Syarah Hadits Arbain Nawawiyah (Bag. 2) – Hadits Pertama, Niat dan Ikhlas

🐾🐾🐾🐾🐾🐾🐾🐾

Tulisan Sebelumnya: Syarah Hadits Arbain Nawawi (Bag 1) – Muqoddimah

📚 SYARAH HADITS PERTAMA (Niat dan Ikhlas)

📌 Matan Hadits :

عن أمير المؤمنين أبي حفص عمر بن الخطاب رضي الله تعالى عنه قال: سمعت رسول الله صلى الله تعالى عليه وعلى آله وسلم يقول: “إنما الأعمال بالنيات، وإنما لكل امرئ ما نوى، فمن كانت هجرته إلى الله ورسوله فهجرته إلى الله ورسوله، ومن كانت هجرته لدنيا يصيبها أو امرأة ينكحها فهجرته إلى ما هاجر إليه”. رواه إماما المحدثين: أبو عبد الله محمد بن إسماعيل بن إبراهيم بن المغيرة بن بردزبه البخاري وأبو الحسين مسلم بن الحجاج بن مسلم القشيري النيسابوري في صحيحيهما اللذين هما أصح الكتب المصنفة

Dari Amirul Mu’minin, Abu Hafsh Umar bin Al Khathab Radhiallahu Ta’ala ‘Anhu, dia berkata: Aku mendengar Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Sesungguhnya amal itu hanyalah beserta niat, dan setiap manusia mendapatkan apa-apa sesuai yang diniatkannya. Barang siapa yang hijrahnya kepada Allah dan RasulNya maka hijrahnya itu adalah kepada Allah dan RasulNya, dan barang siapa yang hijrahnya karena dunia yang diinginkannya atau wanita yang ingin dinikahinya, maka hijrahnya itu kepada apa-apa yang ia inginkan itu.” (Diriwayatkan oleh Imamul Muhadditsin, Abu Abdillah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin Al Mughirah bin Bardizbah Al Bukhari dan Abul Husein Muslim bin Al Hajjaj bin Muslim Al Qusyairi An Naisaburi, dalam kitab shahih mereka yang merupakan kitab hadits paling shahih)

📌Takhrij Hadits:

– Imam Bukhari, Jami’ush Shahih, No. 45, 163, 2392, 3685, 4783, 6311, 6553
– Imam Muslim, Jami’ush Shahih, No. 1907
– Imam At Tirmidzi, As Sunan, No. 1698
– Imam Abu Daud, As Sunan, No. 2201
– Imam Ibnu Majah, As Sunan, No. 4227
– Imam Al Baihaqi, As Sunan Al Kubra, No.181, 2087, 12686, 14773
– Imam Ibnu Hibban, Ash Shahih, No. 388, 4868

Semuanya melalui jalur sahabat nabi yang sama yakni Umar bin Al Khathab Radhiallahu ‘Anhu. Beliau menggunakan kata sami’tu (Aku mendengar) yang menunjukkan bahwa Beliau mendengar hadits ini secara langsung dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tanpa perantara.

Makna Hadits:

عن أمير المؤمنين أبي حفص عمر بن الخطاب رضي الله تعالى عنه قال :

“Dari Amirul Mukminin Abu Hafsh Umar bin Al Khathab Radhiallahu ‘Anhu, dia berkata:”

Amirul Mu’minin artinya pemimpin orang-orang beriman, yakni orang yang mengurus berbagai urusan (Al Umur) kaum beriman yang berada dalam jangkauan wilayah kekuasaannya. Umar bin Al Khathab Radhiallahu ‘Anhu adalah orang pertama yang dipanggil dengan sebutan gelar ini. Orang pertama yang memanggilnya dengan sebutan ini adalah Abdullah bin Jahsy, dan menurut riwayat lainnya adalah Amr bin Al ‘Ash dan Mughirah bin Syu’bah. Sejak itu panggilan Amirul Mu’minin menjadi panggilan baku bagi khalifah selanjutnya.

Bahkan pada masa selanjutnya, istilah tersebut juga dipakai oleh para ulama hadits yakni Amirul Mu’minin fil Hadits (pemimpin orang beriman dalam hadits) sebuah gelar tertinggi yang diberikan kepada ahli hadits. Di antara ahli hadits yang menyandang gelar ini pada masanya masing-masing adalah Imam Al Bukhari dan Imam Ibnu Hajar Al ‘Asqalani (walau Beliau lebih dikenal dengan gelar Al Hafizh).

Abu Hafsh Umar bin Al Khathab adalah -sebagaimana keterangan Imam As Suyuthi dalam Tarikhul Khulafa’:
Beliau adalah Umar bin Al Khathab bin Nufail bin Abdil ‘Uzza bin Riyah bin Qurth bin Razah bin ‘Adi bin Ka’ab bin Lu’ai. Dialah Amirul Mu’minin, Abu Hafsh Al Qursyi Al ‘Adawi Al Faruq.

Masuk Islam tahun keenam masa kenabian, saat usianya 27 tahun sebagaimana kata Imam Adz Dzahabi. Imam An Nawawi mengatakan Umar bin Al Khathab dilahirkan 13 tahun setelah peristiwa gajah (tahun gajah). Dia berasal dari suku Quraisy yang paling mulia. Masuk Islam termasuk generasi awal setelah 40 laki-laki dan 11 wanita. Ada juga yang mengatakan setelah 39 laki-laki dan 23 wanita, dan ada juga yang mengatakan setelah 45 laki-laki dan 11 wanita. Setelah keislaman Umar, kaum muslimin di Mekkah senantiasa berjaya dan mereka amat berbahagia dengan keislamannya.

Dia adalah salah seorang sahabat nabi yang paling utama, salah seorang yang dikabarkan dijamin masuk surga, dan salah seorang khalifatur rasyidin. Beliau meriwayatkan hadits dari nabi 539 buah. (Imam As Suyuthi, Tarikhul Khulafa’, Hal. 89. Cet. 1. 2004M-1425H. Maktabah Nazar Mushthafa Al Baz)

Selanjutnya:

: سمعت رسول الله صلى الله تعالى عليه وعلى آله وسلم يقول”

Aku mendengar Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa ‘Ala Aalihi Sallam bersabda”
Ucapan Umar, Sami’tu (Aku Mendengar) menunjukkan bahwa hadits ini didengarnya secara langsung dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tanpa perantara orang lain. Hal ini ditegaskan oleh Al ‘Allamah Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin Rahimahullah sebagai berikut:

وفي قوله سَمِعْتُ دليل على أنه أخذه من النبي صلى الله عليه وسلم بلا واسطة. والعجب أن هذا الحديث لم يروه عن رسول الله صلى الله عليه وسلم إلا عمر رضي الله عنه مع أهميته، لكن له شواهد في القرآن والسنة

“Ucapannya ‘Aku Mendengar’ merupakan dalil bahwa Beliau mengambil hadits ini dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dengan tanpa perantara. Mengagumkannya adalah bahwa hadits sepenting ini tidak ada sahabat yang meriwayatkannya dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam kecuali Umar Radhiallahu ‘Anhu. Tetapi hadits ini memiliki syawahid (banyak saksi/penguat) dalam Al Quran dan As Sunnah.” (Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin, Syarh Arba’in An Nawawiyah Hal. 3. Mawqi’ Ruh Al Islam)

Selanjutnya:

إنما الأعمال بالنيات

“Sesungguhnya amal itu hanyalah beserta niat”

Kata innama adalah –sebagaimana kata para ulama muhaqqiq (peneliti)- Lil Hashr للحصر)) yakni sebagai pembatas, sehingga dia bermakna ‘Sesungguhnya hanyalah’ . Sebagai itsbat (penetap) dari hukum dari hal yang disebutkan setelahnya.

Dengan kata lain tidak ada amal kecuali dengan niat. Jika dikatakan: Zaidun Qaaimun (Zaid sedang berdiri). Maka ini tidak ada pembatasan, bisa saja Zaid berdiri sambil makan, bersandar, atau aktiftas lainnya. Tetapi jika dikatakan Innama Zaidun Qaaimun (Sesungguhnya Zaid hanyalah sedang berdiri), maka ini sudah ada pembatasan bahwa aktifitas zaid cuma berdiri, tidak yang lainnya.

Al A’mal adalah jamak (plural) dari ‘amal (perbuatan), sebagai kelanjutan dan ikrar dari niat. Al A’mal mencakup berbagai bentuk perbuatan, baik perbutan hati, lisan, dan jawarih (anggota badan). Amal hati seperti tawakkal kepada Allah, kembali dan takut kepadaNya. Amal lisan seperti berbicara dan makan. Amal jawarih seperti perbuatan tangan dan kaki dan yang semisalnya.

Imam Ibnu Daqiq Al ‘Id Rahimahullah mengatakan:

والمراد بالأعمال: الأعمال الشرعية. ومعناه: لا يعتد بالأعمال بدون النية مثل الوضوء والغسل والتيمم وكذلك الصلاة والزكاة والصوم والحج والاعتكاف وسائر العبادات، فأما إزالة النجاسة فلا تحتاج إلى نية لأنها من باب الترك والترك لا يحتاج إلى نية، وذهب جماعة إلى صحة الوضوء والغسل بغير نية

“Yang dimaksud Al A’mal adalah amal-amal syar’i. artinya amal perbuatan tersebut tidaklah cukup dengan tanpa niat, seperti wudhu, mandi junub, tayammum, demikian juga shalat, zakat, puasa, haji, I’tikaf, dan semua ibadah. Sedangkan menghilangkan najis tidaklah membutuhkan niat, karena itu merupakan pembahasan at tarku (meninggalkan perbuatan), dan meninggalkan perbuatan tidaklah membutuhkan niat. Segolongan manusia berpendapat sahnya wudhu dan mandi junub walau tanpa niat.” Demikian dari Imam Ibnu Daqiq Al ‘Id.

An Niyyat –dengan huruf Ya’ ditasydidkan- adalah jamak dari niyyah yang bermakna ‘azmul qalbi (tekad di hati). Di juga bermakna Al Qashdu (maksud).

Secara syariat menurut Syaikh Ibnu Al ‘Utsaimin niat bermakna:

العزم على فعل العبادة تقرّباً إلى الله تعالى، ومحلها القلب، فهي عمل قلبي ولاتعلق للجوارح بها

Tekad (keinginan kuat) untuk melaksanakan ibadah demi mendekatkan diri kepada Allah Ta’la, letaknya di hati, dan dia termasuk amal hati yang tidak tergantung dengan perbuatan anggota badan. (Syaikh Ibnu Al ‘Utsaimin, Syarh Al Arba’in An Nawawiyah hal. 4-5. Lihat juga Syaikh Ismail bin Muhammad Al Anshari, At Tuhfah Ar Rabbaniyah Syarh Al Arba’in An Nawawiyah, Hal. 2. Maktabah Al Misykah. Juga Imam Ibnu Daqiq Al ‘Id, Syarh Al Arba’in An nawawiyah, Hal. 26. Maktabah Al Misykah)

Maka, amal perbuatan dikatakan SAH sebagai perbuatan, jika dibarengi niat untuk melaksanakannya. Tanpa niat, itu dinamakan ketidaksengajaan, rekayasa atau sandiwara, walau secara lahiriyah juga nampak adanya perbuatan tersebut.

Tidak dinamakan shalat orang yang melakukannya tanpa niat, walau lahiriyahnya menampakkan dia sedang shalat. Tidak dinamakan masuk Islam bagi orang kafir yang mengucapkan dua kalimat syahadat, jika melaksanakannya tanpa niat untuk itu, melainkan sekedar tuntutan skenario di film.

Selanjutnya:

وإنما لكل امرئ ما نوى :

“dan setiap manusia mendapatkan apa-apa sesuai yang diniatkannya.”

Maksudnya, hasil akhir yang didapatkan seseorang dari perbuatannya tergantung niat apa dibalik perbuatannya itu, dia tidak akan mendapatkan selain yang diniatkannya.

Syaikh Abdul Muhsin Al ‘Abbad Al Badr Hafizhahullah mengatakan:

“Barangsiapa yang datang ke masjid untuk shalat, atau untuk menghadiri shalat berjamaah, atau mencari pahala dengan berdzikir dan membaca Al Quran, maka dengan ini dia akan mendapatkan sesuai apa yang diinginkannya. Ada pun yang masuk ke masjid untuk melakukan amal yang tidak ada kaitan dengan perkara agama dan ketaatan, maka dia mendapatkan sesuai apa yang diinginkannya itu, dan tidak mendapatkan pahala.” (Syaikh Abdul Muhsin Al ‘Abbad Al Badr, Syarh Sunan Abi Daud, No. 066. Maktabah Al Misykah)

Para ulama berbeda pendapat, apakah kalimat ‘ wa innama likullimri’in maa nawa’ memiliki makna yang sama dengan innamal a’malu bin niyyat, ataukah dia merupakan kalimat penegas (taukid) dari kalimat tersebut?

Dan, Syaikh Ibnu Al ‘Utsaimin lebih menguatkan bahwa maknanya adalah sebagai kalimat penegas. Sebab, pengulangan (repetition) biasanya memang berfungsi sebagai penegas, penguat dan penjelas dari kalimat sebelumnya.

Bersambung .. (masih syarah hadits 1)

Tulisan Berikutnya: Syarah Hadits Arbain Nawawiyah (Bag. 3) – Lanjutan Hadits Pertama: Niat dan Ikhlas

🍃🌴🌻🌾🌸🌺☘🌷

✏ Farid Nu’man Hasan

Zakat Mal Untuk Rumah Tahfizh dan Saudara Sendiri Yang Miskin

💢💢💢💢💢💢

📨 PERTANYAAN:

assalamu’alaikum wa Rahmatullah

afwan pak,
saya ingin bertanya seputar zakat penghasilan

bolehkah zakat penghasilan disalurkan kepada:
1. Sanggar Qur’an tahsin tahfidz?
2. kakak kandung yang ékonominya masih kekurangan walaupun ada suaminya?
3. kalau di point no.2 tidak boleh, bgmn dg dana yang sudah diterima atau diserahkan ke kakak tadi jika sudah digunakan?

mohon penjelasannya pak…

jazakallah khairan katsiran

📬 JAWABAN

🍃🍃🍃🍃🍃🍃

Wa’alaikumussalam wa Rahmatullah wa Barakatuh ..

Zakat Maal untuk operasional madrasah Islam, lembaga Al Qur’an, kemakmuran Masjid menurut jumhur ulama adalah TIDAK BOLEH, alasannya karena ketiadaannya dalam delapan ashnaf mustahiq zakat. Sebagaimana yang diyakini oleh umumnya Malikiyah, Syafi’iyah, dan Hambaliyah.

Namun, pendapat yang lain menyatakan BOLEH, sebagaimana yang dikuatkan oleh Imam Fakhruddin Ar Razi Rahimahullah dalam tafsir Beliau tentang makna ashnaf “fi sabilillah” dalam delapan ashnaf mustahiq zakat.

Menurutnya makna “fi sabilillah” tidak terbatas pada mujahidin yang sedang perang, tetapi lebih umum yakni semua upaya memperjuangkan agama dan syiarnya adalah termasuk kategori “fi sabilillah”. Apalagi dalam situasi yang sedang tidak ada perang, tentu makna tersebut mesti diperhatikan pada semua usaha membela agama dan memperjuangkan syiar Islam.

Beliau menjelaskan:

واعلم أن ظاهر اللفظ في قوله: وفي سبيل الله لا يوجب القصر على كل الغزاة، فلهذا المعنى نقل القفال في «تفسيره» عن بعض الفقهاء أنهم أجازوا صرف الصدقات إلى جميع وجوه الخير من تكفين الموتى وبناء الحصون وعمارة المساجد، لأن قوله: وفي سبيل الله عام في الكل

Ketahuilah bahwa secara zahir lafaz firmanNya: “dan fi sabilillah” tidaklah mesti dibatasi hanya pada semua bentuk perang, karena makna inilah Al Qaffal meriwayatkan dalam Tafsir-nya dari sebagian ahli fiqih bahwa mereka membolehkan menyerahkan zakat untuk semua bentuk kebaikan seperti mengkafankan mayat, membangun bangunan yang kokoh, memakmurkan masjid, karena makna firmanNya: “dan fi sabilillah” adalah umum pada segala hal. (Imam Ar Razi, Mafatihul Ghaib, 16/87. Cet. 3, 1420H. Ihya’ut Turats Al ‘Arabi, Beirut)

Oleh karenanya, semua bentuk upaya memperjuangkan agama Allah Ta’ala, meninggikan kedudukannya, dan memperluas syiarnya, seperti membangun masjid, Islamic Center, rumah Al Qur’an, mencetak kitab-kitab para ulama, membendung Kristenisasi, membangun pesantren, membangun media Islam, menggaji para ulama, ustadz dan da’i, dan yang lainnya semisalnya, itu termasuk makna “fi sabilillah”.

Hal ini juga dikuatkan oleh Imam Shiddiq Hasan Khan Rahimahullah berikut ini:

ومن جملة سبيل الله الصرف في العلماء الذين يقومون بمصالح المسلمين الدينية فإن لهم في مال الله نصيبا سواء كانوا أغنياء أو فقراء بل الصرف في هذه الجهة من أهم الأمور لأن العلماء ورثة الأنبياء وحملة الدين وبهم تحفظ بيضة الإسلام وشريعة سيد الأنام وقد كان علماء الصحابة يأخذون من العطاء ما يقوم بما يحتاجون إليه

Dan di antara keumuman makna “fi sabilillah” adalah menyerahkan zakat kepada para ulama yang memperjuangkan kemaslahatan agama kaum muslimin, karena sesungguhnya mereka punya hak terhadap harta dari Allah, sama saja apakah mereka kaya atau faqir, bahkan memberikan zakat kepada bagian ini termasuk perkara yang paling penting karena para ulama adalah pewaris para nabi, pengusung agama, merekalah yang menjaga kemurnian agama Islam dan syariat sayyidul anam (Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam). Dahulu para sahabat nabi mengambil dari pemberian zakat untuk memenuhi apa-apa yang menjadi kebutuhan mereka. ( Ar Raudhah An Nadiyah, 1/207)

Pendapat ini juga didukung oleh:

📌 Imam Jamaluddin Al Qasimi dalam tafsir Mahasin At Ta’wil (7/3181),
📌 Syaikh Rasyid Ridha dalam Tafsir Al Manar (10/585),
📌Syaikh Mahmud Syaltut dalam Al Fatawa (Hal. 289),
📌Syaikh Hasanain Makhluf dalam Fatawa Syariah-nya,
📌 juga Syaikh Yusuf Al Qaradhawi Hafizhahullah dalam Fiqhuz Zakat-nya.

Untuk pertanyaan kedua ..

Menyalurkan zakat untuk kerabat sendiri, seperti saudara kandung yang lagi susah, penghasilan minim, berhutang, shgga dia masuk kategori asnaf zakat, maka boleh diberikan zakat untuknya bahkan itu lebih utama.

Al ‘Allamah Sayyid ‘Abdur Rahman Ba ‘Alawi Al Hadhrami, berkata:

و يجوز دفع الزكاة الى من تلزمه نفقته من سهم الغارمين بل هم افضل من غيرهم

Boleh membayarkan zakat kepada orang yg memerlukan nafkah yg diambil dari jatah gharimin bahkan itu lebih utama dibanding mereka .. (Bughiyah Al Mustarsyidin, Hal. 106)

Syaikh Ibnu Al ‘Utsaimin berkata:

نعم يجوز أن تدفع الزكاة لأخيك الفقير وأولاده، بل هذا أفضل من دفعها للأباعد، لأنها على القريب صدقة وصلة، كما قال النبي صلى الله عليه وسلم

Ya, boleh membayar zakat untuk saudaramu yg fakir dan anak-anaknya, bahkan itu lebih utama dibanding kepada orang jauh, sebab hal itu memiliki nilai sedekah dan silaturrahim sekaligus, sebagaimana yang disabdakan Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. (Majmu’ Fatawa wa Rasaail, Jilid. 19, Kitab Ahlu Az Zakah)

Demikian. Wallahu A’lam

🌵🌴🌱🌷🌸🍃🌾🍄

✍ Farid Nu’man Hasan

Tiga Perbuatan Yang Paling Berat

🐾🐾🐾🐾🐾🐾🐾

Bisyr bin Al Haarits Rahimahullah berkata:

أشد الأعمال ثلاثة: الجود في القلة، والورع في الخلوة، وكلمة الحق عند من يخاف منه ويرجى

Ada tiga perbuatan yang paling berat:

1⃣ Bersikap dermawan dikala sedikit harta

2⃣ Bersikap wara’ (kehati-hatian terhadap larangan) dikala sepi

3⃣ Mengatakan kebenaran di hadapan orang yang ditakuti dan diharapkan

🌴🌴🌴🌴🌴🌴

📚 Hikam wa Aqwaal As Salaf Ash Shaalih

🍃🌴🌻🌸🌾☘🌷🌺

✏ Farid Nu’man Hasan

Syarah Hadits Arbain Nawawi (Bag 1) – Muqoddimah

Oleh: Farid Nu’man Hasan

📖 Muqadimah

Al Arba’un An Nawawiyah adalah sebuah kitab kecil yang berisi kumpulan hadits sebanyak empat puluh dua hadits yang disusun oleh seorang imam fiqih dan hadits, zahid, wira’i, dan pemberani yakni Imam An Nawawi Rahimahullah. Walaupun kitab ini bernama Arba’in (empat puluh) tetapi jumlah hadits yang terdapat di dalamnya adalah empat puluh dua hadits, bukan empat puluh.

Syaikh Muhammad bin Shalih ‘Al Utsaimin Rahimahullah menjelaskan tentang kitab tersebut:

وقد ألف مؤلفات كثيرة من أحسنها هذا الكتاب: الأربعون النووية، وهي ليست أربعين،بل هي اثنان وأربعون، لكن العرب يحذفون الكسر في الأعداد فيقولون: أربعون. وإن زاد واحداً أو اثنين، أونقص واحداً أواثنين

“Beliau (Imam An Nawawi) telah banyak menyusun karya tulis, yang terbaik di antaranya adalah kitab ini: Al Arba’un An Nawawiyah. Buku tersebut bukan empat puluh hadits (arba’in), tetapi empat puluh dua hadits (itsnan wa arba’un), namun orang Arab menghilangkan kasrah dalam bilangan, maka mereka menyebut: arba’un (empat puluh), walaupun ditambahkan satu atau dua, atau dikurangi satu atau dua.” (Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin, Syarh Al Arba’in An Nawawiyah, Hal. 2. Mawqi’ Ruh Al Islam) .

Sebelum Imam An Nawawi, sudah banyak para imam kaum muslimin menyusun kitab serupa seperti yang diceritakan oleh Imam An Nawawi sendiri dalam mukadimah kitab ini, mereka adalah Abdullah bin Mubarak, Muhammad bin Aslam Ath Thusi, Hasan bin Sufyan An Nasa’i, Abu Bakr Al Ajuri, Abu Bakar Muhammad bin Ibrahim Al Ashfahani, Daruquthni, Al Hakim, Abu Nu’aim, Abu Abdurrahman A Sulami, Abu Said Al Malini, Abu Utsman Ash Shabuni, Abdullah bin Muhammad Al Anshari, Al Baihaqi, dan ulama lain yang tak terhitung jumlahnya.

Besarnya perhatian para imam kaum muslimin terhadap upaya pengumpulan ’empat puluh hadits’ ini karena didasari berbagai riwayat yang menunjukkan keutamaannya. Hanya saja, sebagaimana kata Imam An Nawawi sendiri, semua riwayat tersebut adalah dhaif (lemah) menurut kesepakatan ahli hadits. Imam An Nawawi mengatakan:

فقد روينا عن علي بن أبي طالب، وعبد الله بن مسعود، ومعاذ بن جبل، وأبي الدرداء، وابن عمر، وابن عباس، وأنس بن مالك، وأبي هريرة، وأبي سعيد الخدري رضي الله تعالى عنهم من طرق كثيرات بروايات متنوعات: أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: “من حفظ على أمتي أربعين حديثاً من أمر دينها بعثه الله يوم القيامة في زمرة الفقهاء والعلماء” وفي رواية: “بعثه الله فقيها عالما”.
وفي رواية أبي الدرداء: “وكنت له يوم القيامة شافعا وشهيدا”.وفي رواية ابن مسعود: قيل له: “ادخل من أي أبوب الجنة شئت” وفي رواية ابن عمر “كُتِب في زمرة العلماء وحشر في زمرة الشهداء”. واتفق الحفاظ على أنه حديث ضعيف وإن كثرت طرقه.

“Kami telah meriwayatkan dari Ali bin Abi Thalib, Abdullah bin Mas’ud, Mu’adz bin Jabal, Abu Ad Darda, Ibnu Umar, Ibnu Abbas, Anas bin Malik, Abu Hurairah, dan Abu Sa’id Al Khudri Radhiallahu ‘Anhum dari banyat jalan dan riwayat yang berbeda: bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Barangsiapa di antara umatku menghapal empat puluh hadits berupa perkara agamanya, maka Allah akan membangkitkannya pada hari kiamat bersama rombongan fuqaha dan ulama.” Dalam riwayat lain: “Allah akan membangkitkannya sebagai seorang yang faqih (ahli fiqih) dan ‘alim.”

Dalam riwayat Abu Ad Darda: “Maka aku (nabi) pada hari kaimat nanti sebagai syafaat dan saksi baginya.” Dalam riwayat Ibnu Mas’ud: “Dikatakan kepadanya: masuklah kau ke surga melalui pintu mana saja yang kamu kehendaki.” Dalam riwayat Ibnu Umar: “Dia dicatat termasuk golongan ulama dan dikumpulkan pada golongan syuhada.”

Para huffazh (ahli hadits) sepakat bahwa hadits-hadits ini dhaif walaupun diriwayatkan dari banyak jalan.” (Imam Ibnu Daqiq Al ‘Id, Muqadiimah Syarh Al Arbai’in an Nawawiyah, Hal. 16-17. Maktabah Al Misykat)

Hanya saja memang, jumhur (mayoritas) ulama – Imam An Nawawi mengatakan kesepakatan ulama- membolehkan menggunakan hadits dhaif (seperti hadits-hadits di atas) hanya untuk tema-tema fadhailul a’mal, targhib wat tarhib, dan hal-hal semisal demi mengalakan amal shalih dan kelembutan hati d

an akhlak. Tetapi pembolehan ini pun bersyarat, yakni: tidak ada rawi yang tertuduh sebagai pemalsu hadits atau pembohong, tidak bertentangan dengan tabiat umum agama Islam, dan jangan menyandarkan atau memastikan dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam ketika mengamalkannya. Mereka yang membolehkan di antaranya adalah Imam Ahmad, Imam Al Hakim, Imam Yahya Al Qaththan, Imam Abdurrahman bin Al Mahdi, Imam Sufyan Ats Tsauri, Imam An Nawawi, Imam As Suyuthi, Imam ‘Izzuddin bin Abdissalam, Imam Ibnu Daqiq Al ‘Id, dan lainnya.

Sedangkan yang menolak adalah Imam Al Bukhari, Imam Muslim, Imam Yahya bin Ma’in, Imam Ibnu Hazm, Imam Ibnul ‘Arabi, Syaikh Ahmad Muhammad Syakir, Syaikh Nashiruddin Al Albani dan lainnya dari kalangan hambaliyah kontemporer, juga yang nampak dari pandangan Syaikh Yusuf Al Qaradhawi Hafizhahullah.

Khusus untuk Al Arba’un An Nawawiyah ini, telah banyak ulama yang memberikan perhatian terhadapnya yakni dengan memberikan syarah (penjelasan) terhadap seluruh hadits yang ada di dalamnya, mereka adalah Imam Ibnu Daqiq Al ‘Id, Al ‘Allamah Ismail bin Muhammad Al Anshari, Al ‘Allamah Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin, dan lainnya. Juga diantara ulama, ada yang mentakhrij dan mentahqiq (meneliti) kualitas validitas hadits-hadits dalam kitab ini, yakni Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani Rahimahullah. Hal ini lantaran betapa lengkapnya muatan dan tema yang dihimpun oleh Imam An Nawawi, yakni berupa dasar-dasar agama, hukum, ibadah, muamalah, dan akhlak. Sedangkan ulama lain, ada yang menyusun empat puluh hadits tentang persoalan tertentu saja, ada yang akhlak saja, atau jihad, atau adab, atau zuhud. Inilah letak keistimewaan kitab ini.

Boleh dikatakan, kitab ini -dan kitab Beliau lainnya yakni Riyadhus Shalihin- adalah kitab Beliau yang paling luas peredarannya dan paling besar perhatian umat Islam terhadapnya baik kalangan ulama, dosen, mahasiswa, dan orang umum. Ini merupakan petunjuk atas keikhlasan penulisnya sehingga Allah Ta’ala mengabadikan karya-karyanya di tengah manusia walau dirinya telah wafat berabad-abad lamanya.

Semoga kita semua bisa mengikuti jejak langkah para ulama rabbani dan mengambil banyak manfaat dari karya dan keteteladanan kehidupan mereka. Amin.

Tulisan Berikutnya: Syarah Hadits Arbain Nawawiyah (Bag. 2) – Hadits Pertama, Niat dan Ikhlas

🍃🌴🌾🌸🌺🌷🌻☘

✏ Farid Nu’man Hasan

scroll to top