keshahihannya tentu berdampak pada berbeda pula dalam mengamalkannya. Bagi pihak yang mendhaifkan tentu sama sekali tidak masalah berpuasa setelah 15 sya’ban. Bagi yang menshahihkan tentu mereka melarang berpuasa setelah 15 Sya’ban, yaitu larangan dengan makna makruh.

Imam Ibnu Rajab Al Hambali Rahimahullah berkata:

صححه الترمذي و غيره و اختلف العلماء في صحة هذا الحديث ثم في العمل به : فأما تصحيحه فصححه غير واحد منهم الترمذي و ابن حبان و الحاكم و الطحاوي و ابن عبد البر و تكلم فيه من هو أكبر من هؤلاء و أعلم و قالوا : هو حديث منكر منهم ابن المهدي و الإمام أحمد و أبو زرعة الرازي و الأثرم و قال الإمام أحمد : لم يرو العلاء حديثا أنكر منه

Dishahihkan oleh At Tirmidzi dan selainnya. Para ulama berbeda pendapat tentang keshahihan hadits ini, kemudian berbeda pula  tentang mengamalkan hadits ini. Ada pun pihak yang menshahihkan adalah lebih dari satu orang, di antaranya At Tirmidzi, Ibnu Hibban, Al Hakim, Ath Thahawi, dan Ibnu Abdil Bar. NAMUN HADITS INI DIPERBINCANGJAN OLEH PARA IMAM YANG LEBIH BESAR DAN LEBIH BERILMU DIBANDING MEREKA, mereka mengatakan: ini adalah hadits munkar. Mereka adalah Ibnu Al Mahdi, Imam Ahmad, Abu Zur’ah Ar

Razi, dan  Al Atsram.  Imam Ahmad berkata: “Al ‘Ala tidak pernah meriwayatkan hadits yang lebih munkar dari ini.” (Lathaif Al Ma’arif, Hal. 151)

Sebagian ulama yang melarang berpuasa setelah 15 Sya’ban mengatakan bahwa makruhnya hal ini karena dikhawatiri melemahkan pelakunya karena dia berpuasa sepanjang bulan dan akan berpuasa lagi ketika Ramadhan nanti, serta dikhawatiri dia telah menyambung dua bulan puasa secara berturut-turut, padahal tidak ada puasa full kecuali hanya Ramadhan saja. Jika tidak melemahkan badan, dan tidak pula dia menyambungkannya, maka tidak apa-apa berpuasa setelah 15 Sya’ban.  Atau, kemakruhannya adalah jika dia berpuasa setelah 15 Sya’ban itu dilakukan sengaja dan  tanpa sebab, tanpa didahului oleh puasa pada  hari sebelumnya, dan sekedar ingin berpuasa saja. Sedangkan jika ada sebab seperti Senin Kamis, puasa Daud, atau dia sudah terbiasa berpuasa maka tidak apa-apa.

Pada titik ini, sebenarnya tidak ada perbedaan signifikan dengan para ulama yang membolehkan, mereka pun hampir mengatakan serupa.

Pihak yang memakruhkan, seperti Imam Mulla Ali Al Qari Rahimahullah berkata:

والنهي للتنزيه رحمة على الأمة أن يضعفوا عن حق القيام بصيام رمضان على وجه النشاط ، وأما من صام شعبان كله فيتعود بالصوم ويزول عنه الكلفة. ولذا قيد بالإنتصاف أو نهي عنه لأنه نوع من التقدم والله أعلم.

Larangan hanya menunjukkan makruh tanzih, sebagai kasih sayang untuk umat di mana mereka dapat mengalami kelemahan untuk menjalankan shalat malam  ketika Ramadhan  yang begitu  giat dilaksanakan, ada pun bagi orang yang berpuasa Sya’ban keseluruhannya maka pembiasaan itu dengan berpuasa bisa menghilangkan  taklifnya Ramadhan.  Oleh karenanya berpuasa setengah bulan itu atau larangannya, terikat oleh hal ini, karena hal itu  (berpuasa setengah bulan setelah 15 Sya’ban) termasuk jenis larangan “mendahulukan berpuasa” ketika menjelang Ramadhan. Wallahu A’lam. (Mirqah Al Mafatih, 6/280)

Maksud larangan mendahulukan puasa ketika menjelang Ramadhan adalah hadits berikut:

لَا يَتَقَدَّمَنَّ أَحَدُكُمْ رَمَضَانَ بِصَوْمِ يَوْمٍ أَوْ يَوْمَيْنِ إِلَّا أَنْ يَكُونَ رَجُلٌ كَانَ يَصُومُ صَوْمَهُ فَلْيَصُمْ ذَلِكَ الْيَوْمَ

“Janganlah salah seorang kalian mendahulukan Ramadhan dengan puasa sehari atau dua hari, kecuali bagi seseorang yang  sedang menjalankan puasa kebiasaannya, maka puasalah pada hari itu.”  (HR. Bukhari No. 1815)

Mulla Ali Al Qari berkata lagi – Beliau mengutip dari Al Qadhi ‘Iyadh, katanya:

المقصود استجمام من لا يقوى على تتابع الصيام فاستحب الإفطار كما استحب إفطار عرفة ليتقوى على الدعاء فأما من قدر فلا نهي له ولذلك جمع النبي بين الشهرين في الصوم اه وهو كلام حسن لكن يخالف مشهور مذهبه أن الصيام بلا سبب بعد نصف شعبان مكروه

Maksudnya adalah memberikan keringanan bagi orang yang tidak kuat puasa berturut-turut, maka dianjurkan baginya untuk tidak berpuasa, sebagaimana  orang yang sedang wukuf di Arafah dianjurkan tidak berpuasa agar dia kuat berdoa. Ada pun bagi orang yang mampu melakukannya maka tidak ada larangan baginya, oleh karenanya Nabi pun menggabungkan puasa selama dua bulan, dst. (Ali Al Qari berkata): ini adalah komentar yang bagus, tetapi berselisih dengan madzhabnya sendiri  bahwasanya berpuasa tanpa sebab dilakukan setelah 15 Sya’ban adalah makruh. (Ibid)

Imam Al Mundziri Rahimahullah berkata – dan Beliau termasuk yang membolehkan puasa Sya’ban setelah tanggal 15:

من قال إن النهي عن الصيام بعد النصف من شعبان لأجل التقوى على صيام رمضان والاستجمام له ، فقد أبعد. فإن نصف شعبان إذا أضعف كان كل شعبان أحرى أن يضعف ، وقد جوز العلماء صيام جميع شعبان.

Barang siapa yang mengatakan bahwa larangan berpuasa setelah 15 Sya’ban adalah disebabkan kekuatan utuk puasa Ramadhan dan meringankannya, maka itu adalah pemahaman yang jauh. Jika memang setengah Sya’ban itu bisa melelahkan, maka berpuasa pada seluruh Sya’ban adalah lebih pantas untuk melemahkan. Para ulama telah membolehkan berpuasa pada seluruh hari Sya’ban. (Syaikh Waliyuddin At Tibrizi, Misykah Al Mashabih, 6/874)

Imam Ibnu Hajar Al Haitami Al Makki Rahimahullah berkata:

قال بعض أئمتنا: يجوز بلا كراهة الصوم بعد النصف مطلقاً تمسكاً بأ

ن الحديث غير ثابت أو محمول على من يخاف الضعف بالصوم

Sebagian imam kami berkata: dibolehkan  secara mutlak dan tidak makruh berpuasa setelah separuh Sya’ban, berdasarkan dalil bahwa hadits yang melarangnya adalah tidak tsabit (kuat), atau (kalau pun kuat, pen)  maknanya adalah makruh bagi orang yang menjadi lemah dengan puasanya tersebut.  (Ibid)

Syaikh Abdul Aziz Ar Rajihi Hafizhahullah berkata:

وحديث العلاء يدل على المنع من تعمد الصوم بعد النصف, لا لعادة، ولا مضافا إلى ما قبله

Hadita Al ‘Ala ini menunjukkan larangan menyengaja berpuasa setelah saparuh Sya’ban padahal  puasa bukan  kebiasaan dia, dan bukan pula sebagai tambahan dari sebelumnya. (Al Ilmam bisy Syai’ min Ahkamish Shiyam, Hal. 6)

Syaikh Ibnu Baaz Rahimahullah juga berkata:

والمراد به النهي عن ابتداء الصوم بعد النصف ، أما من صام أكثر الشهر أو الشهر كله فقد أصاب السنة

Maksud dari larangan ini adalah memulai puasa setelah separuh Sya’ban, ada pun berpuasa lebih dari sebulan atau sebulan penuh maka itu sesuai dengan sunah. (Majmu’ Fatawa,  15/385)

📚 Dengan memadukan semua pandangan ulama ini, kesimpulannya:

–  Hadits ini diperselisihkan keshahihannya, pihak yang menshahihkan dan mendhaifkan adalah imam besar pada zamannya, namun pihak yang mendhaifkan adalah ulama yang lebih besar dan berilmu, sebagaimana kata Imam Ibnu Rajab.

–  Seandainya pun shahih, larangan ini bermakna makruh, bukan haram.

–  Larangan terjadi jika hal itu membuat pelakunya lemah  ketika memasuki Ramadhan

–  Larangan juga berlaku bagi orang yang tidak terbiasa puasa, namun sekalinya  berpuasa dia menyengaja melakukannya pada hari setelah separuh Sya’ban,  tanpa dia dahului   berpuasa pada hari-hari sebelumnya.

–  Makruhnya juga bagi orang yang melakukannya tanpa sebab.

–  Jadi, puasa setelah separuh Sya’ban adalah boleh bagi: 1. yang memang sudah terbiasa puasa lalu kebiasaannya itu diteruskan ketika setelah 15 hari Sya’ban, 2. Yang melakukannya karena sebab khusus seperti senin kamis, dan puasa Daud.

Sekian. Wallahu A’lam

Wa Shallallahu ‘Ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘Ala Aalihi wa Shahbihi Ajma’in.

🍃🌾🌸🌴🌺☘🌷🌻

Farid Nu’man Hasan

scroll to top