Bolehkah Mengikuti Mazhab Maliki jika di Indonesia Mazhab Syafi’i?

Pertanyaan

Kotoran anjing apakah najis besar/ mugholadhah. Bolehkah kami mngikuti Mazhab Maliki yg mnyebutkan , Anjing tidak Najis. Di Indinesia katanya bermadzhab Syafii. (Heru Budiyanto-Yogyakarta)


Jawaban

Bismillahirrahmanirrahim..

Perlu diketahui dalam mazhab Maliki, kotoran dan kencingnya Anjing juga najis alias tidak suci, yang tidak najis bagi mereka adalah seluruh tubuhnya baik kulit, bulu, kuku, dan liur. Tapi untuk kencing dan kotoran tetap najis.

Syaikh Abdullah Al Faqih mengatakan:

أما فضلات الكلب كبوله، ورجيعه مثلا، فإنها نجسة عند المالكية؛ لأن الكلب غير الوحشي من الحيوانات التي لا يشرع أكلها، ففضلاتها نجسة

Adapun kotoran anjing, seperti air kencing dan tinjanya, maka menurut Mazhab Maliki, keduanya dianggap najis. Hal ini karena anjing yang bukan jenis liar termasuk hewan yang tidak dibolehkan untuk dimakan, sehingga kotorannya dihukumi najis. (Fatawa Asy Syabakah Al Islamiyah no. 443311)

Ada pun dalam mazhab Syafi’i adalah kebalikan mazhab Maliki, bahwa bagi mazhab Syafi’i anjing semua bagiannya adalah najis. Itulah yg diyakini umumnya umat Islam di Indonesia yang bermazhab Syafi’i.

Imam Ibnu Taimiyah  Rahimahullah rincian masalah ini:

أَمَّا الْكَلْبُ فَلِلْعُلَمَاءِ فِيهِ ثَلَاثَةُ أَقْوَالٍ مَعْرُوفَةٍ : أَحَدُهَا : أَنَّهُ نَجِسٌ كُلُّهُ حَتَّى شَعْرُهُكَقَوْلِ الشَّافِعِيِّ وَأَحْمَد فِي إحْدَى الرِّوَايَتَيْنِ عَنْهُ . وَالثَّانِي : أَنَّهُ طَاهِرٌ حَتَّى رِيقُهُكَقَوْلِ مَالِكٍ فِي الْمَشْهُورِ عَنْهُ . وَالثَّالِثُ : أَنَّ رِيقَهُ نَجِسٌ وَأَنَّ شَعْرَهُ طَاهِرٌ وَهَذَامَذْهَبُ أَبِي حَنِيفَةَ الْمَشْهُورُ عَنْهُ وَهَذِهِ هِيَ الرِّوَايَةُ الْمَنْصُورَةُ عِنْدَ أَكْثَرِأَصْحَابِهِ وَهُوَ الرِّوَايَةُ الْأُخْرَى عَنْ أَحْمَد وَهَذَا أَرْجَحُ الْأَقْوَالِ

“Adapun anjing, para ulama kita terbagi atas tiga pendapat:

Pertama. Bahwa anjing najis seluruhnya termasuk bulunya, inilah pendapat Asy Syafi’i dan Ahmad dalam salah satu riwayat darinya.

Kedua. Bahwa anjing adalah suci termasuk liurnya inilah pendapat yang masyhur (terkenal) dari Malik.

Ketiga. Bahwa liurnya adalah najis, dan bulunya adalah suci, inilah madzhab yang masyhur dari Abu Hanifah, dan inilah riwayat yang didukung oleh mayoritas pengikutnya, dan inilah riwayat lain dari Ahmad. Inilah pendapat yang lebih kuat.” (Majmu’ Al Fatawa, 21/616)

Lalu, bagaimana sikap yang terbaik bagi orang yang meyakini mazhab Maliki saat berkunjung atau bermukim ke negeri yang bermazhab Syafi’i? Maka, tidak mengapa baginya mengikuti pandangan yg umumnya diyakini ditempat yang dia kunjungi, perhatikan kondisi fiqih yg dianut masyarakat dan ulama di situ, untuk menghindari fitnah dan gesekan sosial dengan penduduk setempat. Demikianlah perilaku dan adab yang dicontohkan kaum salaf dan disarankan para ulama.

Di antaranya nasihat Imam Al Qarafi sebagai berikut:

فمهما تجدد في العرف اعتبره ومهما سقط أسقطه ولا تجمد على المسطور في الكتب طول عمرك بل إذا جاءك رجل من غير أهل إقليمك يستفتيك لا تجره على عرف بلدك واسأله عن عرف بلده وأجره عليه وأفته به دون عرف بلدك ودون المقرر في كتبك فهذا هو الحق الواضح والجمود على المنقولات أبدا ضلال في الدين وجهل بمقاصد علماء المسلمين والسلف الماضين “

Bagaimanapun yang baru dari sebuah tradisi perhatikanlah, dan yang sudah tidak berlaku lagi tinggalkanlah. Jangan kamu bersikap tekstual kaku pada tulisan di kitab saja sepanjang hayatmu. Jika datang kepadamu seorang dari luar daerahmu untuk meminta fatwa kepadamu, janganlah kamu memberikan hukum kepadanya berdasarkan adat kebiasaan yang berlaku di daerahmu, tanyailah dia tentang adat kebiasaan yang terjadi di daerahnya dan hargailah itu serta berfatwalah menurut itu, bukan berdasarkan adat kebiasaan di daerahmu dan yang tertulis dalam kitabmu. Itulah sikap yang benar dan jelas. Sedangkan sikap selalu statis pada teks adalah suatu kesesatan dalam agama dan kebodohan terhadap tujuan para ulama Islam dan generasi salaf pendahulu. (Al Furuq, 1/176-177)

Imam Ad Darimi Rahimahullah berkata:

أخبرنا يزيد بن هارون عن حماد بن سلمة عن حميد قال قلت لعمر بن عبد العزيز لو جمعت الناس على شيء فقال ما يسرني انهم لم يختلفوا قال ثم كتب إلى الآفاق أو إلى الأمصار ليقضي كل قوم بما اجتمع عليه فقهاؤهم

Mengabarkan kepada kami Yazid bin Harun, dari Hammad bin Salamah, dari Humaid, dia berkata: Aku berkata kepada Umar bin Abdil ‘Aziz:

“Alangkah baiknya engkau menyatukan manusia dalam satu pendapat.”

Beliau menjawab:

“Aku tidak senang jika mereka tidak berbeda pendapat.”

Humaid berkata: “Lalu Umar bin ‘Abdil Aziz menulis surat ke semua penjuru negeri:

“Setiap penduduk di suatu negeri hendaknya memutuskan urusannya sesuai kesepakatan ahli fiqih mereka (di negeri masing-masing).” (Sunan Ad Darimi No. 652, Bab Ikhtilaf Al Fuqaha)

Diceritakan dalam Al Mausu’ah ketika Imam asy Syafi’i ke wilayah bermazhab Hanafi (tidak qunut subuh), Beliau rela meninggalkan qunut subuh untuk menghormati pendapat penduduk setempat. Berikut ini kisahnya:

الشَّافِعِيُّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ تَرَكَ الْقُنُوتَ فِي الصُّبْحِ لَمَّا صَلَّى مَعَ جَمَاعَةٍ مِنَ الْحَنَفِيَّةِ فِي مَسْجِدِهِمْ بِضَوَاحِي بَغْدَادَ . فَقَال الْحَنَفِيَّةُ : فَعَل ذَلِكَ أَدَبًا مَعَ الإِْمَامِ ، وَقَال الشَّافِعِيَّةُ بَل تَغَيَّرَ اجْتِهَادُهُ فِي ذَلِكَ الْوَقْتِ

“Asy Syafi’i Radhiallahu ‘Anhu meninggalkan qunut dalam subuh ketika Beliau shalat bersama jamaah bersama kalangan Hanafiyah (pengikut Abu Hanifah) di Masjid mereka, pinggiran kota Baghdad. Berkata Hanafiyah: “Itu merupakan adab bersama imam.” Berkata Asy Syafi’iyyah (pengikut Asy Syafi’i): “Bahkan beliau telah merubah ijtihadnya pada waktu itu.” (Al Mausu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah, 2/302. Wizarah Al Awqaf Asy Syu’un Al Islamiyah)

Demikian. Wallahu A’lam

☘

✍ Farid Nu’man Hasan

Istighotsah dengan Orang yang Wafat

▫▪▪▪▪▪▪▪▪▪▫

 PERTANYAAN:

Assalamualaikum ustadz, ijin bertanya adakah penjelasan istighotsah dengan orang yang telah wafat?
Jazakallahu khairanustadz


 JAWABAN

Wa’alaikumussalam wa Rahmatullah wa Barakatuh

Jika maksudnya adalah minta-minta kepada penghuni kuburnya; minta ampun, minta rezeki, minta surga, minta perlindungan dr api neraka, atau apa pun, maka ini tidak boleh.

Misal minta kepada mayit; “Ya syaikh Fulan, ampuni aku” .. “Ya syaikh Fulan, berikan aku rezeki”, ini syirik akbar. Sebab, memposisikan orang yang sudah wafat setara dengan Allah Ta’ala.

{ وَيَعۡبُدُونَ مِن دُونِ ٱللَّهِ مَا لَا يَضُرُّهُمۡ وَلَا يَنفَعُهُمۡ وَيَقُولُونَ هَٰٓؤُلَآءِ شُفَعَٰٓؤُنَا عِندَ ٱللَّهِۚ قُلۡ أَتُنَبِّـُٔونَ ٱللَّهَ بِمَا لَا يَعۡلَمُ فِي ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَلَا فِي ٱلۡأَرۡضِۚ سُبۡحَٰنَهُۥ وَتَعَٰلَىٰ عَمَّا يُشۡرِكُونَ }

Dan mereka menyembah selain Allah, sesuatu yang tidak dapat mendatangkan bencana kepada mereka dan tidak (pula) memberi manfaat, dan mereka berkata, “Mereka itu adalah pemberi syafaat kami di hadapan Allah.” Katakanlah, “Apakah kamu akan memberitahu kepada Allah sesuatu yang tidak diketahui-Nya apa yang di langit dan tidak (pula) yang di bumi?”Mahasuci Allah dan Mahatinggi Dia dari apa yang mereka persekutukan. [Surat Yunus: 18]

Ada pun jika maksud istighotsah dengan orang yang telah wafat adalah meminta kepada Allah Ta’ala tapi melalui kedudukan (jaah) orang shalih yg sudah wafat, maka ini diperdebatkan para ulama. Ini istilahnya tawasul dengan orang shalih yg sudah wafat.

Misalnya: “Ya Allah, dengan kedudukan Imam Fulan, aku meminta ampunanMu” atau minta rezeki, dll.

Sebagian ulama memakruhkan, sebagian lain membolehkan seperti Imam Asy Syaukani. Konon Imam Asy Syafi’i pernah bertawasul dengn Imam Abu Hanifah seperti yang dikatakan Imam Al Baghdadi dalam Tarikh Baghdad. Dikatakan “konon”, karena secara sanad masih diperdebatkan keshahihannya.

Demikian. Wallahu A’lam.

Baca juga: Hukum Bersedekah untuk Minta Didoakan

 Farid Nu’man Hasan

Air Kurang dari Dua Qullah, Sucikah?

Pertanyaan

Jadi sebenarnya air kurang dari 2 kulah itu suci tidak (Syalikatahre-Pale)


Jawaban

Bismillahirrahmanirrahim..

Air yang sedikit atau banyak adalah suci sampai ada najis yang mengubahnya baik pada rasa, warna, atau aroma.

Hal ini berdasarkan hadits berikut:

وَعَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ – رضي الله عنه – قَالَ: قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – إِنَّ اَلْمَاءَ طَهُورٌ لَا يُنَجِّسُهُ شَيْءٌ

Dari Abu Sa’id Al Khudri Radhiallahu ‘Anhu dia berkata, Bersabda Rasulullah ﷺ: “Sesungguhnya air itu suci, tidak ada sesuatu yang bisa menajiskannya.” (HR. Abu Daud, At Tirmidzi, dan An Nasa’i, dan dishahihkan Imam Ahmad, Imam Yahya bin Ma’in, dll)

Hadits lainnya:

وَعَنْ أَبِي أُمَامَةَ اَلْبَاهِلِيِّ – رضي الله عنه – قَالَ: قَالَ رَسُولُ – صلى الله عليه وسلم – إِنَّ اَلْمَاءَ لَا يُنَجِّسُهُ شَيْءٌ, إِلَّا مَا غَلَبَ عَلَى رِيحِهِ وَطَعْمِهِ, وَلَوْنِهِ – أَخْرَجَهُ اِبْنُ مَاجَهْ وَضَعَّفَهُ أَبُو حَاتِمٍ

Dari Abu Umamah Al Baahili Radhiallahu ‘Anhu, katanya: Bersabda Rasulullah ﷺ:

“Sesungguhnya air itu tidak ada sesuatu pun yang menajiskannya, kecuali yang bisa mengubah baunya, rasanya, dan warnanya.” (HR. Ibnu Majah, dan didhaifkan oleh Imam Abu Hatim)

Imam ash Shan’ani Rahimahullah mengatakan:

قال ابن المنذر: قد أجمع العلماء: على أن الماء القليل والكثير إذا وقعت فيه نجاسة فغيرت له طعماً، أو لوناً، أو ريحاً فهو نجس، فالإجماع هو الدليل على نجاسة ما تغير أحد أوصافه

Berkata Ibnul Mundzir: “Para ulama telah ijma’ bahwa air yang sedikit dan banyak, jika terkena najis lalu berubah rasa, warna, dan aroma, maka dia menjadi najis.” Maka, ijma’ adalah merupakan dalil atas kenajisan sesuatu yang telah berubah salah satu sifat-sifatnya.” (Subulus Salam, 1/19)

Rasulullah ﷺ pernah wudhu dengan air satu mud saja. Anas bin Malik Radhiyallahu ‘Anhu berkata:

كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَغْسِلُ أَوْ كَانَ يَغْتَسِلُ بِالصَّاعِ إِلَى خَمْسَةِ أَمْدَادٍ وَيَتَوَضَّأُ بِالْمُدِّ

Nabi ﷺ membasuh, atau mandi dengan satu sha’ hingga lima mud, dan berwudhu dengan satu mud. (HR. Bukhari no. 201)

Imam Ash Shan’ani menjelaskan ukuran satu mud yaitu sepenuh dua telapak tangan manusia berukuran sedang dengan telapak tangan yang dibentangkan (madda), dari sinilah diambil kata mud. (Subulus Salam, 1/49)

Baca juga: Percikan Air Kencing ke Kolam

Lalu, bagaimana dengan dua qullah?

Maksud dari dua qullah adalah takaran minimal air tetap suci jika kejatuhan najis, selama tidak ada perubahan pada salah satu sifatnya yaitu rasa, warna, atau aroma. (Dua qullah adalah setara 500 Rithl Baghdadi, yaitu +/- 160 liter, menurut mazhab Syafi’i dan Hambali)

Sebagaimana hadits:

إِذَا كَانَ الْمَاءُ قُلَّتَيْنِ لَمْ يَحْمِلْ الْخَبَثَ

Jika air sudah dua qullah maka najis tidak berpengaruh. (HR. At Tirmidzi no. 67, Shahih)

Artinya jika volume air sudah dua qullah, lalu kejatuhan najis, dan tidak ada perubahan apa-apa maka air tersebut tetap suci. Tapi jika ada perubahan pada salah satu sifatnya baik rasa, atau aroma, atau warna maka telah najis walau air tersebut sebanyak lautan.

Syaikh Muhammad Muhajirin Amsar Rahimahullah mengatakan:

وقد اجمع العلماء على ان الماء المتغير بأحد الأوصاف الثلاثة متنجس و إن كام قدر البحر

Para ulama telah ijma’ bahwa air yang telah berubah salah satu sifatnya yang tiga itu, maka menjadi najis, walau air itu SEBANYAK LAUTAN. (Mishbahuzh Zhalam, 1/35)

Jadi, “dua qullah” bukan bermakna syarat air dikatakan suci harus ukurannya dua qullah, jika di bawah itu seperti air cuma segayung, seember, maka tidaklah suci, bukan begitu maknanya. Itu sering disalahpahami sebagian orang. Sehingga mereka tidak mau wudhu dengan air di ember atau wadah lain yang kurang dua qullah padahal jelas-jelas itu air suci.

Demikian. Wallahu A’lam

☘

✍ Farid Nu’man Hasan

Allah Berbentuk Cahaya?

Pertanyaan

Saya mau bertanya. Kenapa banyak kajian ceramah mengatakan bahwa Allah itu berbentuk cahaya? Bukannya Allah yang menciptakan cahaya? Allah dzat yang maha Agung tidak sama seperti makhluknya termasuk cahaya dan rupa Allah tidak bisa dinalari manusia.sekian terimakasih (Hazieq-Indonesia)


Jawaban

Bismillahirrahmanirrahim..

Dalam ayat Al Qur’an dan hadits memang ada kalimat yg jika diartikan atau diterjemahkan secara harfiyah bermakna “Allah adalah cahaya”, sehingga sangat mungkin dalam benak pembacanya tergambar wujud Allah ﷻ adalah cahaya. Misalnya, pemahaman kalangan mujassimah. Mereka mengatakan Allah ﷻ adalah cahaya dan cahaya-Nya tidak sama dengan cahaya makhluk.

Tentu hal itu tidak benar dan tidak sejalan dengan pemahaman kaum salaf. Ketika ada seorang murid berkata kepada gurunya “Anda adalah cahaya”, tentu bukan bermaksud fisik gurunya adalah berwujud cahaya, tapi bagi murid tersebut guru tersebut laksana cahaya yang menerangi jalan dan hidupnya, sebagai pemandu, pembimbing, ke jalan yang benar, karena manfaat dan fungsi cahaya memang seperti itu. Dengan kata lain itu adalah majaz, kiasan, atau perumpamaan.

Imam Al Qurthubi berkata:

النور في كلام العرب: الأضواء المدركة بالبصر، واستعمل مجازاً فيما صح من المعاني ولاح، فيقال منه: كلام له نور، ومنه الكتاب المنير، ومنه قول الشاعر:
نسب كأن عليه من شمس الضحى … نوراً ومن فلق الصباح عموداً
والناس يقولون: فلان نور البلد، وشمس العصر وقمره، وقال: فإنك شمسٌ والملوك كواكبٌ

Cahaya (an-Nur) dalam bahasa Arab: “Sinar yang dapat ditangkap oleh penglihatan, dan digunakan sebagai kiasan untuk sesuatu yang benar dalam makna dan tampak jelas.” Maka dikatakan, “Ucapannya memiliki cahaya,” contoh lain: “kitab yang menerangi.” Sebagaimana dalam perkataan penyair:
“Nasab (keturunan) yang seolah-olah diterangi oleh cahaya matahari di waktu dhuha, dan oleh tiang fajar di pagi hari.”

Manusia juga berkata, “Fulan adalah cahaya kota,” “matahari zaman,” atau “bulannya.” Sebagaimana dikatakan: “Sesungguhnya engkau adalah matahari, sementara para raja adalah bintang-bintang.” (Tafsir Al Qurthubi, jilid. 12, hal. 256)

Dalam Al Qur’an, Allah ﷻ berfirman:

ٱللَّهُ نُورُ ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلۡأَرۡضِۚ

Secara harfiyah, ayat ini diterjemahkan:

Allah adalah cahaya langit dan bumi. [QS. An-Nur: 35]

Contoh lain, doa Rasulullah ﷺ dikala tahajud sebagaimana hadits shahih Bukhari dan Muslim:

Wa lakal hamdu anta nurus samawati wal ardhi wa man fi hinna. (Segala puji bagiMu, Engkau adalah Cahaya langit dan bumi dan siapapun yang ada di dalamnya)

Namun, para salaf dan para ulama yang mengikutinya tidaklah memahami kalimat pada ayat dan hadits tersebut secara harfiyah bahwa “Allah berwujud cahaya”.

1. Di antara mereka ada yang mengatakan makna “Allah adalah cahaya” yaitu Allah sebagai pemberi petunjuk (Al Hadi).

Misalnya, sahahat Nabi ﷺ yaitu Abdullah bin Abbas Radhiallahu ‘Anhuma yang disebut imamnya para imam ahli tafsir, Beliau mengomentari ayat: _Allah adalah cahaya langit dan bumi_, dengan mengatakan:

هادي أهل السماوات والأرض

Allah adalah pemberi petunjuk bagi penduduk langit dan bumi. (Tafsir Ibnu Jarir Ath Thabari, jilid. 19, hal. 177)

Anas bin Malik berkata:

إن إلهي يقول: نوري هُداي.

Sesungguhnya Tuhanku berkata: “Cahaya-Ku adalah Petunjuk-Ku” (Tafsir Ibnu Jarir, Ibid)

2. Ada pula yang mengatakan Allah ﷻ adalah mudabbir (pengatur).

Dari Ibnu Juraij bahwa Mujahid dan Ibnu Abbas berkata:

يدبر الأمر فيهما ، نجومهما وشمسهما وقمرهما

Allah ﷻ yang mengatur urusan pada keduanya (langit dan bumi), begitu pula mengatur bintang, matahari, dan bulannya. (Tafsir Ibnu Jarir Ath Thabari, Ibid)

3. Ada pula yang mengartikan Cahaya yang berasal dari Allah ﷻ menerangi langit dan bumi.

Ibnu Jarir berkata:

وقال آخرون: بل عنى بذلك النور الضياء. وقالوا: معنى ذلك: ضياء السماوات والأرض

Sebagian yang lain berkata: “Bahkan, yang dimaksud dengan NUR (cahaya) di sini adalah ḍhiya’ (sinar terang).” Mereka mengatakan: “Maknanya adalah sinar terang langit dan bumi.”

Dari Ubay bin Ka’b mengenai firman Allah: ‘Allah adalah cahaya langit dan bumi’ (QS. An-Nur: 35), ia (Ubay) berkata: “Allah memulai dengan menyebut cahaya-Nya sendiri, lalu menyebut cahaya orang beriman.” (Tafsir Ibnu Jarir Ath Thabari, jilid. 19, hal. 178)

Dari ketiga penjelasan di atas, Imam Ibnu Jarir sendiri memilih penjelasan yang pertama, menurutnya itu lebih kuat bahwa makna Allah adalah cahaya adalah Allah sebagai Al Hadi, pemberi petunjuk.

Imam Al Qurthubi telah mengkritik keras pemahaman bahwa wujud Allah Ta’ala adalah cahaya. Beliau berkata:

فَيَجُوزُ أَنْ يُقَالَ: لِلَّهِ تَعَالَى نُورٌ مِنْ جِهَةِ الْمَدْحِ لِأَنَّهُ أَوْجَدَ الْأَشْيَاءَ وَنُورُ جَمِيعِ الْأَشْيَاءِ مِنْهُ ابْتِدَاؤُهَا وَعَنْهُ صُدُورُهَا وَهُوَ سُبْحَانَهُ لَيْسَ مِنَ الْأَضْوَاءِ الْمُدْرَكَةِ جَلَّ وَتَعَالَى عَمَّا يَقُولُ الظَّالِمُونَ عُلُوًّا كَبِيرًا.
وَقَدْ قَالَ هِشَامٌ الْجُوَالِقِيُّ وَطَائِفَةٌ مِنَ الْمُجَسِّمَةِ: هُوَ نُورٌ لَا كَالْأَنْوَارِ، وَجِسْمٌ لَا كَالْأَجْسَامِ. وَهَذَا كُلُّهُ مُحَالٌ عَلَى اللَّهِ تَعَالَى عَقْلًا وَنَقْلًا عَلَى مَا يُعْرَفُ فِي مَوْضِعِهِ مِنْ عِلْمِ الْكَلَامِ.

Maka diperbolehkan untuk dikatakan: “Allah Ta’ala memiliki cahaya adalah ungkapan dari sudut pujian,” karena Dia yang menciptakan segala sesuatu. Cahaya segala sesuatu berasal dari-Nya sebagai permulaan dan dari-Nyalah muncul keberadaan segala sesuatu. Dia, Mahasuci dari segala kekurangan, bukanlah dari jenis cahaya yang dapat ditangkap oleh indera. Mahasuci dan Mahatinggi Allah dari apa yang dikatakan oleh orang-orang zalim, dengan ketinggian yang agung.

Hisyam al-Jawaliqi beserta sekelompok kaum mujassimah, berkata: ‘Dia (Allah) adalah cahaya, tetapi tidak seperti cahaya yang lain, dan Dia adalah tubuh, tetapi tidak seperti tubuh yang lain.’ Semua ini mustahil bagi Allah Ta’ala, baik menurut akal maupun dalil naqli, sebagaimana dijelaskan pada pembahasan ilmu kalam. (Tafsir Al Qurthubi, jilid. 12, hal. 256)

Menyebut bahwa Allah ﷻ berbentuk cahaya, atau zatnya terbuat dari cahaya, maka tentu ini tasybih (penyerupaan) dengan makhluk. Sebab, cahaya adalah makhluk, dan Malaikat pun tercipta cari cahaya. Maha Suci Allah dari serupa dengan makhluk-Nya, karena:

لَيۡسَ كَمِثۡلِهِۦ شَيۡءٞۖ

Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia. (QS. Asy Syura: 11)

Demikian. Wallahu A’lam

Baca juga: Menyebut Rasulullah ﷺ dengan Cahaya, Apakah Berlebihan?

☘

✍ Farid Nu’man Hasan

scroll to top